Quantcast
Channel: Beyond Blogging - Kompasiana.com
Viewing all 10549 articles
Browse latest View live

Menjaga Bahasa Bali agar Tidak Punah

$
0
0

Waitres di salah satu caf di Kedonganan mengenakan busana adat saat malam bulan purnama.(Dokumen Pribadi)Pernah terjadi kekhawatiran tahun 2040 bahasa Bali bakal punah. Penggunanya segelintir saja atau malahan tidak ada, mirip bahasa Jawa Kuno yang saat ini hanya dipergunakan oleh para dalang. Alasannya, anak yang lahir dari orangtua asli Bali, sejak usia dini sudah menggunakan bahasa Indonesia, bukan bahasa ibunya yakni bahasa Bali.

Ibu-ibu yang melahirkan saat ini, sebagian besar memang sudah tidak menggunakan bahasa Bali lagi untuk berkomunikasi dengan putra putri mereka. Dulunya hanya diperkotaan saja yang gencar menggunakan bahasa Indonesia, tapi sekarang anak di kampung terpencil seperti di Puhu Bangli, atau di Bukit Bau Kintamani sudah sejak kecil menggunakan bahasa Indonesia.

Bahasa Bali yang ribet, mengenal 3 strata, menyebabkan dia seperti terpinggirkan. Misalnya untuk menanyakan apakah seseorang sudah makan, akan ada 3 pertanyaan yang muncul.

Subo medaran, artinya sudah makan, bahasa Bali ini ditujukan untuk mereka yang kita kenal, seumuran, serta sahabat dekat.

Dengan arti yang sama, sampun ngajeng, ditujukan untuk mereka yang kita tidak kenal, mereka yang merupakan atasan kita atau yang lebih tua. Sedangkan bila bertanya kepada bangsawan, sudah makan menjadi, cokor iratu sampun keni panugran dewi sri.

Untuk bertanya kepada kalangan berkasta, kaum ningrat, pejabat dan aparat, baik di desa keluharan dan tingkatan yang lebih tinggi lagi, disertai dengan mata terpejam dan kedua tangan dikepalkan di depan pusar.

Maka kaum muda yang saat ini lebih pragmatis dan skeptis menggampangkannya dengan tidak perlu pusing memikirkan apakah ini untuk teman untuk yang lebih tua ataupun pejabat. Bahasa Indonesialah yang mereka jadikan pilihan.

Namun terpilihnya Wayan Koster sebagai gubernur Bali periode 2018-2023 membawa angin segar. Bahasa Bali harus dipergunakan kembali sejak dari awal. Saat memeriksa bayi di posyandu, perawat dan doker diwajibkan menyapa ibu muda dengan bahasa Bali.

Bayi yang ditimbang dan belum bisa berkomunikasi sudah akrab dengan bahasa ibunya sejak kecil. Dari posyandu dengan perawat yang berbahasa halus sembari berbusana adat itu, semua kekhawatiran akan sirna seketika. Walau bahasa Balinya yang menengah bukan yang super ribet.

Penggunaan busana adat Bali di sekolah digencarkan yang pada awalnya pada hari purnama sekarang ditambah lagi menjadi setiap hari kamis, dan bukan hanya untuk murid, tapi juga karyawan swasta, supir, penjaga toko dan semua yang bersinggungan dengan turis.

Waitress caf di Jimbaran, Kedonganan, Kelan dan tempat lainnya di Bali diwajibkan mengenakan pakaian adat. Pada hari purnama mereka tampak berbeda. Suasana pantai yang temaram jelang mentari tenggelam tampak semakin semarak dengan kehadiran waitres berpakaian adat ini.

"Pelayanan mereka juga sangat bagus, barangkali disesuaikan dengan busana yang dikenakan," tutur Carmel, 26 tahun pengunjung caf di Kelan Bali.

Sedangkan bagi pelakunya yakni para waitress yang wajib berbusana adat Bali pada hari purnama menjadikan mereka lebih semangat. Penjualan pada hari wajib busana adat itu juga meningkat secara signifikan.

"Uang tips juga lebih banyak bila kita mengenakan busana adat," tutur Yuni 28 tahun, waitres di Blue Ocean Caf.

Begitu juga papan nama di berbagai tempat seperti sekolah perkantoran dan bahkan bandara dan pelabuhan diwajibkan menggunakan aksara Bali. Dengan membiasakan melihat dan membaca aksara Bali setiap orang merasa memiliki dan ikut menjaganya demi lestarinya bahasa dan budaya Bali sampai seterusnya.

Peranan pemimpin Bali yang baru yang begitu peduli pada kelestarian bahasa dan budaya Bali tentu sangat besar dalam hal ini. Setidaknya kepunahan Bahasa Bali tahun 2040 itu bisa ditunda untuk sementara.




Baca juga:
Ini Dia Roti Jerman Pembawa Hoki di Tahun Baru
Ingin Akun Kompasianamu Tervalidasi, Ini Caranya!
Lewotana, Perekat Persatuan dan Toleransi Orang Lamaholot

Memperingati 50 Tahun Koes Plus, Enkulturasi Musik dan Lagu Koes Plus

$
0
0

Sumber: banjarmasin.tribunnews.comPagi ini, Sabtu 5 Januari langit sangat cerah di perumahan tempat saya tinggal. Jalan-jalan pagi sambil memandangi langit adalah gambaran alam indah dengan awan putih yang terbercak di beberapa bagian. Pagi yang indah. Sebelum menulis, saya memang berolahraga ringan terlebih dahulu agar ada keseimbangan di alam tubuhku ini. 

Saya juga merencanakan mengambil gambar tulisan cukup besar dengan tagar 2019 50 Tahun Koes Plus. Adalah istri saya yang sedikit berteriak senang mengatakan ada sepanduk besar, tepatnya di sebuah rumah yang terletak di pinggir jalan besar Perumahan Palem Semi. Saat jalan pagi itu, kebetulan pemilik rumah sedang memarkir mobilnya di jalan depan rumahnya. 

Saya kemudian menyapa, selamat pagi, berkenalan, dan meminta izin memfoto spanduk itu. Laki-laki kelahiran 1967 itu ternyata penggemar Koes Plus. Sempat punya studio musik dan sering menyanyikan lagu-lagu grup kesayangannya itu.

Dari perbincangan yang tak lama itu, ada simpulan bagaimana lagu-lagu Koes Plus dikemas secara sederhana dan sangat komunikatif. Ya, itu adalah kesan kuat dan memang menjadi ciri khas lagu-lagu grup musik kawakan asal Tuban tersebut. 

Kesan ini kemudian memuncak menjadi kontroversi pada masa kejayaan mereka. Musik Koes Plus dianggap sebagai musik tiga jurus, kacang goreng sampai-sampai ayah mereka mengatakan lagunya sederhana, mutunya pun tak ada dalam lagu Penyanyi Tua yang juga sangat populer.

Pertanyaan yang muncul dalam benak saya adalah dari manakah kesederhanaan musik Koes Plus itu? Bagaimana meramu materi menjadi sederhana namun sangat digemari sebab sederhana bisa berasal dari kerumitan, keruwetan, atau kompleksitas. Hanya saja, kemudian dikomunikasikan secara sederhana. Dengan demikian, sederhana merupakan sajian yang bermula dari upaya yang penuh pencarian seni.

Salah satu pencarian materi musik yang dikerjakan Koes Plus dalam hal ini Tonny Koeswoyo, tak bisa dilepaskan dari penyisipan kesenian lokal. Eksperimentasi dengan memasukkan warna kesenian lokal ini  pernah terjadi misalnya dalam lagu "Mari-Mari" yang dipengaruhi oleh musik tanjidor Betawi, seperti dipaparkan Koeswoyo Senior.  Ini berlaku pula dalam lagu "Kolam Susu". Irama bass drum pada lagu itu bahkan mirip dengan irama kendang pada seni Jathilan. 

Jika mencermati bagaimana Murry memukul tom-tom pada lagu "Di Ru Ri Ram" pop Natal Koes Plus 1974, menjelang akhir lagu, maka ketukannya mirip irama kendang pada seni Jathilan pada bagian peperangan pada sesi akhir. 

Warna pukulan drum ini menjadi unik dan sangat mengena. Dalam seni Jathilan, ada sesi perang-perangan antartokoh yang tentu akan sampai pada epilognya, dan Murry dengan cerdik mengambil warna ini. Agak kedaerahan namun justru menjadi enak dinikmati, menandai akan berakhirnya lagu.  

Warna Jathilan juga sangat terasa dalam lagu "Demi Cinta", album Koes Bersaudara "Kembali" 1977. Pada lagu "Demi Cinta" jelas Tonny menyisipkan birama jathilan pada bagian prolog. Hasilnya, "Demi Cinta" menjadi lagu yang ritmis dan enak didendangkan.  Lagu "Muda-Mudi" juga menyisipkan bunyi klonengan gamelan Jawa.

Irama Klonengan ini juga masih berlanjut pada epilog lagu "De Du Ron Ron", Album "Angin Senja" 1984. Mengapa Tonny menyisipkan unsur seni lokal dalam lagu-lagunya? Karena itu adalah bagian dari upaya menggali kekayaan musik daerah sehingga dapat mewarnai aransemen musik. Musik lokal yang sederhana yang sering mengandalkan tiga not diulang-ulang dirasa akan menjadi pemanis lagu-lagu Koes Plus. 

Resep ini sangat efektif dan sangat bijak. Upayanya dapat menjadi sarana pengembangan musik daerah, setidaknya memperkenalkan warna musik lokal melalui lagu-lagu Koes Plus. 

Dalam kaitan itu, saya pernah menanya-nanya dalam hati, kenapa grup sebesar Koes Plus mengaransemen musik seperti dalam lagu "Si Pantang Si Puntung" yang seperti tidak berbobot. Namun, sangkaan saya ini terbantahkan dengan suatu kenyataan bahwa seniman besar seperti Benyamin Sueb pun mengarang lagu "Ondel-Ondel" yang sangat fenomenal itu. Artinya, membawa pola sederhana warna lokal adalah bagian kreativitas kesenian yang sah dan terpuji.

Eksperimentasi musik Koes Plus dengan enkulturasinya, sangat jelas dan eksplisit dalam album Pop Jawa Volume 1. Sebagai orang Jawa Timur yang ayahnya juga sering bolak-balik ke Solo Jawa Tengah, budaya Jawa menjadi hal yang sudah menyatu dalam segi-segi kehidupan mereka.

Maka Pop Jawa Koes Plus memang sangat aksentuatif membawa kebiasaan, pola pikir, dan cara hidup orang Jawa. Coba Anda bayangkan lagu Omah Gubug, Ojo Podo Nelongso, Sayur Asem, Tul Jaenak, yang sangat Jawa itu. Larik-larik di bawah ini menunjukan betapa ekspresi kehidupan orang Jawa dapat kita lihat dengan jelas:

//Esuk-esuk adus resik njur lungo macul/awan-awan yen ra udan ojo payungan/ sore-sore lungguh ngebug do mangan tempe//

Lirik di atas sangat pekat dengan ekspresi keseharian orang Jawa yang bukan saja digambarkan oleh bahasanya, namun mencerminkan kehidupan atau ekspresi tuturan khas Jawa dengan logat dan kehidupan sehari-hari. 

Biasanya orang-orang di pedesaan senang sekali duduk di bug/bangunan tembok membujur di kanan dan kiri jembatan perdesaan. Ini khas sekali. Belum lagi lagu "Pak Tani" yang sangat visual mendeskripsikan kehidupan Pak Tani dengan semangat gotong-royong di desa. 

Lagu "Padang Bulan", juga sarat dengan kehidupan kesederhanaan orang-orang Jawa di pedesaan. Logat Jawa Timuran masih Nampak dalam lirik /Pak Kromo dodol soto nek gak payu gela-gelo/kata gak mencerminkan diksi Jawa Timuran, demikian  pula dengan kata kathik pada lirik /Londo numpak balon/kathik mangan roti//.

Lagu "Jaran Kore" menjadi pelengkap betapa Koes Plus mahir bercerita secara gamblang dan visual sekali, sekaligus mampu dengan secermat-cermatnya menyerap budaya Jawa itu. Lagu Jaran Kore secara musik dan lirik jelas-jelas merupakan gaya Jawa yang total dengan warna musik kesenian jathilan. Lirik // Suarane koyo lampor//sore-sore nggowo obor//. Mengenai lampor, merdeka.com menuliskan demikian "Orang Jawa zaman dahulu tentu tak asing dengan nama istilah lampor. 

Lampor adalah salah satu jenis setan yang dipercaya bisa membawa maut. Mengenai wujud lampor sendiri, masyarakat memiliki kepercayaan yang berbeda-beda. Beberapa menyebut lampor sebagai setan yang berbentuk seperti bola arwah, terkadang juga muncul sebagai rombongan prajurit Jawa zaman dahulu. Di daerah Jawa Timur sendiri, lampor dipercaya berwujud setan atau pocong yang bisa membunuh manusia dalam tidur (Merdeka.com via google).

Eksperimentasi musik Koes Plus dengan menggali khazanah budaya daerah merupakan suatu bentuk kreativitas dan kerja seni yang mencerminkan kesungguhan berkarya. Tonny Koeswoyo yang rajin menilik musik seni daerah itu seperti dituturkan Murry di salah satu radio swasta di Bandung menjadi semacam cara mencari warna baru sebagai kekayaan musikalitasnya. Dokpri

Kendati musik Koes Plus seringkali tidak dibahas dari segi kadar musik yang meramu unsur seni lokal, bukan sama sekali bahwa musik Koes Plus tidak menyisipkan unsur etnik musik tertentu itu. Justru sebaliknya, Koes Plus menggunakan materi musik etnik Jawa khususnya secara maksimal hingga kepada segi-segi khas kehidupannya. 

Ini membuktikan bahwa musik Koes Plus adalah kaya dengan aspek sosiologis-antropologis. Semoga ketekunan, kegigihan, kecintaan Koes Plus terhadap kehidupan masyarakat (Jawa) menjadi inspirasi bagi pengembangan musik nasional yang berorientasi kepada kekayaan musik lokal. 

Eksistensi Koes Plus yang tengah mencapai separuh abad juga telah menunjukkan bagaimana berkesenian secara total, mengadaptasi musik modern dan daerah untuk membentuk musik popular di tengah industri musik nasional. Ini adalah sumbangan nyata dan penting Koes Plus bagi musik nasional.

Terima kasih untuk Tonny, Yon, Yok, Murry yang telah memberikan kebahagiaan bersama seluruh rakyat Nusantara. Kami akan selalu mengenangmu dalam seluruh bentuk apresiasi kami. Selamat ulang tahun Koes Plus yang ke-50, abadilah karya-karyamu.  Salam Jiwa Nusantara.





Baca juga:
3 Catatan Sejarah Piala Hopman 2019 yang Menarik untuk Disimak
Meningkatnya Produksi Sampah Para Pelancong di Kota Yogyakarta
Berguru "Tulus" dari Kehidupan Masyarakat Pasar Kie

[Pro-Kontra] Koruptor Diborgol Saat Keluar Rutan, Bikin Jera atau Tidak?

$
0
0

Foto: kompas.comKomisi Pemberantasa Korupsi (KPK) mulai menerapkan pemasangan borgol bagi para tahanan yang keluar dari rutan. Pemasangan borgol ini bermaksud untuk memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai gerakandan sanksi sosial bagi para tahanan KPK.

Juru bicara KPK Febri Diansyah menuturkan tindakan ini dilakukan lantaran adanya opini mengenai perbedaan perlakuan antara pelaku pidana umum dan khusus. Selama ini, ketentuan untuk memborgol tangan terpidana telah termaktub dalam Peraturan KPK dan Jaksa Agung demi alasan keamanan, tetapi memang belum diterapkan pada pelaku pidana khusus. 

Bagaimana pendapat Kompasianer tentang pemborgolan ini? Apakah akan memberi efek rasa malu dan jera kepada para koruptor atau biasa saja? Sampaikan opini/pendapat Kompasianer pada laman Pro-Kontra: Koruptor Diborgol Saat Keluar Rutan.





Baca juga:
Yuk, Awali Hidup Lebih Sehat dengan Langkah Sederhana Ini!
3 Catatan Sejarah Piala Hopman 2019 yang Menarik untuk Disimak
Meningkatnya Produksi Sampah Para Pelancong di Kota Yogyakarta

Mengapa Jokowi Tidak Menolak Tes Baca Al Quran?

$
0
0

Jokowi-Ma'ruf. Foto: Twitter/@pramonoanung

Presiden Joko Widodo pernah meminta semua pihak agar memisahkan persoalan politik dengan agama. Alasannya karena rentan terhadap gesekan. Dipisah betul, sehingga rakyat tahu mana yang agama, mana yang politik, kata Jokowi saat meresmikan Tugu Titik Nol Peradaban Islam Nusantara di Kecamatan Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, 24 Maret 2017.

Pernyataan Jokowi menuai protes kubu lawan, terutama partai politik  basis agama, termasuk Ketua Umum Partai Bulan Bintang Yusril Ihza Mahendra. Saat itu Yusril mengatakan negara berdasarkan falsafah Pancasila adalah kompromi dapat menyatukan antara pendukung Islam dan pendukung sekularisme. Jalan tengah bersifat kompromistis ini tidak perlu diutak-atik lagi dengan ajakan pemisahan politik dengan agama oleh Presiden Jokowi.

Namun kini, setelah Yusril menjadi lawyernya, Presiden Jokowi tampaknya mulai bersikap kendur terhadap pemisahan agama dengan politik. Salah satunya tercermin dari jawaban terkait tes baca Al Quran bagi calon presiden yang digagas Dewan Ikatan DAI Aceh. Calon petahana pada Pilpres 2019 ini menyerahkan hal itu kepada KPU. 

Artinya jika KPU menerima usulan tersebut, Jokowi- yang sering menjadi imam sholat, siap mengikuti tes baca Al Quran. Bahkan pendampingnya, calon Wakil Presiden Ma'ruf Amin tampak semangat menyambut gagasan tersebut.

Sementara kubu Prabowo Subianto -- Sandiaga Uno cenderung menolak. Sandiaga mengaku lebih antusias membahas ekonomi. Sedang Prabowo, dalam beberapa kesempatan pernah mengatakan dirinya bukan Muslim yang taat dan tidak berani menjadi imam sholat. Presiden PKS Sohibul Imam juga pernah mengatakan Prabowo bukan Muslim santri melainkan abangan.

Bagaimana dengan KPU? Meski menyebut bukan syarat pencalonan, namun KPU mempersilakan jika kontestan Pilpres 2019 mau hadir.

Apakah Jokowi akan hadir dan mengikuti tes baca Al Quran yang rencananya akan digelar di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, 15 Januari 2019 mendatang yang oleh panitia disebut bertujuan untuk mengakhiri polemik keislaman Jokowi-Ma'ruf Amin dan Prabowo-Sandiaga?

Belum ada kepastian. Tetapi menarik mencermati "perubahan" sikap politik Jokowi. Jika Jokowi menerima undangan tes baca Al Quran, maka sama saja mengamini masuknya agama ke dalam politik, sesuatu yang sebelumnya ditentang. 

Terlebih menurut Pramono Anung, Jokowi-Ma'ruf akan mengenakan berbaju koko warna putih lengkap dengan peci di surat suara Pilpres 2019. Padahal di Pilpres 2014, Jokowi mengenakan baju kotak-kotak tanpa memakai peci.

Padahal menurut Guru Besar Fisip Universitas Indonesia (UI) Arbi Sanit wacana tes baca Al Quran melawan Pancasila. Sebab Pancasila memiliki arti tidak membeda-bedakan agama. Tes baca Al Quran bertolak belakang dengan esensi Pancasila, tegas Arbi Sanit.

Kita meyakini jawaban Jokowi hanya untuk mencari "aman". Sebab selama ini dirinya selalu dipojokkan dengan isu agama. Tetapi kita tetap menyayangkan ketidaktegasan Jokowi menolak tes baca Al Quran. Jika tujuannya untuk mendapat simpati pemilih Muslim "garis keras", Jokowi tengah melakukan blunder besar. Waktu tiga bulan ke depan sebelum hari pencoblosan, tidak akan mampu mengubah sikap kelompok Islam puritan yang selama ini berseberangan.

Sebab kelompok puritan tidak hanya mempersoalkan "keislaman" Jokowi, tetapi lebih pada kebijakannya yang dianggap tidak adil. Mereka menuding pemerintahan Jokowi sangat mudah menghukum ulama yang melakukan "kesalahan" seraya memberi jalan berkembangnya paham sekular dan naiknya tokoh-tokoh non-Muslim ke pentas politik nasional.

"Perubahan" sikap Jokowi juga berpotensi menggerus dukungan kelompok nasionalis. Setelah "kecewa" dengan penunjukkan Ma'ruf Amin yang menerbitkan fatwa penistaan agama saat menjadi Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia, kemungkinan mereka juga bingung dengan sikap Jokowi yang "semakin Islam".

Kondisi ini tidak perlu terjadi  jika Jokowi memiliki tim yang kuat dan memiliki keyakinan tinggi atas capaian kinerjanya selama ini.

Salam @yb




Baca juga:
Apakah Anda Jadi Pemenang Blog Competition JNE? Ayo, Cek di Sini!
Yuk, Awali Hidup Lebih Sehat dengan Langkah Sederhana Ini!
3 Catatan Sejarah Piala Hopman 2019 yang Menarik untuk Disimak

Yuk Nobar "Chimpanzee" bersama Disneysia

$
0
0

Yuk nobar dokumenter Disney (dok. Disneysia_ID)

Mengawali tahun 2019, KOMiK bekerja sama dengan Disneysia Indonesia mengajak Kalian nonton bareng. Film yang akan dijadikan bahan diskusi kali ini bertajuk "Chimpanzee".

Selama ini Disney kondang akan film-dilm animasinya. Padahal, Disney bukan hanya tentang film animasi. Disney juga memiliki sejumlah film dokumenter. Kali ini Disneysia Indonesia dan KOMiK akan mengajak Kalian menjelajah Hutan Hujan Tropis di benua Afrika untuk bertemu dengan Oskar. Siapakah Oskar?

Oskar adalah seekor simpanse kecil yang menjadikan hutannya sebagai tempat bermain. Bersama para simpanse lainnya, ia menjalani kehidupan di tengah-tengah teritorial hutan yang kompleks. Seperti apa kisahnya? Selami ceritanya lebih lanjut dalam "Nobar Disneysia: Chimpanzee". 

Kegiatan nobar sekaligus diskusi film ini akan berlangsung pada:

Hari/Tanggal:  Minggu, 13 Januari 2019

Waktu : pukul 12.30 WIB - selesai

Tempat: Teater Perpustakaan Nasional lt. 8. 

KOMiK'ers yang ingin menonton sila datang langsung, tidak perlu mendaftar dan tidak ada kewajiban untuk menuliskannya. Jadi, ajak kawan atau adik Kalian untuk menambah wawasan akan simpanse dan hutan hujan tropis. 

#DisneyBukanHanyaAnimasi #DisneyJugaDokumenter




Baca juga:
Mie Kopyok Khas Semarang yang Segar dan Gurih
Apakah Anda Jadi Pemenang Blog Competition JNE? Ayo, Cek di Sini!
Yuk, Awali Hidup Lebih Sehat dengan Langkah Sederhana Ini!

Mencari Jejak Pancasila

$
0
0


DOKUMENTASI PRIBADI

"Ibu, lebih baik turun dulu, jalan ke bawah," seorang mama-mama yang sedang lewat membawa cucian menyarankan saya untuk turun dari boncengan motor dan berjalan saja. Jalanan di depan kami sedang dalam proses diratakan dan dikeraskan. 

Dengan medan jalan yang menanjak, menurun, dan berkelok-kelok, kami harus ekstra hati-hati. "Terima kasih, Mama," saya menyapanya dan berjalan ke bawah. Engki, yang membonceng saya dari atas, mengendarai motornya perlahan di sela-sela bebatuan dan parit yang cukup dalam.

Beberapa ratus meter di bawah, beberapa oto tertahan. Oto adalah truk yang dimodifikasi dengan atap dan tempat duduk menyilang dan digunakan sebagai sarana transportasi dari kota kabupaten ke desa-desa di beragam penjuru Ende yang sulit dijangkau kecuali dengan kendaraan semacam truk atau mobil 4-wheel drive. 

Dalam oto-oto itu para penduduk desa di atas dengan sabar menunggu. Kebanyakan dari mereka pergi ke kota untuk membeli barang-barang yang mereka perlukan.

Saat kami melewati mereka, dengan ramah mereka menyapa dan mengajak berbincang singkat, saling bertanya bagaimana jalur perjalanan yang kami lewati. Seorang mama bertanya penasaran, "Ibu yang menggantikan Ibu Mawar, kah?"

Saya mengangguk. Kedatangan saya memang untuk melanjutkan sebuah misi. "Selamat datang, Ibu," para penduduk desa tersenyum lebar. Pada orang asing yang bahkan tak sempat mengenalkan diri dengan pantas.

Kehangatan mereka membuat saya mulai paham, mengapa Soekarno menganggap masa-masa pengasingannya di Ende sebagai masa yang istimewa.

Karena penduduknya istimewa.

Keistimewaan Ende bagi Soekarno

Kota Ende barangkali lebih terkenal sebagai kota lahirnya Pancasila. Itupun tak semua orang mengetahuinya. Pada tahun 1934 hingga tahun 1938, Soekarno diasingkan di kota ini, bersama dengan istrinya, Inggit, ibu mertuanya, Amsi, dan anak angkatnya, Ratna Djuami. Begitulah risiko menjadi seorang 'pembangkang' di masa itu, dikirim ke daerah yang jauh dari kemajuan ibukota pemerintahan, diputus aksesnya pada banyak hal dan dengan banyak orang.

Rumah pengasingan Soekarno di Ende

Tak mudah bagi kita yang hidup di zaman serba mudah untuk membayangkan pengasingan. Secara sederhana, barangkali analoginya adalah diminta tinggal di tempat asing tanpa sinyal seluler, tanpa WiFi, tanpa telepon. Bayangkan tinggal di tempat seperti itu selama 4 tahun.

Saya pikir Soekarno merasakan pengasingan ini sebagai sesuatu yang sangat sulit untuk dijalani. Tidak hanya daerah yang asing, jauh dari kemajuan artinya jauh pula dari pengetahuan. Orang dengan intelektualitas seperti Soekarno, saya bayangkan, pasti haus dengan pengetahuan, dengan ilmu, dengan bincang-bincang yang sarat berisi, dengan teman diskusi yang bisa menjadi teman berpikir pula.

Mungkin rasanya tak jauh beda dengan dipenjara, meski tanpa jeruji dan tanpa jam kunjung.

Di masa-masa sulit itulah, Soekarno menghabiskan waktunya dengan berkebun, menggambar, berkirim surat, dan mengenal masyarakat sekitar. Di Ende, pada waktu itu, tinggal beberapa misionaris Katolik dari Belanda. Soekarno banyak bercakap dan berdiskusi dengan mereka, juga sering membaca buku di perpustakaan keuskupan; satu dari sedikit tempat di Ende yang memiliki bahan bacaan beragam. Untung ya, ada perpustakaan, coba kalo nggak, orang pinter kayak dia bisa mati gaya.

Soekarno juga banyak berinteraksi dengan penduduk Ende yang majemuk. Sebelum Belanda datang ke Indonesia, Ende merupakan wilayah dengan beragam masyarakat adat dan menganut sistem klen (klan). Mereka mewariskan nilai adat secara turun-temurun, termasuk gotong-royong, musyawarah, dan kekeluargaan. 

Masalah-masalah yang muncul antar wilayah adat, misalnya, diselesaikan dengan pembicaraan dan tidak dengan kekerasan. Tetua adat memiliki posisi yang dihormati dalam masyarakat, dan mereka memberikan banyak pendampingan untuk warganya. 

Sebagai bagian dari masyarakat adat yang sama, masyarakat juga menunjukkan penghormatan dan rasa kekeluargaan yang erat, meskipun terdapat perbedaan-perbedaan, termasuk kepercayaan. Masyarakat Ende sebagian besar beragama Katolik, sisanya Muslim dan kepercayaan-kepercayaan lama dari nenek moyang.

Interaksi masyarakat di Ende ini diamati Soekarno dan direnungkannya secara mendalam hampir setiap hari sepanjang pengasingannya. Di tepi pantai, di bawah sebuah pohon sukun sembari melayangkan pandang ke laut, Soekarno bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk menyendiri, berpikir, berefleksi. Saya duga Soekarno ini pasti introvert kayak saya. Haha.

Senja di Ende

Momen-momen permenungannya di tepi pantai itulah yang disebut-sebut sebagai momen penting lahirnya ilham akan dasar negara Indonesia (bila merdeka, yang sedang diperjuangan Soekarno). Berpikir tentang kemerdekaan adalah satu hal, namun Soekarno juga melihat pentingnya satu prinsip dasar yang melandasi kehidupan bernegara dan sekaligus mencerminkan karakter bangsa.

Lima sila dipilihnya. Pancasila, lahir di Ende, di bawah pohon sukun. Di tempat yang kini dengan bangga menyandang namanya, Taman Pancasila.

Dulu dan Kini

Sekian puluh tahun berlalu, Ende masih punya karakter yang sama. Hangat masyarakatnya tidak pudar. Keinginan saling membantu tidak lantas hilang. Potret kerukunan ini bisa dilihat setiap hari, bahkan untuk hal-hal kecil. 

Para perantau yang bermukim di Ende banyak mengatakan bahwa keberagaman yang ada di Ende diterima masyarakat dengan baik, sehingga tidak ada sekat antara mereka yang berbeda. Ende juga memiliki Forum Kerukunan Umat Beragama yang sangat aktif, yang tak hanya melibatkan para tetua, juga para pemuda.

Mencuci di sungai :)

Sebelum menginjak kota, Engki bertanya, "Boleh mampir cuci sepeda motor, Kak?". Saya mengiyakan. Awalnya saya kira ia hendak berbelok ke sebuah tempat pencucian sepeda motor. Ternyata yang dia maksud dengan "mampir cuci sepeda motor" adalah mampir ke bantaran sungai yang dekat dengan jalan raya. 

Di pinggiran sungai itu, orang-orang yang tak mengenal satu dengan lainnya berbagai tempat, berbagi sabun, dan bercakap hangat sembari mencuci sepeda motor atau mobil masing-masing. Tak jauh dari sana, di bagian yang lebih atas, anak-anak bercanda riang bermain air, mama-mama mencuci dan bersenandung.

Mungkin pemandangan seperti ini juga yang dulu dilihat Soekarno setiap hari, yang meyakinkannya tentang nilai-nilai luhur tentang Indonesia.

Tabik,
Citra





Baca juga:
6 Tips Mencari Kerja bagi Lulusan Baru
Mie Kopyok Khas Semarang yang Segar dan Gurih
Apakah Anda Jadi Pemenang Blog Competition JNE? Ayo, Cek di Sini!

Akses Kompasiana Lebih Mudah melalui "Add to Home Screen"

$
0
0

Ilustrasi (Kompasiana/Rizki Estiva)Kini Anda bisa membuka laman Kompasiana lebih ringkas melalui smartphone. Caranya dengan menambahkan menu Kompasiana di tampilan depan layar smartphone. Cukup sekali klik Anda bisa langsung mengakses laman www.kompasiana.com dengan tampilan penuh.

Menu ini bisa ditambahkan ketika Anda telah lebih dari satu kali membuka laman Kompasiana melalui Google Chrome. Nanti browser akan menampilkan notifikasi "Tambahkan Kompasiana ke layar Utama"

Atau, apabila ingin menambahkan sendiri button shortcut ini, Anda bisa menambahkannya dengan cara:

  1. Update Google Chrome dengan versi terbaru.
  2. Akses www.kompasiana.com melalui Google Chrome.
  3. Pastikan Anda sudah dalam keadaan login dan jangan lupa centang "Ingatkan saya/Remember me"
  4. Lalu klik tombol "tiga titik" di bagian kanan atas.
  5. Dan, klik Add to Homescreen.

Setelah itu sistem akan secara otomatis memasang menu Kompasiana di tampilan depan layar smartphone.

Sistem ini bukan seperti aplikasi yang tersedia di Playstore, tapi hanya maksimalisasi penggunaan mobilesite Kompasiana agar lebih optimal. Pemasangan button homescreen ini tidak memakan banyak memori seperti aplikasi. Sehingga tidak begitu memengaruhi beban kinerja smartphone.

Fitur menu ini sudah maksimal di Chrome dalam versi Android, tapi belum maksimal di versi Safari iOS.

Kami menambahkan fitur ini, agar memudahkan Anda untuk mengakses Kompasiana tanpa perlu memasukan URL Kompasiana di browser Anda, sekaligus membuat kami merasa lebih dekat dengan Anda. Karena kami selalu berada di genggaman Anda. Eeeeaaa!

Selamat bereksplorasi, Kompasianer.

(Lbt/Kev)




Baca juga:
Obsesi Hidup Kekal Kaisar Qin dan Penemuan Pasukan Penjaganya
Dari Sukarno, Marhaen, hingga Jokowi
Saran buat Kompasianer Pemula

Strategi Toko Kelontong di Surabaya dalam Menahan Gempuran Toko Swalayan

$
0
0

dok. suarasurabaya.netDulu sebelum toko swalayan (minimart) berkembang pesat merambah sampai ke seluruh penjuru negeri ini, pedagang toko kelontong menikmati era kejayaannya. Rata-rata pedagang tersebut hidup berkecukupan karena omzet penjualan yang tinggi. Hal ini wajar mengingat barang yang dijual adalah kebutuhan sehari-hari.

Lalu kehendak zaman telah mengubah preferensi konsumen yang lebih senang berbelanja di toko swalayan. Barangnya lebih lengkap, harganya lebih murah, tokonya lebih nyaman, dan konsumen dipersilakan mengambil sendiri barang yang hendak dibelinya, itulah yang menjadi daya tarik bagi toko swalayan. 

Apalagi sekarang boleh dikatakan sangat gampang menemukan toko swalayan, khususnya bagi masyarakat perkotaan. Bahkan, di lokasi yang berdekatan bisa terdapat dua sampai tiga buah toko swalayan. Ini tidak hanya menjadi pemandangan di kota besar, namun telah sampai ke kota kecamatan. 

Satu hal lagi yang membuat konsumen percaya dengan toko swalayan, adalah karena nama yang disandangnya. Hampir semua toko swalayan merupakan jaringan dari beberapa nama terkenal secara nasional, yang promosinya dilakukan secara terpusat dengan berbagai program diskon ataupun berbagi hadiah. Meskipun demikian, ada juga beberapa toko swalayan yang bersifat lokal, eksis di kota tertentu saja.

Sejak itulah pedagang kelontong yang menempati kios di pasar tradisional atau warung di pingir jalan, kurang dilirik oleh konsumen. Hanya mereka yang kepepet atau yang berbelanja satu jenis barang saja, yang memilih toko kelontong.

Banyak pemilik toko yang pasrah, membiarkan usahanya tergilas zaman, atau banting setir mencari nafkah di bidang lain. Tapi itu tidak berlaku buat pedagang toko kelontong di Surabaya.

Seperti yang diberitakan Kompas, (7/1/2019), para pedagang toko kelontong di Surabaya bergotong royong dalam mempertahankan eksistensinya. Mereka membentuk koperasi sebagai wadah, membeli barang secara bersama-sama secara langsung ke distributor, sehingga harganya lebih murah, tidak lewat pedagang perantara lagi.

Untuk modal koperasi, para pedagang tersebut mengumpulkan uang berupa simpanan pokok saat mendaftar menjadi angota dan simpanan wajib yang dibayar setiap bulan. Dengan demikian mereka punya bargaining power saat berhadapan dengan distributor. 

Belanja dalam jumlah besar dan dibayar tunai membuat harga barang bisa turun sekitar 20 persen, dan akhirnya harga yang dijual toko kelontong ke konsumen bisa diadu dengan toko swalayan.

Koperasi pedagang kelontong tersebut diinisiasi oleh Dinas Perdagangan Kota Surabaya. Sejak dimulai tahun 2017 lalu, sampai sekarang telah terbentuk tujuh koperasi toko kelontong dari 31 kecamatan yang ada di Surabaya. 

Tujuh koperasi tersebut terdapat di Kecamatan Rungkut, Genteng, Sawahan, Sambikerep, Tambaksari, Krembangan, dan Tenggilis, dengan total anggota lebih dari 250 orang pedagang.

Pemkot Surabaya berperan dalam mempertemukan koperasi dengan pihak distributor untuk memotong rantai distribusi. Bila koperasi kekurangan modal karena pada tahap awal dana dari iuran anggota belum mencukupi, pemkot menjembatani untuk bertemu dengan lembaga pembiayaan seperti bank.

Selain itu Dinas Perdagangan setempat juga memberikan pelatihan agar pedagang kelontong mampu meningkatkan pelayanan, penataan barang yang lebih menarik dan mampu memberikan promo seperti pesaingnya.

Di lain pihak, Pemkot juga mengawasi toko swalayan agar mematuhi peraturan yakni hanya boleh beroperasi di jalan yang memiliki lebar lebih dari 8 meter, memiliki izin, dan berjarak minimal 500 meter dari pasar tradisional. 

Begitulah strategi jitu yang sebaiknya juga ditularkan ke berbagai kota lainnya. Kalau harga di toko kelontong sama murahnya dengan toko swalayan, demikian pula variasi barangnya serta mutu pelayanannya, tentu masyarakat akan kembali berpaling ke toko kelontong.

Memang, akhir-akhir ini di media sosial gencar pula imbauan untuk berbelanja di warung tetangga, yang adakalanya sedikit berbau SARA bila dikaitkan dengan anti etnis tertentu yang diduga memiliki mayoritas toko swalayan.

Namun tanpa mengurangi arti imbauan tersebut, esensi sesungguhnya adalah bagaimana toko kelontong memperbaiki diri, sehingga tanpa diimbaupun akan menjadi pilihan masyarakat banyak.

Akhirnya, strategi jitu tersebut bukan mengacu ke berbagai teori baru, tapi dengan praktik gotong royong melalui gerakan koperasi yang telah disepakati sebagai "roh" dari perekonimian kita seperti yang ditafsirkan dari beberapa pasal terkait pada UUD 1945. Karenanya, strategi ini boleh dibilang "kembali ke khittah".

Koperasi yang berhasil adalah koperasi yang betul-betul mampu menangkap aspirasi anggotanya, dari anggota untuk anggota.  Bukan dari anggota untuk pengurus, dan bukan pula demi memenuhi target pemerintah semata.




Baca juga:
[Pro-Kontra] Koruptor Diborgol Saat Keluar Rutan, Bikin Jera atau Tidak?
Obsesi Hidup Kekal Kaisar Qin dan Penemuan Pasukan Penjaganya
Dari Sukarno, Marhaen, hingga Jokowi

Membaca lewat Digital Itu Melelahkan, Baca Buku Saja!

$
0
0

Ilustrasi: ruangmahasiswa.comSebagai blogger menyarankan untuk membaca buku fisik tentu seperti kontradiksi. Tulisan- tulisan blogger tentu mudah dicari di buku fisik karena para blogger menyasar masyarakat milenial pecinta bacaan blog, media digital atau yang dikenal sosial media. Tapi sebenarnya membaca buku yang nyaman dan serius tentu bukan lewat digital. 

Para perekayasa bacaan digital tentu sedang berpikir keras agar masyarakat mulai terbiasa membaca lewat media digital, selain lebih murah juga tidak perlu membuang- buang waktu, tenaga dengan membelinya ke toko buku atau memesan lewat daring. Buku bisa dibaca lewat layar gawai, laptop, maupun PC. 

Tidak perlu banyak tempat untuk mengoleksi buku, cukup sediakan memori yang cukup, serta kuota internet untuk memuaskan hasrat membaca. Tetapi, bagaimanapun membaca buku digital membuat mata cepat lelah. Terlalu lama memelototi layar seperti tersedot cahaya yang tidak terasa merusak jaringan syaraf dan otak.

Maka alangkah baiknya tetap tersedia waktu dan ruang untuk membaca buku. Persentuhan indra perasa dan buku itu seperti persentuhan antara dua sejoli yang sedang jatuh cinta, tampak lembut dan menyertakan rasa dan emosi. Ada getaran-getaran sensasional, ada pelibatan rasa jiwa dan imajinasi yang tidak mudah terlupakan.

Jadi anda para blogger ada kalanya untuk sejenap lenyap dalam keseruan dunia digital, sejenak untuk membaca buku yang membuka wawasan pikiran, memperdalam rasa, pengetahuan dan intuisi imajinasi.Membaca buku tetaplah lebih nyaman daripada membaca lewat gawai(koleksi pribadi)

Dengan Buku, Aku Bebas

Buku membebaskan pikiran untuk menjelajah sejarah, mengikuti alur pikiran penulis yang susah tertebak, mengulang-ulang bacaan dengan memberi tanda dengan stabilo atau dengan kertas penanda jika suatu saat akan mengulang cerita seru yang terdapat pada satu atau dua halaman yang tidak mungkin dihapalkan satu persatu. 

Membaca berarti mengikuti alur penulis sambil menebak arah cerita. Membaca buku tentu tidak akan diganggu dengan munculnya iklan secara tiba- tiba, notifikasi yang menampilkan berita seru atau pemberitaan yang bikin gemas karena ketika asyik menyerap cerita tiba-tiba muncul iklan menutup layar baca. Sambil tiduran, sambil ngemil, atau sambil menyepi di saung tepi danau dan tidak terganggu bila tiba-tiba baterai lowbat.

Banyak yang mengaku membaca buku digital membuat mata cepat lelah, membaca buku digital membuat emosi kadang meninggi karena munculnya gangguan tiba-tiba oleh iklan-iklan yang tanpa permisi tiba-tiba muncul. 

Ya sudahlah selain canggih ternyata belum cukup bagi manusia modern untuk secara total melakukan aktifitas dalam era canggih digital. Tetap ada sisi positif dan negatifnya.

Salah satu riset menunjukkan bahwa membaca buku digital menyumbang kelelahan visual (sumber bacaan artikel Kompas Minggu, 6 Januari 2019) yang berjudul Dengan Buku, Aku Bebas! halaman 13 rubrik gaya hidup dikatakan bahwa tanda- tanda mata yang lelah adalah ketika mata seperti terbakar, gatal dan lelah (berat terasa di kornea mata). 

Salah satu riset yang dilakukan di Norwegia cerita yang yang dibaca di media di atas kertas menunjukkan jejak ingatan lebih baik daripada cerita sama yang dibaca di media digital. Salah satu faktornya adalah respon emosi yang kuat ketika membaca buku fisik (The Guardian, 19/ 8/ 2014).

Membaca Buku Lebih Sehat?

Dengan buku fisik, penerbit masih bisa bernafas untuk tetap optimis menggerakkan bisnis media offline. Memang bagaimana sih akibatnya jika manusia terlalu suntuk membaca bacaan digital? Kinerja mata bagaimana pun ada batasnya. 

Mata yang terus menerus tegang apalagi dengan layar digital yang sebetulnya terus bergerak membuat mata bekerja keras dalam menundukkan layar. Layar digital adalah sekumpulan pixel aktif yang terus bergerak. Ketika cahaya berbentuk gambar itu seakan-akan diam orang tidak tahu bahwa diam itu muncul karena padatnya pixel. 

Jika memelototi layar gawai terus menerus akan membuat sel-sel otak tegang sekaligus memperngaruhi syaraf-syaraf mata, jika kemudian dibiarkan akan membuat mata menjadi silindris, semakin intens akan semakin membuat mata kabur dengan lemahnya kemampuan melihat secara normal, sehingga kemampuan untuk fokus menjadi terganggu.

Sebagai blogger, untuk menambah pengetahuan dan wawasan yang luas tetap harus membaca buku. Mengamati media sosial pun  penting dan tentu tidak tertutup kemungkinan untuk bekerjasama menjadikan hobi menulis sebagai loncatan untuk menjadi penulis buku. Bagaimanapun buku masih diperlukan untuk  memperluas pengetahuan, dan merupakan kebanggaan bisa mengoleksi buku buku berkualitas dan tampak berderet di kantor atau ruang baca. 

Suatu ketika seorang blogger, penulis media sosial akan rindu untuk bisa menerbitkan buku apalagi bukunya masuk direktori perpustakaan nasional. Membanggakan bukan? Ya ya ya...Boleh, boleh, boleh...




Baca juga:
Kamu Blogger Grade Berapa?
[Pro-Kontra] Koruptor Diborgol Saat Keluar Rutan, Bikin Jera atau Tidak?
Obsesi Hidup Kekal Kaisar Qin dan Penemuan Pasukan Penjaganya

Belajar Sabar dari Petani Kopi

$
0
0


Ilustrasi: travel.kompas.com

Kabupaten Manggarai di Flores Barat merupakan daerah penghasil kopi terbesar di daratan Pulau Flores, khususnya dan NTT umumnya. Pada tahun 1990 saat saya masih remaja hampir separuh masyarakat Kabupaten Manggarai bercocok tanam sebagai petani kopi, kendatipun kala itu harga kopi murah dan fluktuatif.

Alam Kabupaten Manggarai yang berada kurang lebih 1500 meter di atas permukaan laut (Dpl) menjadikan kabupaten yang dikenal juga dengan sebutan negeri congkasae ini sebagai kawasan yang subur untuk tumbuhnya berbagai jenis kopi. Ada kopi robusta. Ada kopi arabika, kopi unggul dan beberapa jenis kopi lainnya.

Zaman berganti. Waktu terus berputar. Teknologi pertanian terus meningkat dengan menawarkan berbagai pilihan dalam bercocok tanam tetapi sebagian masyarakat Manggarai tidak bergeming.

Mereka tetap setia dan sabar pada jalurnya, yakni menjadi petani kopi. Kopi seakan menjadi belahan jiwa yang tak terpisahkan. Sehingga jangan heran hampir seluruh wilayah Kabupaten Manggarai termasuk di Kabupaten Manggarai Timur dan Manggarai Barat dipenuhi dengan tanaman kopi. Di mana-mana terlihat perkebunan kopi. Tanaman kopi tidak hanya dijumpai di kebun-kebun yang jauh tetapi juga berfungsi sebagai tanaman penghias di pekarangan rumah.

Sebagian besar hasilnya mendukung kebutuhan ekonomi rumah tangga, sosial budaya tetapi juga menopang kebutuhan pendidikan anak-anak. Banyak orang-orang Manggarai yang sukses lahir dari orangtuanya sebagai petani kopi. Bapak Rofinus, Petani Kopi di Wae Rebo, Flores NTT. (Sumber Foto: http://www.ranselkosong.com)

Tidak saja itu, jika Anda berkesempatan bertandang ke keluarga orang Manggarai atau jika berkunjung ke Manggarai, Anda pasti disuguhkan minuman kopi hangat. Sebagai besar orang Manggarai tidak saja sebagai penyuka kopi, tetapi lebih tepatnya adalah peminum kopi.  

Menjadi petani kopi sebenarnya tidaklah mudah. Petani kopi adalah orang-orang yang ulet dan tentu memiliki kesabaran tingkat tinggi, atau boleh saya katakan "kesabaran tingkat dewa."

Kenapa demikian? Proses menghasilkan secangkir kopi yang dihidangkan di atas meja tidaklah semudah membalikan telapak tangan. Ada keringatan kesabaran di baliknya. Sebagaimana menanam tanam lainnya, kopi juga melewati tahapan-tahapan yang panjang dan membutuhkan waktu, tenaga, materi dan kesabaran.

Teringat saat masih remaja, pada musim hujan di bulan November 1980, saya sering diajak sang ayah ke kebun untuk menanam kopi.  Bulan November memang bulan di mana mulainya musim hujan di wilayah NTT, sebagai daerah yang memiliki dua musim yakni musim hujan dan musim kemarau. Biasanya musim hujan berakhir pada bulan April atau paling lama di Bulan Mei dalam tahun berjalan. Pada musim penghujan seperti ini banyak petani menanam berbagai jenis tanaman termasuk kopi.

Demikan pun ayah, ia giat menanamkan bibit kopi di areal perkebunan yang kami miliki. Begitulah aktivitasnya setiap kali musim penghujan datang hingga akhirnya beberapa areal perkebunanan kami penuh dengan tanaman kopi.

Prosesnya tentunya tidak sampai dis itu, selanjutnya perlu perawatan dan pembersihan rutin sehingga kopi tersebut bertumbuh subur, bila tidak maka berbagai jenis hama akan mengancam. Merawat kopi memang ibarat merawat bayi. Kopi jenis arabika biasanya berbunga dan berbuah pada usia tiga tahun. Sebuah waktu yang tak singkat.

Pekerjaan belum selesai. Kopi membutuhkan waktu setahun untuk menjadi matang dan siap panen sejak berbunga. Saat panen tiba, biasanya kita beramai-ramai ke kebun. Untuk areal perkebunan yang rata-rata tentunya tidak sesulit diareal pengunungan dan perbukitan.

Sejumlah daerah di Manggarai, perkebunan kopi biasanya didaerah perbukitan, lereng berbatu bahkan daerah pengunungan sehingga diperlukan kewaspadaan. Kesalahan sedikit bisa-bisa nyawa melayang. 

Belum lagi semut hitam suka bersarang di biji kopi yang matang, jika kena dimata pedisnya minta ampun.

Setelah panen (kala itu belum ada teknologi secanggih sekrang), maka proses selanjutnya tumbuk dan jemur hingga kering, lalu tumbuk lagi baru lagi menghasil biji-biji kopi yang siap diperdagangkan.

Saat dijual harganya tak sepadan dengan perjuangan dalam proses pengerjaannya. Kala itu kopi bahkan hingga sekarang tidak mahal-mahal amat, bahhkan cendrung menurun dan fluktuatif.

Walaupun demikian satu hal perlu dijempoli para petani kopi tak pernah mengeluh. Kala itu ayah pun demikian. Musim berikut ia kembali ke rutinitasnya. Menanam, membersihkan, merawat dan menjualnya. Berapapun hasilnya ia tetap bersyukur.

Bagaimana dengan kita saat ini? Masihkah kita sabar dengan setiap pekerjaan yang kita hadapi? Masihkah kita sabar menghadapi semua ujian yang kita hadapi dalam kehidupan ini, ataukah kita lari dari cobaan itu?

Mungkin kita perlu belajar pada petani kopi. Nikmatnya secangkir kopi yang dihidangkan dimeja kerja kita berawal dari poses panjang yang membutuhkan kesabaran.

Dan kesabaran itu sangat dibutuhkan dalam mengarungi dinamika kehidupan yang penuh problematika ini. Hanya orang berjiwa besar yang mampu menerapkan sikap sabar dalam kehidupannya. Hidup ini tak pernah lepas dari namanya cobaan atau apapun bentuknya. Karena pada hakikatnya kehidupan dunia ini hanyalah tempat ujian, termasuk didalamnya ujian kesabaran.

Ketika cobaan yang tidak menyenangkan itu datang, maka salah satu kunci utama untuk menghadapinya adalah dengan kesabaran. Seberat apapun cobaan yang kita hadapi akan terasa ringan jika kita selalu mengingat bahwa Tuhan tidak pernah memberikan ujian di luar batas kemampuan kita.

*****




Baca juga:
Harris Hartanto: Jangan Bicara Kopi Kalau Belum Kenal dengan Tanaman Kopi
Kamu Blogger Grade Berapa?
[Pro-Kontra] Koruptor Diborgol Saat Keluar Rutan, Bikin Jera atau Tidak?

Benar Salah Seputar Air

$
0
0

Ilustrasi: Tribunnews.com

Berapa gelaskah konsumsi air ideal dalam sehari? Ini pertanyaan sederhana tapi jawabannya bisa sangat ribet karena mesti mempertimbangkan banyak hal. Yang musti dijaga adalah jangan sampai dehidrasi alias kekurangan air. Tandanya bibir pecah, bila malam mimpi buruk. Maka dikalangan orang yang peduli akan kesehatan mereka kemana-mana berbekal air botolan.

Sebaliknya konsumsi air berlebih juga tidak disarankan, maka ada istilah mabok air. Karena kelebihan air justru akan menggerus semua nutrisi yang belum sempat diserap dalam tubuh karena keburu dikeluarkan lewat urine.

Berlebih atau kekurangan sejatinya secara kasat mata bisa dilacak dari warna urine kita secara sepintas. Yang kekurangan air, akan kuning pekat urinenya, sedangkan yang berlebih justru bening. Yang mendekati adalah tidak terlampau bening dan tidak terlampau kuning.

Dokter dan ahli nutrisi menyarankan konsumsi air dalam sehari minimal 2 liter. Yang bila dipilah lebih detil itu setara dengan 6 gelas. Konsumsi air 6 gelas itu menyebar untuk kebutuhan dalam sehari, tidak boleh sekali minum 6 gelas begitu bangun tidur. Bisa mengganggu kesehatan di antaranya pembengkakan jantung, atau mabok air dan nutrisi tergerus.Setetes air sangat berarti bagi tubuh kita.(Dokumen Pribadi)Juga  ada pertanyaan apakah sebelum tidur perlu  minum segelas air, dan apakah tidak mengganggu kenyamanan  tidur, karena tengah malam akan terbangun. Terbangun tengah malam karena kepingin ke toilet adalah bagian dari  uji kesehatan ginjal.

Jadi mengkonsumsi segelas air sebelum tidur memang sangat disarankan, apalagi yang tidurnya menggunakan AC atau kipas angin sepanjang malam. Angin yang berhembus sebenarnya membuat tubuh melakukan penyeimbangan dengan menguapkan air secara alami. Bila tidak minum yang terjadi malah dehidrasi. Bila tengah malam terbangun bisa dijadikan pertanda awal seputar kesehatan ginjal kita.

Karena setelah terbangun dan kita bisa kembali tertidur sampai pagi itu tandanya ginjal kita sehat. Sebaliknya bila terjaga, tidak bisa tidur sampai pagi, tandanya ada gangguan pada ginjal, segeralah periksa ke dokter ahlinya.

Pengecualian untuk yang terbangun tengah malam untuk stalking dan chating.

Segelas air sebelum minum barulah tahap awal dalam konsumsi air minum harian. Lima gelas lainnya harus diminum dengan perhitungan yang matang.

Setelah terbangun di pagi hari disarankan untuk minum segelas air. Tujuannya untuk menetralisir asam lambung yang semalaman ikut istirahat usai memproses semua makanan yang ada didalamnya. Sebelum mandi juga disarankan untuk minum segelas air. Pertimbangannya, selama proses mandi itu, untuk menjaga suhu tetap stabil tubuh akan melakukan penguapan agar kita tidak menggigil. Ini baru tiga gelas, bagaimana dengan konsumsi dua gelas lagi? Konsumsi air selebihnya bisa dilakukan sebelum dan sesudah makan.

Selama ini yang salah kaprah adalah, mendorong makanan begitu usai makan. Yang terjadi justru perut jadi kembung karena lambung kepenuhan. Juga enzim yang melumatkan makanan untuk menjadi nutrisi ikut terganggu. Yang ideal adalah minum segelas air 30 menit sebelum makan. Kemudian segelas lagi sekitar 2 jam setelah makan.

Dengan melakukan sedikit perubahan pola minum maka konsumsi seliter air atau 6 gelas air dalam sehari bisa mendekati ideal. Tidak terjadi dehidrasi dan tidak akan mengalami nutrisi terbuang percuma.

Selain jumlah air yang diminum, air yang akan kita konsumsi juga harus memenuhi standar kesehatan. Air yang memenuhi syarat untuk diminum mesti bening, tidak berbau dan tidak terasa pahit, langu, asin ataupun amis.

Air yang pahit tandanya ada kandungan racun berbahaya, yang terasa amis berarti membilasnya kurang sempurna. Disarankan juga meminum air yang telah dimasak. Memasaknyapun ada perhitungan yang agak rumit. Selama ini, air direbus sampai mendidih setelah itu didinginkan. Yang benar adalah mendidihnya lebih dari 15 menit, karena bila kurang dari itu masih ada bakteri yang mampu bertahan untuk kemudian mengganggu kesehatan kita. Juga tidak cukup hanya didinginkan, tapi menunggu sampai kandungan kapurnya mengendap baru air rebusan siap diminum. Juga hindarkan minum air dingin yang disimpan dalam kulkas. Karena bisa menyebabkan perut buncit. Proses buncitnya terjadi karena saat air dingin turun sampai ke lambung maka perut akan menetralisir dinginnya dengan menumpuk lemak.




Baca juga:
Untuk Sukses Berkarier, Milenial Perlu Mengerti Hal Ini
Harris Hartanto: Jangan Bicara Kopi Kalau Belum Kenal dengan Tanaman Kopi
Kamu Blogger Grade Berapa?

Menyoal Putusan Promosi dan Degradasi PBSI di Pelatnas

$
0
0

Akhir pekan kemarin, PP Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI) resmi mengeluarkan pengumuman yang ditunggu-tunggu oleh pebulutangkis dan juga pecinta olaraga tepok bulu di tanah air. PBSI mengumumkan promosi dan degradasi bagi pebulutangkis di Pelatnas.

Kabid Binpres PP PBSI, Susy Susanty, tidak sembarangan dalam menetapkan promosi/degradasi pemain di pelatnas/Foto: badmintonindonesia.org

Degradasi diberlakukan bagi pemain Pelatnas yang selama tahun 2018 dinilai kurang berprestasi maksimal sesuai target yang ditargetkan PBSI maupun dinilai tidak memenuhi syarat lainnya. Sementara promosi masuk ke Pelatnas diberikan kepada pemain non Pelatnas yang berprestasi di tahun 2018.

Nah, mengacu Surat Keputusan nomor SKEP/001/0.3/I/2019, PBSI menetapkan 98 pebulutangkis putra/putri yang dipanggil untuk mengisi Pelatnas utama dan pratama. Nama-nama pemain tersebut berdasarkan hasil pantauan serta penilaian pelatih dan tim Pembinaan dan Prestasi PP PBSI dalam satu tahun terakhir. Seluruh atlet yang dipanggil akan memulai latihan di Pelatnas pada hari Senin (7/1/2019).

Tentu saja, keputusan PBSI tersebut tidak bisa menyenangkan semua pihak. Dari respons warganet, utamanya para pecinta bulutangkis di kolom-kolom komentar di akun-akun media sosial yang perhatian pada bulutangkis Indonesia, suara warganet nampak terbelah dalam menyikapi kabar tersebut.

Beberapa mendukung keputusan PBSI, tetapi tidak sedikit yang mempertanyakan. Utamanya terkait pemain-pemain yang didegradasi dari Pelatnas. Terlebih, ada beberapa nama top yang akhirnya tergusur. Di antaranya Angga Pratama, Rian Agung Saputro di ganda putra, Ricky Karanda Suwardi (ganda putra/ganda campuran) dan juga Rosyita Eka Putri di ganda putri.  

Warganet juga menilai ada beberapa pemain yang sejatinya berprestasi di tahun 2018 tetapi akhirnya terdegradasi. Ambil contoh nama Wahyu Nayaka di ganda putra. Dia cukup berprestasi bersama Ade Yusuf Santoso. Namun, Wahyu terdepak dari Pelatnas. Malah ada warganet yang berkomentar nyinyir bila Wahyu out karena dia berasal dari klub yang kurang besar.

Bagaimana respons PBSI?

Dikutip dari situs badminton indonesia, Kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi PP PBSI, Susy Susanti menyebut ada beberapa pertimbangan dalam menentukan nama-nama pemain ke pelatnas. "Di antaranya dilihat dari segi prestasi, potensi, usia dan target baik di jangka pendek maupun jangka panjang," ujar Susy. 

Dari 98 nama yang dipanggil tersebut, PBSI membagi jadi dua level yaitu level utama dan pratama seperti tahun sebelumnya. Nah, yang beda di tahun 2019 ini, PBSI menetapkan empat klasifikasi Surat Keputusan (SK) bagi tiap atlet. Empat klasifikasi SK tersebut yakni SK Prioritas, SK Utama, SK Pratama dan SK Magang.

Apa maksudnya?

Atlet dengan SK Prioritas adalah mereka yang diproyeksikan untuk Olimpiade Tokyo 2020 mendatang. Mulai pertengahan tahun 2019 nanti, fase kualifikasi menuju Olimpiade 2020 akan dimulai. PBSI telah memetakan beberapa pebulutangkis dari lima nomor yang diproyeksikan akan tampil di Olimpiade 2020.

Untuk tunggal putra, atlet dengan SK Prioritas adalah Anthony Sinisuka Ginting dan Jonatan Christie. Di tunggal putri ada tiga nama, Gregoria Mariska Tunjung, Fitriani dan Ruselli Hartawan. Di ganda putra ada nama Marcus Gideon, Kevin Sanjaya, Fajar Alfian dan Muhammad Rian Ardianto.

Sementara di ganda putri ada nama Greysia Polii, Apriyani Rahayu, Della Destiara Haris, Rizki Amelia Pradipta dan Ni Ketut Mahadewi Istarani. Adapun di nomor ganda campuran ada nama Praveen Jordan, Melati Daeva Oktavianti, Hafiz Faizal dan Gloria Emanuelle Widjaja.

Adapun perbedaan mendasar dari keempat SK tersebut adalah jumlah turnamen BWF World Tour 2019 yang akan diikuti atletnya dalam setahun. Bila saja pemain ingin menambah jumlah turnamen yang diikuti (di luar ketentuan PBSI), mereka dapat berangkat menggunakan biaya sendiri. Selebihnya, soal fasilitas latihan, makan, asrama, semua ditanggung oleh PBSI.

Yang cukup mengejutkan, dalam daftar 98 nama tersebut tidak ada nama pasangan ganda putra senior, Hendra Setiawan/Mohammad Ahsan. Pasangan juara dunia 2013 dan 2015 ini memutuskan keluar dari pelatnas untuk berkarier di jalur profesional.

Meski begitu, Hendra/Ahsan diizinkan untuk tetap berlatih bersama tim ganda putra pelatnas. Namun sebagai pemain profesional, Hendra/Ahsan akan menanggung sendiri (sponsor) biaya turnamen yang akan mereka ikuti.

Di akun Instagramnya, Ahsan menyampaikan postingan ucapan selamat tinggal yang diunggahnya, Jumat (4/1/2019). Sebelumnya, Ahsan dan Hendra sudah memposting foto mereka dengan sponsor baru mereka plus raket yang akan mereka gunakan selama mengikuti turnamen di 2019.

Di sektor ganda putra, selain Marcus/Kevin dan Fajar/Rian, pasangan yang masuk pelatnas utama adalah Hardianto dan Berry Angriawan, Akbar Bintang Cahyono dan Moh Reza Pahlevi Isfahani, Sabar Karyaman Gutama dan Frengky Wijaya serta Ade Yusuf Santoso.

Hal menarik lainnya, dalam daftar 98 nama tersebut, dua pemain ganda campuran senior, Liliyana Natsir dan Debby Susanto yang memutuskan gantung raket, masih menjadi penghuni pelatnas SK Utama hingga Januari 2019. Liliyana dan Debby masih akan tampil di Indonesia Masters 2019. Liliyana akan tampil bersama Tontowi sebagai laga perpisahan. Sementara Debby bermain dengan Ronald Alexander.

Sementara pemain ganda putri, Nitya Krishinda Maheswari juga tak tercantum di daftar tim ganda putri karena masih berkutat dengan cedera. Namun, pasangan Greysia Polii saat meraih medali emas Asian Games 2014 ini rencananya akan membantu tim kepelatihan di pelatnas.

Lalu, bagaimana prospek 98 nama pemain di Pelatnas tersebut?

Terlepas dari suara-suara yang muncul dari luar "padepokan" pelatnas, saya masih percaya bahwa PBSI tidak sembarangan dalam memutuskan pemain-pemain yang mendapat promosi maupun didegradasi. PBSI pastinya punya pertimbangan yang tidak hanya teknis, tetapi juga non teknis semisal usia dan perilaku pemain.

PBSI juga terlihat mulai melakukan regenerasi di beberapa sektor. Ambil contoh di tunggal putra dengan masuknya Chico Aura Dwi Wardoyo (20 tahun) dan Ikhsan Leonardo Rumbay yang baru berusia 18 tahun ke Pelatnas Utama. Begitu juga Bening Sri Rahayu, Aurum Octavina dan Choirunnisa yang sama-sama berusia 19 tahun dan kini ada di Pelatnas Utama setelah Dinar Dyah Ayustine didegradasi.

Namun, yang paling mencolok ada di sektor ganda putri. Nama-nama segar seperti pasangan juara Asia junior 2018, Febriana Dwi Puji Kusuma/Ribka Sugiarto, juga pasangan peraih perunggu kejuaraan dunia junior 2018, Agatha Imanuela/Siti Fadia Silva serta Virni Putri dan Vania Arianti Sukoco, kini masuk dalam Pelatnas Utama.

Begitu di sektor ganda campuran dengan masuknya pasangan juara dunia junior 2017, Rinov Rivaldy/Pitha Mentari dan Winny Octavina (20 tahun) yang kini masuk pelatnas Utama.

Dengan masuk ke Pelatnas Utama, anak-anak muda tersebut tentunya akan lebih sering tampil di turnamen BWF World Tour, bukan lagi turnamen International Challenges/Series. Di BWF World Tour, lawan-lawan yang dihadapi tentu saja akan lebih "punya nama". Dan tentunya itu akan bagus untuk mematangkan kualitas anak-anak muda ini demi masa depan bulutangkis Indonesia.

Yang tidak kalah menarik tentu saja mengikuti kiprah para pemegang SK Prioritas.  Ya, tahun 2019 akan menjadi tantangan hebat bagi mereka untuk bisa merealisasi target mendapatkan "tiket tampil" ke Olimpiade. Syaratnya, mereka harus berada di rangking 16 besar BWF. PBSI menargetkan bisa meloloskan 10 wakil (dari lima sektor) ke Olimpiade 2020 yang akan berlangsung di Jepang

Sebelumnya, pelatih ganda putra, Herry Imam Pierngadi dalam wawancara dengan media, sempat menyebut idealnya atlet yang bersaing menuju Olimpiade, tidak terlalu difokuskan ke atlet/pasangan A atau B. Namun, membuka kesempatan bersaing secara sehat demi bisa lebih optimal. Menurut pelatih penghasil para juara ini, bila sudah ditentukan, dikhawatirkan pemain akan merasa 'aman' seperti dikutip dari Bola Sport.

Dan, bagi atlet-atlet yang tidak menjadi bagian dari Pelatnas, bukan berarti karier bulutangkis mereka berhenti, Mereka masih bisa tampil, tentunya melalui jalur non Pelatnas seperti halnya yang dijalani oleh Tommy Sugiarto ataupun Sony Dwi Kuncoro di tunggal putra.

Beberapa pecinta bulutangkis di media sosial juga menyemangati atlet-atlet yang tergusur dari Pelatnas. Salah satu yang paling banyak mendapat dukungan adalah Rosyita Eka Putri. Pemain ganda putri yang baru berusia 22 tahun sejatinya memang punya prospek.

Inem--panggilan Rosyita, pernah meraih medali perak ganda putri dan ganda campuran di Kejuaraan Dunia Junior 2014. Dia juga mengoleksi tiga gelar BWF Grand Prix/International Challenge pada 2015 dan 2016 lalu. Sayangnya, Rosyita mengalami cedera cukup parah ketika tampil di SEA Games 2017 lalu.

Setelah kembali dari cedera, pemain kelahiran Sleman ini belum bisa kembali ke dalam performa terbaiknya. Rosyita dianggap belum mampu ove on dari trauma cedera yang dialaminya.

Pada akhirnya, penetapan promosi/degradasi tersebut memang bisa dilihat dari banyak sisi. Namun, sisi yang terpenting adalah bagaimana agar bulutangkis Indonesia semakin berprestasi di tahun 2019 ini. Selain bukan hanya satu dua pemain saja yang menonjol, tetapi pemain-pemain muda juga mampu unjuk diri. Salam bulutangkis.




Baca juga:
Euforia Sertifikat dan Alasan Jokowi Bagikan Sertifikat Tanah
Perlunya "Diet Politik" di Tahun Politik
[Pro-Kontra] Koruptor Diborgol Saat Keluar Rutan, Bikin Jera atau Tidak?

Adaptasi Orang Bertipe Konvensional di Era Kekinian

$
0
0

Ilustrasi. Dok: gsma.com

Beberapa orang berpandangan bahwa orang yang bertipe konvensional akan susah hidup di jaman yang serba modern ini. Jika terjun dalam dunia bisnis (marketplace) maka bisa dipastikan usahanya akan mandek karena  pikirannya yang cenderung konservatif, kaku, dan ketinggalan jaman, di mana era globalisasi menuntut semuanya harus kekinian.

Dalam dunia kerja, orang bertipe konvensional adalah tipe manusia yang terstruktur. Apa yang sudah dikerjakan punya planning a, b, dan c. Tak bisa melangkahi planning b jika planning a belum berhasil walaupun kondisi saat itu memungkinkan.

Hasil pekerjaannya juga tergolong rapi dan penuh ketelitian. Karena hal inilah maka orang konvensional dipandang sebagai orang kaku dan tidak fleksibel terhadap kondisi yang ada.

Seorang teman mengaku bahwa dia juga adalah golongan konvensional yang pada dasarnya memandang segala sesuatunya dengan santai tapi masih memegang prinsip. Seperti halnya saat bertemu dengan rekan yang akan diajak kerja sama, dia pada dasarnya menginginkan nuansa yang santai ala Bob Sadino.

Namun pada akhirnya dia menyadari bahwa kesan pertama menentukan bentuk kerja sama kedepannya. Alhasil perlu menerawang dulu sosok yang akan dihadapi. Tapi rata-rata sih, pada akhirnya tetap berpakaian agak semiformal dengan persepsi bahwa ini bentuk penghargaan (profesionalitas) kepada calon rekanan.

Tidak semuanya pemahaman bahwa orang konvensional itu kolot. Walaupun pikirannya cenderung konservatif, tapi memegang masih teguh prinsipnya utamanya dalam menjalani bisnis.

Misalnya saja ibu saya yang juga bertipe konvensional. Dalam menjalani bisnis kecil-kecilannya, beliau cenderung tak menargetkan keuntungan sebesar-besarnya. Kadang saya malah memberikan masukan bahwa harga yang ditetapkan cukup kecil dibanding pesaing-pesaing yang ada.

Namun dalam kamus hidupnya, ibuku berprinsip asalkan ada untung sedikit dan yang terpenting adalah tetap terjalin hubungan interaksi yang baik dengan pembelinya. Era digitalisasi memuntut untuk bertindak global tapi tak mengurangi prinsip kesantunan dalam berwirausaha.

Ketika berhadapan dengan rekanan, tentunya mereka menemukan beberapa pola hidupnya yang tidak sreg dengan keadaan sang kliennya. Entah itu pilihan tempat pertemuannya, pilihan makanan, minuman, dan kebiasaan lainnya yang mungkin saja tak pernah ditemui.

Tapi agar hubungan terjalin dengan baik maka bentuk penyesuaian adalah tetap menemani dengan menolak secara halus tawaran-tawaran kebiasannya. Bukan berarti  hal yang bertolak belakang tersebut lantas mundur, wah itu bisa-bisa rekanan akan tak nyaman dan memutuskan menyudahinya bentuk kerja sama.

Beberapa pandangan idealis yang mereka pegang mungkin akan berseberangan dengan pandangan modern. Bukan menutup diri tapi bagaimana menyesuaikan diri dengan keadaan yang ada. Jika tetap berpegang teguh pada prinsip idealis maka usaha yang dilakukan akan berjalan stagnan.

Siasat yang mereka tempuh adalah berpegang teguh pada  prinsip-prinsip idealis yang mereka yakini. Terhadap hal-hal yang kekinian tersebut, mereka melakukan beberapa penyesuaian selagi hal tersebut masih bisa ditoleransi.  

Kehidupan modern saat ini memang ngeri-ngeri sedap, tapi bagi  yang bertipe konvensional, mereka menjalaninya namun tetap berhati-hati. Mereka beranggapan bahwa hal ini sebagai bagian dari pengalaman dan ujian yang menempa sejauh mana kesabaran dan integritas mereka.




Baca juga:
Kita Idap Intoleransi Sosial atau Sudah Alergi Sosial?
Euforia Sertifikat dan Alasan Jokowi Bagikan Sertifikat Tanah
Perlunya "Diet Politik" di Tahun Politik

Belajar Deteksi Tanah Longsor dari Profesor Aceh

$
0
0
(M. Agung Rajasa /Antara Foto)
Namanya Teuku Faisal Fathani. Dari namanya, jelas dia berasal dari negeri Serambi Mekah, Aceh. Kini di depan namanya, sudah tercantum predikat paling tinggi sebagai akademisi di Indonesia, yaitu profesor.

Bukan sembarang profesor, karena Faisal - begitu biasa kami menyapa - adalah ahli di bidang deteksi dini bencana alam wabil khusus tanah longsor. Indonesia memang salah satu negara dengan tingkat bencana alam tanah longsor yang tinggi. Setiap tahun selalu ada kejadian tanah longsor di berbagai daerah. Yang paling baru, terjadi di sebuah desa adat di Sukabumi akhir Desember 2018 kemarin, yang menewaskan lebih dari 20 warga. 
Penulis bersama Prof. Teuku Faisal Fathani
Faisal menempuh pendidikan teknik di UGM yang berlanjut lebih spesifik ke bidang geotechnical. Pria yang kemudian menjadi dosen teladan nasional 2013 ini, meraih gelar doktor dari sebuah universitas di Jepang. Lulusan SMA Taruna Nusantara angkatan pertama ini, rajin melakukan riset terkait mitigasi bencana khususnya deteksi dini tanah longsor. 

Bersama para koleganya di Universitas Gajah Mada selama bertahun-tahun, Faisal melakukan riset terhadap tanah longsor. Sejumlah lokasi yang rawan dan pernah mengalami tanah longsor didatangi dan ditelitinya. Hasilnya, pada 2015, dosen berprestasi nasional itu sukses membuat serta menyempurnakan alat deteksi dini berteknologi mutakhir, yang dirintisnya sejak pertengahan tahun 2000-an.

Sebuah alat yang kemudian mendapatkan penghargaan khusus dari pemerintah dan diakui oleh dunia internasional. Berkali-kali, putra Aceh itu diundang berbagai lembaga dunia mengupas tuntas deteksi dini bencana alam. Dia mengharumkan nama bangsa dan negara melalui alat deteksi dini tanah longsor.

Pada 2015 itulah, nama Faisal Fathani tercatat dalam paten internasional untuk lima macam temuan yang kesemuanya adalah di bidang deteksi dini tanah longsor. Tak berlebihan jika dikatakan bahwa Faisal telah membuka mata bangsanya sendiri bahwa Indonesia butuh lebih banyak ilmuwan yang piawai di bidang kebencanaan. 

Apalagi, alat deteksi dini ciptaannya bermanfaat bukan hanya untuk peringatan dini tanah longsor saja melainkan juga deteksi dini banjir, lahar, dan sedimen debris.  Varian alatnya mencapai 40 macam, mulai dari yang paling sederhana sampai yang paling canggih. 

Negeri ini adalah pusatnya beragam bencana dunia. Mulai dari letusan gunung berapi (karena punya lbh dari 120 gunung api aktif), gempa bumi (Karena berada di banyak sekali lempeng dunia), tsunami (sebagai efek dari gempa), tanah longsor (karena terdiri dari banyak pulau dengan curah hujan tinggi dan perilaku manusia), banjir (curah hujan dan perilaku manusia), angin topan dan lain-lain. Setiap tahun, negeri ini selalu dipenuhi bencana alam. Sebagai contoh gempa bumi, yang terjadi lebih dari 6.000 kali pertahun.

Kehadiran ahli kebencanaan menjadi teramat penting. Alat deteksi dini tanah longsor buatan prof Faisal sudah menyelamatkan banyak orang. Tidak hanya di Indonesia (sudah terpasang di sekitar 100 kab/kota), melainkan juga di beberapa negara lainnya (lebih dari 5 negara).

Deteksi dini seperti yang dikisahkan dalam film Hollywood - San Andreas, bukan lagi hanya cerita fiksi. Dalam film itu, jutaan orang dapat terselamatkan di USA, berkat kemampuan seorang ahli gempa bumi dalam memitigasi dan mendeteksi dini kemungkinan munculnya gempa bumi dahsyat.

Namun, Indonesia masih kekurangan ahli di bidang kebencanaan. Tolong sebutkan siapa ahli gunung berapi asal Indonesia yang Anda kenal? Sebutkan pula ahli banjir? Adakah ahli angin puting beliung? Atau mungkin Anda bisa menyebutkan ahli tsunami orang Indonesia? Nyaris tidak ada.

Lebih banyak komentator di bidang sepakbola, atau politik atau para pakar ekonomi. Atau kalau pun ada pakar bencana, keahliannya belum diakui dunia internasional. Kini, kita punya profesor Teuku Faisal Fathani. Ahli tanah longsor dengan lima paten khusus di bidang itu, pencipta alat deteksi dini tanah longsor, yang diakui para ahli di dunia dan dapat penghargaan dari Unesco.

Saya mengenal Faisal sejak usia belasan, ketika bersama-sama belajar di dusun Pirikan Magelang. Dia orang yang sederhana, bersahaja, namun sangat lempeng dan jujur. Ulet dan tekun serta cerdas sudah pasti, sehingga tak heran jika dia sukses menjadi mahasiswa terbaik ketika kuliah dan dosen teladan serta berprestasi tinggi (peraih penghargaan tertinggi peneliti - Academic Leader/Adibrata 2017).

Namun saya masih terkaget-kaget dan kagum dengan pilihannya terhadap tanah longsor. Tak banyak orang atau mungkin tak ada akademisi Indonesia yang mau meneliti tanah longsor sedemikian serius. Kenapa? 

Ternyata semua itu berawal dari kawasan Menoreh di Jawa Tengah/Yogyakarta yang rawan tanah longsor. Faisal melihat kawasan itu pernah dilanda longsor namun tak ada upaya mitigasi bencana apalagi sistem peringatan dini. Tentu kondisi itu sangat berbahaya dan merugikan masyarakat. Hadiah alat deteksi dini dari Jepang untuk Indonesia beberapa waktu kemudian menjadi pemicu lainnya.

Ketika alat itu rusak, tak ada yang mampu memperbaiki. Kecuali dibawa kembali ke Jepang dan diperbaiki oleh perusahaan pembuatnya. Hal itu membuat Faisal bertekad membuat sendiri alat deteksi dini tanah longsor. Lalu sebuah peristiwa besar semakin menambah semangatnya untuk berkarya dalam bidang kebencanaan, yaitu gempa dan tsunami di Aceh.

 "Ketika terjadi gempa dan tsunami di Aceh akhir tahun 2004, saya sedang studi S-3 di Jepang. Ini dilema yang berat bagi saya karena keluarga dan sanak saudara menjadi korban bencana tepat ketika saya sedang belajar tentang bencana. Kejadian ini mengubah pandangan hidup saya, memacu semangat dan motivasi untuk berkarya di bidang mitigasi bencana," ujar bapak 3 orang anak ini. 

Tak ada yang kebetulan di dunia ini. Teuku Faisal Fathani, pria asal Aceh tersebut kini menjadi salah satu ahli kebencanaan kebanggaan Indonesia. Saya pribadi berharap, akan muncul akademisi dan ahli lain di bidang kebencanaan.

Bukan hanya tanah longsor, melainkan juga gunung berapi, angin puting beliung, gempa bumi, dan tsunami. Miris rasanya mendengar alat deteksi dini tsunami yang berharga miliaran rupiah rusak karena tangan jahil sehingga memakan banyak korban jiwa.

Sedih karena anak bangsa ini  belum mampu bikin alat deteksi dini tsunami. Andai ada beberapa Prof Faisal lainnya yang tergugah menciptakan alat deteksi dini tsunami, tentu korban jiwa bisa berkurang. 

Semoga bukan sekadar impian...



Baca juga:
Membahas Laporan Masyarakat dalam Kasus Pengaturan Skor
Kita Idap Intoleransi Sosial atau Sudah Alergi Sosial?
Euforia Sertifikat dan Alasan Jokowi Bagikan Sertifikat Tanah

Punya Berita Penting yang Anda Temukan? Segera Laporkan ke WhatsApp Kompasiana!

$
0
0

Ilustrasi: Dokumentasi Kompasiana.com

Ketidakhadiran wartawan profesional di tiap titik lokasi terjadinya peristiwa bukan hanya disebabkan perihal kuantitas, tetapi bisa jadi jangkauannya yang terbatas. Sejak masifnya praktik jurnalisme warga atau jurnalisme partisipatoris yang diiringi dengan merebaknya platform user generated content, peran masyarakat atau warga begitu penting dalam siklus penciptaan dan penyebaran konten informasi dan berita.

Terlebih, keberadaan teknologi canggih sudah dapat dijangkau dengan harga yang murah seperti telepon pintar yang multifungsi. Ribuan atau mungkin jutaan konten dari seluruh dunia yang berisi laporan warga wara-wiri di linimasa jejaring sosial atau di banyak platform blog sosial. Begitu dengan www.kompasiana.com.

Sejak pendiriannya di tahun 2008, Kompasiana diciptakan bukan saja sebagai medium blogging bagi jurnalis dan karyawan Kompas Gramedia, tetapi juga bagian dari 'tanggung jawab sosial perusahaan' kepada masyarakat Indonesia dalam memfasilitasi melalui medium yang dapat digunakan untuk melaporkan segala peristiwa yang luput dari pena dan kamera wartawan profesional.

Demi memudahkan proses penciptaan, penayangan dan peyebaran laporan warga yang sejak dulu menjadi salah satu ciri khas Kompasiana, kami membuka jalur pelaporan yang lebih praktis. Jika dulu kategori reportase warga di Kompasiana harus sudah dikemas dan siap baca, kini Anda dapat mengirimkan laporan singkat yang akan kami tidaklanjuti sampai menjadi kesatuan konten yang layak baca.

Kami menamankannya K-Report! Memanfaatkan jejaring percakapan sosial Whatsapp sebagai jalur pelaporan warga yang cepat dan efisien. Tiap laporan singkat yang masuk ke dalam nomor Whatsapp Kompasiana akan diproses lebih lanjut untuk memastikan validitas dan keakuratan dari tiap laporan yang masuk. Setelah memenuhi kriteria pembuatan konten berita, kami akan mempublikasikannya melalui akun Kompasiana News, tentunya disertakan juga nama atau akun pelapor.

Namun, tidak semua laporan dapat kami tindaklanjuti atau ditayangkan. Ada aturan main yang harus dicatat sebelum mengirimkan laporan singkat ke nomor Whatsapp Kompasiana. Simak beberapa poin di bawah ini:

KETENTUAN

  • Kompasianer atau warga umum dapat melaporkan melalui layanan K-Report
  • Laporan yang dikirim merupakan peristiwa dan mengandung nilai berita
  • Memiliki urgensi untuk segera ditayangkan
  • Laporan dalam bentuk; teks, foto dan video
  • Pelapor wajib menyebutkan identitas lengkap dan jelas
  • Pelapor bersedia dihubungi redaksi Kompasiana untuk proses validasi dan kebutuhan pembuatan berita lainnya
  • Pelapor bersedia diikutsertakan dalam sebuah grup Whatsapp K-Report berdasarkan kategori domisili atau minat

MEKANISME

Mekanisme pelaporan berita untuk K-Report adalah sebagai berikut:

Mekanisme K-Report

  • Pertama,Kompasianer/warga mengirimkan laporan kejadian ke Whatsapp K-Report pada nomor 0813-8184-9362.
  • Kedua, pihak Kompasiana akan menyeleksi laporan yang masuk dan melakukan validasi laporan. 
  • Ketiga, setelah menentukan laporan yang tervalidasi, Kompasiana akan menghubungi pelapor untuk kelengkapan berita. 
  • Keempat, laporan akan ditayangkan di akun Kompasiana News.

FORMAT

Format laporannya adalah sebagai berikut:

  • NAMA PELAPOR
  • TEMPAT  PERISTIWA
  • WAKTU PERISTIWA
  • KONTEN LAPORAN; TEKS/FOTO/VIDEO
  • Kirimkan ke Whatsapp kami di nomor:0813-8184-9362

Ingat, kami hanya menerima laporan peristiwa yang memiliki urgensi untuk segera ditayangkan dan nomor ini tidak menerima panggilan telepon, hanya khusus jalur Whatsapp. Di luar laporan seperti itu, Anda dapat membuat konten komprehensif melalui akun personal di Kompasiana. 

Jika Anda memiliki kendala atau keluhan baik segi teknis maupun non-teknis di Kompasiana, Anda bisa melaporkannya melalui fitur bantuan pada tautan berikut ini.




Baca juga:
Legenda di Balik Pesona Batik Limbasari
Membahas Laporan Masyarakat dalam Kasus Pengaturan Skor
Kita Idap Intoleransi Sosial atau Sudah Alergi Sosial?

Seks, Gaya Hidup, dan Prostitusi

$
0
0

(inkyfada.com)

Selain politik, barangkali isu mengenai seks, gaya hidup, dan prostitusi seringkali menjadi wacana yang selalu menarik dibicarakan masyarakat. Bahkan mungkin, hampir di banyak media yang mengupas persoalan-persoalan seputar seks atau prostitusi malah lebih banyak diakses dibanding media-media mainstream yang tidak terlalu tertarik mengangkat isu soal ini. 

Saya kira, koran-koran atau majalah yang memampang gambar-gambar vulgar cenderung lebih diminati masyarakat, ini artinya seks memang sudah menjadi bagian gaya hidup setiap orang.

Siapa yang tak suka seks? Hampir tidak ada, terlebih fenomena masyarakat urban yang hampir setiap hari disuguhi konten "sexual explisit" yang memang hal biasa dalam realitas permisif masyarakat perkotaan.

Ada benarnya ketika Sigmund Freud mengemukakan sisi kemanusiaan di mana dorongan seksual merupakan puncak tertinggi dari seluruh kebutuhan manusia. Freud menyebutnya sebagai "id" suatu entitas psikis yang tertanam dalam diri setiap orang untuk terus menerus mencari kebahagiaan hidup melalui pemenuhan kenikmatan dirinya sendiri. 

Kenikmatan tentu saja gaya hidup yang tak mungkin dilenyapkan, karena setiap orang pasti sangat ingin merasakan kenikmatan dari seluruh aspek kehidupannya. Karena itulah, ada entitas psikis lainnya yang kontradiktif dengan "id" yaitu "superego" yang digambarkan Freud sebagai kecenderungan dorongan moral di mana setiap orang selalu ingin dipandang secara sosial sebagai pribadi yang baik, suka menolong, atau peduli terhadap lingkungan.

Ada pergeseran sosial yang cukup besar, dimana seks dan prostitusi ternyata tak lagi linier dengan kondisi kemiskinan atau desakan kebutuhan ekonomi.

Jika dulu gambaran masyarakat miskin perkotaan identik dengan maraknya prostitusi akibat desakan ekonomi, maka dalam era kekinian, prostitusi bukan menjadi sebab utama kemiskinan atau keterbelakangan ekonomi tetapi karena mungkin dorongan gaya hidup dalam pemenuhan kebutuhan seksual. 

Uniknya, wujud prostitusi tak lagi berasal dari rumah-rumah bordil, bedeng-bedeng semi permanen di pinggir jalan, atau sekadar gelar tikar diapit semak-semak belukar, karena prostitusi sudah tersedia secara massif dalam berbagai situs kencan yang terkoneksi dalam wujud akun-akun tertentu di media sosial.

Tak perlu susah-susah, anda tinggal "searching by google" dengan mengetikkan apa saja yang terkait dengan dunia esek-esek ini, maka ribuan laman online akan memunculkan beragam variannya.

Mencari kenikmatan seksual dalam dunia daring, hampir dipastikan bukanlah dilakukan oleh mereka yang terdesak kebutuhan ekonomi atau akibat terpapar kemiskinan perkotaan yang membuat para pebisnis seks ini putar otak mencari tambahan. 

Jejaring prostitusi ini saya kira, lebih didasari oleh pemenuhan kenikmatan dalam rangka peneguhan identitas masyarakat urban dengan gaya hidup yang tampak lebih borjuis dan modern.

Beberapa kasus seks online yang berhasil diungkap, rata-rata mereka berpenghasilan cukup, bahkan memiliki hunian tipikal perkotaan, entah apartemen, kos-kosan mewah, atau mungkin kontrakan dengan harga relatif mahal.

Kasus VA yang baru-baru ini ramai dibicarakan publik menunjukkan betapa kenikmatan seksual itu bukan lagi akibat himpitan kondisi ekonomi, melihat pada nilai transaksinya yang mencengangkan. Mereka yang melakukan transaksi ini jelas adalah pribadi-pribadi sukses yang "terhormat", banyak duit, bergelimang kemewahan materi hampir tak ada alasan karena kekurangan. 

Itulah kenapa, wajar jika fenomena "sex trade" beromset hingga triliunan yang jika dibaca dalam status peningkatan keekonomian, semestinya sudah tak ada lagi masyarakat yang terpapar kebodohan dan kemiskinan, karena tentu saja bisnis ini menaikkan status ekonomi mereka.

Lalu, adakah alasan lain selain bahwa dorongan seksual merupakan bagian dari gaya hidup? Lebih tepatnya gaya hidup masyarakat urban yang mungkin saja kaget atas fenomena persaingan urbanisasi yang sedemikian ketat, sehingga banyak diantara mereka justru "gagap" menghadapinya? 

Fenomena ini bahkan tak dapat disasar oleh persepsi sosial-keagamaan yang menganggapnya sebagai penyakit masyarakat, lalu timbul keresahan. Maka, kondisi ini tak cukup hanya diselesaikan dengan cara-cara tertentu, seperti menutup, membatasi, melokalisasi, atau mungkin "memerangi", karena soal kebutuhan seksual sudah menjadi gaya hidup sebagian besar masyarakat urban.

Sulit untuk tidak mengatakan, bahwa ciri utama dari masyarakat urban tentu saja adalah memburu kenikmatan hidup di mana salah satunya adalah dorongan kenikmatan seksual yang mau tak mau harus direalisasikan. Bahkan, ini sudah menjadi citra masyarakat perkotaan terdahulu, dimana puncak kenikmatan seseorang hanya dapat dipenuhi melalui kebutuhan seksualitas yang tersalurkan. 

Itulah kenapa, dalam ajaran Islam-pun "dibolehkan" menikahi wanita lebih dari satu, mengingat kebutuhan seksualitas yang sedemikian menggebu terpapar pada golongan pria. Sangat masuk akal kiranya, jika ahli psikologi kenamaan seperti Freud mengungkapkan bahwa puncak tertinggi dari kebutuhan adalah dorongan seksual yang melekat pada setiap orang.

Fenomena ini juga bukan akibat dari gejala menurunnya keimanan di mana orang cenderung mengejar kenikmatan hidup dengan meninggalkan aspek-aspek moralitasnya. Iman tentu saja sulit diukur berdasarkan perwujudan sikap atau prilaku, seolah jika aspek moralnya yang ditonjolkan berarti imannya baik, dan ketika aspek moralitasnya dicampakkan berarti imannya buruk. 

Jika Freud mencetuskan teori "Superego", "Ego", dan "Id", maka dalam ajaran Islam---jauh sebelum Freud---menyebutkan dimensi psikis manusia melalui tiga kecenderungan: nafsu ammarah bissuu', nafsu lawwamah, dan nafsu muthmainnah.

Ketiga entitas ini saling terkait, mempengaruhi, bahkan memperebutkan posisi dalam diri seseorang, sehingga puncak tertinggi adalah nafsu muthmainnah yang menyelamatkan manusia dari berbagai dorongan berlebih nafsu duniawi karena ketenangan dirinya dalam mengikuti setiap arus perubahan zaman.

Manusia tentu saja selalu menjadi mahluk yang unik sepanjang sejarahnya dengan perkembangan sosial yang terus berubah dari zaman ke zaman, tanpa merubah sedikitpun kecenderungan psikis dan fisiknya untuk selalu mengejar kenikmatan hidup. Gaya hidup mungkin saja berubah, namun eksistensi dirinya untuk mengejar kenikmatan dalam banyak hal tentu saja alamiah. 

Sebaiknya tak terburu-buru menilai bahwa kita saat ini berada pada era dekadensi moral, karena maraknya berbagai aktivitas yang cenderung tidak bermanfaat bahkan mengganggu keseimbangan hidup dalam masyarakat. Seks, gaya hidup, dan prostitusi tentu saja merupakan fenomena sosial yang tak mungkin berubah tetap mengikuti perkembangan sejarah peradaban manusia itu sendiri.

Manusia hanya dituntut untuk memahami dan lebih didorong untuk memilih, mana yang dapat memberikan manfaat bagi diri dan lingkungannya dan mana yang justru menimbulkan kemudaratan.

Selaras dengan prinsip disiplin psikologi yang ditawarkan Freud, dimana "id" yang cenderung mengejar kenikmatan hidup harus ditengahi oleh "ego" yang berfungsi memberi nasehat terus menerus agar id tak dibiarkan liar dan menjadi prinsip sekadar pemenuhan atas seluruh aspek kenikmatan. 

Ego tak lain merupakan akal sehat yang berfungsi mengatasi dorongan nafsu yang membabi-buta agar lebih tenang (muthmainnah) sehingga akal mampu mendominasi seluruh dorongan kenikmatan hidup yang memang sulit dibatasi.




Baca juga:
[Topik Pilihan] Pengaturan Skor Sepak Bola Indonesia
Legenda di Balik Pesona Batik Limbasari
Membahas Laporan Masyarakat dalam Kasus Pengaturan Skor

"Kejamnya Jejak Digital" dan Empati Kita

$
0
0

(bwf.com)

Salah satu alasan kenapa orang perlu berhati-hati dalam hidup adalah karena apa yang kita lakukan bisa saja meninggalkan jejak digital.

Perkataan kita di suatu acara bisa saja direkam tanpa kita sendiri menyadarinya. Kunjungan kita ke suatu tempat yang "statusnya dipertanyakan" bisa saja diabadikan oleh seorang tanpa kita sadari. Pada akhirnya, orang bisa mengunggah foto, video, percakapan melalui aplikasi perpesanan, dan apapun yang kita lakukan.

Bila hal-hal yang biasa kita lakukan saja bisa meninggalkan jejak digital, apalagi hal-hal buruk yang kita lakukan. Paradigma "bad news is good news" masih terus dipakai sebagian jurnalis dan juga masyarakat luas yang memanfaatkan medsos. Tak heran, kasus prostitusi artis langsung jadi tren di medsos karena tergolong kategori "bad news is good news".

Hukum "Kekekalan" Jejak Digital
Anda tentu masih ingat kasus video asusila yang melibatkan penyanyi grup band kenamaan beberapa tahun lalu. Sampai kini pun, jejak digital kasus tersebut masih bisa ditemukan di dunia maya. Seketat apa pun pemerintah memblokir situs-situs negatif, tetap saja ada celah.

Belum lagi, jika video atau foto beredar bukan melalui mesin pencari semacam Mbah Gugel atau Mbok Yahuu, tapi melalui aplikasi perpesanan, siapa yang bisa mencegah peredaran itu?

Sekali Anda mengunggah sebuah foto atau video atau apapun di dunia maya, yang Anda tinggalkan akan "kekal". Bisa saja situs tertentu menghapus video Anda atas permintaan Anda, tapi video itu sebelum dihapus sudah sempat disalin oleh banyak orang.

Hampir tidak mungkin menghapus suatu jejak digital dengan mudah. Inilah hukum "kekekalan" jejak digital, yang tak kalah dahsyat dengan hukum kekekalan energi Newton.

Empati pada Korban Jejak Digital
Saya mencoba membayangkan jadi seorang artis yang jadi korban jejak digital. Namanya akan terkait erat dengan pemberitaan negatif yang terjadi, mungkin, satu kali dalam hidupnya. Dua puluh tahun lagi, jejak digital itu masih bisa ditemukan, sepanjang internet masih ada.

Meski si artis berbuat jutaan kebaikan dan sudah berubah 180 derajat, puluhan tahun kemudian, si artis bisa jadi masih merasa malu karena anak-anak dan cucunya kelak masih bisa melihat jejak digital kasus yang menjerat si artis. 

Saya juga mencoba membayangkan jadi seorang remaja yang jadi korban jejak digital. Kali ini, remaja ini adalah korban revenge porn alias penyebaran konten pornografi untuk membalas dendam, yang kebanyakan dilakukan mantan pacar.

Foto tak pantas si remaja masih bisa ditemukan tiga puluh tahun lagi, sepanjang internet masih ada. Anak-anak dan cucu si remaja kelak masih bisa melihat foto tak pantas itu. Sungguh, jejak digital itu kejam dan "kekal"!

Warganet terkasih, mari kita bayangkan diri kita menjadi mereka yang jadi korban jejak digital. Jangan mudah mengolok-olok dan menghina orang di medsos atas kesalahan yang seseorang lakukan.

Komentar buruk kita atas pribadi seseorang bisa jadi bagian dari jejak digital yang membuat orang yang bersangkutan sedih membacanya, puluhan tahun kemudian, saat ia sudah berubah jadi orang yang lebih baik.

Jangan ikut-ikutan menghukum orang di medsos dan internet dengan meninggalkan jejak digital yang negatif tentang pribadinya. Sungguh, jejak digital yang jahat itu lebih kejam dari pembunuhan!

Warganet terkasih, jangan pernah mendukung penyebaran revenge porn dan segala bentuk pornografi lain. Anda tak pernah tahu, orang-orang yang terlibat dalam video atau foto tak pantas itu benar-benar jahat atau sebenarnya mereka adalah korban, yang dijebak dan dimanfaatkan.

Pada dirinya sendiri, material pornografi itu jahat. Segera menghapus, melaporkan ke pengelola situs dan pihak berwenang, dan tidak meneruskan penyebaran materi pornografi adalah hal-hal mulia yang harus kita lakukan.

Salam Indonesia Cerdas dan Bermoral!

Kota Abadi, 9 Januari 2019




Baca juga:
Dua Pertanyaan tentang "Goals" Anda dan Kekuatan Mewujudkannya
Bagaimana Jika Sepeda Motor Diberlakukan Sistem Ganjil-Genap?
Dian Pramana Poetra, Dian yang Tak Pernah Pergi

Menilik Keistimewaan Kopi Gunung Malang

$
0
0

"Kita tidak bisa menyamakan kopi dengan air tebu. Sesempurna apa pun kopi yang kamu buat, kopi tetap kopi, punya sisi pahit yang tak mungkin kamu sembunyikan" ~ Dee, Filosofi Kopi ~

Foto by Lilian

Kepul uap dari air panas yang menyiram bubuk kopi mengundang penikmat kopi untuk segera menyeruputnya. Aroma  kopi yang menggoda dan rasanya yang punya cita rasa khas mampu mendendangkan lidah penikmatnya. Kopi Arabika, siapa yang tidak mengenalnya? ya, kopi ini bahkan sudah terkenal di berbagai belahan dunia.

Eits, kopi ini juga tumbuh di daerah Purbalingga tepatnya di Gunung Malang, Kecamatan Karangreja,Kabupaten Purbalingga. Kopi Arabika Gunung Malang ini bisa didapatkan di base camp jalur pendakian Gunung Slamet via Gunung Malang.

Kopi arabika ini dapat tumbuh subur di daerah pegunungan dengan ketinggian 1400-1700 mdpl berbeda dengan kopi robusta yang hanya bisa tumbuh pada ketinggian kurang dari 1000 mdpl. Kopi arabika Gunung Malang ini menjadi primadona dan potensi unggulan yang dimiliki Kabupaten Purbalingga.

Proses pengolahan kopi arabika Gunung Malang ini tidak jauh berbeda dengan pengolahan kopi pada umumnya. Sebelum ke pengolahan, kopi arabika melalui proses pemetikan dulu dimana buah kopi yang sudah matang berwarna merah tua dipetik dari pohonnya. Masa panen kopi arabika ini jatuh pada bulan Februari.

"Tapi gak mesti juga karena kadang siklus ini antara tujuh sampai delapan bulan setelah panen selesai, kalau pada bulan-bulan pasca panen raya masih ada buah kopi tapi gak sebanyak saat panen, hanya buah-buah susulan saja," kata salah satu petani kopi arabika, Karsum saat dijumpai di kebun kopi Gunung Malang.

Setelah melalui proses pemetikan, buah kopi kemudian dibawa ke tempat penyortiran. Pada proses ini, buah kopi direndam di air hingga terlihat antara kopi yang mengapung dan tenggelam. Buah kopi yang ditemukan mengapung merupakan buah yang kualitasnya kurang baik. Selanjutnya kopi yang tenggelam dipisahkan dari airnya untuk melalui proses pulping.

Foto by Lilian

Pada proses pulping ini, petani kopi Gunung Malang melakan dengan mesin pulper yang masih tradisional tanpa bantuan mesin ataupun listrik. Proses ini dilakukan guna memisahkan antara kulit buah kopi dan biji kopi. Proses ini rupanya masih belum berakhir, setelah biji kopi dipisahkan dari kulit buah kopi kemudian direndam kembali dalam air untuk melihat mana kopi yang tenggelam dan mengapung.

"Yang mengapung nanti juga kita pisahkan proses penjemurannya, kita (petani kopi Gunung Malang, Red) biasanya memakai proses natural," ujar Karsum.

Setelah biji kopi dicuci dan dibersihkan dari lendir yang menempelnya, ada beberapa macam proses yang dilalui biji kopi untuk menjadi kopi primadona Purbalingga. Proses ini dilakukan secara hati-hati untuk menjaga cita rasa kopi gunung malang. 

Adapun prosesnya meliputi proses natural  yang mana setelah buah kopi dipetik dari pohonnya kemudian ditebarkan pada alas plastic untuk dilakukan penjemuran di bawah sinar matahari langsung pada proses ini rasa yang dihasilkan kopi cenderung memiliki keasaman rendah dan rasa yang kompleks.

Kemudian full wash process, pada proses ini rasa yang dihasilkan cenderung jernih dan tidak meninggalkan rasa di rongga mulut. Selanjutnya honey process, masih menyisahkan rasa kopi di mulu dan rasa yang dihasilkan lebih banyak rasa manisnya. Terakhir ada proses wine yang mana kopi memakan waktu 30-60 hari penjemuran tergantung cuaca.

"Sengaja lebih lama agar kulit buah kopi semakin melekat dengan biji kopi dan mengeluarkan rasa serta aroma wine, wine ini hampir sama dengan natural process," terang Karsum.

Foto by Lilian

Pada proses penjemuran kopi, petani kopi Gunung Malang memanfaatkan rumah yang ditutupi dengan plastik bening tebal untuk memperoleh cahaya matahari dan panas yang maksimal. 

Proses penjemuran juga tergantung dengan jenis kopi yang akan dihasilkan. Selesai dari proses penjemuran kemudian dilakukan proses roasting. Biji kopi (green bean) atau biji kopi mentah dimasukan dalam mesin roasting (pemanggangan, Red) sampai biji kopi berubah warna menjadi hitam.

Biji kopi ini masih belum bisa dinikmati, masih harus melalui proses penggilingan sesuai dengan takaran yang pas. Setelah selesai digiling menjadi bubuk kopi, bubuk kopi diletakan pada kusan (saringan yang terbuat dari bambu, Red) dan disiram perlahan dengan air panas.

Kopi arabika Gunung Malang siap dinikmati para pecinta kopi terlebih aroma dan rasanya yang khas mampu memanjakan lidah yang mencicipinya. Kopi arabika Gunung Malang bisa di dapatkan di coffee shop di wilayah Purbalingga dan beberapa tempat di luar wilayah Purbalingga.

Bagi mereka yang ingin menikmati kopi langsung ditempat pemrosesannya juga bisa. Karsum menyediakan testernya untuk sekedar dicicipi yang diramunya dengan penuh kehati-hatian untuk menjaga kualitas kopi arabika Gunung Malang.

Begitulah perjalanan kopi gunung malang untuk mencapai kualitas terbaiknya. Para petani kopi gunung malang terus berusaha menjaga kelestariannya agar kopi gunung malang bisa dinikmati dan disukai para penikmat kopi. (Lil's)




Baca juga:
Pilpres Tanpa Pemaparan Visi-Misi, Ibarat Sayur Kurang Bumbu
Dua Pertanyaan tentang "Goals" Anda dan Kekuatan Mewujudkannya
Bagaimana Jika Sepeda Motor Diberlakukan Sistem Ganjil-Genap?

PSS Sleman, Antara Bombastis dan Realistis

$
0
0

PSS Sleman| Sumber: bolasport.com/Stefanus Aranditio

Target dicanangkan, tinggal bagaimana diperjuangkan. Begitu yang biasa dilakukan oleh semua tim sebelum dimulainya kompetisi Liga 1.

Bagi yang berlaga di Liga 2 dan 3 tentu beda lagi mimpinya, yakni naik kasta. Tim yang berlaga di Liga 3 ingin bisa promosi ke Liga 2, sedang yang di Liga 2 ingin mencicipi nikmat dan prestise Liga 1.

Ada tiga tim yang sudah menggapai mimpinya, promosi ke Liga 1 yakni PSS Sleman, Semen Padang (SP) dan Kalteng Putra. Dari segi komposisi wilayah ketiganya tampak ideal, mewakili Yogyakarta, Sumatra dan Kalimantan. PSS dan SP jadi satu-satunya wakil provinsinya, sedangkan Kalteng berduet dengan Borneo FC mewakili daerahnya.

Raihan prestasi PSS Sleman dalam Liga 2 2018 lalu mengesankan. Mereka tak cuma meraih tiket promosi tapi juga menjadi juara Liga 2 2018 setelah menundukkan SP 2-0 dalam final di Stadion Pakansari, Cibinong.

Tentu setelah berhasil meraih mimpinya kembali ke kasta tertinggi, terakhir dinikmati oleh PSS Sleman pada tahun 2007 saat kompetisi teratas itu bernama Divisi Utama, klub berjuluk Elang Jawa ini harus berbenah. Seto Nurdiyantoro yang menggantikan Herry Kiswanto saat Liga 2 2018 baru berjalan tetap menukangi PSS.

Tentang apa yang perlu dilakukan oleh PSS untuk berkiprah di Liga 1, saya pernah menuliskan beberapa waktu lalu (Jangan Buat Elang Jawa Terbang Semusim Saja di Liga 1 2019).

Namun untuk target di kompetisi yang belum jelas regulasi dan kapan digelar, ambisi PSS tidaklah kecil sebagai tim promosi. Seperti dikatakan oleh Seto Nurdiyantoro, PSS punya ambisi besar yakni minimal bisa masuk papan tengah klasemen.

Seperti apa persiapan untuk menggapai ambisi itu, serta realitas yang akan dihadapi oleh PSSI nanti?Foto : bola.com

1. Persepsi

Siapapun tahu terdapat perbedaan cukup besar Liga 2 dan 1, namun yang perlu disadari saat promosi ke kasta tertinggi ini harus diubah mindset yang ada. Misalnya soal persiapan tim yang tak lagi bisa seenaknya, santai-santai atau beranggapan waktu bergulirnya kompetisi masih lama.

Ketat dan kerasnya laga di Liga 1 tidak bisa disikapi dengan persiapan yang ala kadarnya, mepet waktu demi mengirit budget. Meski diperkirakan kick off akan berlangsung akhir April atau awal Mei (seusai Pemilu), tapi bukan berarti PSSI santai-santai saja menghadapinya.

Sejauh ini PSS belum juga memperlihatkan geliatnya dalam mengumumkan daftar pemain yang bakal diperpanjang kontraknya atau pun dilepas pada bursa transfer kali ini. Manajemen dan pelatih hanya mengungkapkan sekitar 50-60% pemain akan dipertahankan.

Tak hanya sampai di situ, tim yang berkandang di Stadion Maguwoharjo ini juga belum memboyong pemain baru maupun pilar asing untuk bersaing di Liga 1 2019.

Suporter yang mulai gerah dengan lambannya manajemen tim jangan didiamkan. Harus ada penjelasan lengkap kenapa terjadi kepasifan seperti itu.

Pelatih PSS Seto menilai Elang Jawa saat ini telah berada di jalur yang tepat. Ia beralasan soal itu tidak kelamaan, apalagi PSS tidak tahu jadwal Liga 1 mulainya kapan.

Jika pemikiran seperti diamini oleh semua pihak yang ada di manajemen, berat langkah PSS nantinya. Apalagi jika beranggapan waktu 3 bulan misalnya dianggap sebagai pemborosan dengan belanja pemain baru atau memberi kontrak lagi ke pemain lama. Waktu 3 bulan itu ukurannya sebentar saja bagi tim yang mempersiapkan diri di Liga 1.

Mungkin manajemen PSS lupa tentang pra-kontrak yang bisa dilakukan sebagai pengikat bagi pemain lama untuk tetap membela klub di kompetisi mendatang. Hal itu lumrah dilakukan tim-tim lain, terutama bagi punggawa asing yang tentu tak mau menghabiskan waktunya di Indonesia menunggu sodoran kontrak.

Seorang pemain andalan PSS yang turut mengantar klub itu naik ke Liga 1 mengatakan "Mungkin manajemen masih ada yang anggap saat ini masih berkiprah di Liga 2. Tim lainnya bergerak cepat tapi tidak terlalu mau kelihatan,".


2Manajemen

Penunjukan Retno Supardjiono memang cukup mengejutkan. Suporter pun, seperti terlihat di medsos tampak kecewa. Hal ini tak bisa disalahkan, karena tidak ada rekam jejak Retno sebagai pelaku sepak bola, kecuali disebut dekat dengan suporter dan semua pihak di PSS.

Namun memberi tudingan seperti itu belum tentu benar, karena belum terlihat kinerjanya dalam gerakan tim di mata publik. Bisa jadi ia sedang beradaptasi dengan jabatan barunya ini. Jabatan yang selama ini disaksikannya saja pada diri almarhum suaminya, Supardjiono.

Kerja manajer baru PSS memang tak mudah. Ia tak hanya bekerja keras untuk tim utama saja, tapi juga diharuskan mempersiapkan tim usia seperti U-16, U-19, dan U-21. Pembinaan usia muda ini jadi kewajiban peserta Liga 1 sedari 2018 lalu, yang terkait dengan pencairan dana subsidi dari PT Liga Indonesia Baru (LIB). Dari total subsidi Rp 7,5 miliar, sebagian (Rp 2,5 miliar) diberikan kepada klub untuk pembinaan usia muda.

Keuntungan lain dari pembinaan itu tentu adanya stok pemain penerus untuk kompetisi selanjutnya. Belum lagi aspek komersial yang didapatkan jika ada pemain berbakat yang diminta tim lain.


3. Harmonisasi

Masa pra kompetisi tak hanya menjadi ajang mengetahui seperti apa kemampuan pemain baru, tapi juga memiliki beberapa keuntungan yang tidak kecil bagi PSS Sleman.

Para pemain lama dan baru butuh adaptasi, yang bisa tercipta lewat latihan rutin atau training centre. Dari situ bisa diharapkan tercipta saling pemahaman untuk menghasilkan tim yang solid.

Pelatih dan klub bisa mengasah kemampuan pemain, sekaligus melihat kelemahan yang perlu dibenahi melalui pertandingan uji coba atau turut/membuat turnamen. Ini pun menghasilkan pemasukan bagi klub, yang bisa dipakai untuk menutupi biaya operasional seperti gaji pemain.

Peranan pelatih Seto Nurdiyantoro sangat krusial dalam masa persiapan ini. Ia tak hanya mempersiapkan tim tapi juga bagaimana menciptakan suasana harmonis bagi para pemain.

Meski tim belum terbentuk, lebih baik pelatih mematangkan strateginya, mendesak manajemen untuk bergerak cepat menggaet pemain yang diincarnya. Langkah itu strategis ketimbang mengomentari pemainnya sendiri seperti Cristian Gonzales, yang disorotinya karena usia dan kemampuan fisiknya.

Padahal sosok Gonzales tetap diperlukan di PSS, baik tajinya yang tetap terbukti tajam di usianya yang nota bene kepala empat melesakkan dengan 15 gol di separuh musim, serta torehan prestasi dan sikapnya yang dijadikan panutan bagi para pemain.

Begitu juga pernyataannya sebagai pelatih yang tak perlu pemain terkenal atau bagus sekali. "Kalau saya pribadi tidak perlu pemain terkenal atau bagus sekali. Tapi yang penting, para pemain ini mau bekerja keras. Sama seperti yang saya inginkan, yang penting mereka paham," tuturnya.

Menjadi pertanyaan, benarkah PSS Sleman tak butuh pemain bagus sekali?. Apakah diartikan PSS menolak pemain asing, karena jelas jika ia direkrut karena kemampuannya yang melebihi pemain lokal? Sebelumnya memang ada wacara oleh PT LIBtentang tidak adanya striker asing di musim 2019 ?.

Pernyataan-pernyataan Seto seperti itu tak perlu dilontarkan di tengah gemasnya suporter atas langkah lambat manajemen PSS. Apakah pendapat pribadi seorang pelatih itu juga idem dengan kebijakan PSS atau PT. Putra Sleman Sembada (PT. PSS) yang menaunginya?

Jika memang seorang pelatih tak suka pada seorang pemain, lebih baik ia tak mengusulkan pemain untuk dikontrak, daripada nantinya ia lebih banyak dicadangkan atau diberi jam bermain yang sedikit.

Harmonisasi ini harus menjadi perhatian PSS Sleman. Jangan sampai mengulangi preseden adanya kekurang harmonisan antara pelatih dan pemain, atau pelatih dengan pemilik klub. PSS bisa belajar pada kasus pengunduran diri pelatih Bali United, Widodo C.Putro yang terjadi di pertandingan terakhir klub itu.

4. Bertahan

Melihat kiprah tiga tim promosi di Liga 1 2018 yakni Persebaya Surabaya, PSMS Medan dan PSIS Semarang, bertahan di Liga 1 bukan perkara mudah. Ketiganya merasakan bagaimana beratnya situasi ketika berada di zona merah.

Persebaya berhasil bangkit dan menyeruak ke papan atas dengan berada di klasemen atas di posisi ke-5. Sedangkan PSIS yang sedari awal memasang target bertahan mampu bertengger di posisi 10. PSMS Medan harus menelan pil pahit, terdegradasi karena menempati posisi buncit dan harus kembali bergumul di Liga 2 2019.

Terdepaknya PSMS ini terasa ironis karena mereka merupakan tim yang paling banyak melepas tendangan ke gawang lawan. Tercatat ada 192 kali tembakan, hanya berhasil mencetak 50 gol. Tapi Ayam Kinantan itu juga menjadi tim yang paling sering kebobolan, sudah 70 gol bersarang di gawang mereka.

Target PSS untuk bertengger di papan tengah klasemen akhir Liga 1 2019 layak dihargai. Itu merupakan ambisi, tekad yang diharapkan diwujudkan pelatih dan pemain. Ambisi serupa pernah diusung oleh Perseru Serui menjelang bergulirnya Liga 1 2018. Hasilnya, Perseru nangkring di posisi ke-14, dua setrip dari jurang degradasi.

PSS Sleman dan Seto mungkin bisa belajar juga dari seorang Djadjang Nurjaman (Djanur) yang mengantar Persib meraih juara Indonesia Super League (ISL) dan Piala Presiden.

Djanur menceritakan, saat mau menukangi PSMS Medan ia mengatakan kepada Edy Rahmayadi (pemilik klub, juga Ketua Umum PSSI) jangan diberi target muluk-muluk. Djanur berani menjanjikan di peringkat 9-10 besar, tapi belakangan CEO PSMS minta target lima besar.

"Cukup berat, dan kita harus realistis,"ujar Djanur yang kemudian mundur dari PSMS dan melatih Persebaya Surabaya. Djanur sukses di klub barunya itu.

Ucapan Djanur itu merupakan bentuk rasa tahu diri, sekaligus realistis. Ia tahu, kita juga, bahwa di Liga 1 cukup merata persaingannya. Siapapun bisa juara, siapapun bisa terperosok tiba-tiba lalu terpental ke Liga 2.

Maka, menargetkan posisi di peringkat 5 besar perlulah dipikir ulang. Selain bisa dianggap bombastis, publik pun nantinya sinis mengatakan "Skuat saja belum ada tapi sudah berani target ambisius. Apalagi pelatihnya tak mau pemain bintang atau bagus sekali."

Rasanya PSS Sleman bisa membedakan antara ambisius dan realistis.

Target bertahan adalah realistis dan rasanya ini yang perlu dijadikan acuan sebelum melangkahkan kakinya ke ajang pertempuran sengit dan keras. ***




Baca juga:
Kepunahan Seni Joged Bungbung di Tabanan, Bali
Pilpres Tanpa Pemaparan Visi-Misi, Ibarat Sayur Kurang Bumbu
Dua Pertanyaan tentang "Goals" Anda dan Kekuatan Mewujudkannya

K-Rewards Akan Berlanjut di Tahun 2019, Semakin Variatif, Semakin Banyak!

$
0
0

K-Rewards Akan Berlanjut di Tahun 2019, Semakin Variatif, Semakin Banyak!Di bulan Desember kami pernah bertanya kepada Kompasianer, apakah K-Rewards akan tetap dilanjutkan atau tidak. Sesungguhnya pertanyaan itu memang hanya sekadar basa-basi, biar drama seperti netizen pada umumnya. Karena K-Rewards akan tetap berjalan selama tahun 2019, dengan nominal yang lebih besar!

Bukan hanya Dimas Kanjeng yang bisa melipat ganda nilai uang, kami juga bisa.

Ada yang sedikit berbeda dengan program K-Rewards di tahun 2019. Kami akan melipatgandakan nilai rupiah sebanyak (2x lipat) khusus artikel yang masuk dalam menu topik pilihan yang dipublish oleh tim Kompasiana setiap bulannya. Anda bisa cek deretan topik pilihan melalui menu yang ada di bagian kanan (desktop) dan paling bawah homepage (mobile), atau bisa klik link: Topik Pilihan.

Di tahun 2019, kami juga akan menginformasikan jumlah viewers yang dihasilkan masing-masing Kompasianer di tiap bulan pengumumannya. Jadi, Kompasianer dapat mengetahui seberapa besar viewers yang dihasilkan di bulan tersebut.

Bagaimana syarat dan ketentuan K-Rewards di Tahun 2019?

Tidak akan jauh berbeda, masih menggunakan metode yang sama. Berikut syarat dan ketentuannya:

  • Seluruh total views akan dihitung berdasarkan sistem validasi Google Analytics, bukan jumlah views yang ada di artikel
  • Kompasianer yang akan mendapatkan K-rewards, hanya yang mampu meraih minimal 3.000 total views dari seluruh artikel yang ditayangkan pada periode program di tiap bulannya.
  • Akun Kompasiana wajib tervalidasi (Belum tervalidasi? Ikuti petunjuknya di SINI)
  • Memiliki akun/nomor Mandiri e-Cash
  • Pengumuman hasil pendapatan akan diumumkan 7 hari kerja setelah periode berakhir
  • Perhitungan nominal harga per views dibuat menggunakan metode tertentu yang nilainya dapat berbeda antara satu periode dengan periode berikutnya


Sistem Pengiriman Dana Melalui Mandiri e-Cash

Pengiriman (transfer) pendapatan rupiah tiap Kompasianer akan diproses 7 hari kerja sejak pengumuman ditayangkan dengan menggunakan sistem Mandiri e-Cash agar dapat dikirim secara serentak. Hal ini demi mengantisipasi keterlambatan pengiriman hadiah yang seringkali dialami Kompasianer.

Oleh karena itu, kami menghimbau kepada seluruh Kompasianer untuk melengkapi satu kolom isian nomor telepon di laman pengaturan profil yang telah berhasil didaftarkan sebagai akun di Mandiri e-cash.

Jika Anda tidak melengkapi kolom tersebut hingga 7 hari setelah periode berakhir, dana tidak akan kami kirim. Begini caranya:

Masuk ke laman profil Anda >> pilih menu "pengaturan" >> klik submenu "data pribadi"  >> klik "edit" >> masukkan nomor mandiri eCash Anda >> klik "simpan" di bagian paling bawah

Seluruh nomor telepon yang didaftarkan sebagai akun Mandiri e-cash kami sarankan sudah terregistrasi di Mandiri, karena jika nomor e-cash Anda masih unregistered, Anda hanya akan menerima dana maksimal 1 juta rupiah. Apabila sistem menolak jumlah dana yang akan ditransfer, kami tidak dapat melakukan pengiriman kembali. 

Selamat bersenang-senang, Kompasianer!




Baca juga:
Hal Kebenaran dan Prasangka dalam Hoaks dan Twit Andi Arief
Kepunahan Seni Joged Bungbung di Tabanan, Bali
Pilpres Tanpa Pemaparan Visi-Misi, Ibarat Sayur Kurang Bumbu
Viewing all 10549 articles
Browse latest View live