Quantcast
Channel: Beyond Blogging - Kompasiana.com
Viewing all 10549 articles
Browse latest View live

Betapa Berbahayanya Ketika Kita Buta Data

$
0
0

Kemarin lusa, saya mendapat link sebuah tulisan bagus di Kompas Cetak edisi 31 Juli 2018 berjudul, Bahaya Buta Data. Penulis Jousairi Hasbullah, Ketua Technical Advisory (012-2015) dan Steering Group (2017 - Juni 2018) Social Statistic Asia and Pacifik, mantan petinggi di BPS Pusat yang telah memasuki masa Purnabakti, seorang alumnus Flinders University. Kebetulan saya sering berdiskusi dengan beliau terkait data,  tepatnya diberi masukkan dan dinasehati.

Tulisan itu sungguh mengunggah bagi saya. Sebuah penyakit berjamaah di negeri ini dimana orang-orang buta data (Data Illiteracy). 

Ketika data digunakan tak lebih dari sekadar aksesori, maka pembangunan tidak akan berjalan dengan baik. Dokumen perencanaan sudah menggunakan data tetapi makna substantial setiap angka tidak sepenuhnya dipahami secara benar.  

Meski bangsa kita belum kultur Numerikal  dan kultur data secara historis memang bukan tradisi kita, adalah penting kita memahami data secara benar dan tidak buta data.  

Sumber: Kompas Edisi 31 Juli 2018Menurut Jousairi, salah satu problem besar pembangunan di Indonesia karena data yang digunakan tidak sepenuhnya dipahami makna secara substantif-detil dan komprehensif. 

Data pembangunan seperti data IPM, Kemiskinan, Pengangguran dan PDRB  perlu dilihat secara substantif dan detil. Data tingkat pengangguran terbuka kabupaten, beda memaknainya dengan tingkat pengganguran terbuka di wilayah perkotaan karena hampir pasti tingkat pengangguran terbuka di perkotaan lebih tinggi daripada di kabupaten mengingat tingginya urbanisasi di perkotaan. 

Nah  dikaitkan dengan kejadian yang banyak terjadi saat ini, saya kira memang Indonesia harus melek data. Buta data itu memang berbahaya. Ketika politikus buta data, heuhehe, fatal akibatnya. Sebab kekeliruan pemaknaan terhadap data dengan cepat akan disebar oleh orang-orang di bawahnya. 

Celakanya, jika kesalahan memaknai data itu nantinya membuahkan kebijakan dan program yang salah. Salah memaknai data, mengakibatkan salah melihat permasalahan. Salah melihat permasalahan, bisa diprediksi akan berakibat salah membuat kebijakan. 

Bahkan salah mengkritik, salah membuat janji politik, dan lain sebagainya. Ketika Eksekutif dan Legislatif buta data, ini juga sangat berbahaya. Begitu dan seterusnya.

Ketika Pak Beye mengklaim bahwa menurut  beliau Jumlah penduduk miskin naik 50% sementara BPS mengeluarkan Data di Berita Resmi Statistik bahwa per Maret 2018 Kemiskinan Indonesia turun menjadi 9,8 %, maka ya kita orang harus belajar melihat perbedaan tersebut.  

Pertama, perbedaan tersebut sudah pasti karena berbeda sudut pandang. Beda ilmu. Beda Definisi Kemiskinan menurut pak Beye dan BPS jelas beda. Standar miskin keduanya  sudah pasti beda.  

BPS mendefinisikan miskin sebagai kondisi tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar yang ditandai dengan tidak memenuhi ambang batas kategori miskin sebesar Rp.12.483 hari atau Rp.374.478/30 hari). 

Saya tidak tau standar miskin pak Beye, beliaulah yang tau. Tetapi saya dan orang awam harus belajar bahwa urusan data serahkan pada ahlinya. 

Data pembangunan harus disediakan oleh lembaga yang memang tupoksinya menyediakan data. Data yang nanti digunakan untuk bahan bagi perencanana, pelaksana dan pihak-pihak berpentingan. Data yang harus dipahami secara benar.

Fakta Lemahnya Pemahaman Data di Masyarakat

Saya mengamini bahwa selama ini orang-orang sering salah memaknai data- data pembangunan (IPM, Pengangguran terbuka, kemiskinan) dengan perasaaan. Sebagai contoh, kadang-kadang ketika saya tidak mampu liburan ke tujuan idaman di akhir tahun saya merasa miskin. 

Ketika anak minta ganti HP baru yang canggih, saya merasa miskin. Itu sebuah contoh saja.  Jadi miskin menurut pak Beye itu seperti apa, sperti yang saya sebut sebelumnya, beliaulah yang lebih tau.  

Contoh lain tentang betapa perlu hati-hatinya kita  melihat realitas sosial dan tidak mudah mengklaim sebagai protes terhadap data pembangunan. 

Saat melintas di Kawasan Rivai-Simpang Charitas Palembang malam hari (saya dan yakin orang lain juga melihat) sekarang banyak kaum marjinal dengan gerobak pengumpul barang bekas yang di dalam gerobak asongan tersebut ada seorang perempuan dan 1-2 balita kurus berpakaian kumal. 

Ketika saya dengar percakapan mereka, wah bukan Bahasa Palembang tapi bahasa Jawa. Saya tidak tau pasti apakah mereka pendatang yang baru datang ke Palembang atau bukan. Tetapi, jika melihat jumlah kaum marjinal tadi bertambah banyak, mungkin lebih dari 50 % dibanding bulan sebelumnya  ya tidak bisa dong saya serta merta menyimpulkan bahwa jumlah kemiskinan Kota Palembang telah bertambah 50%. 

Sebab yang dihitung adalah penduduk Miskin Kota Palembang. Pendatang kambuhan, tidak dihitung sebagai Penduudk Kota palembang. Sejak Kota Palembang berkembang pesat, tidak bisa dipungkiri arus pendatang dari kaum yang seperti saya sebutkan tadi bertambah sangat signifikan juga.  

Contoh ekstrim lagi, teman-teman saya di kabupaten/kota sering bercanda bilang, bu kalau melihat orang gila banyak berkeliaran di kabupaten A, jangan langsung menyimpulkan banyak orang gila Kabupaten A. Sebab orang gila itu kadang kiriman dari Kabupaten sebelah yang sudah kewalahan mengurus orang gila di wilayahnya. Whats ? Haiyah, semoga tidak.

Orang Awam  Perlu Melek Data 

Begitulah. Saya tidak sedang membahas konsep data-data pembangunan, dengan embel-embelnya seperti metodology, sample dan peta data, margin error dsb, biarlah itu urusan pihak penyedia data pembangunan. 

Saya hanya ingin menghimbau agar kita masyarakat awam perlu paham dan belajar agar tidak buta data. Ketika kita orang awam buta data, itu berbahaya juga. Sangat berbahaya bahkan.  Lepas soal buzzer itu dibayar, orang awam yang membuzzer seyogyanya ya MELEK DATA. 

Tidak asal share berita soal klaim kemiskinan dsb. Tidak asal share tentang program politikus X, padahal politikus ybs tidak paham data. Sharenya dipilah-pilah dulu. Pinteran dikitlah supaya gak nambahi beban keriwehan negeri ini karena budaya hoax dan tidak recheck

Data adalah gambaran kondisi yang divisualkan dalam bentuk numerik. Data menggambarkan kondisi permasalahan di masyarakat dengan catatan ketika kita tepat memaknai data tersebut. Jadi, ayo kita budayakan Melek Data. 

Mari belajar memahami data dari buku atau jurnal terbitan resmi yang bisa dipertanggung jawabkan. Kalau perlu ikut diklat tentang memahami data pembangunan bagi masyarakat umum seandainya ada diklat seperti itu. Kalau anda perencana, pelaksana pembangunan ya wajib ikut diklat dan wajib paham data. 

Yuk pahami data secara benar. Yuk melek data. Salam kompak selalu. Salam Kompal. Salam Kompasiana. Salam Melek Data.

Sumber:Kompal


Sumber: Bahaya Buta Data, Kompas edisi 31 Juli 2018.




Baca juga:
Jamaah Usia Lanjut yang Wafat Meningkat, Petugas Haji Harus Lebih "Cerewet"
Museum Omah Munir yang Penuh Makna tentang HAM
Jadi Kuli Konten, Mau?

Sulitnya Mengesampingkan Gengsi di Pernikahan Adat Batak

$
0
0

Ilustrasi: didolok.com

Jujur saja, sebelum menulis ini saya berpikir berulang kali karena mungkin saja tulisan ini akan menyinggung pihak lain. Tapi setelah dipikir-pikir, tidak ada salahnya saya mengutarakan opini sepanjang saya tidak bermaksud buruk dengan adanya tulisan ini. Dan kebetulan sekali, topik khusus yang diangkat tim redaksi Kompasiana kali ini adalah tentang pesta pernikahan.

Kalau saya amat-amati, biasanya bulan Juli -- Oktober boleh dibilang musim kawin, karena banyak pesta pernikahan digelar dimana-mana.

Kalau kata orang, empat bulan ini paling cocok untuk menggelar pesta pernikahan karena pertama, hari raya Idul Fitri sudah lewat sehingga harga sembako sudah mulai turun kembali (terutama tahun-tahun belakangan ini karena tanggal Idul Fitri selalu maju setiap tahunnya).

Kedua, empat bulan ini masih dalam peralihan musim kemarau ke musim hujan. Jadi seharusnya tidak terlalu panas dan curah hujan juga belum terlalu tinggi.

Dan ketiga, musim liburan anak sekolah sudah lewat. Jadi bagi keluarga yang akan menggelar pesta pernikahan namun masih memiliki anak yang duduk di bangku sekolah, biaya yang harus dikeluarkan terkesan agak longgar (padahal sih sama saja).

Bicara pernikahan, berarti bicara biaya yang harus siap dikeluarkan. Meskipun ditanya, "habis berapa untuk pesta ini?", pasti jawabnya "Yah, banyak lah pokoknya".

Kata 'banyak' di sini bisa berarti belasan, puluhan hingga ratusan juta rupiah. Tidak ada standar khusus memang. Yang jelas, semakin besar dan megah suatu pesta, semakin banyak biaya yang dikeluarkan. Apalagi kalau pesta pernikahan tersebut berupa pesta adat (karena Indonesia masih kental adat istiadatnya).

Dan karena saya kebetulan berasal dari suku Batak yang besar dan tinggal di Jakarta, boleh saya pastikan, biaya yang harus dikeluarkan untuk pesta adat Batak di Jakarta minimal seratus juta rupiah (dan biasanya lebih).

Jangan khawatir, biaya tersebut belum termasuk biaya adat sebelum pernikahan mulai dari Marhusip (semacam lamaran), Martumpol (pertunangan), dan Martonggoraja (persiapan akhir).

Ilustrasi Martonggo Raja (yolandamarbun.blogspot.com)

Bagi saya sendiri, adat Batak adalah sesuatu yang unik, sarat makna dan sangat perlu dilestarikan dan dipelihara, terutama oleh kita-kita yang tergolong kaum milenial ini.

Meski zaman sudah berubah menjadi serba cepat dan praktis, bukan berarti kita serta-merta boleh melupakan adat istiadat yang katanya terkenal rempong bin ribet dan menghabiskan banyak uang. Bagaimanapun adat-istiadat adalah identitas kita sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang beraneka ragam.

Berkali-kali saya pernah memperoleh wejangan dari para tetua, bahwa pernikahan tidak harus bermegah-megah. Yang penting seluruh unsur adat yang diwajibkan ada dan bisa dilaksanakan, maka pesta adat tersebut sah.

Tapi fakta bahwa ada biaya yang begitu besar yang harus dikeluarkan dibalik pelaksanaan adat tersebut, membuat para kaum milenial menjadi antipati. Hidup di perantauan saja sudah susah, apalagi menyiapkan biaya untuk pesta adat. Dan kalau kedua calon mempelai memilih untuk mengadakan pesta resepsi biasa, tidak sedikit mulut orang di luar sana yang bergunjing.

Pun jika mereka memutuskan pesta adat yang minimalis, tetap saja ada yang nyinyir. Mengapa? Karena semuanya berkaitan dengan gengsi.

Saya jadi ingat salah satu tulisan di Kompasiana yang menyatakan bahwa "yang mahal itu bukan pernikahannya, tapi gengsinya". Ada benarnya juga. Dan fenomena inilah yang saya lihat di pesta pernikahan adat Batak. Rasa gengsi ini ada di setiap aspek persiapan pesta adat sehingga tampaknya begitu sulit untuk diabaikan apalagi dihilangkan, misalnya:

Sewa Gedung dan Katering

Dua hal ini boleh dibilang yang paling banyak menyedot anggaran. Rata-rata gedung adat batak di Jakarta berkapasitas seribu orang dan untuk biaya sewa selama satu hari (pagi hingga sore, karena acara adat berlangsung seharian) berkisar 30 -- 80 juta rupiah.

Gedung-gedung tertentu juga sudah dikenal di kalangan orang Batak sebagai gedung mewah. Contoh, kalau pesta diadakan di gedung sekelas Mulia Raja atau Balai Samudera, pastilah yang punya Ulaon (acara) orang terpandang dan semua tamu akan terkesan.

Suasana pesta di Gedung Mulia Raja (weddingbatak.com)

Soal katering, setiap vendor katering biasanya sudah punya minimum order tertentu dengan harga tertentu di gedung tertentu, tergantung apakah vendor tersebut rekanan dengan gedung atau tidak. Dan biasanya minimum ordernya berkisar 800-1000 porsi untuk katering adat dan 250-300 untuk katering nasional. Jadi boleh dikatakan minimum order ini menyesuaikan kapasitas gedung. Kekurangan makanan di pesta adat Batak boleh dikatakan sebagai hal yang paling tabu.

Kasarnya, kalau makanan kurang, maka pesta tersebut bisa jadi gunjingan tujuh pomparan (alias tujuh turunan)! Serem kan? Saya yakin sekali tidak ada keluarga yang tidak memperhitungkan jumlah tamu dan katering yang dipesan. Semua pasti ingin tamunya merasa puas dan mendapat makan.

Tapi menurut saya pribadi, kekurangan ini tak lepas dari banyaknya tamu yang mengambil makanan begitu banyak di piringnya, tapi karena tidak sesuai selera lidah, makanan tersebut dibiarkan begitu saja di meja pojokan. Sayang kan? Hayo, siapa yang suka seperti itu?

Baju Pengantin dan Tata Rias

Alasannya sekali seumur hidup. Jadi pengantin perempuan harus terlihat heboh bin glamor bin mewah. Kebaya brokat harus yang kualitas tinggi dan full payet, songket dan selendang harus baru berharga jutaan rupiah, make-up dan hair-do harus dari salon terkenal, tak lupa perhiasan emas yang bikin silau mata.

Ilustrasi: grosirkebaya.net

Kalau sampai ada pengantin Batak yang memakai baju pengantin warisan ibunya atau make-up dan rambut bergaya minimalis ala wedding-nya Duchess of Sussex kemarin atau memakai perhiasan emas minimalis setipis daun sangge-sangge (sereh), sudah bisa dipastikan pengantin tersebut akan jadi bahan gunjingan tamu, sehingga tak jarang keluarga pengantin akan mendikte dan 'menekan' calon mempelai perempuan dengan kata-kata "jangan kau bikin malu keluarga di depan marga A, marga B, marga C, dan seterusnya". Alhasil, streslah si pengantin perempuan karena tidak bisa menjadi dirinya sendiri di hari bahagianya.

Seragam Tamu Undangan

Ini yang paling membuat saya heran. Entah sejak kapan dan dari mana kebiasaan memberikan seragam kepada para tamu undangan. Dan setahu saya, memberikan seragam keluarga bukan suatu keharusan.

Dalam pernikahan adat Batak (mungkin yang lainnya juga ada) pasti keluarga mempelai mengalokasikan dana untuk membeli seragam keluarga. Padahal pembelian seragam ini termasuk salah satu unsur yang biayanya dapat ditekan.

Jujur saja menurut saya terkadang 'perseragaman' ini memberatkan keluarga mempelai. Mengapa? Karena kalau hanya orang tertentu saja yang diberikan, yang lain akan iri.

Bahkan ada yang terang-terangan bertanya, "seragam untuk saya mana?". Masih mending hanya bertanya seperti itu, tapi ketika muncul satu pertanyaan lagi, "uang jahitnya mana?". Kebayang dong pusingnya keluarga mempelai?

Ilustrasi: thebridedept.com

Bagi yang punya kebiasaan meminta hal-hal ini kepada calon pengantin, ada baiknya mulai dikurangi. Berempatilah pada calon pengantin dan keluarganya. Lihat-lihat bagaimana latar belakang finansial keluarga tersebut sebelum meminta.

Bahkan bila kalian dimintai bantuan untuk jadi bridesmaid atau bestman, terima lah dengan sungguh-sungguh (jika memang mau) tanpa meminta imbalan seragam, sepatu dan macam-macam. Jika calon pengantin mengalokasikan untuk itu syukuri, tapi jika tidak ya jangan protes apalagi menolak permintaan mereka.

Sinamot (Mahar)

Dalam tradisi pernikahan adat Batak, Sinamot akan diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Besaran sinamot ini juga tidak ada standar pastinya. Semua tergantung kesepakatan dan keikhlasan kedua belah pihak yang akan mengadakan Ulaon.

Tapi faktanya, semakin terpandang dan berpendidikan si mempelai perempuan, semakin tinggi pula Sinamot-nya. Apalagi jika Ulaon diselenggarakan (menjadi tanggung jawab) oleh pihak perempuan. Semakin besar pula Sinamot yang harus disiapkan.

Besaran Sinamot ini nantinya akan diumumkan ke seluruh keluarga. Namun besaran Sinamot ini bisa jadi digunjingkan juga bila dianggap tidak sesuai atau tidak pantas bagi mereka yang mendengarnya. "Ah, padahal si cewek ini dokter loh, masa mau Sinamot-nya cuma segitu". Terbayang dong kalau didengar keluarga pengantin pria?

Dengan adanya resiko-resiko di atas, mau tidak mau gengsi akan tetap ada dalam setiap pesta adat pernikahan Batak. Bagaimanapun keluarga menekan biaya, pada akhirnya biaya akan membengkak dengan adanya intervensi dari keluarga besar. Mengapa? Karena dalam acara tersebut yang terlibat tidak hanya keluarga inti kedua mempelai, melainkan seluruh marga yang berkaitan dengan keluarga kedua mempelai. Masing-masing mempunyai gengsi tersendiri supaya tidak dianggap remeh oleh marga yang lain.

Saya bukannya menentang pesta adat semacam ini, tapi saya menyayangkan mereka-mereka yang memiliki sudut pandang yang mengedepankan dan mengutamakan gengsi di atas batas kemampuan.

Bukankah esensi dari adat itu sendiri adalah kesakraklan dan makna yang harus diresapi sebagai pedoman kehidupan sehari-hari, dan bukannya mengutamakan gengsi semata?




Baca juga:
"Damai Harus Mendapat Beasiswa ke Luar Negeri!"
Jamaah Usia Lanjut yang Wafat Meningkat, Petugas Haji Harus Lebih "Cerewet"
Museum Omah Munir yang Penuh Makna tentang HAM

Tak Ingin Termakan Hoaks? Yuk, Simak Program P3K!

$
0
0

Sumber : rappler.com/indonesiaEra digital merupakan masa dimana ruang waktu menjadi tak terbatas. Pagi, siang, sore, hingga malam, informasi dapat dibagikan kepada siapa saja dan dimana saja. Keberadaan internet dan sosial media menjadikan informasi dapat berkembang secepat kilat, hitungan menit bahkan detik jutaan mata dapat melihat kondisi terkini. 

Tidak sekedar itu, kemajuan era digital membuat segala aktivitas dan kebutuhan manusia menjadi lebih mudah. Penjual dan pembeli dapat bertransaksi tanpa bertatap muka, berbagai situs jual beli online telah menjadi teman masyarakat dalam mencari dan membeli barang keinginan. 

Sistem pendidikan pun tidak luput ketinggalan untuk merasakan dampak dari era digital, materi sekolah maupun kuliah bisa didapat tanpa membeli tumpukan buku. Kini, bukan hanya kantor pos perantara berbalas pesan, surat elektronik atau biasa disebut email menjadi jalan keluar bagi mereka yang ingin berkirim pesan meskipun jarak memisahkan.

Tampak indah bila diceritakan memang keuntungan dari era digital di tengah kehidupan masyarakat. Namun sayangnya, kemajuan era digital seringkali disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bijak dalam menggunakannya. Seperti yang kita ketahui, era digital membuat informasi dapat beredar dengan cepat, namun bagaimana jika informasi yang dibagikan adalah hoaks semata?

Hoaks atau dalam bahasa Inggris disebut Hoax, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti 'berita bohong'. Hoaks merupakan berita/informasi yang disampaikan kepada khalayak umum dan berisi suatu kebohongan atau berita yang tidak benar adanya. Hoaks seringkali digunakan untuk menggiring opini publik dengan tujuan tertentu. 

Pada berbagai bidang seperti dunia hiburan, panggung politik, bahkan topik agama pun seringkali menjadi sasaran empuk para penyebar hoaks melalui media sosial. Tidak bisa dipungkiri, dampak negatif pada era digital seperti fenomena hoaks merupakan ancaman yang harus di perhatikan di tengah masyarakat. 

Bayangkan saja, satu artikel yang berisikan hoaks dan tersebar di dunia maya bisa berujung pertengkaran yang melibatkan pihak-pihak bersangkutan, parahnya lagi jika dibarengi dengan adu fisik hingga berujung pada meja hijau.

Pada dasarnya hoaks dapat menyebar sangat cepat melalui dunia maya karena masyarakat sendiri mudah menerima begitu saja hoaks yang beredar, kemudian saling membagikan kepada ruang-ruang komunitas pada setiap akun media sosial yang dimilikinya. Tidak cukup disitu, lidah pun tidak bisa dicegah untuk memperbincangkan berita yang kebenarannya sendiri masih dipertanyakan. 

Hoaks di tengah masyarakat bagaikan api pada suatu sumbu, tanpa bahan bakar api tidak akan menyebar begitu saja dan berakibat fatal. Namun sebaliknya, sumbu yang diberi minyak tanah atau bensin dengan sekejap akan terlahap api tanpa permisi. Begitulah dengan hoaks, masyarakat yang buta informasi dan dengan mudahnya tersulut oleh berita hoaks akan menjadi bahan bakar dari penyebaran hoaks sendiri dan menyebabkan serentetan dampak-dampak negatif lainnya di tengah masyarakat.

Oleh karena itu, besar peran masyarakat maupun pemerintah dalam hal ini termasuk pihak-pihak terkait dalam mengantisipasi adanya hoaks di tengah masyarakat Indonesia. 

Salah satu elemen pemerintahan yang dapat memegang andil dalam permasalahan akan adanya hoaks adalah Kementerian Agama Republik Indonesia yang dipimpin oleh seorang Menteri Agama. 

Kementerian Agama adalah kementerian di Indonesia yang memiliki peran dalam pengelolaan dan penyelenggaraan baik dalam fungsi pemerintahan maupun fungsi administratif di bidang keagamaan di Indonesia. Seperti yang kita ketahui sebagai masyarakat Indonesia yang menjunjung isi dari Pancasila sila pertama, agama merupakan salah satu hal penting pembentuk karakter seseorang dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Rajin membaca supaya pandai

Agar tak menyesal di hari nanti

Ijinkan saya untuk berandai-andai

Andaikan saya jadi Menag nanti

Menjadi seorang Menag bukan menjadi perkara mudah, di tengah keberagaman masyarakat Indonesia, amanah ini harus dijaga dan dilakukan dengan baik. Ada beberapa hal yang terngiang di benak pikiran saya sebagai seorang mahasiswa yang tengah berandai-andai menjadi seorang Menag di Negara Indonesia. 

Mari ijinkan saya menyebut program ini bernama "Progam P3K" untuk menghadapi fenomena hoaks di tengah masyarakat Indonesia. P3K? Iya, Pendidikan Pada Pengembangan Karakter masyarakat Indonesia. Pada "Program P3K" terdapat kata kunci utama yang menjadi fokusan dalam program ini yakni: Pendidikan, Pengembangan, dan Karakter.

1. Pendidikan

Pendidikan merupakan hal penting dalam kehidupan masyarakat. Pendidikan tidak diartikan dalam lingkup sempit yakni kegiatan di atas bangku kelas pada umumnya. Lebih dari itu, pendidikan adalah kegiatan pembelajaran untuk menyampaikan suatu informasi, ilmu pengetahuan, ataupun peningkatan kompetensi pada suatu kelompok tertentu. Pendidikan berkualitas yang ada di tengah masyarakat diharapkan dapat menumbuhkan masyarakat yang berkualitas pula. 

Masyarakat yang tidak mudah menelan mentah-mentah berita hoaks tanpa ada bukti kebenarannya. Masyarakat dengan pendidikan yang mumpuni akan menjadi masyarakat yang terbuka akan kondisi terkini mengenai negeri sehingga tidak mudah terpengaruh oleh pihak-pihak yang menginginkan perpecahan.

Berita hoaks dapat muncul pada berbagai topik, misalnya kandungan bahan kimia pada makanan yang disampaikan tanpa analisis lebih lanjut atau seperti teknik pengobatan tradisional yang justru dapat menelan korban jiwa. Pendidikan yang memegang peran penting dalam hal ini, dengan adanya informasi dan wawasan mengenai hal-hal terkait, masyarakat akan lebih tergerak untuk mencari tahu terlebih dahulu sebelum mempercayainya begitu saja.

2. Pengembangan

Pengembangan adalah upaya dalam rangka mengadakan suatu peningkatan baik pada peningkatan pola pikir, kompetensi, maupun moral masyarakat. Pengembangan era digital saat ini harus diiringi oleh pengembangan masyarakat, jika tidak masyarakat akan mudah terlindas oleh dampak-dampak negatif yang tidak diinginkan. 

Pengembangan di tengah masyarakat dapat dilakukan dalam beberapa hal, misalnya pengembangan sistem pendidikan melalui sekolah/pesantren/badan-badan akademik lainnya, pengembangan sarana informasi dan teknologi dengan bantuan elemen pemerintahan agar masyarakat Indonesia dari berbagai daerah dapat mengakses informasi terkini, pengembangan budi pekerti dan moral beragama melalui berbagai kegiatan-kegiatan sosial. Melalui pengembangan yang dilakukan di tengah masyarakat diharapkan masyarakat dapat menghadapi pengembangan yang terjadi pada era digital saat ini.

3. Karakter

Karakter dapat disebut juga sebagai jati diri. Karakter masyarakat Indonesia akan mencerminkan jati diri dari Negara Indonesia. Karakter yang berkembang di tengah masyarakat ibarat pondasi dari suatu kehidupan. 

Karakter yang baik akan menciptakan kehidupan bermasyarakat yang berkualitas baik dan begitupula sebaliknya. Karakter dapat diciptakan melalui beberapa langkah, misalnya pada kurikulum sistem pendidikan di Indonesia yang tidak hanya mengedepankan akademik namun juga budi pekerti, kegiatan Karang Taruna atau Remaja Masjid yang diharapkan dapat menumbuhkan karakter berjiwa sosial dan beragama, dan masih banyak lagi langkah untuk menumbuhkan karakter masyarakat yang dapat dilakukan. Dalam hal ini lingkungan masyarakat, keluarga, maupun kerabat terdekat juga memegang peran penting.

"Program P3K" di atas merupakan program di benak seorang mahasiswa yang berandai-andai menjadi Menag suatu hari nanti, namun di balik itu semua terdapat harapan besar agar masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang lebih bijak dalam menghadapi perkembangan zaman, bijak dalam bersikap, dan tentunya menjadi masyarakat yang terbuka dengan informasi dan fakta terkini.




Baca juga:
Emil Dardak akan Buka Ajang Kumpul Komunitas Se-Indonesia
Serangan "Bullying" sebagai Penguat Mental dan Meningkatkan Selera Humor
Keseruan Acara "Kompasiana Kampus 2018: Beyond Blogging and Broadcasting"

Kata Depan "di" Bukan untuk Waktu

$
0
0

Foto: Dok. Kemendikbud dalam Kompas.com

Kisah ini pernah saya dengar. Seorang editor yang tengah mengedit novel N.H. Dini, Pada Sebuah Kapal, mengganti judul novel itu menjadi Di Sebuah Kapal. Alasan editor itu terkait kaidah kebahasaan bahwa kata depan 'pada' tidak digunakan untuk tempat sehingga harus diganti dengan kata depan 'di'.

Konon, N.H. Dini menolak keras pengubahan itu karena menurutnya judul itu akan kehilangan "romantisme" ketika Pada Sebuah Kapal diganti menjadi Di Sebuah Kapal. Demikianlah kadang editor gamang berhadapan antara penerapan kaidah dan bahasa para penulis pesohor yang menerapkan gaya tertentu. 

Sering ada asumsi bahwa gaya bahasa seperti bahasa sastra dan bahasa jurnalistik dapat dimaklumi "menabrak" kaidah-kaidah kebahasaan yang berlaku. Alasannya bermacam-macam seperti alasan rasa bahasa atau alasan efesiensi berbahasa. Contohnya, soal penggunaan 'di' dan 'pada' memang paling banyak dilanggar.

Saya tergerak menuliskan kembali perkara sepele ini karena merasa terganggu melihat tema Seminar Leksikografi Indonesia (SLI) yang diselenggarakan oleh Pusat Pengembangan dan Pelindungan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Tema seminar itu cukup mentereng, "Leksikografi di Era Digital".  Isu digital memang menarik untuk dibedah dalam segala hal.

Leksikografi adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari teknik penyusunan kamus. Menguak hubungan antara leksikografi dan digitalisasi dalam penyusunan kamus mungkin terkait dengan perkembangan bahasa, kecepatan penyusunan, dan juga penerbitan kamus secara digital/elektronik seperti yang dilakukan pada KBBI. Tentu saja tema seminar yang disodorkan Badan Bahasa itu sangat menarik. 

Sayang, saya tidak dapat mengikuti acara yang digelar tanggal 1 s.d. 3 Agustus 2018 di Hotel Santika Premiere, Slipi, Jakarta itu. Ada lima pemakalah kunci yang mengisi acara tersebut dan 32 pemakalah terpilih. Salah satu bahasan dari seminar ini adalah bagaimana memasyarakatkan profesi leksikograf (penyusun kamus). 

Kembali soal yang mengganggu tadi mengapa Badan Bahasa menggunakan judul seminar yang justru melanggar kaidah? Pasalnya, kaidah tersebut justru ditekankan oleh Badan Bahasa sendiri. 

Kata depan 'di' digunakan untuk tempat sehingga pengguna bahasa harus menghindarkan bentuk seperti ini di malam hari, di bulan Agustus, di tanggal 10,  di era digital, dan di musim hujan

Keterangan yang terkait waktu, tidak dapat menggunakan kata depan 'di'. Hal ini sangat saya pegang teguh sebagai editor. Semua kata depan 'di' yang mengiringi waktu, saya ganti dengan kata 'pada'.

Di dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), kata depan 'di' dalam ragam cakapan memang dapat digunakan sebagai keterangan waktu, tetapi tidak untuk ragam resmi. Judul seminar seperti yang diselenggarakan Badan Bahasa jelas harus menggunakan ragam resmi atau baku.

Apakah ada perkembangan baru dalam soal pemakaian kata depan 'di' ini? Saya tidak tahu. Namun, pemakaian 'di' untuk mengiringi waktu memang sudah sangat menggejala, baik pada judul kegiatan, judul buku, maupun judul-judul lainnya. Jika mampir ke meja editing saya, pasti saya ubah.

Soal penggunaan 'di' pada judul seminar Badan Bahasa tersebut sempat dibahas juga di grup WA yang diisi para pakar dan praktisi bahasa Indonesia. Saya kira ini menjadi autokritik bagi Badan Bahasa sendiri agar berhati-hati dalam penggunaan bahasa di ranah publik sehingga tidak melanggar sesuatu yang justru telah mereka tetapkan sendiri.[]




Baca juga:
Audrey Latuputty, "Opzichter" Perempuan di Taman Makam Kehormatan Belanda
Emil Dardak akan Buka Ajang Kumpul Komunitas Se-Indonesia
Serangan "Bullying" sebagai Penguat Mental dan Meningkatkan Selera Humor

Diminati, "Si Doel The Movie" Bakal Lewati Satu Juta Penonton?

$
0
0

Atun dan Zaenab mengantar kepergian Doel ke Belanda (dok. Youtube.com/Falcon)

Kisah si Doel rupanya tetap menarik bagi masyarakat untuk mengikuti kelanjutannya. Apalagi bagi mereka yang setia menonton serialnya bertahun-tahun. Tak heran jika layar bioskop yang memutar Si Doel The Movie pun ditambah melihat keantusiasan masyarakat menyaksikan film ini di hari pertama (2/8).

Suasana bioskop Cijantung kala itu sesak oleh penonton yang terdiri atas kaum Ibu paruh baya dan anak-anak. Aku menebak-nebak film yang bakal mereka tonton. Film anak-anak sedang tidak diputar di bioskop ini. Jadi tebakanku berkisar antara film Kafir, Mission Impossible, dan Si Doel The Movie. Ketiganya bukan jenis film anak-anak tapi orang tua memang masih suka mengajak anak-anaknya tanpa memedulikan rating atau usia batasan minimal penonton. Ketika kemudian mereka mengerumuni studio yang sama dengan yang akan kutuju, aku tak merasa heran.

Sejak Kamis (2/8) mulai show pertama studio di Cijantung yang memutar Si Doel The Movie penuh sesak bahkan full book. Ketika jam pemutarannya ditambah pun juga tetap ramai. Dari akun media sosial @film_indonesia, jumlah penonton Si Doel The Movie selama dua hari tayang telah mencapai 279 ribu penonton.

Si Doel The Movie telah meraih 279 ribu penonton pada hari kedua pemutaran (dok. Instagram.com/film_indonesia)

Awalnya aku ragu hendak menonton film ini. Kisah Kasdullah alias si Doel setelah kepergian tokoh-tokoh ikoniknya seperti Pak Tile, Benyamien Sueb, dan Basuki apakah tetap menarik disimak ya? Tapi rupanya kecemasanku tak terbukti. Si Doel tetap kocak dan menarik untuk ditonton. Si Doel The Movie tetap menghibur salah satunya berkat duo paman dan keponakan yang rajin cekcok, Mandra dan Atun.

Si Doel The Movie Berkisah Tentang Apa?

Fokus cerita tetap ada pada si Doel (Rano Karno) yang sudah tak muda lagi. Sejak Sarah (Cornelia Agatha) meninggalkannya belasan tahun, Doel menikah siri dengan Zaenab (Maudy Koenadi). Kehidupannya belum kunjung membaik. Ia tetap tinggal di rumah orang tuanya bersama adiknya, Atun (Suti Karno) dan keponakannya, seta pamannya, Mandra (Mandra) yang bawel. Ibunya, Mak Nyak (Aminah Tjendrakasih) mengalami buta karena glukoma dan kelumpuhan sehingga hanya bisa berbaring di tempat tidur.

Si Doel dikisahkan berprofesi sebagai teknisi lepasan. Sedangkan istrinya menerima pesanan kue-kue. Warung ibunya masih ada dan sehari-hari dijaga oleh Atun yang menjanda sejak kepergian suaminya, Karyo.

Harapan tiba ketika Doel mendapat tawaran menyediakan barang-barang untuk keperluan festival Tong-Tong di Belanda. Ia bahkan mendapat tiket pulang pergi cuma-cuma untuk mengantarkan barang tersebut oleh sobat lamanya, Hans (Adam Jagwani), yang sekarang menetap di Belanda. Mandra bahkan boleh ikut serta.

Mandra dan Doel diajak ke Belanda oleh Hans (dok. Youtube.com/Falcon)

Kepergian tersebut disambut suka cita oleh Doel dan keluarganya. Namun, persoalan mulai hadir ketika Doel menyadari Sarah juga tinggal di Belanda. Apalagi Hans juga menyinggung-nyinggung tentang anak si Doel. Benarkah si Doel memiliki buah hati dari pernikahannya dengan Sarah?

Benarkah Sarah masih di Belanda? (Dok. Youtube.com/Falcon)

Tetap Hidup Berkat Nostalgia dan Lawakan Mandra

Apa yang memikat dari sosok si Doel? Ia sosok yang pendiam dan terkesan membosankan, meskipun diperebutkan oleh dua wanita cantik, Sarah dan Zaenab.

Jika hanya Doel yang tampil di film ini mungkin ceritanya bakalan datar. Untunglah dalam film si Doel bukan hanya sosok Doel yang ditonjolkan, namun juga budaya Betawi dan orang-orang sekeliling Doel yang membuat penonton merasa bernostalgia dengan film serial lawasnya.

Penonton yang setia dengan filmnya, diajak peduli dan bersimpati dengan kondisi kesehatan Ibu Doel yang memburuk, Zaenab yang rapuh dan tak percaya diri, Atun yang selalu ceria dan bersemangat, Mandra yang bawel, Sarah dengan gayanya yang manja namun perhatian, dan kawan-kawan Doel lainnya seperti Hans dan Koh Ahong (Kasiman).

Si Doel jaman masih di sinetron (dok. Instagram.com/pecintasidoel)

Cerita dalam film ini sebenarnya sederhana, tentang percintaan kaum dewasa yang rupanya berlika-liku karena kesalahan pelakunya pada saat masih muda. Solusi ceritanya juga seolah-olah mengambang secara alami karena dengan pertemuan yang terbatas memang sulit untuk dipaksakan terjadi solusi yang memuaskan. Siapa tahu bakal ada lagi sekuelnya.

Dalam film layar lebar ini si Doel bukanlah Doel belasan tahun silam. Doel tidak begitu percaya diri. Ia terkadang nampak seperti pecundang dan menyimpan rasa bersalah karena membiarkan orang yang dicintainya pergi. Karakter si Doel dan tokoh-tokoh lainnya mengalami perkembangan karakter. Mungkin hanya Mandra yang karakternya tak banyak berubah dan untunglah tidak berubah. Ia tetap Mandra yang bawel, keras kepala, dan suka mengajak bertengkar si Atun. Berkat tingkah polah dan celotehan Mandra, film si Doel ini tetap hidup dan menghibur.

Wah kalau melihat antusiasme penonton, sepertinya dalam beberapa hari ke depan film ini sudah bisa menembus angka keramat satu juta penonton. Siap-siap ada kelanjutannya nih.

Berkat Mandra, si Doel The Movie jadi semarak (dok. Youtube.com/Falcon)

Detail Film:

  • Judul Film: Si Doel The Movie
  • Sutradara : Rano Karno
  • Pemeran : Rano Karno, Cornelia Agatha, Maudy Koenaedi, Mandra, Suti Karno, Aminah Tjendrakasih, Adam Jagwani, Kasiman
  • Genre : drama keluarga
  • Skor: 7.8/10



Baca juga:
Saya Enggan "Mensukseskan" Asian Games 2018
Audrey Latuputty, "Opzichter" Perempuan di Taman Makam Kehormatan Belanda
Emil Dardak akan Buka Ajang Kumpul Komunitas Se-Indonesia

Kisah Emak-emak Penakluk Gunung Prau

$
0
0

Di Puncak Gunung Prau sambil menyaksikan pesona milky way di langit cakrawala. (Foto: Dokpri.)

Di usia yang sudah enggak muda lagi, kami emak-emak masih bersyukur sampai ke puncak Gunung Prau. Begini kisah susah payah perjalanannya.

Jumat, 13 Juli 2018

Ladies Traveler - komunitas emak-emak penyuka traveling di Facebook -- pergi jalan-jalan lagi. Komunitas ini bisa menyingkat diri dengan 'LT'. Kali ini, kami ada 12 orang yang mengayunkan langkah kaki. Tujuannya, tiada lain ke Gunung Prau di dataran tinggi Dieng, Wonosobo, Jawa Tengah. Ketinggian gunung ini lumayan membawa cerita, yaitu 2.590 m.

Di musim kemarau seperti sekarang, Gunung Prau justru dingin bahkan lebih dingin dari biasanya. Kami kumpul di halaman parkir RS UKI Cawang, Jakarta Timur. Ketika sudah kumpul semua, terbayang betapa menantang traveling kali ini. Mendaki gunung, berkemah, menembus pekatnya malam dan dinginnya embun, menyaksikan jutaan bintang di galaksi langit, serta yang paling ditunggu sudah tentu matahari terbit di horizon timur. Ya, sunrise!

Oh ya, jutaan bintang di bima sakti itu biasa kita suka sebut dengan milky way yang diambil dari Bahasa Yunani Via Lactea. Kebayang dong, kita-kita ada di atas gunung dan menyaksikan milky way itu. Sungguh, ciptaan Tuhan Yang Maha Suka Keindahan.

Di Puncak Gunung Prau (2590 mdpl) dengan latarbelakang milky way. (Foto: Dokpri)

Milky way inilah yang memacu semangat kami para emak-emak 'LT' untuk mendaki Gunung Prau yang persisnya berada di Kabupaten Batang Kendal, Wonosobo. Kalau mengikuti googlemaps, jarak dari RS UKI Cawang ke Gunung Prau adalah 409 km atau membutuhkan waktu sekitar 9 jam untuk menuju ke sana.

Tapi, googlemaps cukuplah menjadi patokan umum saja. Karena ternyata, meskipun kami bergerak on the way mulai jam 22.00 wib, tetap saja harus menembus kemacetan luar biasa di Tol Bekasi Barat menuju Cikarang Barat. Butuh waktu 2,5 jam dengan kendaraan merayap perlahan di atas aspal. Mirip kura-kura, jalannya pelan-pelan. Maka tak salah kalau kami menyebut member 'LT' yang berangkat mendaki Gunung Prau ini memilih nama Kura-kura sebagai simbol sebutannya. Tapi biar lambat asal selamat, ya toh?

Lantaran sudah kelelahan menderita kemacetan di tol, sampai di rest area Tol Cipali, kendaraan kami menepi. Istirahat meluruskan kaki dan melancarkan kembali peredaran darah. Butuh ke kamar kecil juga sudah pasti menjadi salah satu alasan untuk menepi dan rileks sedikit. Durasi 15 menit cukuplah untuk meregangkan dan menyegarkan badan kembali. Perjalanan pun dilanjutkan.

Membeli jajanan pasar di Pasar Pon, Purwokerto. (Foto: Dokpri.)

Panjangnya jalan Tol Cipali (Cikopo -- Palimanan) yang 116 km pun kami susuri. Ditambah panjangnya Tol Palikanci (Palimanan -- Kanci) sejauh 26 km. Hampir tak terasa jauhnya, karena seakan-akan jalanan bebas hambatan ini cuma berasa lurus saja. Kami pun keluar tol di pintu gerbang Brebes Timur. Lanjut terus ke arah Tegal, lalu belok kanan menuju ke Puerto Rico alias Purwokerto dengan melintasi wilayah Bumi Ayu. Ya, karena sudah lewat tengah malam, maka jalanan rute selatannya Jawa Tengah ini pun lancar.

Ketika saatnya shalat Subuh, sekitar jam 05.00 wib, kami menepikan kendaraan lagi. Kali ini menyasar halaman masjid yang ada di wilayah Bumi Ayu. Subuh adalah waktu spesial. Para malaikat menyaksikan kita yang menunaikan kewajiban shalat.

Usai shalat, warung yang menjajakan minuman hangat di samping masjid pun menjadi incaran. Kami mereguk kehangatan. Kopi dan teh dengan aroma yang menyengat sedap dicecap lidah. Diseruput nikmat meski belum gosok gigi apalagi mandi pagi. Rasa kantuk pun terusir pergi.

Sabtu, 14 Juli 2108

Jam 6.30 wib, kami merapat di Purwokerto, ibukota Kabupaten Banyumas. Secara tradisi, Purwokerto adalah kota industri dan perdagangan. Kotanya resik banget dan memikat hati. Karena barusan saya sebut bahwa Purwokerto ini adalah kota perdagangan, maka menjadi alasan bagi kami untuk mampir 'cuci mata' ke pasar tradisional.

Namanya, Pasar Pon. Lokasinya ada di Jalan Jenderal Sudirman Barat atau yang lebih dikenal dengan Bantarsoka, Kecamatan Purwokerto Barat. Jajanan pasar menjadi pilihan untuk kami beli. Sekadar mengisi 'kampung tengah' alias perut.

Emak Julie dan Emak Antien dengan busana lengkap menahan dingin. (Foto: Dokpri.)

Di Purwokerto -- kota yang pernah melahirkan nama-nama besar seperti Jenderal Gatot Subroto, pelawak S Bagio, Darto Helm, mantan menteri Soesilo Soedarman, Soeparjo Roestam dan lainnya -- kami berencana bertemu dengan member 'LT' lainnya yang menumpang kereta. Dua emak-emak dari Sukabumi, dan seorang lagi berangkat dari Ciamis, Jawa Barat. Tapi apa daya, kedatangan ketiganya terlambat dari jadwal yang sudah dirancang.

Keterlambatan mereka yang menumpang kereta, membuat kami bisa longgar waktu untuk beristirahat. Dimana? Ya, karena ada satu keluarga emak 'LT' asal Bandung, Jawa Barat yang sudah lebih dulu menginap di Hotel Palapa di Jalan Letjen S Parman, Purwokerto Selatan, maka kami pun menumpang untuk menggunakan kamar mandi kamar hotelnya plus berganti busana.

Tak perlu mandi kuyup, cukup mandi koboi. Segar kembali badan ini. Selesai bersalin baju, kami bergegas menjemput kedatangan tiga emak 'LT' di stasiun kereta Purwokerto. Ini adalah stasiun kelas besar di pinggiran kota, tepatnya di daerah Kober. Rel keretanya tentu sudah ganda alias double track.

Kata Wikipedia, malah ada tujuh jalur yang semuanya aktif, dengan jalur 2 sebagai jalur utama. Eh iya, asal tahu saja, stasiun ini diresmikan pada 1 Juli 1916 oleh perusahaan kereta api Staatsspoorwegen. Mungkin gara-gara nama perusahaan ini sehingga membuat wong Jowo menyebut kereta sebagai spoor alias sepur.

Penulis berpose di ikon tulisan Gunung Prau. (Foto: Dokpri.)

Kedatangan tiga teman yang menumpang kereta telat 1,5 jam dari perkiraan jam pertemuan. Meski telat, tapi akhirnya kami semua sudah bisa kumpul di Purwokerto. Bahagia rasanya, gank kura-kura sudah lengkap. Toss ...

Sekarang, dengan dua mobil beriringan, kami memacu gerak kendaraan dari stasiun kereta Purwokerto menuju Wonosobo. Perjalanan berjarak sekitar 90 km dan memakan waktu hampir 3 jam. Pacu kendaraan enggak ngebut kok. Santai tapi mantap, wusss-wusss. Tiba di Kabupaten Wonosobo, kami lanjutkan perjalanan ke arah utara dengan jalan mendaki sekitar satu jam perjalanan menuju Dieng Plateau.

Dieng Plateau atau dataran tinggi Dieng ada di ketinggian 2.093 mdpl. Inilah mengapa hawa dingin semakin menyambut kami dalam setiap putar roda kendaraan. Lokasi Dieng Plateau ada diantara dua kabupaten, Wonosobo dan Banjarnegara.

Berfoto dulu di basecamp sebelum mendaki Gunung Prau. (Foto: Dokpri.)

Foto bareng dulu di basecamp sebelum mendaki Gunung Prau. (Foto: Dokpri.)

Sepanjang jalan mendaki ini, pemandangan alam sudah begitu indah dipandang. Ciamik banget dengan aneka kebun sayur dan persawahan yang subur menghijau meskipun sekarang sedang musim panas. Hawa sejuk semakin memeluk. Pantas saja ketika akhir abad 19 doeloe, bangsa londo alias Belanda suka bermukim di sini. Noni-noni Belanda itu pasti suka dengan "Kota Dingin" Dieng yang mungkin saja mirip tempat asal mereka di Eropa sana.

Saking dinginnya, meskipun hari sudah siang tapi jaket tebal dan baju hangat tak mau kami lepas. Mungkin juga dinginnya bertambah karena kami enggak sempat mandi pagi juga ... wkwkwkkkkk, tapi wangi tubuh tetap terjaga, emak-emak 'LT' gitu loh.

Jam 14.00 wib

Jam dua siang kami sampai di meeting point Dieng Plateau. Lapar? Pasti. Dingin dan memang sudah lewat jam makan siang pula 'kan. Lunch di mana? Kami semua makan siang di rumah tim pemandu (guide) yang memang sudah menyiapkan perjamuan. Para guide inilah yang akan membantu dan memandu kami nanti mendaki Gunung Prau.

Memulai pendakian Gunung Prau. (Foto: Dokpri.)

Ketika mendaki, beberapa kali harus istirahat, sambil tak lupa jepret selfie sebelum hari gelap. (Foto: Dokpri)

Kelar makan, sebagian kami menunaikan Dzuhur yang dijamak dengan Ashar. Di rumah tim guide ini pula kami menyortir barang-barang bawaan. Mana barang-barang yang harus ditinggal- termasuk busana yang akan dikenakan ketika pulang ke Jakarta nanti - dan mana yang perlu dibawa untuk mendaki gunung, segera diseleksi.

Kami enggak khawatir harus membawa ransel besar atau carrier yang gendut menggelembung. Ini bukan karena emak-emak 'LT' gank kura-kura ini kuat berotot baja dan sanggup membawa beban berat, tapi tim porter yang akan membantu menggendong carrier memang sudah stand by. Hahahaaa ... eh, plis dehenggak usah diketawain yeeeehhh.

Hasil seleksi barang bawaan, membuat saya hanya membawa ransel dan tongkat kecil. Praktis buat menyusuri jalur pendakian. Ransel kecil yang saya cangklong di punggung ini cuma berisi handphone, kamera, powerbank, wadah air minum, kacamata, jaket tipis windbrake yang kedap air atau bahan parasut, sarung tangan, tutup kepala atau kupluk, syal, dan sudah pasti jaket hangat luaran. Carrier saya yang kira-kira ukuran 60 liter dan berat, saya minta dibawa oleh porter saja. Dalam carrier itu ada jaket tebal, long john atau thermal underwear, sleeping bag, air minum, kaos kaki tebal, beberapa kaos dan dalaman untuk ganti, lampu kecil, dan kudapan seadanya. Kudapan camilan perlu loh, namanya juga emak-emak, tahan lapar tapi enggak bisa nahan ngemil. Ssssstttttt ... ini rahasia!

Emak Julie di penanda Pos ke-2 pendakian Gunung Prau. (Foto: Dokpri)

Penulis kelelahan tapi tetap menebar senyum dan semangat. (Foto: Dokpri)

Jam 15.00 wib

Jam di hape sudah menunjukkan tiga sore. Saatnya kami mulai bergerak menuju basecamp untuk kemudian bersiap melanjutkannya dengan mendaki ke puncak Gunung Prau melalui JALUR DIENG. Menurut pengalaman guide kami, waktu tempuh pendakian adalah sekitar 3 jam. Itu juga masih harus ditambah waktu 40 menit, untuk kembali turun dari puncak Prau  menuju ke bukit lokasi perkemahan .

Nah, karena faktor 'U' alias usia, maka rombongan kami dibagi menjadi 3 kelompok. Masing-masing, 4 orang yang termasuk kelompok faktor 'U'; 4 orang lagi masuk kelompok yang masih muda-enerjik-lincah; dan 4 orang berikutnya merupakan kelompok yang merupakan se-keluarga. Saya? Heheheee ... masuk kelompok faktor 'U'.

Kelompok emak-emak yang masih muda-enerjik-lincah memilih untuk lebih dahulu melakukan pendakian. Saya dan tiga emak-emak yang faktor 'U' berangkat agak belakangan alias slow sedikit. Kaki-kaki mengayun seirama lengan.

Meski landai tapi pendakian ini melelahkan. Jujur lho ini. Tapi kami tetap semangat, bahkan sampai juga di pos pendakian ke-2. Sampai di pos ini, tim emak-emak yang lebih dulu berangkat tadi, malah sudah enggak ketemu lagi. Mereka sudah terus jalan mendaki.

Kalau tadi saya bilang pendakian di jalur landai ini melelahkan, ya memang begitu adanya. Berulang kali kami harus berhenti. Mengatur ritme udara di rongga paru-paru yang ngos-ngosan. Mengistirahatkan kaki sambil sesekali selfie, wefie juga groufie. Narsis mah atuh kan teteup, qiqiqiqiqiiii. Dalihnya kira-kira begini, ngapain juga terburu-buru menuju puncak pendakian, kalau pemandangan sore di sekitar jalur pendakian ini cakep bangeeettttt ... (padahal sih emangudah mulai kecapekan, hahahaaaaa).

Bagi kami --gank kura-kura -, biar perlahan tapi asal terus mendaki. Lambat asal sampe, gitulah semboyannya. Bukankah LEBIH BAIK LAMBAT DARIPADA LAMBAT BANGET, kaaannnn ... #smile

Di Puncak Gunung Prau (2590 mdpl) dengan latarbelakang milky way. (Foto: Dokpri)

Gank Kura-kura di Puncak Gunung Prau (2590 mdpl) menatap milky way. (Foto: Dokpri)

Senja pun mulai mengggelayut di langit. Pemandangan alam pun cantiknya makin selangit. Meninggalkan pos pendakian ke-2, kami sudah harus memakai sarung tangan  dan kupluk penutup kepala. Makin dingin keleuussssss ...

Semakin gelap, langit malam di jalur pendakian Gunung Prau ini kian menaburkan banyak bintang. Duhai Sang Maha Indah, semakin indah sekali pemandangannya.

Tiba di Pos ke-2

Emak-emak gank kura-kura ini sampai di pos pendakian ke-2 di Semendung, sekitar jam 19.00 wib. Gelap terus menyelimut, berlomba dengan hawa dingin yang makin menusuk.

Menurut guide dan porter kami, pendakian ini masih harus mendaki dua bukit lagi. Barulah kemudian sampai ke puncak Gunung Prau. Weleh-weleehhh ... masih dua bukit lagi??!! Padahal, jujur aja (enggak pake malu juga deh), kaki saya sudah mulai berasa keram. Hiks ... untuk mengurangi risiko semakin sakit, kaki saya terpaksa dibalur semprotan calcium plus minyak gosok - yang meskipun panas di kulit tapi jadi malah terasa semriwing saja.

Sesudah merasa agak semakin enakan dua kaki ini, kami melanjutkan lagi pendakian. Jalan mendaki tak seberapa lebar, atau sekitar 2 orang dewasa berdiri berjajar saja. Di sisi sebelah adalah bukit, dan sebelah lagi merupakan jurang cukup terjal.

Di lokasi perkemahan pun masih terlihat milky way. (Foto: Dokpri.)

Sekitar 1,5 jam kemudian, dengan pendakian yang fisik mulai rada susah-payah, gank kura-kura akhirnya sampai juga di puncak! Alhamdulillah, ucapan syukur kepada Ilahi tak putus kami sebut-sebut. Menengok jam, ternyata memang sudah 20.30 wib.

Angin menerpa kencang. Menampar wajah dan semua yang bisa diterpa. Hembusannya membawa  hawa dingin. Menusuk sendi dan tulang. Maklumlah, ini puncak Gunung Prau dengan ketinggian 2.565 m. Lelah terbayar dengan rasa syukur menyaksikan pemandangan alam. Langit bertaburan bintang.

Kelap kelip sih rasanya mata memandang, meski enggak kelihatan berkedip. Untungnya langit cerah. Bintang-bintang yang posisinya tak beraturan bak menyatu menjadi milky way. Indahnya tak bisa dilukiskan dengan kata-kata di tulisan ini. Pokoknya kami merasa kecil di tengah hamparan benda-benda langit ciptaanNya. Tuhan Maha Besar.

Menikmati pemandangan yang luar biasa ini, porter kami sibuk menyiapkan tripod, kamera disiapkan. Inilah moment menyenangkan, yaitu apalagi kalau bukan photo shooting. Hasil kreatif pemotretannya memang ciamik luar biasa. Fotonya keren, malah super kerendweh. Berfoto dengan biru kegelapan langit dan taburan bintang. Milky way yang kami idam-idamkan sejak masih di Jakarta, sudah sukses kami nikmati.

Menikmati pesona sunrise dari lokasi perkemahan Gunung Prau. (Foto: Dokpri)

Memandangi matahari terbit dari lokasi perkemahan Gunung Prau. (Foto: Dokpri)

Oh ya, karena guide (dan porter) sudah lihai dengan medan lapangan, kami pun diminta untuk melakukan sessi pemotretan yang cukup 'menyiksa'. Begini maksudnya. Untuk satu jepretan foto, kami diharuskan berdiam mematung selama sekitar 30 detik. Wakakakakkk ... padahal 'gimana mau diam, hawa dingin selalu saja membuat kami ingin terus bergerak dan bergerak.

Ya tujuannya supaya enggak kedinginan, meskipun amit-amit jabang baby, jangan sampai juga deh kena hipotermia alias mekanisme tubuh yang kesulitan menyesuaikan dengan pengaturan temperatur suhu. Ini di puncak gunung lho, wajar sih kepikiran begitu, meskipun kami berdoa dalam hati supaya semua selamat dan jauh-jauh dari baying-bayang hipotermia ini. Duh Gusti Allah, lindungi kami selalu.

Pemotretan dengan latarbelakang milky way super cantik dilakukan sekitar 30 menit. Kami berempat sudah merasa seperti artis, meski enggak berani menyebut layaknya foto model. Mungkin tepatnya artis era Chicha Koeswoyo dan Dina Mariana kecil tempo doeloe, hahahaaaa ...

Usai pemotretan, kami lanjut dengan perjalanan yang menurun. Turun menuju ke tempat perkemahan. Waktunya sekitar 40 menit. Meski tidak sampai sejam, tapi rasanya waktu bergerak lambat. Kaki-kaki gank kura-kura sudah kembali mulai minta istirahat. Hayatilelahhh ...

Emak Indah bersama suami dan putrinya yang baru berusia 10 tahun. (Foto: Dokpri.)

Berfoto bersama menikmati suasana pagi. (Foto; Dokpri.)

Sampai di perkemahan, Tenda sudah terpasang begitu kami datang. Tendanya sudah komplit dengan sleeping bag dan matras alas tidur. Masing-masing tenda berkapaitas 3 orang.

Oh ya, tenda lain yang ditempati oleh teman-teman rombongan yang mendaki dan lebih dulu tiba di lokasi perkemahan ini juga berdampingan. Mereka pun sama, kelelahan. Sehingga tidak ada yang keluar dari tenda untuk menyambut gank kura-kura. Hanya suara sahutannya saja yang terdengar dari dalam tenda masing-masing. Maklumlah, hawa dingin tak membedakan siapa yang ingin dipeluk. Pokoknya, semua kedinginan.

Tanpa menunggu lama, kami pun langsung masuk tenda. Dingin semakin merasuk, baju kaos yang dikenakan dan kaos kaki yang mulai lembab segera kami ganti dengan yang kering. Saya sendiri pilih untuk mengenakan long john, baju hangat dan kaos kaki wool tebal. Tak lupa kami ini dibalur lagi minyak gosok agar tidak semakin kaku dan penat. Dan yang tak lupa mengonsumsi obat pereda sakit persendian yang memang sengaja saya bawa. 

Teh panas yang cepat menjadi hangat dan dingin pun saya teguk sampai puas. Bukan saja dahaga yang menyerang, tapi juga demi menghangatkan badan. Kudapan non-karbo yang menjadi bekal untuk makan malam pun mulai saya lahap. Emak yang lain pun menghabiskan nasi makan malamnya, agar perut tidak kedinginan.

Berfoto bersama menikmati suasana pagi. (Foto; Dokpri.)

Aneka gaya berfoto suka-suka di lokasi perkemahan Gunung Prau. (Foto: Dokpri.)

Suasana di tempat perkemahan yang cukup ramai wisatawan kurang kami minati. Rasanya, sleeping bag yang membungkus hangat lebih menarik dibanding kongkow-kongkow di luar tenda yang dingin. Bukankah kita perlu adil kepada tubuh kita sendiri juga. Saatnya istirahat. Malam semakin larut, sebelum tidur gank kura-kura sibuk mengeluh ingin buang air kecil.

Alamak, apa ada toilet umum di sini? Lha, ini di gunung kayak begini, hayooo, musti gimana buang air kecilnya? Urusan buang hajat pun kami lakukan di belakang tenda. Air siraman diganti dengan tisu basah dan tisu kering sebagai pembersihannya. Sampah tisu tidak diabuang sembarangan. Semua rapi dan sadar untuk menjaga kebersihan. Emak-emak 'LT' pasti siap dong perabotan 'urusan ke belakang' beginian.

Semakin larut di lokasi perkemahan Gunung Prau semakin bikin galau dan hati kecut. Bagaimana enggak? Yang namanya hawa dingin, luar biasa rasanya. Menyelusup ke dalam tenda, jaket, sarung tangan, kaos kaki, ransel, carrier, sleeping bag ... semua jadi sedingin es batu. Rasanya semua membeku. Malah air minum pun perlahan tapi pasti berubah seperti air es. Waduuuhhhh ...

Dari lokasi perkemahan di puncak Gunung Prau nampak puncak Gunung Sindoro. (Foto: Dokpri.)

Penulis dengan bendera Merah Putih yang semoga terus berkibar. (Foto: Dokpri.)

Dari lokasi perkemahan di puncak Gunung Prau nampak puncak Gunung Sindoro. (Foto: Dokpri.)Di dalam tenda, kami hanya bertiga. Emak-emak 'LT' lainnya pun dibagi-bagi kelompok per tenda. Berasa banget tenda ini sempit. Masing-masing kami sudah terbungkus sleeping bag dengan bantal darurat yang dibuat dari susunan baju-baju. Enggak usahlah bicara guling, hahahaaaa ... nihil. Itu pun masih membuat kami tak cukup nyaman. Setiap bergerak kiri kanan, rasa dingin selalu saja tak bisa dikalahkan.

Ketidaknyamanan semakin bertambah. Kaki saya mulai terasa keram. Bergerak sedikit saja, rasanya lumayan sakit. Untuk meredakannya saya tahu banget yaitu harus rileks dan tidak tegang atau kaku. Tapi apa mau dikata, terbungkus sleeping bag malah makin membuat tubuh ini terasa semakin membujur tegang, sulit untuk relax dan enjoy.

Meski sudah coba tidur nyenyak, tapi rasanya mata ini sulit kompromi. Badan lelah sekalipun, tidur lelap masih saja tak bisa. Angin kencang berkali-kali menggoyang tenda, malah kadang seperti 'menggebuk-gebuk' sisi luar tenda. Dingin kian menusuk-nusuk. Entah berapa kali saya baru merasa bisa sedikit nyenyak, tapi kemudian terbangun lagi.

Emak Cucu. Sang pendaki membawa bendera Merah Putih. (Foto: Dokpri.)

Emak Sumi. Dari lokasi perkemahan di puncak Gunung Prau nampak puncak Gunung Sindoro. (Foto: Dokpri.)

Minggu, 15 Juli 2018

Jam 04.00 pagi. Kami cukup terkaget dengan suara-suara dari luar tenda. Ada suara orang banyak bertepuk tangan. Kedengarannya seisi lokasi perkemahan ini semua orang bertepuk tangan, saking rame-nya di telinga. Kami bertiga pun bangun dengan raut wajah yang sama-sama keheranan. Ada apa gerangan?

Belum juga terjawab rasa penasaran ini, kami merasa ada cahaya yang mulai masuk ke dalam bilik tenda. Warna sinar oranye dari luar tenda. Tak perlu berlama menahan kepo, kami bertiga langsung mengintip dari 'jendela' tenda. Sambil sebisa mungkin menahan hawa dingin yang tiada habis.

Woooowwww, ternyata ... suara tepuk tangan semua orang yang berada di lokasi camping ground di bukit ini adalah wujud rasa kegirangan karena mulai bersiap menyaksikan matahari terbit, sunrise!

Menyiapkan kue ulang tahun buat seorang rekan, mak Julie yang berulang tahun. (Foto: Dokpri.)

Emak Julie yang berulang tahun. (Foto: Dokpri.)

Suhu di lokasi perkemahan ini mencapai titik terendah 6C. Kami semua emak2 bangun dari pembaringan sleeping bag. Malas rasanya untuk membuka mata dan menggerakkan badan. Mau minum air putih pun, bukannya air hangat yang didapat, tapi justru seperti minum air es. Dingin.

Tapi, demi menyaksikan keindahan alam saat matahari baru kembali dari peraduan, kami pun memaksakan diri untuk bergegas segera keluar dari tenda. Tutup kepala saya kenakan, demi menahan dingin yang menerpa dahi dan utamanya telinga. Syal terlilit rapat di leher. Sedikit pakai lipstick supaya bibir tidak terlalu kering, dan tidak lupa mempersiapkan kacamata hitam.

Meskipun hari masih gelap, tapi rona cahaya persiapan mentari terbit sudah mulai nampak. Keluar tenda pun bukan berarti kami langsung menunggu sunrise. Tidak! Tapi justru antri lebih dulu untuk membuang air kecil di belakang tenda.

Guide dan porter sepertinya masih tidur. Yaiyalah, mereka kan sudah bolak-balik ke sini, masak mau menunggu matahari terbit lagi. Bosen ngkali ... wkwkwkkkkk

Bunga Daisy khas Gunung Prau yang banyak bermekaran di sekitar lokasi perkemahan Gunung Prau. (Foto: Dokpri.)Emak Sumi berfoto dengan bunga liar Daisy khas Gunung Prau di sekitar lokasi perkemahan Gunung Prau. (Foto: Dokpri.)

Acapkali matahari terbit, pesona alamnya memang menjanjikan segala keindahannya. Sekitar dua minggu lalu, saya juga menikmati detik-detik matahari nongol di horizon timur, dari atas Gunung Kelimutu di Ende, Flores. Kelimutu terkenal dengan tiga danau berwarna alami. Segala tatap pandang indah yang saya saksikan ketika itu masih membekas. Dan, kecantikan menatap sunrise itu kini saya nikmati lagi dari atas Gunung Prau.

Tiada bosan rasanya menyaksikan warna langit yang kuning, oranye dan menggradasi kemerahan hitam, paruh perdana ketika mentari mulai singsingkan malasnya untuk terik kembali. Belum lagi gumpalan awan yang menggulung dan kelihatan begitu dekat seperti hendak dijamah.

Paham bahwa proses matahari terbit hanya akan berlangsung singkat, kami pun memilih untuk berjalan menuju ke arah bukit kecil yang agak lebih tinggi, dan kondisinya pun di sini sama saja, banyak tenda-tenda wisatawan. Langkah kaki kami semakin cepat demi mengabadikan momentum mentari 'bangun tidur'.

Puas berfoto dan menyatu dengan mentari di atas Gunung Prau, kami kembali tenda untuk berbenah ransel, carrier dan peralatan bawaan lainnya. Sampai di tenda ternyata guide dan porter sudah kompak menyediakan sarapan pagi dengan menu spaghetti sachet berikut teh panas. Waaahhh ... yummybener.

Kelar sarapan dan packing barang, kami kembali berfoto lagi, tapi kali ini dengan latarbelakang Gunung Sindara atau Sindoro di kejauhan. Ini gunung merapi aktif dan ada di Jawa Tengah dengan Temanggung sebagai kota terdekatnya. Ketinggian Sindoro 3.136 m, bandingkan dengan Prau yang sekali lagi hanya 2.590 m. Pagi ini, kemunculan Sindoro nampak malu-malu. Puncaknya seolah menyembul dari gumpalan awan yang mengitarinya.

Lokasi perkemahan dengan latarbelakang Gunung Sindoro. (Foto: Dokpri.)

Foto bersama di lokasi perkemahan Gunung Prau. (Foto: Dokpri.)

Jam 09.00

Persis jam 09.00 wib kami sudah bersiap meninggalkan lokasi perkemahan. Jalan pulang bukan berarti lebih enak daripada jalan berangkat. Hahahaaaa ... tingkat kelelahannya sama saja 'bok. Kami membagi grup jadi tiga, masing-masing 4, 6 dan 2 orang, dengan didampingi oleh masing-masing porter.

Untuk kembali ke basecamp pos pendakian awal di bawah sana, kami harus melintasi jalur menanjak lebih dulu selama kira-kira 40 menit. Lagi-lagi gank kura-kura mulai didera kelelahan dengan sesekali nafas tersengal. Rasanya lutut kaki belum fresh setelah sejak sore hingga malam kemarin melakukan perjalanan mendaki.

Demi menghibur dalam 'penderitaan' ini, kami pun beberapa kali melakukan pemotretan. Maklum, semalam waktu mendaki gunung 'kan semua serba gelap, pemandangan kiri kanan apalagi kejauhan, tak pernah kita ketahui secara pasti. Nah, sekarang semua sudah terang, jelas terlihat misalnya tebing di sisi kiri dan kanan jalan setapak ini, juga pesona puncak Gunung Prau.

Penulis santai menikmati ayunan hammock. (Foto: Dokpri.)

Perjalanan turun ini tidak malah membuat kami ngoyo. Lagi-lagi, semboyannya adalah perlahan tapi keep moving. Turun ke basecamp akhirnya lebih cepat dari mendaki. Kami butuh waktu sekitar 3 jam untuk sampai ke basecamp Dieng. Pas disambut dengan kumandang adzan Dzuhur. Kami langsung menuju ke rumah tim guide.

Sesudah merasa cukup istirahat dan melakukan bersih-bersih juga sholat Dzuhur dan Ashar, serta membereskan segala sesuatunya di bagasi mobil, kami melakukan perjalanan pulang pada jam 15.00 wib. Dua mobil kembali beriringan, membawa cerita suka dan suka banget.

Sebelum nantinya dua kendaraan berpisah jalan, kami pilih untuk menyempatkan diri menikmati kuliner khas lokal yaitu Mie Ongklok yang jadi menu andalan salah satu rumah makan di Jalan Pasukan Ronggolawe, Longkrang, Wonosobo. Di ujung jalannya   tesedia juga produk perkebunan lokal berupa manisan sirup carica -- sejenis pepaya -, dan kopi khas Dieng yang sudah populer yakni Purwaceng.

Oh ya, Mie Ongklok ini sebenarnya mie rebus dengan racikan khusus yang menggunakan kol, potongan daun kucai, juga loh atau kuah kental dengan bahan dasar tepung kanji. Dan di santap dengan sate sapi. Mak nyus-lah poko'e.

Perjalanan turun dari puncak Gunung Prau. Kalau semalam tidak nampak tebing curam, maka sekarang semuanya jelas. (Foto: Dokpri.)

Istirahat dan foto-foto saat perjalanan turun dari puncak Gunung Prau. (Foto: Dokpri.)

Perjalanan pulang sepertinya relatif lebih padat. Lalu lintas ramai. Kami berpisah dengan rombongan teman-teman yang hendak menuju Jawa Barat. Sedangkan demi menuju Jakarta, kami pilih jalan putar ke arah Temanggung, Ambarawa, lalu masuk Tol Ungaran - Semarang. Sayangnya rencana tinggal rencana, karena ternyata Tol Semarang ini ditutup sampai ke Tegal. Jadilah perjalanan Semarang -- Tegal kami lintasi dengan meniti jalur utama yang ramai dengan truk juga bus-bus besar.

Dini hari, sekira jam 03.00 wib, kami mulai masuk pintu Tol Brebes Timur menuju Palimanan. Jelang pintu Tol Palimanan ketersendatan arus kendaraan terasa. Sekitar satu jam harus antri, selepas itu lancar kembali. Kami sampai di tol ruas Cikarang Utama pada jam 06.00 wib, masih pagi untuk satu-dua jam kemudian menyapa warga ibukota Jakarta sambil mengucapkan salam: bahwa emak-emak 'LT' alhamdulillah sudah kembali!

Mie Ongklok lengkap dengan Sate Daging Sapi. (Foto: Dokpri.)

Perjalanan mendaki Gunung Prau yang sangat menyenangkan bersama emak-emak Ladies Traveler, khususnya gank kura-kura yang rentang usianya 47 -- 62 tahun. Menjadi wajar kalau naik-turun Gunung Prau dijelajahi dengan perlahan tapi pasti, dan lepas penat ketika menatap keindahan pesona alam di puncak dengan bonus cuaca cerah yang membawa berkah cantiknya milky way. Jadi, kapan yuk kita rencanakan mendaki gunung lagi. R u ready?! 

 o o o O o o o

NOTE: Semua foto adalah dokumentasi pribadi. Dilarang asal comot.




Baca juga:
Gaduh! Miliaran Caleg Artis, Ini Penelusurannya
Saya Enggan "Mensukseskan" Asian Games 2018
Audrey Latuputty, "Opzichter" Perempuan di Taman Makam Kehormatan Belanda

Antara "Tahlilan", Nilai Kolektif, dan Toleransi Bangsa Indonesia

$
0
0

tribunnews.com

Bangsa Indonesia merupakan bangsa majemuk, terdiri dari berbagai suku bangsa yang menyebar di seluruh wilayah Tanah Air. Setiap suku bangsa itu mempunyai kehidupan dan kebudayaan sendiri dan berbeda antara suku satu dengan lainnya, demikian juga halnya dengan Jawa.

Akan tetapi tidak berarti bahwa masyarakat Jawa menjadi terpisah dari masyarakat yang lain. Masyarakat Jawa tetap menjadi bagian dari bangsa Indonesia, termasuk kebudayaan yang dimiliki akan menjadi kekayaan budaya bangsa.

Salah satu dari potensi kearifan lokal itu adalah ritual budaya-agama dan kegiatan tahlilan-yasinan (pembacaan Alquran surat yasin dan tahlil) dan "selamatan" yang sudah melekat pada sebagian masyarakat muslim Jawa-Indonesia.

"Selamatan" bagi masyarakat Jawa biasanya dilakukan pada hari pertama, hari ketujuh, hari keempat puluh, sampai hari keseribu. Dan semua hitungan hari bagi mereka memiliki arti yang penting (Wijaya, 1993).

Fenomena tahlilan merupakan kegiatan perkumpulan yang melibatkan orang banyak, sehingga acara ini boleh dibilang hajatan komunitas masyarakat yang kini tidak hanya dilaksanakan ketika berkaitan dengan kematian saja sebagaimana pada mulanya fenomena ini muncul. Akan tetapi kini telah mulai berkembang peran dan fungsi serta makna dari tahlilan itu sendiri.

Karena fenomena tahlilan yang merupakan realitas sosial sudah masuk pada wilayah-wilayah luas. Semisal adanya syukuran kelahiran, pindah rumah, acara arisan bahkan pada perkampungan tertentu acara Rukun Warga (RW) dan Rukun Tetangga (RT), PKK dan sebagainya, tidak bisa dilepaskan dari apa yang disebut fenomena tahlilan, dan biasanya ditambah yasinan (pembacaan Surat Yasin).

Tidak heran jika kini di setiap susunan perangkat ke-RT-an dan ke-RW-an ada satu Departemen atau Bidang Keagamaan yang salah satu bidang garapannya adalah melaksanakan tahlilan-yasinan yang terbentuk dalam forum jamaah tahlilan/yasinan di sebagian besar perkampungan Muslim.

Tahlil sendiri berasal dari kata Bahasa Arab Hallala-Yuhallilu-Tahlilan. Kata Tahlil merupakan kata yang disingkat dari kalimat La Ilaha Illallah yang dalam literatur ilmu Arab dikenal dengan al-Naht (Hasyiyah al-Bujairimi'ala al-Khatib dalam M. M. Khozin: 2013: 1).

Secara harfiah tahlil berarti berzikir dengan mengucap kalimat tauhid "Laa ilaaha illallah" (tiada yang patut disembah kecuali Allah), yang sesungguhnya bukan zikir yang dikhususkan bagi acara memperingati kematian seseorang.

Namun opini publik sering mengkaitkan tahlil dengan ritual kematian, karena pada acara kematian orang berkumpul- kumpul di rumah orang yang meninggal lalu berdzikir dan membaca sejumlah ayat Alquran, kemudian mendoakan orang yang meninggal.

Tradisi tahlilan merupakan tradisi yang sudah ada sejak zaman dahulu. M.Sholihin (2010) menjelaskan, bahwa tradisi tahlilan atau kendurenan, digunakan oleh Sunan Ampel untuk mengganti tradisi Jawa kuno asli, yakni salah satu upacara Yoga Tantra dalam bentuk upacara Pancamakara atau Malima yang meliputi: mamsha (daging), matsya (ikan), madya (minuman keras), maithuna (bersetubuh), dan mughra (bersemedi). Mereka melakukan upacara "Ma-lima", membentuk lingkaran yang terdiri dari laki-laki dan perempuan dalam keadaan telanjang.

Di tengah makanan tersedia makanan, daging, ikan serta minuman keras. Setelah makan dan minum sampai mabuk, para peserta bersetubuh ramai-ramai. Setelah nafsu perut dan syahwat terlampiaskan, mereka melakukan semedi.

Tradisi tersebut pelan-pelan diganti oleh Sunan Ampel dengan kenduran, di mana upacara ritualnya terdiri dari kaum laki-laki berpakaian agamis, mengepung tumpeng minuman teh manis dan makan bersama, selebihnya dibawa pulang sebagai "berkat" (nasi barokah karena sudah mengalami penyucian melalui doa).

Ilustrasi Pribadi

Mencermati tentang fenomena masyarakat Muslim yang beraneka ragam faham dan aliran menyisahkan beberapa hal yang menarik dan penting untuk dikaji dan diteliti. Salah satu dari keanekaragaman paham dan aliran itu lalu menciptakan karakteristik ekspresi relegi dalam bentuk khazanah budaya-agama. Atau dengan kata lain bagaimana seorang atau kelompok (jamaah) untuk mengekspresikan pengalaman religiusnya yang khas. 

Dari simbol-simbol keberagamaan itu tidak hanya sebagai pemenuhan religiusnya saja, akan tetapi lebih dari itu mampu membangun solidaritas sosial, resiliensi, bahkan bisa saja sebagai mediasi untuk kekuatan politik dan pembangunan bangsa.

Resiliensi kolektif merupakan gagasan tentang bagaimana ketahanan masyarakat dalam menghadapi tekanan dan tantangan hidup melalui pengembalian fungsi relasi sosialnya (Kirmayer et al., 2009).

Resiliensi sendiri banyak digunakan dalam istilah ekologi dan psikologi untuk menggambarkan carring capacity dan kemampuan untuk mengatasi diri dari tekanan dan stres. Seperti halnya individu, masyarakat juga memiliki kekuatan dan kelemahan dalam mengatasi permasalahan hidup dan mengusahakan keberlanjutan hidupnya.

Membangun resiliensi dengan upaya membangun manusia menuju kehidupan yang lebih sehat adalah upaya dinamis di tengah masyarakat, membangun resiliensi menyediakan ruang interaksi antara aspek psikologis manusia dengan lingkungannya (Benard, 2002). Interaksi semacam ini akan mengembalikan dan memperkuat identitas budaya (khususnya bagi masyarakat tradisional). 

Keterkaitan antara resiliensi masyarakat dan lingkungan alam, bersifat resiprokal untuk kelompok masyarakat tradisional yang masih memiliki kebiasaan mengambil dan meramu dari alam (Adger, 2000). 

Memperkuat resiliensi masyarakat tradisional selalu berfokus pada kehidupan anak-anak, keluarga mereka dan tradisi mereka dalam menjalani hidup sehari-hari yang masih terikat dengan sistem natural lingkugan alam tempat mereka hidup (Masten, 2002).

Penguatan identitas etnik pada pribadi-pribadi yang berasal dari kelompok masyarakat tradisional yang terpinggirkan menjadi penting untuk menumbuhkan rasa percaya dir, sekaligus mengembangkan kesadaran (Banks, 2010).

Mengenai agama dan politik, cara-cara yang terinci di mana agama dan politik diasosiasikan dalam berbagai masyarakat sejak lama.

Banyak ilmuan sosial memandang bahwa agama terutama berfungsi sebagai alat mengabsahkan dan melindungi kepentingan-kepentingan politik dan kelas yang telah mapan yang dilayani oleh sistem politik itu. 

Menurut pandangan ini, agama adalah kakuatan konservatif secara inhern, yang secara aktif, meningkatkan pemeliharaan orde politik dan sosial yang telah mapan.

Bahkan lebih dari itu agama atau paham keagamaan sering berfungsi sebagai panggilan berhimpun guna melakukan perubahan-perubahan besar (Sanderson, 1995).

Sayangnya fenomena yang terjadi di Indonesia, kekuatan agama dijadikan sebagai alat kekuasaan kaum elite, terbukti terjadinya peristiwa 411 dan 212 dalam memenangkan kekuasaan  di Ibu Kota untuk menjajah Indonesia yang kaya raya. Kaum Muslimin mayoritas yang aneh, tidak memerlukan formula seperti Gorbachevisme, Balkanisasi, atau Arab Spring.

Cukup sejumlah paket adu domba, tipu-tipu wacana dan program iming-iming keuangan. Tidak akan ada yang istiqamah dan telaten (sabar dan cermat) dalam menolong bangsa ini untuk dipandu memproses keseimbangan pandangan, objektivisasi atau proporsionalisasi. Kaum intelektual di level menengah tidak berdialektika dengan publik untuk proses semacam itu. 

Tidak susah untuk memasukkan mereka ke dalam jala besar tipudaya global, karena saku mereka tidak disiapkan untuk menyimpan idealisme, ideologi, atau daya juang. Melainkan dikosongkan untuk tawaran karier, akses politik, dan ekonomi.

Menurut Auguste Comte, konsensus terhadap kepercayaan-kepercayaan serta pandangan-pandangan dasar selalu merupakan dasar utama untuk solidaritas dalam masyarakat.  Tidak mengherankan kalau agama dilihat sebagai sumber utama solidaritas sosial dan konsensus.

Selain itu kepercayaan agama juga mendorong individu untuk berdisiplin dalam mencapai tujuan yang mengatasi kepentingan individu dan meningkatkan perkembangan ikatan emosional yang mempersatukan individu dalam keteraturan sosial. Ikatan emosional itu didukung oleh kepercayaan bersama dan partisipasi bersama dalam kegiatan-kegiatan pemujaan (Johnson, 1994). 

Hal ini mengisaratkan manfaat tahlilan-yasinan diyakini sebagian masyarakat sebagai media untuk menyambung budaya kekerabatan (silaturahmi) dan kerukunan antarwarga.

Berpijak dari teori di atas menunjukkan, bahwa fenomena tahlilan yang begitu luas pemaknaannya dari mulai awal muncul yang tidak bisa dipisahkan dengan adanya ritus kematian. Sebagai fenomena agama, sebagai tradisi relasi jamaah, sampai pada pembentuk integrasi sosial politik. Sedangkan sehubungan dengan masalah kematian, dari jaman primitif sampai sekarang senantiasa ditandai oleh suatu ritual. 

Robertson Smith berpendapat bahwa ritus dapat memperkuat ikatan-ikatan sosial tradisional di antara individu-individu (Geertz, 1993).

Bahkan lebih dari itu, kegiatan yasinan dan tahlilan ini mampu memjadi kekuatan pemersatu dari beberapa elemen untuk mempertahankan kemerdekaan. Maka diharapkan masyarakat Jawa mampu pula memaknai kaidah-kaidah masyarakat- nya, melalui ritual tahlil.

Perilaku nyata dari orientasi nilai adalah individu berusaha melakukan hal yang benar, menggunakan kesadarannya, dan memikirkan orang lain sama seperti ia memikirkan dirinya sendiri (Wollin, 1993).

Sehingga budaya tahlil sesuai dan diharapkan sebagai salah satu alat pemersatu umat muslim di Indonesia, dan output dari ritual tahlil adalah toleransi yang dimulai dari lingkup salah satu aliran agama dan menjadi nilai-nilai sosial di masyarakat Indonesia dengan saling mengenal dan berinteraksi satu sama lain, yang dilatarbelakangi dari nilai budaya leluhur bangsa.

Sumber Pustaka:

Adger, WN. (2000). Social and ecological resilience: Are they related?, Prog. Hum.Geogr 2000 24: 347-364

Banks, J.A. (2010). Multicultural Education: Characteristics and Goals, dalam Banks J.A., and Banks CA, (Eds.) Multicultural Education Issues and Perspectives, 7th Ed., John Wiley and Sons Inc., pp:13-15

Benard, B. (2002). Aplication of resilience: posibilities and promise, dalam Glantz MD and JL. Johnson (Ed), Resilience and Development, Positive Life Adaptation. Kluwer Academic Pub., pp: 269-276

Emha Ainun Nadjib. (2017). Masyarakat Tahlil. diakses pada 1 Agustus, 2018).

Geertz, C. (1993). Kebudayaan Dan agama, Kanisius, Cetakan II, Yogyakarta.Johnson, DP. (1994). Teori-Teori Sosiologi: Klasik dan Modern, Diindonesiakan oleh Robert M.Z. Lawang, Gramedia, Jilid I,II, Jakarta.

Kirmayer L.J., Sehdev M., Withley R., Dandeneau S.F., & C. Issac. (2009). Community resilience: Models, Metaphors and Measures, Journal of Aboriginal Health.

Masten, A.S. (2002). Resilience come of age, reflection on the past and outlook for next generation of research, dalam Glantz MD and JL. Johnson (Eds), Resilience and Development, Positive Life Adaptation. Kluwer Academic Pub., pp: 281-296

M. Khozin, Muhammad. (2013). Tahlilan Bid'ah Hasanah. Surabaya: Muara Progresif.

M, Sholihin. (2010). Ritual Kematian Islam Jawa Pengaruh Tradisi Lokal Indonesia dalam Ritual Kematian Islam. Yogyakarta: Narasi

Sanderson, Stephen K. (1995).  Sosiologi Makro: Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial (Edisi Kedua) dengan Kata Pengantar Hotman Siahaan. Jakarta : CV Rajawali Press (PT. Raja Grafindo Persada).

Syahirulalim. (2016). Ketika Agama Sudah Menjadi "Alat Politik".  Diakses pada 1 Agustus, 2018

Wijaya, A.W. (1993). Komunikasi dan Hubungan Masyarakat. Jakarta: Bumi Aksara.

Wollin. S. & Wollin. S. (1993). The resilient self: How survivors of troubled families rise above adversity. New York: Villard Books




Baca juga:
Serunya Menikmati Hiburan di Kapal Pesiar
Gaduh! Miliaran Caleg Artis, Ini Penelusurannya
Saya Enggan "Mensukseskan" Asian Games 2018

"Hichki (2018)", Film India yang Layak Ditonton Semua Guru

$
0
0

indianexpress.com

Siapa yang tak kenal "Rani Mukherjee", wanita yang membintangi film Kuch Kuch Hota Hai yang melegenda, dan membuat bombing film bollywoord India tahun 1998.

Selain itu dia juga pernah membintangi film Veer-Zaara bersama Shahrul Khan tahun 2004 yang lebih kita kenal dengan istilah "FILM TERE LIYE".

Meski banyak juga berbagai film yang ia bintangi sampai tahun 2014 terakhir dengan judul Mardaani. Kini di Tahun 2018, ia mampu tampi lagi dengan pesona yang berbeda dari sebelumnya, yaitu dengan rasa dan nuansa pendidikan.

Usia  yang tak lagi soal, tubuh yang gesit, dan seksi yang tak perlu lagi dipermasalahkan, karena film ini bukan tentang cinta, dua orang yang sedang memadu kasih terkait tentang perasaan. Justru, di Film Hichki. Ia tampi sosok sebagai guru yang tak kenal lelah dan tak mau menyerah.

Film yang disutradarai oleh Sindhart Malhotra. Mampu menyihir penontonnya untuk tetap terus tertegun dan betah menonton. Penonton akan merasa dicabik-cabik emosinya dengan berbagai alur naik turun, yang mana tentu saja mengisihkan tentang perjuangannya dalam meyakinkan murid merubah kelemahan menjadi kekuatan.

imdb.com

Awalnya dimulai dari kisah seorang Rani Mukherjee yang dalam film berperan sebagai Naina Mathur menerima panggilan untuk mengajar yang mengalami sindrom Tourette yaitu penyakit neuropsikiatrik yang membuat seseorang mengeluarkan ucapan atau gerakan yang spontan (tic) tanpa bisa mengontrolnya. Ia cegukan seperti anjing yang menyalak.

Persoalan itulah yang membuat, ia tidak dapat diterima sebagai guru di berbagai sekolah/ madrasah. Seluruh lamarannya ditolak oleh pengurus sekolah karena mereka tak yakin, seorang guru bisa mengajar dengan kelemahan seperti itu. Tentu saja membuat tidak nyaman di kelas dan sulit menjelaskan kepada para murid di kelas.

Tepat suatu ketika. Ia diterima karena ada permasalahan sekolah. Seluruh guru tidak betah atau pensiun permanen ketika mengajar kelas khusus. Kelas yang isinya hanya dari anak-anak jalanan dikarenakan sekolah/ madrasahnya digusur sedangkan ada kewajiban pemerintah untuk tetap belajar, sehingga itu menjadi tanggungan sekolah disampingnya yang terdiri dari anak-naka berkelas dan berstatus tinggi.

Setiap guru yang mengajar selalu mendapatkan perlakukan yang kurang ajar, sehingga mereka tidak betah. Hal ini pun sama dialami oleh Naina Marthur (Rani Mukherjee), yang ketika KBM perdana mereka sudah merencanakan untuk taruhan berapala lama guru cegukan itu mampu bertahan mengajar di kelas yang mereka.

Dengan bermodal semangat baja dan metode pengajaran yang unik dan kreatif plus kesabaran, lambat laun mereka mulai menerima Naina menjadi gurunya. Hingga pada akhirnya mereka menerima, dan merasakan hasil yang dicapai oleh guru barunya itu dalam merubah mindset dan pola pikir murid spesial itu. Yang selama ini mereka akui dan sadari, bahwa mereka selalu rendah, kalah dan menyerah di mata murid lainnya yang tinggi statusnya.

Film ini semakin menarik, ketika perjuangan Naina Marthur (Guru baru cegukan itu) hasil perjuangannya yang mampu meluluskan muridnya dalam menempuh sebuah ujian. Mereka dianggap curang karena menerima bocoran soal yang diberikan oleh petusa kebersihan.

Esoknya diputuskan untuk diskor dan dibatalkan pemberian prestasinya. Dengan perasaan menyerah dan pasrah, akhirnya salah satu peserta mengakui bahwa dirinya yang menyuruh memberikan soal itu kepada murid spesial. Dan itu diakui oleh wakil kepala sekolah ketika berpidato di depan  yang selama dalam alur film selalu menjadi antagonis. Seru pokoknya.

Siapa yang sebelumnya tidak suka dengan film India, yang konon sarat dengan nuansa cinta dan banyak nyanyiannya. Saya yakin, setelah melihat Hichki, mindset dan pola pikir akan berubah seratus delapan puluh derajat kesannya dengan film India.

Meskipun ada beberap film India yang bertema tentang pendidikan yang sudah beredar, seperti Taare Zameen Par (2007), atau 3 Idiots (2009). Film ini layak ditonton dan dianjurkan bagi seluruh Guru seluruh Nusantara untuk memahami bagaimana arti mengajar sesungguhnya yang tidak hanya mementingkan materi ajar daripada metode pengajaran.




Baca juga:
Pesta Nikah Adat Batak Itu Panggung Sosial
Sudah Siap Berkolaboraksi Bareng di ICD 2018? Intip Panduannya, Biar Makin Maksimal!
Pengalaman Paling Konyol Akibat Rendahnya Keamanan Kartu Kredit

Nikmatnya Nasi Pindang Kudus dengan Campuran Daun Melinjo

$
0
0

Sepiring Nasi Pindang Kudus berkuah santan dengan daun melinjo yang rasanya lezat dan daunnya kres-kres. Nyumi... (dokpri).

Hari Sabtu kemarin saya dan teman saya ada urusan ke kota Kudus. Kota yang sering dijuluki kota kretek. Berjarak kurang lebih 50 km dari kota Semarang dan memiliki jarak tempuh satu setengah jam, jika sedang tidak macet.

Sesampai di kota Kudus, saya dan teman saya ini segera menyelesaikan urusan, yang kebetulan lokasinya berdekatan dengan pusat kota atau Simpang Tujuh Kudus alun-alunnya kota ini.

Selesai urusan, waktu menunjukkan jam makan siang. Perut lapar minta diisi. Lalu teman saya mengajak makan siang. "Kita nyoto yuk," katanya. Saya sih ayo saja. Kudus memang terkenal dengan sotonya. Di kepala saya, sudah terbayang lezatnya nasi soto. Maklum, lagi lapar. Hehehe...

Kata teman saya tadi, ada tempat kuliner yang asik di dekat pusat kota. Namanya Pujasera Taman Bojana. Di sana tersedia berbagai macam jajanan yang  patut dicoba. Dari oleh-oleh khas Kudus, jajanan tradisional hingga kuliner nasi khas Kudus yang enak tentunya, seperti soto dan lainnya.

Di sana banyak penjual yang menawarkan sajian soto. Kita tinggal memilih, warung mana yang hendak dituju. Teman saya memilih warung Masakan Khas Kudus Pak H. Sulichan. Katanya, jika ke Kudus, ia sering makan di sini.

Warung Pak H Sulichan menyediakan makanan khas Kudus. (Dokpri).

Baru duduk, penjaga warung menawari kami mau makan apa. Mau soto atau nasi pindang? Nah, tujuan awal tadi sih adalah makan soto. Tetapi demi mendengar ada nasi pindang, maka saya berbelok arah. Tidak jadi memesan soto melainkan nasi pindang. Saya penasaran. Seperti apa sih nasi pindang itu? Lalu saya memilih nasi pindang.

Penjualnya bertanya lagi. Mau yang ayam atau kerbau? Oh, ada dua macam rasa ya? Ya sudah, saya memilih nasi pindang daging kerbau. Wah, jadi makin penasaran. Karena biasanya kan masakan berbahan dasar daging, selalu memakai daging sapi.

Sebagaimana diketahui bahwa, jika jajan di kota Kudus, jarang sekali ada daging sapi. Baik untuk masakan soto, sop atau bakso. Daging sapi ini digantikan dengan daging kerbau. Karena konon zaman dahulu, saat perkembangan agama Islam di kota Kudus, untuk menghormati pemeluk agama Hindu sebagai agama yang lebih dulu ada di masyarakat, maka daging sapi digantikan dengan daging kerbau. Karena sapi merupakan binatang yang dihargai dan tidak boleh dimakan bagi umat Hindu. Dan kebiasaan ini secara turun temurun tetap berlanjut hingga sekarang.

Pesanan datang nggak pakai lama. Sepiring nasi pindang tersaji di depan saya. Hem, nampaknya enak dan segar. Aromanya khas. Nasi dengan daging kerbau yang disiram dengan kuah berwarna coklat dan bersantan. Dan yang menjadi ciri khas dari nasi pindang ini adalah memakai godong so atau daun melinjo! Daun yang sengaja dibuat tidak matang sekali, sehingga masih terasa kres-kres, sangat segar.

Sepiring nasi pindang ini, saat menyajikan ditaruh di atas samir atau beralas daun pisang. Nasi putih, diberi ayam atau daging kerbau, baru kemudian disiram dengan kuah santan yang sudah ada daun melinjo. Rasa kuahnya manis gurih. Hampir mirip kuah nasi gandul ciri khas kota Pati. Tetapi kuah nasi pindang memakai kluwak sebagai bumbu dasarnya, sedangkan kuah nasi gandul tidak memakai kluwak. Mirip kuah nasi rawon, tetapi ia memakai santan. Sedang rawon tidak memakai santan.

Saat menyajikan Nasi Pindang memakai samir atau alas daun pisang. (Dokpri).

Oya, nasi pindang ini, dulu katanya adalah sajian untuk hajatan seperti ketika pesta pernikahan atau khitanan, sebagai suguhan untuk tamu. Zaman dulu, jika ada pesta pernikahan, maka sajiannya tidak secara prasmanan atau mengambil sendiri. Melainkan diambilkan oleh pemilik hajat, kemudian dibagikan kepada tamu secara berantai. Unik, ya. Sekarang sudah jarang ada cara seperti ini.

Sebagai teman makan nasi pindang ada berbagai gorengan, perkedel, tempe/tahu goreng, otak goreng, paru goreng, sate telur puyuh, kerupuk rambak, hati ampela goreng, telur pindang dan masih banyak lagi. Khusus untuk kerupuk rambak, biasanya akan ditawarkan tersendiri. Penjual bertanya terlebih dahulu. Mau memakai kerupuk rambak? Jika iya, maka piring yang berisi beberapa kerupuk rambak akan disajikan. Hem... cocok deh.

Sebagai pelengkap makan nasi pindang dan soto, ada berbagai macam gorengan dan sate telur puyuh. Mantap deh... (dokpri).

Sedang teman saya memilih semangkok soto. Soto khas Kudus, juga memiliki dua macam rasa, ayam dan kerbau. Tak kalah segarnya, nasi Soto Kudus sangat khas. Memakai daun kucai dan bawang goreng yang mantap sebagai taburan. 

Kucai ini bentuk daunnya seperti rumput, tetapi memiliki aroma khas mirip daun bawang. Saya sudah jarang menemui daun kucai untuk sajian soto, selain di kota Kudus ini. Nasi soto, kata teman saya rasanya segar dan lezat. Khas karena ada irisan daun kucai dan bawang putih goreng, sebagai taburan di atas semangkok soto. Nyumi...

Soto Kudus, topingnya memakai irisan daun kucai dan bawang putih goreng, membuat lezat sotonya. (Dokpri).

Tandas sudah. Tinggal wadahnya. Saatnya berhitung, untuk satu porsi nasi pindang ataupun nasi soto, dibandrol hanya limabelas ribu rupiah. Berbagai gorengan sekitar empat ribu hingga tujuh ribu limaratus rupiah. Mantap dan mengenyangkan. Lezato... Kapan-kapan jika saya ke Kudus kembali, sepertinya bakalan mampir lagi deh.

Selamat berakhir pekan, ya.

Salam,

Wahyu Sapta.  

Semarang, 5 Agustus 2018.




Baca juga:
Menguak Pribadi, Mencocokkan Profesi
Pesta Nikah Adat Batak Itu Panggung Sosial
Sudah Siap Berkolaboraksi Bareng di ICD 2018? Intip Panduannya, Biar Makin Maksimal!

Awalan Rumit AC Milan

$
0
0

Oliver Skipp dan Ignazio Abate dalam laga Tottenham Hotspur versus AC Milan pada laga ICC 2018 di US Bank Stadium, Selasa (31/7/2018) (JULES AMEEL/AFP)

Jelang dimulainya musim kompetisi 2018/2019, banyak tim yang sibuk berbenah, dan mampu mencuri perhatian. Di Spanyol, ada Barcelona yang sempat membuat drama, saat mengangkut Malcom dari Bordeaux. Di Inggris, ada Liverpool yang memecahkan rekor transfer untuk posisi kiper, saat membeli Alisson dari AS Roma. Di Italia, ada Juventus yang membuat sensasi, saat mendatangkan Cristiano Ronaldo dari Real Madrid.

Tentu saja, ini menjadi satu gambaran, betapa seriusnya klub-klub papan atas Eropa, dalam menghadapi musim kompetisi mendatang. Diakui atau tidak, bisa dipastikan mereka akan mengincar target prestasi tinggi di tiap ajang pada musim depan.

Tapi, diantara klub-klub dengan nama besar tadi, terselip nama AC Milan, yang mempersiapkan diri, dalam situasi serba rumit dan terbatas. Kerumitan itu dimulai, saat Si Merah Hitam mencatat kerugian finansial cukup besar, akibat prestasi mereka di lapangan pada musim lalu, tak sebanding dengan belanja jor-joran mereka di bursa transfer pemain. Situasi makin rumit, setelah Li Yonghong, pemilik AC Milan, gagal membayar utang kepada Elliot Management, dan harus melepas kepemilikannya di Milan, yang ternyata dijadikan jaminan untuk membayar utang oleh Li Yonghong.

Akibatnya, Milan kini kembali berganti pemilik. Otomatis, terjadi perombakan besar-besaran di tubuh manajemen klub, antara lain ditandai dengan pergantian juru transfer klub, dari Massimiliano Mirabelli ke Leonardo Araujo, eks pemain dan pelatih Milan asal Brasil. Kedatangan Leonardo, boleh jadi merupakan sebuah tambahan positif buat Milan. Karena, sebelum ini, ia sempat menjadi juru transfer PSG, dan cukup sukses di sana.

Sayangnya, masalah belum sepenuhnya selesai, karena Milan sempat dilarang tampil di Liga Europa oleh UEFA, akibat melanggar aturan Financial Fair Play. Untunglah, larangan itu dicabut, setelah Milan menang, saat mengajukan banding ke CAS (Pengadilan Arbitrase Olahraga).

Di bursa transfer, Milan juga bertemu masalah, yakni anggaran belanja mereka cukup terbatas. Akibatnya, Milan sejauh ini hanya bisa mendatangkan pemain gratisan, macam Pepe Reina (dari Napoli), Ivan Strinic (dari Genoa), dan Alen Halilovic (dari Hamburger SV). Selebihnya, adalah pemain pinjaman, yakni Gonzalo Higuain, dan Mattia Caldara (Juventus), yang dibarter dengan Leonardo Bonucci.

Dari sini saja, ada kesan "seadanya", dalam persiapan pramusim Milan. Satu-satunya kredit positif, hanyalah rata-rata dari mereka adalah pemain berprofil tinggi. Reina adalah eks kiper utama Napoli, Strinic adalah bek kiri timnas Kroasia, Higuain punya catatan kiprah bagus di Serie-A. Selebihnya, Halilovic dan Caldara adalah pemain muda potensial.

Hal ini wajar, mengingat ini adalah masa transisi berikut mereka, akibat kembali berganti pemilik. Jadi, takkan mengherankan, jika Milan akan menjalani musim kompetisi 2018/2019 tanpa mematok target prestasi muluk. Tapi, dengan cukup baiknya grafik performa Milan di bawah arahan Gennaro Gattuso, bisa jadi Milan akan membuat kejutan di musim depan.

Menarik ditunggu, bagaimana kelanjutan kiprah AC Milan, terlepas dari awalan rumit mereka ini.




Baca juga:
Mengapa Artikel Politik Ramai Klik?
Menguak Pribadi, Mencocokkan Profesi
Pesta Nikah Adat Batak Itu Panggung Sosial

Mengintip Sepak Terjang Media Komunitas NU Online ala Savic Ali di ICD 2018

$
0
0

kompasiana

Tokoh muda pengelola NU Online Savic Ali hadir dan menjadi narasumber dalam dialog antarkomunitas di Indonesian Community Day (ICD) 2018 yang dilaksanakan di mendatang di Taman Krida Budaya Malang, Jawa Timur, Minggu (05/08/2018).

Pada kesempatan tersebut, Savic membagikan pengalamannya membangun dan mengelola media komunitas.

"Sharing soal bagaimana mengelola NU Online, juga islami.co. Tim redaksi kami sangat kecil, tetapi tetap bisa menjangkau jutaan kepala. Bila ditotal ada jutaan unique visitors," katanya saat dihubungi Kompasiana, Selasa (31/07/2018).

Untuk mengelola kedua website tersebut, Savic mengaku ia perlu mengandalkan para kontributor yang kebanyakan adalah para anak muda Nahdlatul Ulama (NU).

"Beberapa tahun belakangan intelektual NU sangat banyak. Generasi NU makin banyak yang muda. Anak muda ini memiliki kekuatan dari sisi sense of belonging dan semangat untuk bisa berbuat yang tinggi. Tinggal bagaimana kami membangun engage yang baik, berinteraksi untuk diskusi, relasi yang baik, dan brainstorming," ungkapnya.

Selain itu, ia menilai saat ini komununitas di Indonesia punya peran dan andil penting untuk masyarakat, terutama dalam mengedukasi publik.

"Sejak sepuluh tahun terakhir, komunitas tumbuh sangat pesat dan memiliki peran yang sangat vital dalam hidup bermasarakat. Apalagi penetrasi dunia digital yang sangat membantu penyebaran informasi melalui komunitas-komunitas. Untuk itu, kami tergerak untuk mengumpulkan mereka dalam satu kegiatan yang atraktif, interaktif dan tentunya bermanfaat," ujarnya.

Bergabung bersama Savic Ali, pada sesi tersebut hadir pula CEO Indonesia Medika, Gamal Albinsaid yang sempat meraih penghargaan The HRH Prince of Wales Youth Sustainability Entrepreneur dari Kerajaan Inggris.

ICD 2018 sendiri merupakan ajang kumpul komunitas terbesar se-Indonesia yang digagas oleh Kompasiana. ICD 2018 menjadi wajah berjumpa ragam komunitas untuk saling berkolaborasi dan melakukan aksi positif.




Baca juga:
Lebih Baik Mencegah daripada Memberantas Korupsi(?)
Mengapa Artikel Politik Ramai Klik?
Menguak Pribadi, Mencocokkan Profesi

Museum Seni Rupa dan Keramik Menyambut Asian Games

$
0
0

Keramik Jepang dalam pameran (Dokumentasi pribadi)

Batavia pernah mendapat julukan 'Ratu dari Timur'. Dulu, kota yang sekarang bernama Jakarta itu mempunyai pelabuhan yang terkenal. Waktu itu perdagangan sangat maju. Berbagai benda dagang pernah ditemukan di sini, termasuk dari kapal kargo yang tenggelam di perairan Jakarta. Kapal dagang yang dikenal sebagai 'Intan Cargo' itu memuat berbagai benda.

Salah satu benda dagang yang paling laku di pasaran adalah keramik. Banyak keramik ditemukan di wilayah daratan dan perairan Jakarta. Keramik-keramik itu berasal dari sejumlah negara. Namun negara terbanyak yang memproduksi keramik adalah Asia. Nah, berbagai jenis keramik dari negara-negara Asia, termasuk berupa pecahan, mulai 4 Agustus 2018 dipamerkan di Museum Seni Rupa dan Keramik. Pameran itu bertajuk 'Ceramics in Batavia: The Age of Partnership', berlangsung hingga 2 September 2018. Museum Seni Rupa dan Keramik terletak di kawasan Kota Tua Jakarta.

Menurut Kepala Museum Seni Rupa dan Keramik, Ibu Esti Utami, pameran itu diselenggarakan untuk menyambut perhelatan akbar olahraga se-Asia, Asian Games.  Jadi kontingen olahraga yang memiliki waktu luang akan dibawa ke obyek-obyek wisata di wilayah Jakarta, termasuk museum. Kurator pameran adalah Naniek Harkantiningsih dan Sonny C. Wibisono, arkeolog dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Kurator pameran Sonny C. Wibisono sedang menjelaskan materi pameran (Dokumentasi pribadi)

Tiongkok

Kalau berbicara keramik, orang menganggap Tiongkok merupakan produsen satu-satunya. Keramik Tiongkok dari berbagai masa, dari yang berusia ratusan tahun hingga lebih dari seribu tahun, memang banyak ditemukan di Indonesia. Namun, beberapa negara juga memproduksi keramik.

Keramik Jepang dianggap sejajar dengan keramik Tiongkok. Keramik yang cukup dikenal berasal dari kiln (tungku pembakaran) di Provinsi Hizen. Keramik Jepang itu teridentifikasi dari periode Momoyama (1573-1603). Dalam pameran, keramik Jepang umumnya berwarna-warni. Namun ada juga yang berwarna biru putih, sebagaimana keramik Tiongkok. Pakar keramologi biasanya mampu mendeteksi keramik dari negara mana secara cepat dan tepat.

Keramik Vietnam mempunyai ciri tersendiri. Terbagi atas keramik Ling Nan di tenggara dan Annam di selatan. Motif keramik Vietnam mudah dikenal, tentu saja oleh pakar keramik.

Keramik Thailand dikenal sejak pemerintahan Raja Ram Kaheng. Dibandingkan keramik Tiongkok, Jepang, dan Vietnam, keramik Thailand memiliki karakteristik tersendiri. Tempat pembuatannya terdapat di Sukhothai, Sawankhalok, dan Singburi.

Indonesia diwakili oleh keramik Singkawang di Kalimantan Timur. Beberapa guci terpajang di sana. Keramik Singkawang menggunakan teknologi tradisional Tiongkok.

Biarpun pecahan, tetap merupakan data arkeologi bermanfaat (Dokumentasi pribadi)

Bertanggal mutlak

Berbagai bentuk keramik terlihat di pameran itu. Cukup membawa pemahaman buat undangan. Hadir dalam acara itu pemerhati museum, komunitas, kolektor, dan perwakilan museum di wilayah Jakarta.

Ada piring, mangkok, cepuk, kendi, botol, cepuk, dan lain-lain dalam pameran. Umumnya milik Museum Seni Rupa dan Keramik. Sebagian kecil milik kolektor. Keramik milik kolektor rata-rata berkondisi bagus. Sebaliknya koleksi milik Museum Seni Rupa dan Keramik ada yang tidak utuh. Bahkan berupa pecahan.

Sejumlah koleksi dibiarkan apa adanya, hanya sedikit konservasi agar lebih awet berada di udara terbuka. Itulah keramik yang berasal dari perairan Teluk Jakarta. Tanda-tanda bekas terendam ratusan tahun dan adanya karang tampak sekali. Arkeologi memang mengutamakan keaslian.

Benda-benda logam yang berada di dalam 'Intan Cargo' ikut dipamerkan. Ini supaya wawasan pengunjung bertambah.

Benda-benda logam (Dokumentasi pribadi)

Dalam arkeologi, keramik dipandang sumber sejarah penting karena bertanggal mutlak. Artinya, dengan pengamatan yang teliti, seorang pakar mampu mengidentifikasi dari masa abad keberapa keramik tersebut berasal. Dengan demikian bermanfaat untuk memberi tarikh pada temuan-temuan lain yang berasal dari sekitar keramik.

Buat arkeologi memang cukup beruntung kalau menemukan keramik dalam kegiatan ekskavasi (penggalian arkeologis). Tidak perlu keramik utuhan, keramik pecahan pun bermanfaat. Pecahan-pecahan keramik yang telah direkonstruksi, ikut dipamerkan. Ini memberi gambaran kepada pengunjung bagaimana kerja arkeolog di lapangan sekaligus memperlihatkan bentuk hampir utuh keramik tersebut.

Selain sumber data arkeologi, keramik menjadi benda investasi loh. Terbukti adanya komunitas penggemar keramik. Supaya tidak penasaran, silakan para ilmuwan, kolektor, pemerhati, atau yang cuma ingin tahu, datang langsung ke Museum Seni Rupa dan Keramik.   




Baca juga:
ICD 2018 Resmi Diselenggarakan, Emil Dardak Beri Sambutan
Lebih Baik Mencegah daripada Memberantas Korupsi(?)
Mengapa Artikel Politik Ramai Klik?

Humor dan Kreativitas di Balik "Bu Yo Ne, Ge To Ne"

$
0
0

Sumber: www.vecteezy.com

Hari itu saya mendapat undangan mengajar workshop di Yogya. Kebetulan yang mengundang saya adalah komunitas penulis yang sudah saya kenal di Jakarta. Mereka menginginkan materi creative writing yang khusus diperuntukkan untuk membuat novel atau karya fiksi.

Begitu turun dari pesawat, saya pun keluar dari Lanud Adisutjipto. Seorang panitia, bernama Tono menjemput saya di meeting point lalu kami masuk ke dalam mobilnya menuju ke hotel. 

Tono ini mukanya gak ramah dan tanpa senyum. Entah emang kesehariannya gitu atau dia sedang punya masalah yang mengganggu pikirannya, saya gak tau juga.

Di sepanjang perjalanan, orang yang menjemput saya ini ternyata juga sangat pendiam. Tak sepatah kata pun dia keluarkan untuk sekedar berbasa-basi. 

Untuk memecah kekakuan, saya mencoba membuka percakapan, "Wah, tadi pengumuman di airport juga pake bahasa jawa, ya? Keren banget!"Gambar dapet dari wag

Pancingan saya ternyata berhasil. Si penjemput langsung menyahut, "Om Bud, kapan terakhir datang ke Yogya?"

"Udah lama juga, sih. Emang kenapa?" tanya saya.

"Kami penduduk Yogya sangat menghargai budaya kami," sahut Tono dengan suara dingin.

"Iya, saya lihat sih. Kusir delmannya aja semua memakai surjan dan blangkon ya?"

"Betul! Coba Om Bud liat nama jalan di Yogya," katanya sambil menunjuk ke arah papan jalan yang kebetulan kami lewati," Selain berbahasa Indonesia, kami juga mencantumkannya dalam bahasa jawa."

"Iya betul! Saya suka banget ngeliatnya."

"Kami beda sama orang Jakarta yang ngomongnya sok campur-campur inggris."

"Maksudnya gimana, Ton?"

"Orang Jakarta suka sekali ngomong campur-campur, misalnya pake kata basically, which is, dan istilah-istilah inggris lainnya. Di Yogya semua istilah seperti itu sangat kami hindari," kata Tono lagi.

"Hebat! Saya juga gak suka sama bahasa campur-campur. Makanya saya suka banget sama Yogya," kata saya sambil tersenyum.

Ketika mobil dihadang lampu merah, saya menatap ke arah sebuah toko yang persis terletak di sebelah kiri mobil kami yang sedang berhenti. Di sana saya melihat sebuah banner dengan tulisan berbahasa jawa yang saya gak tau artinya.

"Kalo 'bu yo ne, ge to ne' itu artinya apa ya, Ton?"

"Apa? Om Bud baca di mana tuh?" tanya Tono keheranan.

"Itu di depan toko ada banner tulisannya 'bu yo ne, ge to ne'. Itu bahasa jawa, kan?" tanya saya sambil mennjuk ke arah banner yang dimaksud.

"Hahahahahahahahaha...!!!!" Sekonyong-konyong Tono tertawa terbahak-bahak. Ketawanya begitu lepas dan kenceng banget.

"Kenapa ketawa, Ton?" tanya saya keheranan.

"Itu bukan bahasa jawa. Itu bahasa Inggris. Yang bikin lupa kasih spasi, tuh. Hahahahaha...."

"Maksudnya gimana, Ton?"

"Itu tulisannya bukan buyone getone tapi buy one, get one. Hahahahaha....!!!!" Tono masih tertawa geli. Ketawanya heboh banget sampe-sampe saya kuatir dia kencing di celana.

Fuiiiih....akhirnya ice breaking yang saya ciptakan berhasil. Dan sepanjang perjalanan ke hotel, komunikasi kami begitu cair dan menyenangkan.  

Tono tiba-tiba jadi ramah banget dan mengeluarkan joke-joke yang pernah dia dengar sehubungan dengan kesalahan bahasa. Hehehehe...

Kreativitas bukan cuma tentang membuat sesuatu. Membuat orang nyebelin jadi menyenangkan adalah salah satu kreativitas yang perlu kita kuasai. 

Tentu saja saya tau kalo itu tulisannya 'buy one get one'. Tapi Tono gak perlu tau, kan? Hehehehehehehe....




Baca juga:
Pekan Orientasi Mahasiswa Bukan Ajang Kekerasan
Gempa Mengguncang Malam
Sore Bersahaja di Tongkonan Sederhana

Ikut Ramaikan Asian Games di Kompasiana Bisa Dapat Total Hadiah Rp 32,5 Juta!

$
0
0

Blog competition APP Sinarmas

Gelaran pesta olahraga Asian Games 2018 semakin dekat.Tak hanya tuan rumah Jakarta dan Palembang saja yang bersiap, namun seluruh masyarakat Indonesia pun sudah menunjukkan antusiasme menyambut pesta olahraga terbesar kedua di dunia ini. Para atlet nasional yang akan bertanding pun tak kalah semangat berlatih untuk memberikan yang terbaik untuk Indonesia.

Nah bagaimana denganmu, Kompasianer? Pastinya kamu tidak sabar menantikan Asian Games 2018. Sembari menunggu opening ceremony Asian Games 2018, yuk bagikan antusiasme kamu dalam Kompasiana Blog Competition bersama APP Sinar Mas! Sebelum mulai menulis, simak rincian kompetisi di bawah ini dulu yuk:

SYARAT & KETENTUAN

  1. Peserta telah terdaftar sebagai anggota Kompasiana. Jika belum terdaftar, silakan registrasi terlebih dahulu di Kompasiana.com
  2. Tulisan bersifat baru, orisinal (bukan karya orang lain atau hasil plagiat), dan tidak sedang dilombakan di tempat lain).
  3. Konten tulisan tidak melanggar Tata Tertib Kompasiana.
  4. Peserta wajib like Facebook Fan Page APP Sinar Mas
  5. Peserta wajib membagikan artikel blog competition di media sosial Facebook dan/atau Twitter

MEKANISME

  • Tema: Bersama Satukan Energi Untukmu, Indonesiaku di Asian Games 2018
  • Tulisan mengenai ajang perhelatan olahraga Asian Games 2018 sebagai momen kebanggaan bagi Indonesia. Tulisan dapat meliputi kesiapan infrastruktur, cabang olahraga, atlet nasional, dan antusiasme masyarakat Indonesia menyambut Asian Games 2018.
  • Periode: 1 Juli - 15 Agustus 2018
  • Tulisan tidak lebih dari 1500 kata
  • Peserta wajib mencantumkan label UntukmuIndonesiaku dan AsianGames2018 dalam setiap tulisan
  1. Tulisan yang tidak sesuai dengan ketentuan dan tema lomba tidak bisa diikutkan lomba.
  2. Keputusan juri tidak dapat diganggu gugat.
  3. Pemenang akan diumumkan setelah 14 hari kerja periode lomba usai.

HADIAH

  • Juara 1: uang tunai sebesar Rp 10 juta
  • Juara 2: uang tunai sebesar Rp 7,5 juta
  • Juara 3: uang tunai sebesar Rp 5 juta
  • 10 Artikel favorit: uang tunai masing-masing sebesar Rp 1 juta

Ayo, segera kirimkan karya tulis terbaik Anda dan menangkan hadiahnya! Untuk mengetahui event Kompasiana lainnya, silakan kunjungi halaman ini. (DIN)




Baca juga:
Harga yang Harus Dibayar demi "Outfit" Kesayangan
Pekan Orientasi Mahasiswa Bukan Ajang Kekerasan
Gempa Mengguncang Malam

Cerita "Siberia" dan Tragika yang Gagal

$
0
0

Keanu Reeves sebagai Lucas Hill dalam film Siberia (2018) | Variety

A man doesn't become a hero until he can see the root of his own downfall - Aristoteles

Lucas Hill (Keanu Reeves) terbang ke Rusia untuk membereskan penjualan berlian biru. Pyotr, sejawat yang membawa barangnya, ternyata telah menghilang. Berlian biru yang akan dibeli Boris Volkov ikut raib bersamanya. Boris adalah bos mafia, tentu saja. Tapi Boris tidak sendiri. Ada agen Federal Intelligence Service yang ikut mengail di air keruh.  

Lucas sedang bermain-main dengan bahaya. 

Mencari Pyotr membawa Lucas bertemu dengan Ana Ularu. Ana adalah perempuan pewaris dari kafe milik keluarga. Ia pernah memiliki masa muda di Australia. Apa yang menarik dari latar belakang ini? 

Sebagai lajang, Ana bukan tipe yang berbelit-belit dengan jatuh cinta. Ana hanya mengatakan, "Jika aku masih tidak membencimu, kamu masih boleh tidur di sini!" 

Tidak butuh puisi dengan kencan-kencan panjang. Apalagi dibumbui drama pertengkaran dan ngambek-ngambekan. Pada Ana, hidup falsafah "Easy Come, Easy Go". Ana seolah memaknai hidupnya seperti kafe: titik persinggahan, melepas lelah, kemudian berpisah dan lupa.

Sedang di Amerika sana, Gaby Hill terlalu sibuk menjaga karirnya. Dia tidak pernah tahu atau lebih persisnya tidak mau tahu seperti apa daftar risiko yang selalu dihadapi pedagang berlian, seperti suaminya.

Sebab itu, maka sumbu ketegangan dari film Siberia (rilis Juli, 2018) ini pada bahaya berurusan dengan mafia-agen intelijen dan petualangan asrama yang menyeret Ana ke dalam bahaya. Apakah film besutan Matthew Ross sukses menghadirkan ketegangan yang diinginkan? Ketegangan yang tidak semata dilahirkan oleh kultur kekerasan dan aksi sabotase intelijen, misalnya. 

Lebih dari itu, memberikan ketegangan yang "lebih feminin" dari sudut pandang Ana yang sebelumnya hidup tenang di kota kecil. Kota Mirny di Siberia.

Siberia: Ide Layu dan Terlalu Keanu

Kalau Anda menginginkan film drama kriminal dengan aksi kepahlawanan berakhir bahagia, maka Siberia adalah film yang buruk. Walau begitu, Siberia memiliki ide yang tidak bisa disepelekan. Ide yang, mungkin, gagal digarap maksimal oleh Matthew Ross.

Anda tidak akan menikmati bagaimana mafia Rusia beroperasi. Termasuk aksi-aksi sabotase yang dilakukan agen intelijen dalam film berdurasi 104 menit. Model-model operasi yang berbeda dengan cara kerja FBI atau CIA, misalnya.

Boris bahkan terlihat culun berurusan dengan Lucas. Transaksi berlian biru palsu terlalu mudah terjadi. Demikian dengan aksi intelijen, hanya dengan sekali tekanan-lagi-lagi Ana yang jadi tumbalnya-Lucas bertekuk lutut pada rencana mereka mengelabui Boris. Bahwa ada pertikaian antara intelijen dan kelompok Boris, kita juga tidak cukup memahami konteksnya selain karena berlian biru ada sumber kekayaan.

Karena itu juga, jika Anda membayangkan bagaimana Lucas meloloskan diri dari sengkarut bahaya yang melibatkan perseteruan antara state actor's vs non-state actor's-dua entitas yang disebut ikut berperan dalam jejak berdarah dari sejarah berlian di Afrika-maka itu adalah kemewahan dalam film ini. 

Hal kedua, jika poros ketegangannya adalah petualangan asmara Lucas-Gaby-Ana, maka sama halnya. Hambar. 

Anda tidak akan melihat Lucas jungkir balik di depan dua hati perempuan. Yang terlihat hanyalah dalam perjalanan menyambut bahaya, Ana seperti dihadirkan sebagai pelengkap segala duka tanpa opsi alternatif. Sementara Gaby, sesekali muncul dalam perbincangan telpon dan kita tidak membutuhkan banyak perdebatan moral mengapa Lucas lekas pula berlabuh di kamar Ana dengan jendela yang diselimuti salju Siberia. 

Kenanglah jika Ana adalah manifestasi mikrokosmis dari keberadaan kafe-nya sendiri. Sementara Gaby adalah mikrokosmis lain dari Amerika yang sibuk. Sayang, keduanya tidak lebih dari catatan kaki. Matthew tidak cukup memberi porsi padanya.

Padahal Siberia beberapa kali melukiskan konteks dari ketegangan antara sistem besar yang eksis melampaui dan diri manusia yang rapuh di depannya. Semacam pelukisan ketegangan antara "Agency vs Structure"-katakanlah, begitu.  

Misalnya pada adegan "Sumpah Persaudaraan" antara Boris dan Lucas yang ganjil (dengan perempuan menjadi tumbalnya) atau bagaimana Lucas akhirnya menemui akhir yang naas dalam baku tembak, kita boleh melihat betapa rapuhnya manusia di depan kuasa sistem yang memiliki kemampuan produksi kekerasan tanpa ampun. Tentu saja, kontras seperti ini tidak khas Siberia.

Ada kesan bahwa keresahan dan kecemasan subyektif di depan sistem tersebut muncul dalam wujud pergumulan Lucas. Lucas tampil sebagai tubuh yang sakit. Maksud saya, laki-laki yang selalu berusaha berlaku rasional di balik keputusan tertentu sekaligus sebagai jiwa yang mengalami kekosongan. Di baliknya, ada kehidupan domestik yang dijajah ideologi "Time is Money!".

Karena itu juga, seolah saja Lucas adalah kekosongan jiwa khas Amerikanisme. Jiwa yang individualis-rasional di depan tanah Siberia yang masih memelihara kehangatan hidup kolektif (?). Dengan kata lain, Lucas Hill menemukan kesembuhannya pada akar-akar kultural yang telah hilang atau seperti kutukan yang tidak boleh hidup sejak kekalahan komunisme.

Maka bisa dikatakan, Siberia punya potensi memberi peringatan akan sisi kosong yang diderita "Amerikanisme".

Sayang dua kali, film ini terkesan terlalu bergantung pada sosok Keanu Reeves. Ketergantungan yang membuat ide-idenya layu. Membuat tragikanya gagal! 

Uniknya, menjelang akhir, justru muncul adegan yang sempat bikin terkejut. Yakni keputusan Lucas untuk mengakali Boris dan tidak segera pulang ke Amerika. Saya sempat mengira, sutradara akan memberi porsi bagi kemunculan seorang pahlawan. Namun bukan jenis lelaki yang bangkit dari keterpurukan seperti John Wick. Lelaki yang kembali untuk menghabisi apa saja yang merusak ketenangan hidupnya. 

Pahlawan yang saya bayangkan adalah mereka yang menepati janjinya. Seperti janji Lucas, "Saya akan kembali dan membuat roti panggang untukmu setiap pagi, Ana." 

Lucas ternyata berakhir mati sesudah baku tembak dengan anak buah Pavel, tangan kanan Boris. Matanya menganga. Tubuhnya kaku di tanah. Sendiri saja. 

Lucas seperti pahlawan yang tragis. Yang mungkin tidak disadari sutradaranya sendiri.

***




Baca juga:
Cerita Seru dan Haru di Acara Indonesia Community Day 2018
Harga yang Harus Dibayar demi "Outfit" Kesayangan
Pekan Orientasi Mahasiswa Bukan Ajang Kekerasan

Gelaran Seni "Teratai Salju" Merajut Semangat Asia

$
0
0


Art Exhibition Teratai Salju di Mandala Bidadari, doc. Penulis

"Teratai Salju" Art Exhibition, Art Installation, and Performance Art, kolaborasi seniman Jepang dan Indonesia di Bidadari Mandala, Ubud Bali. 

Tiga seniman Jepang, Kazunobu Yanagi, Yasu Suzuka, dan Minako Hiromi sore itu baru selesai mempersiapkan pamerannya di Bidadari Mandala, Ubud Bali. Mereka sangat antusias menceritakan tentang semangat asia untuk kedamaian. Melalui karya-karyanya mereka ingin menunjukkan pada publik di Bali, bahwa antara Jepang dan Indonesia memiliki sejarah maupun kedekatan dalam hal budaya dan spiritualitas.

Kazunobu Yanagi, Hiromi Wada, dan Yasu Suzuka. Doc. Penulis

Ketiga seniman Jepang ini masing-masing akan memamerkan karyanya, dimana Kazunobu Yanagi dengan instalasi lukisan, Yasu Suzuka dan Minako Hiromi keduanya akan memamerkan karya seni rupanya. Dari ketiga seniman ini nantinya juga akan berkolaborasi dengan Trie Utami yang akan merespon dalam musik dan art performance.

Kazunobu Yanagi, doc. Penulis

Mengapa ketiga seniman Jepang dan Trie Utami merepresentasikan spirit asia melalui tema "Teratai Salju"? Yang pasti mereka tidak sedang mengungkapkan karyanya sebagai sebuah benda atau bentuk seni saja. Tampaknya, melalui karyanya mereka sedang mengungkapkan sebuah makna dibalik ungkapan Teratai Salju. Dengan kata lain, mereka tengah menghadirkan filosofi yang berkaitan dengan pembersihan jiwa. Dimana, Teratai Salju sendiri tumbuh dan mekar di air suci dan dipercaya sebagai air suci surgawi.

Yasu Suzuka, doc. Penulis

Hiromi Wada, penggagas pameran sekaligus pemilik art space Bidadari Mandala yang dikelola Manik Mas Foundation mengatakan melalui pameran Teratai Salju akan memberikan dharma kebaikan, keteduhan dan kedamaian di muka bumi ini. Kehadiran seniman Jepang dan Indonesia akan berkolaborasi bukan hanya menujukkan karya saja, nantinya juga akan didukung para pendeta budha dan Hindu Bali, dimana meraka akan memanjatkan mantra maupun doa-doa agar nantinya segala energi baik yang membawa kedamaian di muka bumi ini datang.

Minako Hiromi, doc. Seniman

Karya-karya seniman Jepang yang meletakkan mandala sebagai pusat perhatian, seperti meditasi sangat nampak dalam lingkaran dengan symbol-simbol yang melekat. Berikut pula, hadirnya Borobudur, stupa dan patung budha menjadi identitas bahwa dari peradaban sejarah yang mendekatkan bagaimana akar kedekatan konsep "mandala" dalam hindu dan budha baik di Indonesia dan Jepang. 

Melalui karya seniman Jepang dalam pameran ini saya lihat akan membuka berbagai kemungkinan sebagai landasan kajian yang tidak sekedar wacana kesenian saja. Jadi semacam respons dari tingkat kesadaran yang tinggi dalam dialog budaya anatara Jepang dan Indonesia.

Trie Utami, doc. FB Trie Utami

Kazunobu Yanagi pada pembukaan pameran Sabtu (4/8), akan membuat performing art yang mengupas hubungan manusia dalam perjalanan kehidupan melalui simbol-simbol dalam bentuk lingkaran dan bidang yang kesemuanya diinstall di atas tanah.

Persiapan art performance Seniman Kazunobu Yanagi, doc. Seniman

Pameran Teratai Salju sendiri akan berlangsung dari tanggal 4 sampai 25 Agustus 2018. Pameran ini sangat menarik untuk dikunjungi, karena menyangkut kesadaran seorang seniman akan posisinya secara sosial maupun spiritual dalam prakteknya sebagai gerakan kebudayaan. Lebih lanjut menurut Hiromi pameran Teratai Salju juga sebagai penanda peringatan 60 tahun hubungan diplomatik Jepang dan Indonesia.

Nilai budaya dalam konteks hubungan kedekatan semangat bersama antara Jepang dan Indonesia adalah sesuatu yang penting, untuk menciptakan kebaikan, keharmonisan, dan kedamaian, karena itu saya melihat pameran ini menunjukkan sense of universal, serta memiliki potensi untuk menyumbangkan semangat kebersamaan, seperti yang kita saksikan betapa kebaikan dan kedamaian sangat penting di muka bumi ini. Pameran seni Teratai Salju tentunya akan berbicara lebih lanjut, dan saya yakin pameran ini akan memberikan fibrasi kebaikan pada siapapun yang menikmatinya. (Yudha Bantono)






Baca juga:
Naik "Bus Transjakarta" di Surabaya, Bayarnya Cukup Pakai Sampah Botol
Cerita Seru dan Haru di Acara Indonesia Community Day 2018
Harga yang Harus Dibayar demi "Outfit" Kesayangan

Warung Kopi dan Masyarakat Pangkalpinang

$
0
0

"Yoh, ngupi luk." Adalah ajakan yang sering saya dengar di Pangkalpinang. Ajakan yang pada awalnya cuma buat ngopi doang dapat berkembang kearah diskusi dan obrolan pelik. Warung kopi adalah satu hal yang tidak bisa lepas dari masyarakat kota Pangkalpinang. Bahkan warung kopi dikota ini sudah menjadi ikon penting dimasyarakat.

Pelanggan warung kopi memang didominasi oleh pria. Saya rasa hal ini juga tidak hanya di kota Pangkalpinang saja,  tetapi di seluruh Indonesia. Mengapa pria ini lebih suka ngopi di warung kopi padahal kopi buatan bini di rumah rasanya juga ngga jauh beda dengan rasa di warung kopi. Ada hal lain yang lebih menarik daripada hanya duduk sambil menghirup kopi. Warung kopi tidak hanya menyajikan kopi, tetapi juga ada obrolan dan diskusi didalamnya. 

Obrolan tentang politik, sosial, budaya, dan kemasyarakatan mendominasi obrolan para pria tersebut. Warung kopi tidak sekedar menjadi ajang nongkrong dan kongkow-kongkow, melainkan menjadi sarana untuk bersosialisasi, berdiskusi, dan menyampaikan informasi. Rasa ingin tahu alias kepo memang banyak juga yang mendorong para laki-laki ini untuk menyambangi warung kopi. Disana mereka bisa ngerumpi tanpa mendengar omelan dari bini. Ngobrol sesama lelaki tanpa tedeng aling-aling.

Diskusi hal-hal politik, budaya, bahkan naik turunnya harga timah bisa mendominasi obrolan di warung kopi ini. Kadang kala jika topik yang dibicarakan terlalu sensitif, obrolan ringan pun dapat berubah dengan diskusi yang panas. Pro dan kontra sebuah ide dan gagasan pun tak pelak mendapat counter-argument dari pihak lain yang punya pendapat berbeda.

Dokumen Pribadi

Selama beberapa dekade terakhir ini banyak bermunculan cafeyang menargetkan pelanggan anak-anak muda. Tempat ngopi yang cozy dan modern menjadi konsep utama dalam mendirikan cefe tersebut. Tempat ngopi seperti ini didesain dengan suasanya yang banyak menampilkan dunia anak-anak muda. Dengan tata cahaya yang apik dan suasana rileks. Tak jarang juga mereka menyuguhkan live music untuk menarik pengunjung. Eksklusivisme menjadi sajian utama di cafe-cafe tersebut.

Berbeda dengan konsep yang menjadi landasan utama di bisnis warung kopi modern tersebut, warung kopi tradisional juga tak kalah peminatnya. Bahkan banyak anak-anak muda dan mahasiswa lebih cenderung memilih warung kopi seperti ini untuk tempat nongkrong mereka. Selain harganya lebih miring, obrolan dan suasana di warung kopi tradisional memang lebih asyik untuk dinikmati. Harga bisa dijangkau oleh semua kalangan masyarakat dan topik obrolan bisa ditangkap oleh semua lapisan masyarakat. Tak ada lagi eksklusivisme dalam warung kopi tradisional.

Dokumen Pribadi

Alasan ekonomi untuk menjaga agar dapur tetap ngebul tidak lagi mendominasi berdirinya warung kopi di masyarakat Pangkalpinang. Proses interaksi antar pelanggan menjadi komoditas utama yang dijual dan menjadi hal yang utama di warung kopi tersebut. Tidak lagi harumnya aroma kopi yang dicari, melainkan obrolan santai dan sosialisasi antar pelanggan. Kadang juga dua pelanggan yang tak saling kenal dapat terlibat diskusi yang seru di warung kopi.

Dalam sebuah warung kopi yang ada di Pangkalpinang, strata sosial tidak lagi dipakai meskipun atribut kehormatan itu masih tetap ada. Strata sosial dalam masyarakat tidak lagi menjadi penghalang untuk ngerumpi. Semua membaur menjadi satu. Pejabat pemerintah, kepala polisi, anggota DPRD, tukang parkir, makelar, bahkan kaum millenial dan anak muda dapat terlibat dalam sebuah obrolan yang mengasyikkan.

Bahkan para pejabat seakan terlihat seakan warung kopi ini merupakan kantor kedua bagi mereka. Dalam warung kopi, mereka dapat berinteraksi dengan masyarakat secara langsung. Penyampaian pendapat, keluh kesah, dan unek-unek dapat disampaikan secara gamblang dan personal. Aspirasi masyarakat dapat tersampaikan secara efektif dalam suasana yang santai. Mungkin ada buruh bangunan atau pedagang pasar yang tidak dapat bertemu pejabat dapat langsung menjabat tangan mereka serta menyampaikan apa yang menjadi kesulitan mereka di warung kopi.

Dokumen Pribadi

Diskusi dan obrolan warung kopi memang tidak memiliki kesimpulan akhir atau keputusan ketok palu. Tetapi obrolan-obrolan ringan seperti ini juga kadang mempengaruhi pengambilan keputusan yang strategis dalam berpolitik, ekonomi, dan bahkan dalam pemerintahan. Topik yang dibincangkan juga melompat dari topik satu ke topik lain yang selaju dengan dinamika bermasyarakat. Tapi tak jarang juga dari obrolan-obrolan warung kopi inilah kehidupan masyarakat Pangkalpinang bisa lebih baik.




Baca juga:
Pameran Seni Koleksi Istana di Tengah Spirit Asian Games 2018
Naik "Bus Transjakarta" di Surabaya, Bayarnya Cukup Pakai Sampah Botol
Cerita Seru dan Haru di Acara Indonesia Community Day 2018

Percuma Viral Kalau Tak Punya Penggemar

$
0
0

ilustrasi pixabay.com

"Social media is about being social; going viral is all about you"

Salah satu tanda akhir zaman katanya adalah, manusia akan semakin mencintai dirinya sendiri (self-love). Anjayy... Pembukaannya ngeri amat ya haha.

Saya bahkan baru tahu, kenapa ada begitu banyak korban dalam tragedi tenggelamnya kapal Titanic di Samudra Atlantik Utara pada tanggal 15 April 1912 silam. Bukan karena kurangnya jumlah sekoci, melainkan karena penumpang kapal Titanic kala itu mayoritas diisi oleh bangsawan kaya raya yang mencintai dirinya sendiri.

Mereka berusaha menyelamatkan diri mereka masing-masing, walaupun isi sekoci masih bisa dimaksimalkan. Inilah bahayanya kalau kita dikelilingi oleh orang yang begitu self-love.Kita menjadi tidak aman.

Sipp ini intermezzo sahaja..

Bisa dikatakan sekarang ini, dorongan untuk mencintai diri sendiri begitu terfasilitasi dengan adanya media sosial, ataupun platform youtube yang banyak digandrungi kawula muda sebagai jalan alternatif untuk jadi terkenal.

Saya ambilkan beberapa contoh, kelompok youtubers bernama Trollstation di Inggris harus mendekam di penjara karena membuat video prank perampokan palsu pada dua galeri seni di London.

Lalu ada youtuber Logan Paul yang dikecam dunia terutama masyarakat Jepang karena merekam orang bunuh diri di hutan Aokigahara, hutan yang dikenal sebagai tempat masyarakat Jepang mengakhiri hidupnya dengan berbagai alasan.

Belum lama ini seorang youtuber Indonesia juga harus berurusan dengan masalah hukum karena video yang diunggahnya. Berhubung videonya sudah di-private oleh si empunya, saya bakal coba tampilin videonya yang sudah dikomentarin oleh Brandon Kent prankster top asal Indonesia.

Jadi intinya gini, Tierison ini adalah YouTubers gaming. Pada videonya yang jadi heboh itu dia mengomentarin salah seorang YouTubers gaming juga.

Tetapi komentarnya pada video tersebut memang berlebihan karena banyak kalimat kasar, pencemaran nama baik, fitnah, dan terdapat pelanggaran UU ITE. Yah percuma lah dia nge-private videonya yang bikin heboh ini, karena sudah keburu "diamankan" oleh netizen Indonesia.

Tak terima namanya dicemarkan, orang yang namanya disebut oleh si Tierison ini pun akhirnya melapor ke polisi. Jadilah YouTubers gaming yang masih muda ini berurusan dengan pihak berwajib.

Coba tonton video permintaan maafnya, salah satu alasannya membuat video tersebut katanya karena ingin mengetes subscriber. Kurang lebih artinya ya biar videonya mendapatkan perhatian lebih dan jumlah penontonnya semakin banyak.

Dan dia berhasil untuk itu....

Rata-rata tujuan para konten kreator yang berusaha menjadi viral adalah meningkatkan popularitas. Tapi menurut saya menjadi viral tak sama dengan terkenal. Pernah nggak kalian melihat artis yang menerima sebuah penghargaan, yang dia lakukan pasti berterima kasih pada penggemarnya yang selama ini telah mendukungnya dalam berkarya.

Tanpa sekumpulan penggemar tak ada yang namanya idola. Tanpa penggemar kita bukanlah seorang bintang, kita bukanlah siapa-siapa, hanya manusia biasa sama seperti yang lainnya.

Jadi percumalah viral kalau kita gak punya penggemar. Untuk sesaat bisa saja kita punya partisan, yang ada di pihak kita untuk sekadar pro melawan mereka yang kontra.

Maksud saya tentu viral dalam arti negatif ya. Ada juga kok, orang yang menjadikan momen viral sebagai pintu masuk karirnya. Misalnya aja Justin Bieber.

Waktu itu ibunya rajin mengunggah video berisi aksi Justin saat menyanyi di sebuah kompetisi. Dewi fortuna pun datang menghampiri. Seorang manajer artis kenamaan Amerika Serikat melihatnya, dan bummm si Justin jadi penyanyi terkenal.

Kalo saya seorang youtuber saya pasti bisa bahas lebih jauh, tapi sayangnya saya cuman tukang cilok. Tapi jelas ya, jadi viral aja gak cukup untuk jadi termahsyur berkelanjutan.

Kalau viral kan cuman buat lucu-lucuan doang. Misalnya, acara The Comment di NET TV yang ngomentari berbagai video viral di youtube. Yaudah sekadar dikomentarin doang.

Menjadi viral adalah tempat manis yang tidak mudah dicapai, namun cepat berlalu dan tidak berkelanjutan untuk sebagian besar. Tahukah kalian bahwa akun youtube beserta video yang kalian unggah akan disebut channel. Artinya menjadi saluran konten yang kalian buat. Subscriber itulah yang akan jadi pelanggannya.

Saat ini youtube membuat peraturan untuk bisa mendapatkan pendapatan dari iklan, sebuah video kini harus mengumpulkan setidaknya 4.000 jam waktu tonton (watch time) dalam 12 bulan terakhir dan memiliki 1.000 subscriber. Saya sih gak yakin satu video viral bisa mencapai hal tersebut.

Ada beberapa video youtubers yang sering saya tonton, antara lain videonya Deddy Corbuzier. Dalam salah satu videonya dia berkata, menjadi seorang youtuber adalah cara dia beradaptasi dengan zaman.

Banyak artis meeredup karirnya karena tak mau mengikuti perubahan. Youtube membuat dia bisa menjaga eksistensinya. Banyak hal yang tak dapat diucapkannya di televisi diungkapkannya di youtube.(Youtube/Tim2one)Ada juga youtuber muda yang sangat kreatif menurut saya seperti Agung Hapsah dan Tim2one - ChandraLiow. Coba tonton videonya di youtube, itu bagus-bagus banget.

Bisa dibilang, mereka ini adalah a smart filmmaker di Indonesia, setidaknya di youtube mereka sudah membuktikannya. Kalau YouTubers gaming saya suka Miawaug dan Pokopow.

Coba perhatikan pola mereka dalam membuat video, tak ada satupun yang mengejar viral apalagi sensasi. Itu kenapa video mereka bisa begitu berkualitas. Bukan hanya soal editing-nya ya, tapi secara konsep video yang mereka hasilkan memang keren. Viral bisa terjadikan karena kita melihat sesuatu yang tidak biasa.

Misalnya ada orang berani megang ular naga, menghina presiden, hingga menantang Tentara Nasional Indonesia. Viral sih, tapi habis itu diciduk dan dimasukin penjara. Mau lu kayak gitu?

Sementara terkenal itu soal dikenal, dibesarkan, punya, dan dicintai penggemar. Kalo saya youtuber pasti saya bisa bahas lebih panjang, tapi sekali lagi, karena saya cuman tukang cilok jadi saya sudahi saja sampai di sini.

Salam dari saya penikmat yang bukan pakar.




Baca juga:
Quo Vadis Komunitas Malang Usai ICD 2018?
Promosikan Potensi Buah Lokal Melalui "Khanduri Boh Kayee"
Bakso "Berati", Nikmatnya Cita Rasa Bakso Malang yang Sesungguhnya

Puisi | Tulisan yang Menyuruhku Diam

$
0
0

Ilustrasi (Michael Gaida -- pixabay.com)

Jika yang aku tuliskan ini hal yang biasa, aku akan berdoa agar pasukan lebah tiba membabi buta, sehingga tulisan ini akan diamuk oleh rasa manis yang luar biasa.

Karena aku hanya menulis tentang keinginan yang terbengkalai akibat janji yang belum tunai. Janji kepada rasa lelah untuk tidak sedikitpun menyerah. Terhadap bulir-bulir keringat yang membeku akibat didinginkan waktu.

Separuh dari hidupku aku serahkan sebagiannya kepada abai. Kemudian aku lalai. Untuk menurunkan tirai jendela saat hujan sedang membadai. Buku-bukuku lalu basah membusuk di sarang anai-anai.

Separuhnya lagi aku pecah menjadi beberapa serpihan. Aku persembahkan untuk memuji kelam, merayu bulan, dan menyengsarakan angan. Aku bagian tertinggi dari apa yang disebut berantakan.

Tulisan ini aku letakkan bersisian dengan makam para penyamun yang gagal melanun. Kapal-kapal di laut sudah tahu bagaimana cara menenun api. Supaya para penyamun itu tidak sepantasnya menghabisi mimpi. 

Tulisan ini aku pasrahkan pada keramaian kota yang mendidihkan urat syaraf pada setiap detiknya. Di atas tungku yang dipanaskan koar-koar para penakut yang berlagak jadi pendekar. Tak sadar pada akhirnya akan terbakar. Setelah makar terhadap cita-cita besar yang jauh sebelumnya diudar.

Tulisan ini biru lebam akibat terantuk batu dan pinggiran trotoar. Merintihkan kesakitan yang dalam. Lalu menyuruhku untuk diam.

Jakarta, 8 Agustus 2018




Baca juga:
Anak Bisa Jadi Sumber Konflik Berat Antara Suami dan Istri
Quo Vadis Komunitas Malang Usai ICD 2018?
Promosikan Potensi Buah Lokal Melalui "Khanduri Boh Kayee"

Tebak Langkah Calon Pasangan Presiden di Pilpres 2019

$
0
0

Kompas.com/Fabian Januarius Kuwado

Batas waktu pendaftaran calon presiden dan wakil presiden 2019 akan segera berakhir. Hingga kini belum ada satu pun satu pasangan calon yang mendaftar.

Ragam spekulasi masih beredar. Dari sisi petahana, Ketua Umum PPP Rohmarmuzy memberi sedikit titik terang tentang Calon Wapres Joko Widodo. "Inisialnya M," katanya.

Di sisi lain, belakangan ini santer dikabarkan Capres Prabowo akan maju bersama Agus Harimurti Yudhoyono.

Tetapi pada Rabu malam (8/8/2018) jagat Twitter diramaikan oleh cuitan Wasekjen Andi Arief yang mengatakan kemungkinan Demokrat untuk meninggalkan koalisi lantaran masuknya nama Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno sebagai Cawapres.

Kemungkinan ini kian tajam dengan aksi berbalas opini antara Andi Arief dengan Waketum Gerindra Arief Poyuono dengan keluarnya istilah "jenderal kardus" dan "jenderal baper" dari kedua orang tersebut.

Kian serunya dinamika menuju tanggal pendaftaran capres dan cawapres ini membuat kami mengundang Anda untuk menebak siapa pasangan yang akan maju dalam Pemilihan Umum 2019. Selain itu apa spekulasi Anda tentang langkah bongkar pasang koalisi dan strategi yang akan dilancarkan oleh pasangan tersebut?

Tuliskan analisis Anda di Kompasiana dengan mencatumkan label PASANGANPILPRES2019 (tanpa spasi) pada setiap artikel Anda.




Baca juga:
Perjuangan Lia Meukbun Mengelola Perpustakaan Asmat
Anak Bisa Jadi Sumber Konflik Berat Antara Suami dan Istri
Quo Vadis Komunitas Malang Usai ICD 2018?
Viewing all 10549 articles
Browse latest View live