![bps.go.id]()
Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 menjadi lebih hangat, disebabkan tidak hanya ada dua pemilihan serentak, yakni: Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg). Tetapi juga, munculnya variabel-variabel gejolak sosial yang dimainkan oleh para kontestan.
Salah satunya adalah kemiskinan dan ketimpangan sosial. Penulis berasumsi, bahwa kemiskinan akan menjadi isu yang seksi disetiap kontestasi politik. Oleh sebab itu, latar belakang tersebut menimbulkan beberapa pertanyaan.
Pertama, Bagaimana Kemiskinan menjadi komoditas dan instrumen politik menjelang pemilu 2019? (Pertanyaan Mayor). Kedua, bagaimana pandangan oposisi melihat tingkat kemiskinan? Ketiga, bagaimana Petahana selama ini mengatasi kemiskinan? Keempat, bagaimana masyarakat menilai upaya pengentasan kemiskinan saat ini? Kelima, bagaimana peluang pemilu 2019 dan keterkaitanya dengan isu kemiskinan? (Pertanyaan minor).
Kemiskinan menjadi salah satu instrumen politik, guna memunculkan dan memainkan isu ditengah masyarakat. Teka-tekinya adalah jika kebijakan petahana sukses, maka menjadi keuntungan elektoral bagi petahana. Namun, jika kebijakan petahana wan-prestasi di bidang pengentasan kemiskinan, maka menjadi poin elektoral bagi oposisi.
Maka dititik inilah, kemiskinan menjadi komoditas bagi perpolitikan di tanah air. Sebagaimana Muttaqin ungkapkan, bahwa Kemiskinan menjadi salah satu produk politik yang terimplementasikan dalam kebijakan-kebijakan publik. Dalam bahasa lain, kemiskinan terdesain secara sengaja melalui penciptaan struktur-struktur politik yang tidak memungkinkan masyarakat memperoleh akses yang sama. Dimensi ini menjadi ironi tersendiri bagai negara yang mestinya mempromosikan keadilan dan kesejahteraan sosial.
Kemiskinan dalam Perspektif Oposisi
Kemiskinan selalu menjadi salah satu variabel instrumen politik saat menjelang pemilu. Sebagaimana diketahui, 2018/2019 merupakan tahun politik.
Dua dimensi perpolitikan, baik petahana maupun oposisi membutuhkan dukungan elektoral atau tingkat keterpilihan. Bukti kemiskinan menjadi ruang diskusi politik saat ini, adalah ungkapan dari para politisi oposisi akhir-akhir ini. Prabowo Subianto sebagai tokoh oposisi menyebutkan angka kemiskinan RI naik 50 %.
Dalam sistus Detik.com, Jum'at (27/7), Prabowo menyebutkan, bahwa dalam lima tahun terakhir, angka kemiskinan mengalami peningkatan. Salah satu faktor penyebabnya adalah rusak dan lemahnya nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat.
Tokoh oposisi lainnya, juga menyebutkan hal serupa. Dalam situs Kompas.com, pada tahun lalu (14/06/2017), Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyebutkan, bahwa angka kemiskinan relatif tinggi. Menurutnya, pemerintah harus serius mengatasi persoalan kemiskinan dan kesenjangan sosial.
Bahkan, ia menyebutkan bahwa kemiskinan adalah permasalahan mendasar bagi bangsa, tidak hanya bagi Indonesia, tetapi juga bagi negara-negara lainnya. Menurutnya, pemerintah perlu mengubah orientasi penanggulangan kemiskinan. Tidak hanya orientasi penanggulangan yang tertumpu pada sifat duniawi atau benda, tetapi juga pengentasan harus mengangkat harkat dan martabat masyarakat yang tidak mampu.
Secara eksplisit, pada Kamis (26/07/2018), SBY kembali menyebutkan angka yang relatif tinggi. Menurutnya, terdapat 100 juta penduduk miskin yang harus ditanggulangi. SBY mengungkapkan jumlah orang miskin itu menjadi salah satu dari lima persoalan negara saat ini.
Upaya pada pemerintahan SBY dua periode juga telah dilakukan, antara lain: Pemberian Bantuan Langsung Tunai, Beras Rakyat Miskin, dan Jaminan Kesejahteraan Sosial. Meskipun, tragedi seperti meninggalnya salah satu keluarga di Jawa Tengah karena kelaparan terjadi.
Kemiskinan dan Petahana
Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai instrumen pengukur dari elemen pemerintah acap kali menanggapi munculnya data dari para politisi oposisi. Berdasarkan catatan BPS, jumlah penduduk miskin di Indonesia per September 2016 adalah 27,76 juta jiwa atau 10,7 persen dari total penduduk Indonesia. Angka ini turun dibandingkan Maret 2016 sebesar 10,86 persen.
Mengutip data BPS, periode Maret 2018 jumlah orang miskin di Indonesia tercatat 25,95 juta. Jumlah ini menurun 633 ribu orang dari posisi September 2017 yang sebanyak 26,58 juta. Angka tersebut terus mengalami penurunan, BPS menyebutkan, jumlah orang miskin di Indonesia sudah berada di posisi single digit. Karena turun 0,30% dibanding September. Pada Maret 2018 posisi persentase kemiskinan tercatat 9,82% lebih rendah dibanding sebelumnya 10,12%.
Namun, angka kemiskinan antara kota dan desa sangat tinggi sekali. Angka kemiskinan di desa 13,20% atau hampir dua kali lipat dibandingkan dengan kota yang sebesar 7,02%.
BPS menyampaikan penurunan angka kemiskinan per Maret 2018 dikarenakan beberapa faktor, seperti inflasi umum periode September 2017-Maret 2018 sebesar 1,92%, rata-rata pengeluaran perkapita/bulan untuk rumah tangga yang berada di 40% lapisan terbawah selama periode itu tumbuh 3,06%.
Secara kuantitatif data BPS, menunjukkan progres nyata kebijakan pemerintah di era saat ini. Dengan penguatan program penanggulangan kemiskinan.
Tidak hanya itu, secara kualitatif, pemerintah terus berupaya mensinergikan kementerian dan lembaga terkait dengan Himbara (Himpunan Bank Negara). Implementasi kebijakan tersebut antara lain; Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), Beras Sejahtera (Rastra), Program Indonesia Sehat (PIS/KIS), Program Indonesia Pintar (PIP), BPJS Ketenagakerjaan untuk Upah Buruh harian lepas. Rumah Tinggal Layak Huni, Pupuk dan Gas bersubsidi, serta Listrik subsidi.
Skema pendistribusian atas intervensi kebijakan pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan salah satunya dengan menyiapkan pendampingan. Proses pendampingan secara pro aktif berkontribusi pada aspek tepat sasaran dan tepat jumlah atas berbagai upaya penanggulangan kepada masyarakat tidak mampu sebagai sasaran.
Akhir-akhir ini, Kementerian Sosial merilis hasil kerjanya, bertajuk 'Strategi PKH sebagai episentrum Social Justice for All'. Pemerintah meyakini bahwa PKH, adalah program pendukung utama, bahkan menjadi program prioritas nasional.
Berbagai hal signifikan berhasil membuktikan banyak hal, antara lain: Pertama, Berkurangnya tingkat kemiskinan dan kesenjangan. Kedua, menjangkau daerah tertinggal, terpencil dan perbatasan antar negara. Ketiga, menjadi episentrum program-program penanggulanan secara terintegrasi. Keempat, meningkatkan inklusi keuangan, termasuk akses pada kredit UMKM. Kelima, menurunkan angka gizi buruk dan stunting. Keenam, meningkatkan capaian pendidikan dan mengurangi angka putus sekolah.
Oleh sebabnya, program ini terus mendapatkan perhatian pemerintah, setidaknya dibuktikan dengan penambahan kuota Keluarga Penerima Manfaat, dan mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada 2014, jumlah penerima manfaat berkisar 2,7 juta. 2015, mengalami peningkatan sebesar 3,5 juta. Pada 2016 menjadi 5,9 juta, dan mengalami peningkatan signifikan pada 2017/2018 sebesar 10 juta penerima manfaat. Dan hal ini telah menyumbang defisit kemiskinan sebagaimana data BPS di atas.
![Para Keluarga Penerima Manfaat (KPM) PKH beserta Pendamping Sosial.dokpri]()
Meskipun demikian, selama empat tahun terakhir, pemerintah harus mengevaluasi berbagai catatan buruk kemiskinan. Kematian akibat gizi buruk di Agats, Papua pada 2017 hingga berstatus Kejadian Luar Biasa (KLB).
Belum lagi, kondisi terbaru melanda di 2018, yakni, kematian akibat kelaparan yang mendera 3 warga suku terpencil di Desa Maneo Rendah, Kecamatan Seram Utara Timur Kobi, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, pada Selasa (24/07/2018).
Pandangan Masyarakat terkait Kemiskinan
Sederhananya, secara kuantitatif terdapat metode guna mengukur tingkat kepuasan masyarakat pada aspek perekonomian. Aspek perekonomian linear dengan pelebaran kemiskinan. Kondisi terbaru saat ini, tingkat kepuasan publik pada era Jokowi-JK mengalami penurunan dibading periode Maret 2018. Hasil riset dari Alvara Research Center, menyebutkan bahwa:
"Tingkat kepuasan masyarakat turun dari 77,3 persen pada Februari menjadi 73,8 persen pada Mei. Masyarakat yang tidak puas naik dari 20,8 persen menjadi 23,2 persen. Sedangkan masyarakat yang merasa puas jumlahnya menurun dari 68,8 persen menjadi 65,9 persen. Begitu pula dengan masyarakat yang merasa sangat puas menurun dari 7,2 persen menjadi 6,8 persen dan yang merasa sangat puas sekali turun dari 1,3 persen menjadi 1 persen. Masalah ketenagakerjaan, seperti penyediaan lapangan kerja dan kesejahteraan tenaga kerja, masih mendera,"
Lembaga survei Indo Barometer merilis hasil survei terhadap tingkat kepuasan publik terhadap pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (JK). Survei dilakukan pada 15-22 April 2018 di 34 provinsi. Hasilnya menunjukkan, bahwa Kepuasan Publik terhadap kinerja pemerintah mencapai 65 %. Salah satu titik tumpu kepuasan publik adalah aspek bantuan bagi rakyat kecil sebesar 13,8 %. Hal itu berarti, segala sinergitas bantuan sosial pengentasan kemiskinan mendapatkan penilaian tersendiri dari masyarakat.
Peluang Pemilu 2019 dan Kemiskinan
Sebagaimana hipotesa di awal, bahwa jika petahaa berhasil dengan segala program sosialnya, maka bonus elektoral akan menjadi unsur menangnya di Pemilu 2019. Sebaliknya, jika segala program pro sosial, dinilai masyarakat masih minim dan kurang menunjukkan tingkat keberhasilan, bahkan diasumsikan tidak tepat sasaran, maka petahana dan partai koalisi pemerintahan mengalami defisit elektoral.
Defisit elektoral tersebut berpeluang menjadi komoditas politik dan instrumen yang 'seksi' bagi kubu oposisi. Bagi oposisi, semestinya harus menawarkan terobosan dan inovasi terkait kebijakan pro kemiskinan nantinya. Sedangkan, bagi petahana, harus terus mensinergikan dan mengoptimalkan berbagai cakupan program strategisnya.
Namun, tampaknya, isu kemiskinan tidak lagi menjadi hal yang 'seksi' pada pemilu 2019, karena terdapat isu-isu lainnya bagi oposisi yang lebih strategis . Apalagi, dalam berbagai survei, petahana masih mendominasi angka elektoral hingga saat ini. Sebagaimana hasil survei litbang Kompas pada Mei, menunjukkan bahwa sebanyak 67 % masyarakat merasa puas dan akan kembali memilih petahana pada pemilu mendatang.
Belum lagi, apa yang disampaikan oleh politisi oposisi, data yang terungkap berbanding terbalik dengan hasil kerja BPS akhir-akhir ini. Sehingga antitesa tersebut justru akan menggerus tingkat acceptabilty calon penantang petahana. Berbagai tanggapan netizen justru cenderung mengkiritisi data kemiskinan yang dicetuskan oleh SBY dan Prabowo Subianto di berbagai media sosial.
Refleksi dari tulisan ini, penulis mengisyaratkan agar kemiskinan dan kesenjangan sosial tidak menjadi bahan 'obrolan politis' yang 'seksi' bagi para politisi. Seyogyanya, semua pihak bersatu padu, bersinergi dan bersama-sama mengatasi berbagai macam persoalan kemiskinan yang ada. Semua sektor, baik pemerintah dan usaha, budaya dan agama mempunyai tanggung jawab menghadapi persoalan kemiskinan.
Artikel Ini telah diterbitkan pada dosenngapayak.wordpress.com dengan judul artikel: Kemiskinan: Komoditas dan Instrumen Politik yang 'Seksi' Jelang Pemilu 2019.
sumber rujukan:
[1] Ahmad Muttaqin, "Pengarusutamaan Gender dalam Penanggulangan Kemiskinan", Jurnal Studi Gender dan Anak, Yin Yang -- STAIN Purwokerto, (Yinyang, Vol. 5 No. 1 Jan-Jun 2010 pp. 88-102)
[2] finance.detik.com. Diakses pada 28 Juli 2018, Pukul. 16.45 Wib
[3] regional.kompas.com. Diakses pada 28 Juli 2018, Pukul. 16.51 Wib
[4] finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis. Diakses pada 28 Juli 2018, Pukul. 17:07 Wib
[5] bps.go.id. Diakses pada 28 Juli 2018, Pukul. 17:11 Wib
[6] news.detik.com. Diakses pada 28 Juli 2018, Pukul. 17.43 Wib
[7] nasional.tempo.co. Diakses pada 28 Juli 2018, Pukul. 17:58 Wib
[8] tribunnews.com/nasional. Diakses pada 28/07/2018, Pukul. 18:04 Wib
[9] nasional.kompas.com. Diakses pada 28 Juli 2018, pukul. 18:16 Wib
Baca juga:
Pesona Gua Maria Kerep AmbarawaEnak Mana, Layar Gawaimu atau Makananmu?Mau Nulis Artikel Malah Jadi Buku