Quantcast
Channel: Beyond Blogging - Kompasiana.com
Viewing all 10549 articles
Browse latest View live

Cerpen | Di Tempat Mereka Singgah dan Menetap

$
0
0


Ref. Foto : pixabay

Kau masih ingat tempat kita bermain yang indah, Win? Katamu itu negeri gua dengan stalagmid dan stalagtid yang gemerlap. Kau sangat senang ke sana, meski tempatnya jauh dari perkampungan, tersembunyi, dan sedikit menjorok ke pinggiran pantai. Hanya kita berdua yang sering ke sana, selain Kek Mar, yang memiliki segudang cerita dan senang berbas-bus dengan rokok daun nipah. Kau ingat dia, Win? Kau pasti kangen mendengar celotehnya. Mendengar ceritanya yang tak putus-putus ketika kita bersenda-gurau di bale-bale belakang rumahku sambil ditemani kopi dan pisang goreng.

Kek Mar sangat berani menyeruput kopi itu. Sementara kita berdua, hanya berani minum dari gelas yang sama. Itu pun menyeruputnya dengan mata menyipit. Pahit bukan kepalang. Mak-ku hanya menyendokkan seujung kuku gula pasir ke gelas kopi itu. Katanya, harga gula pasir mahal. Barangnya susah didapat. Harus ke kota dulu kalau memang mau murah. Tapi ongkosnya mahal. Jadilah menunggu tengkulak saja meski membelinya dengan hati terpaksa.

Kau ingat gua itu, Win? Bagimu tak ada bandingnya dengung stalagmid dan stalagtid di situ bila dipukul dengan kayu. Kau ingin kelak menjadikannya alat musik mengiringi suaramu yang merdu. Tapi sungguh, masih ada keindahan yang tak bisa kau lupakan. Burung layang-layang yang ratusan atau mungkin ribuan jumlahnya, merubung di pucuk-pucuk gua. Suaranya ramai mendengung, menciak-ciak. Kau paling senang bila salah seekor burung itu memberaki kepalaku. Katamu, aku akan mendapat rejeki. Maka kau sering mengumpulkan tahi burung layang-layang, dan diam-diam memasukkannya ke dalam kantong celanaku.

Burung layang-layang itu memang indah. Terbangnya tiada lelah. Sarang-sarang di pucuk gua, di ujung-ujung karang yang menyempit, selalu menyimpan suara ciap anak-anak mereka. Kau dan aku paling senang menghitung berapa jumlah sarang dan anak-anak burung itu. Tapi sampai mulut kita berbuih, kita selalu salah menghitungnya. Mengulang dari pertama, namun salah lagi. Mata kita juga berair. Leher pegal karena harus mendongak terus. Lagi-lagi, kita salah menghitung. Lupa lagi, menghitung lagi. Tapi, itu pekerjaan mengasyikkan, bukan?

"Tahukah kalian seberapa kuatnya burung-burung itu?" tanya Kek Mar suatu hari, ketika kita mendadak bertemu dia di gua itu.

Aku menggeleng. Kau pura-pura melipat ujung rok. Ada bekas kotoran burung di situ.

Kek Mar mengatakan, burung layang-layang kuat terbang puluhan kilometer demi mencari makan. Mereka tak mau berhenti sebelum tiba di tujuan. Konon, kalau burung layang-layang jatuh saat menempuh penerbangannya ke tempat-tempat jauh, mereka akan mati. Jatuh artinya mati.

Burung layang-layang juga kuat menahan dera sakit untuk meneruskan generasi mereka. Mereka membuat sarang-sarang tempat telur dieram. Sarang-sarang yang tercipta dari ludah mereka. Ludah yang sengaja dikumpul dan dimuntahkan. Bahkan terkadang, ludah-ludah itu bercampur darah mereka.

"Apakah memang harus begitu, Kek?" tanyaku. Kau menitikkan air mata membayangkan bagaimana sakitnya burung layang-layang memuntahkan darah hanya karena ingin telur-telur mereka aman dan hangat di dalam sarang.

"Menurut cerita orang-orang, memang begitu. Jadi, kakek harap, jangan sekali-sekali kalian mengganggu mereka. Biarlah mereka menjadi sekelompok panorama di daerah kita."

"Win menyenangi mereka, Kek! Win sangat sayang!" Kek Mar mengaduk-aduk rambutmu yang panjang dan berombak. Kau menatapku jenaka. Saat itu, kutahu aku juga sangat menyayangimu.

Tapi setelah kau pergi bersama Wak Nang ke negeri jauh, aku didera sepi. Kek Mar meninggal dunia beberapa bulan setelah kau tak ada. Tinggal aku tak memiliki teman, selain ayah yang sibuk ke laut terus setiap hari. Dan mak yang setiap hari bekerja di dapur, meski sekali-sekali ke halaman depan yang berpasir. Dia menjemur ikan sepert biasa untuk dijadikan ikan asin.

Berkawan dengan anak-anak seumuranku juga tak mungkin, Win. Mereka senang bermain di laut. Mereka senang menangkap ikan, berenang ke tempat-tempat yang dalam bersama cakar ombak yang tak ramah. Sementara aku, fuh... Kau sangat tahu bahwa mustahil aku bisa pergi ke laut. Aku sama sekali tak mampu berenang. Kakiku tak lengkap. Hanya ada kaki kanan yang sempurna, sedangkan yang kiri hanya sebatas paha. Berjalan saja susah, apalagi hendak berenang. Ya, kau selalu menyuruhku agar tabah!

Dan mengenai burung layang-layang itu, akhirnya diserbu lelaki-lelaki bertopi dan membawa keranjang yang tersangkut di bahu mereka. Lelaki-lelaki bertopi itu membawa galah. Kau tahu Win, mereka menyerbu ke goa tempat bermain kita.

Pada awalnya aku tak peduli. Tapi ketika aku melihat di langit burung layang-layang menjerit, aku cemas. Teman-teman kita itu pasti diganggu. Sayang, kalau saja Kek Mar masih hidup, dia pasti mengusir lelaki-lelaki bertopi itu. Dia masih memiliki senapan peninggalan Belanda, kan?

Aku segera berlari ke goa itu. Di sana tak hanya ada lelaki-lelaki bertopi itu, tapi orang-orang kampung kita turut merubung. Mereka berceloteh riang. Apalagi lelaki-lelaki bertopi itu keluar dari dalam gua dengan keranjang penuh.

"Wah, tak nyangka ya, sarang burung layang-layang berguna! Harganya mahal! Kenapa tak dari dulu kita tahu dan mengambilnya. Sekarang tempat itu sudah dikuasai kepala kampung. Dia dibayar pengusaha kota untuk seluruh sarang yang didapatkan," kata seorang lelaki berperut buncit dan berdada sempit.

"Seharusnya kita yang membantu pengusaha itu mengambil sarang burung itu. Bukan oleh orang-orang bertopi yang dibawanya langsung dari kota," balas temannya yang bergigi tonggos.

Sarang burung layang-layang? Aku mencoba menerobos masuk ke dalam goa. Aku kasihan membayangkan telur-telur burung itu berjatuhan karena sarangnya diambil. Telur-telur itu pasti pecah. Induk mereka pasti bersedih. Kubayangkan ludah bercampur darah yang dimuntahkan burung layang-layang demi membuat sarang. Oh, lelaki-lelaki bertopi itu sungguh biadab!

Tanganku yang kecil dan dekil, dicengkeram seseorang sehingga langkahku tersedak. Aku mendongak, kemudian melihat seringaian kepala kampung. Berani betul dia menyakitiku. Kalau saja Kek Mar masih hidup, dia tentu dikemplang dan tersungkur-sungkur meminta ampun. Kek Mar jagoan. Dari dulu kepala kampung tak pernah berani melawannya. Mak bercerita, Kek Mar pernah memukuli kepala kampung sampai muntah darah, karena dia  mengganggu mak. Kek Mar tak suka anaknya diganggu apalagi oleh lelaki yang berotak bejad itu.

"Anak si Safiah ini mau berulah pula!"

Aku hanya bisa tunggang-langgang berlari ke rumah. Aku menangis sejadi-jadinya membayangkan nasib goa tempat  kita bermain. Burung layang-layang itu pasti sangat ketakutan, Win.

Ayah hanya menyuruhku bersabar ketika kukatakan goa tempatku bermain dilantak orang-orang kota. Mak mengelus dada, lalu menyuruhku mandi. Dia telah menyiapkan sepiring nasi berlauk ikan bakar dan sedikit kecap. Ketika aku menanyakan sayur bening, mak mengatakan tak ada. Tengkulak yang biasanya datang dari kota, hari itu absen membawa sayur-mayur dan lauk-pauk. Mungkin mereka tergoda juga dengan cerita sarang burung layang-layang yang berharga menggiurkan itu. Sempat kudengar tadi dari celoteh orang-orang, bahwa harga sekilogram sarang burung layang-alayang, tujuh jutaan lebih. Aku takjub. Aku tak bisa membayangkan berapa banyak lembaran uang tujuh juta itu.

Orang-orang kota hampir setiap pekan datang menghabisi sarang burung layang-layang di goa itu. Beberapa warga kampung kita, pun sekali-sekali mengambilnya di malam buta. Kau tahu, Win, bila ketahuan mereka ditangkap polisi. Kata polisi sarang-sarang burung itu telah menjadi hak pengusaha dari kota. Padahal goa itu tak ada pemiliknya, kan? Seharusnya, orang yang berhak menguasainya hanyalah warga kampung. Tapi semua orang sepertinya takut kepada pengusaha itu.

Aku berdoa semoga mereka yang mengambil sarang burung layang-layang itu kuwalat. Atau bisa jadi mereka merugi.

Hasilnya, sungguh di luar dugaan. Tuhan pasti mendengar doaku. Beberapa orang lelaki bertopi yang mengambil sarang burung di dinding gua yang berkarang tinggi dan curam, terkadang tak hati-hati. Mereka terpeleset, jatuh ke tanah, lalu tulang-tulang mereka patah. Bahkan aku dengar ada yang sampai meninggal. Syukurlah! Mudah-mudahan mereka sadar.

Sayangnya, aku ternyata salah. Orang-orang itu bertambah berangasan. Pikiran mereka hanya bagaimana cara mendapatkan sarang burung yang banyak dan menghasilan uang bergoni-goni.

Beruntunglah lambat-laun burung layang-layang itu jera masuk ke goa. Mereka menghilang entah ke mana. Mereka tak mau lagi membuat sarang di goa itu. Dengan begitu, orang-orang dari kota ikut jera. Semuanya pulang ke daerah masing-masing. Sedangkan goa terbiar tak berpenghuni. Sekali-sekali aku masih senang ke sana. Tapi burung layang-layang tak ada. Kelelawar telah menguasai goa itu dengan bau busuk mereka dan tahi-tahi berhamburan. Kau takut kelelawar, kan? Aku juga membenci mereka!

Sekarang burung layang-layang masih dapat terlihat di siang hari berseliweran mencari makan di sepanjang pantai. Namun ketika hari mulai senja, mereka menghilang. Terbang jauh entah ke mana. Aku tak tahu di mana mereka membuat sarang.

Hingga pagi ini, aku terpaksa melupakan tentang burung layang-layang, goa, pantai dan rumahku. Maaf, aku lupa menceritakan kepadamu, Win. Kampung pantai telah habis dibabat ombak besar ketika badai tiba. Rumah-rumah hilang dijilatnya. Ayah dan mak tak tahu ke mana rimbanya. Mungkin masih hidup, mungkin sudah meninggal. Aku pun diajak Wak Leman, abang mak mengungsi ke rumahnya di kota.

Padahal aku enggan, Win. Sesuai dengan janjiku, aku bertekad tinggal di pinggir pantai sampai aku tua serupa Kek Mar. Aku memang tak bisa melaut karena tak memiliki sepasang kaki yang utuh. Tapi setidak-tidaknya aku bisa bekerja seperti mak, di dapur dan menjemur ikan. Aku juga akan menjahit jala, atau sekali-sekali membuat perahu.

Namun sekarang aku harus mengubur semuanya. Orang-orang yang kucintai telah hilang. Lagipula Wak Leman sangat keras hatinya mengajakku ke kota. Dia berjanji akan menyekolahkanku. Hmm, sekolah! Umurku sudah menjelang tigabelas tahun sekarang.

Ya, aku akhirnya pergi ke kota. Harapan satu-satunya kelak ada mukjizat yang mempertemukan aku dan kau Win, juga ayah dan mak Aku sangat merindukanmu. Kapan kita bisa kembali ke goa melihat burung layang-layang hidup damai? Mungkin mustahil, ya!

Aku pun tinggal di rumah Wak Leman yang menjulang tinggi. Kamarku di lantai empat. Kecil serupa barak kambing milik kepala kampung. Tapi kata Wak Leman, jadilah untukku beristirahat.

Kau tahu, Win, hatiku bukannya damai di kota. Semuanya bising, apalagi bunyi-bunyian yang ramai tepat di atas kamarku.

"Suara apa yang ramai itu, Wak! Aku tak bisa tidur dibuatnya," kataku takut-takut ketika makan siang di lantai satu gedung itu.

"Oh, itu suara tape recorder!" Istri Wak Leman yang menanggapi. "Wak-mu lain usahanya. Tapi penghasilannya banyak."

"Wak usaha apa?" kejarku.

Lagi-lagi istrinya yang menjawab. "Itu, pergilah ke luar! Mendongaklah ke atas. Kau pasti tahu apa usaha Wak-mu." Dia tersenyum simpul. Wak Leman hanya mengedipkan mata sambil menikmati hidangan di depannya dengan lahap.

Aku penasaran, Win. Santapan nikmat bukan kepalang di atas meja, sengaja kutinggalkan. Apa usaha Wak Leman sehingga bisa membangun gedung bertingkat empat, eh.. . maksudku bertingkat lima seperti ini? Karena setelah kamarku, di atasnya masih ada setingkat lagi. Aku tak tahu siapa yang tinggal di situ. Aku belum pernah masuk ke dalamnya. Sebab Wak Leman melerangku. Padahal suara ribut itu berasal dari sana seperti yang telah kuceritakan tadi.

Kau tahu, Win. Kakiku langsung gemetar. Aku lemas ketika sampai di luar dan mendongak ke atas. Beratus-ratus burung layang-layang berterbangan. Sebagian singgah, dan memasuki gedung di tingkat lima yang berlobang-lobang serupa lobang angin. Oh, kiranya burung-burung itu menetap di gedung Wak Leman. Aku bahagia, Win. Wak Leman juga pecinta burung layang-layang, sehingga dia membuat tempat untuk mereka menetap. Barangkali burung layang-layang yang lari dari kampung kita, sebagian telah menempati gedung di tingkat lima itu.

Aku berlari ke dalam. Rasanya senyumku belum pernah selepas saat ini, sejak orang-orang dari kota menyerang goa tempat kita bermain.

"Terima kasih ya, Wak! Wak juga penyayang burung layang-layang? Betapa mulianya!" Wak Leman mendecak. Istrinya menyendukkan lagi lauk berkuah yang rasanya nikmat itu ke piringku.

"Wak-mu memang sangat menyayangi mereka. Maka itu, kau juga kami minta mengurusi burung-burung itu, di samping nanti kau kami sekolahkan," kata istrinya

"Bisa dapat uang dari memelihara burung itu, Wak? Bagaimana caranya?" kejarku.

Wak Leman akhirnya angkat bicara. Sambil mengelap bibirnya yang berminyak, dia menjawab, "Apalagi kalau bukan mengambil sarang burung layang-layang itu. Harganya sekilogram sangat mahal! Bisa membeli satu unit sepeda motor. Wak berduit karena sarang-sarang mereka. Dan yang di lantai lima itu adalah tempat mereka menghasilkan uang, di samping Wak memiliki beberapa gedung kosong lagi di kota lain. Mengenai suara bising dari tape recorder, adalah pemanggil burung-burung bodoh itu!" Wak Leman tertawa. Tapi emosiku terlecut. Aku ingin memakinya, karena dia sama saja dengan orang-orang kota yang menyerbu goa kita. Kalau saja bukan kakak mak, sudah kuterjang dia dari tadi. Kasihan sekali burung-burung itu.

"Kau juga sudah merasakan betapa nikmatnya sarang burung layang-layang yang mahal itu. Kau sampai menambah nasi dua kali," seloroh istri Wak Leman.

Kau tahu, Win, aku langsung mual dan ingin muntah!

--sekian---




Baca juga:
Di Bandara, Bahasa Asing Merajalela
Ingin Menjadi Pemimpin? Jadilah Pemimpin yang Memiliki Hati seperti Seorang Hamba
Tradisi Pernikahan ala Masyarakat Indonesia, dari Tradisi Rewang Menuju Berbalas Amplop

Punya Berita Penting yang Anda Temukan? Segera Laporkan ke WhatsApp Kompasiana!

$
0
0

Ilustrasi: Dokumentasi Kompasiana.com

Ketidakhadiran wartawan profesional di tiap titik lokasi terjadinya peristiwa bukan hanya disebabkan perihal kuantitas, tetapi bisa jadi jangkauannya yang terbatas. Sejak masifnya praktik jurnalisme warga atau jurnalisme partisipatoris yang diiringi dengan merebaknya platform user generated content, peran masyarakat atau warga begitu penting dalam siklus penciptaan dan penyebaran konten informasi dan berita.

Terlebih, keberadaan teknologi canggih sudah dapat dijangkau dengan harga yang murah seperti telepon pintar yang multifungsi. Ribuan atau mungkin jutaan konten dari seluruh dunia yang berisi laporan warga wara-wiri di linimasa jejaring sosial atau di banyak platform blog sosial. Begitu dengan www.kompasiana.com.

Sejak pendiriannya di tahun 2008, Kompasiana diciptakan bukan saja sebagai medium blogging bagi jurnalis dan karyawan Kompas Gramedia, tetapi juga bagian dari 'tanggung jawab sosial perusahaan' kepada masyarakat Indonesia dalam memfasilitasi melalui medium yang dapat digunakan untuk melaporkan segala peristiwa yang luput dari pena dan kamera wartawan profesional.

Demi memudahkan proses penciptaan, penayangan dan peyebaran laporan warga yang sejak dulu menjadi salah satu ciri khas Kompasiana, kami membuka jalur pelaporan yang lebih praktis. Jika dulu kategori reportase warga di Kompasiana harus sudah dikemas dan siap baca, kini Anda dapat mengirimkan laporan singkat yang akan kami tidaklanjuti sampai menjadi kesatuan konten yang layak baca.

Kami menamankannya K-Report! Memanfaatkan jejaring percakapan sosial Whatsapp sebagai jalur pelaporan warga yang cepat dan efisien. Tiap laporan singkat yang masuk ke dalam nomor Whatsapp Kompasiana akan diproses lebih lanjut untuk memastikan validitas dan keakuratan dari tiap laporan yang masuk. Setelah memenuhi kriteria pembuatan konten berita, kami akan mempublikasikannya melalui akun Kompasiana News, tentunya disertakan juga nama atau akun pelapor.

Namun, tidak semua laporan dapat kami tindaklanjuti atau ditayangkan. Ada aturan main yang harus dicatat sebelum mengirimkan laporan singkat ke nomor Whatsapp Kompasiana. Simak beberapa poin di bawah ini:

KETENTUAN

  • Kompasianer atau warga umum dapat melaporkan melalui layanan K-Report
  • Laporan yang dikirim merupakan peristiwa dan mengandung nilai berita
  • Memiliki urgensi untuk segera ditayangkan
  • Laporan dalam bentuk; teks, foto dan video
  • Pelapor wajib menyebutkan identitas lengkap dan jelas
  • Pelapor bersedia dihubungi redaksi Kompasiana untuk proses validasi dan kebutuhan pembuatan berita lainnya
  • Pelapor bersedia diikutsertakan dalam sebuah grup Whatsapp K-Report berdasarkan kategori domisili atau minat

MEKANISME

Mekanisme pelaporan berita untuk K-Report adalah sebagai berikut:

Mekanisme K-Report

  • Pertama,Kompasianer/warga mengirimkan laporan kejadian ke Whatsapp K-Report pada nomor 0813-8184-9362.
  • Kedua, pihak Kompasiana akan menyeleksi laporan yang masuk dan melakukan validasi laporan. 
  • Ketiga, setelah menentukan laporan yang tervalidasi, Kompasiana akan menghubungi pelapor untuk kelengkapan berita. 
  • Keempat, laporan akan ditayangkan di akun Kompasiana News.

FORMAT

Format laporannya adalah sebagai berikut:

  • NAMA PELAPOR
  • TEMPAT  PERISTIWA
  • WAKTU PERISTIWA
  • KONTEN LAPORAN; TEKS/FOTO/VIDEO
  • Kirimkan ke Whatsapp kami di nomor:0813-8184-9362

Ingat, kami hanya menerima laporan peristiwa yang memiliki urgensi untuk segera ditayangkan dan nomor ini tidak menerima panggilan telepon, hanya khusus jalur Whatsapp. Di luar laporan seperti itu, Anda dapat membuat konten komprehensif melalui akun personal di Kompasiana. 

Jika Anda memiliki kendala atau keluhan baik segi teknis maupun non-teknis di Kompasiana, Anda bisa melaporkannya melalui fitur bantuan pada tautan berikut ini.




Baca juga:
"Manuk Tapo Sewut", Makanan Khas Lamaholot
Di Bandara, Bahasa Asing Merajalela
Ingin Menjadi Pemimpin? Jadilah Pemimpin yang Memiliki Hati seperti Seorang Hamba

Senjakala Angkutan Pedesaan Muntilan-Tlatar

$
0
0

dokpri"Paling sehari bawa pulang dua puluh atau tiga puluh ribu," kata seorang supir angkutan jurusan Muntilan-Tlatar.

Muntilan adalah sebuah kota kecil antara Magelang dan Yogyakarta. Sedangkan Tlatar adalah lokasi di mana kantor Kecamatan Sawangan Berlokasi, ada di wilayah KRB letusan Gunung Merapi.

Rute ke Tlatar dari Muntilan dapat ditempuh melalui Blabak lalu menyusur jalan ke arah Boyolali dari Magelang.

Hari Minggu (27/1) pagi itu ada tiga angkutan desa yang menunggu penumpang di terminal Muntilan. Satu angkutan yang hanya berisi dua penumpang memilih untuk jalan daripada menunggu penumpang setelah ngetem hampir 40 menit.

Masa kejayaan angkutan pedesaan memang sudah lama berlalu. Semenjak kendaraaan sepeda motor dipandang sebagai pilihan yang lebih ekonomis. Bisa dikendarai ke mana dan kapan saja. Dengan biaya perawatan yang masih terjangkau.

Dengan jumlah penumpang yang terus menyusut, senjakala angkutan pedesaan praktis memang sudah hadir. Di samping persaingan memperoleh irisan pendapatan yang masih harus diperebutkan dengan angkutan lain yang sejenis.

"Pada hari sekolah ada 32 angkutan yang beroperasi. Kalau hari libur paling 7 atau 8 yang jalan," lanjutnya.

Berapa rupiah uang dapat di bawa pulang?

"Sak niki angsal setoran pun sae. Dikirangi bensin kalih maem, paling mbeta wangsul 20 utawi 30 ewu,' katanya sambil tertawa getir.

Setoran mobil angkutan berusia tua dapat sejumlah Rp 50.000 atau Rp 60.000. Sehari ia menempuh tiga perjalanan pulang pergi. Tarif terjauh atau sampai Tlatar adalah sejumlah Rp 5.000. Jumlah yang mudah dihitung dan ditelusur secara keseluruhan.

Supir biasanya mendapat penghasilan sebesar Rp 20.000 atau Rp 30.000 per hari. Sudah dikurangi bensin dan makan-minum. Sesekali beruntung kalau ada yang menyarter.

Kendaraan umum sudah digantikan kendaraan bermotor yang lebih ringkas dari sisi pemanfaatan.

Beberapa angkutan nampak renta. Meskipun hal itu dapat dipahami bahwa merawat kendaraan supaya berada dalam kondisi yang optimal tidaklah murah. Sementara pengadaan moda baru berbiaya jauh lebih mahal.

| Muntilan | 27 Januari 2018 | 10.00 |




Baca juga:
Turnamen Piala Presiden Esports 2019 Resmi Digelar
"Manuk Tapo Sewut", Makanan Khas Lamaholot
Di Bandara, Bahasa Asing Merajalela

"The Kid who Would be King", Film Lucu dengan Sarat Pesan Moral

$
0
0

sumber: rollingstone.com

Dalam berbagai film, banyak kisah menunjukkan orang dewasa menganggap perkataan-perkataan anaknya hanya sekedar imajinasi semata. Maklumlah, anak-anak kaya akan imajinasi dan mereka masih terlalu kecil memahami segalanya.

Jadi ketika mereka mulai berbicara, mereka hanya sekedar mendengar. Mungkin ada yang lebih parah, mengabaikan dan menunjukkan ketidakpercayaannya. 

Anak dianggap masih terlalu muda dan seringkali tidak logis pikirannya. Mendengarkan mereka serasa membuang-buang waktu. Begitulah kebanyakan orang dewasa menempakan suara anak-anak.

Barangkali karena mereka terlalu sibuk dengan tuntutan memenuhi kebutuhan si anak. Belum lagi kebutuhan lainnya. Tidak mau repot-repot, mereka diabaikan. 

Karenanya, tidak sedikit orang dewasa sudah akut meremehkan anak-anak. Terlalu receh mendengarkan masalah-masalah mereka yang tidak seberapa. Terlalu berharga waktu kita mendengarkan mereka barang sesaat.

Perkelahian, bully di sekolah dan kekerasan lainnya baru muncul ke permukaan setelah terjadi berlarut-larut. Layaknya puncak gunung es. Setelah itu seolah-olah tidak sadar saling bertanya, kemana aja selama ini?

Orangtua tidak tau sama sekali. Si anak menghadapi sendiri masalahnya. Masih beruntung jika anak mempunyai kemampuan yang kuat mengatasi masalahnya sendiri. 

Atau setidaknya punya sahabat yang membela saat dibully. Kalau tidak, anak bisa menjadi minder, putus asa, bahkan menjadi pelaku kekerasan selanjutnya.

Bully-an ini dihadapi oleh Bedders (Dean Chaumoo) dari dua siswa di sekolah mereka bernama Lance (Tom Taylor) dan Kaye (Rhianna Doris). Mereka suka menumbuhkan ketakutan bagi murid-murid lain untuk mendapatkan kekuasaan.

Tidak terima sahabatnya diperlakukan dengan suka-suka, Alex (Louis Ashbourne Serkis) pun membela Bedders sampai terjadi perkelahian yang diketahui oleh pihak sekolah. 

Apa daya, Alex mendapat panggilan dari pihak sekolah. Dalam kesempatan itu, dia sama sekali tidak selera menjelaskan sebab perkara secara detail kepada Kepala Sekolahnya.

Menceritakan keseharian mereka kepada orang dewasa di sekitarnya adalah hal yang sia-sia baginya. Toh, juga gak ada yang percaya sekalipun mengatakan yang sejujurnya. Lagian, orang dewasa sudah terlebih dahulu mengatakan ini dan itu. Jadi mau buat apalagi?

Anak yang sering diabaikan menjadi apatis. Jika orang dewasa ataupun orangtua mereka akhirnya sungguh-sungguh mendengarkan, mereka tidak akan benar-benar percaya akan kesungguhan mereka. Jadilah mereka sendiri yang berusaha memecahkan masalah sendiri.

Bicara soal imajinasi anak-anak, bagaimana jika apa yang mereka ceritakan memang betul-betul terjadi? Katakanlah, buku dongeng yang selama ini mereka sungguh-sungguh baca terjadi di kehidupan nyata mereka. 

Kayak dongeng anak yang berasal dari keluarga biasa, tiba-tiba diangkat menjadi raja. Atau dongeng seekor kelinci yang mengeluarkan anak tersesat dalam hutan dan mereka saling berbicara. Eiii... imajinasimu terlalu tinggi. Ya enggak mungkinlah!

Tapi bagaimana jika benar-benar terjadi? Aah iya, itu hanya terjadi di film-film. Dengusan sebal dengan muka ingin menertawakan akan terlihat. Hal yang sama terjadi dalam kisah Alex, pemeran utama dalam film berjudul The Kid Would Be The King.

Sinopsis: Film lucu dan kaya akan pesan moral
Film keluarga berjudul The Kid Would Be The King mulai tayang di bioskop Januari tahun ini. Film ini bercerita tentang kehidupan anak sekolah. Film yang memadukan antara kehidupan sekarang dan lanjutan kisah zaman dahulu pada cerita King Arthur: Legend of the Sword. 

Sejak perkelahian hari itu, Alex harus menghadapi balas dendam dari Lance dan Kaye. Upaya menyelamatkan diri dari kejaran Kaye dan Lance membuka cerita baru dalam film ini. 

Malam itu, Alex berakhir jatuh pingsan di atas gundukan pada sebuah renovasi bangunan tua. Melihat sekelilingnya saat sadar, sebuah pedang yang tertancap dalam batu menarik perhatiannya. Penasaran dengan pedang itu, dia mencoba mencabutnya.

Tanpa disadari ternyata pedang itu ialah pedang Excalibur. Pedang yang sejak dulu diinginkan oleh Morgana, saudara tiri Arthur dalam dongeng King Arthur: Legend of the Sword. 

Pemeran jahat yang menunggu tiba waktunya sampai pedang dicabut sembari mengumpulkan kekuatannya jauh di dasar bumi. Morgana dikenal haus akan kekuasaan. Dia menginginkan pedang itu sejak dulu.

Secara keseluruhan, Alex mengetahui cerita ini. Tetapi dalam pertemuannya dengan pedang Excalibur, Bedders lah yang menyadarkan Alex akan hubungan pedang tersebut dalam cerita dongeng buku miliknya. 

Pedang ini sudah lama tidak diketahui keberadaannya dalam cerita dogeng dalam buku "pemberian" ayah Alex ketika masih kecil.

Morgana sudah bangkit dari tidur. Bagaimana mereka menyelesaikannya? Hal yang harus dilakukan Alex dan Bedder ialah mengumpulkan pasukan perang. 

Singkat cerita, dengan proses panjang Lance dan Kaye, yang tadinya musuh akhirnya menjadi pengikut setia Alex. Bersama semua murid di sekolah, mereka mengalahkan Morgana.

Joe Cornish yang menyutradrai dan menulis kisah ini membuat alur gemuk dengan pesan moral. Film ini mengingatkan lagi tentang kesetiakawanan dan tetap melakukan kebaikan walaupun oleh orang lain tidak mempercayainya.

Walaupun film ini diperuntukkan untuk umur 17+, sepanjang kisah, anak-anak lebih banyak mengambil ruang dalam film ini. Melalui kehidupan anak kecil seolah Joe Cornish ingin sekaligus mengingatkan orang dewasa.

Pesan moral lain dalam cerita ini ialah kita harus menerima kenyataan dan menghadapi masalah kita. Di tengah cerita, Alex mengalami kekecewaan mendalam. 

Ayahnya yang selama ini dia kagumi ternyata bukanlah ayah yang seperti di dalam pikirannya. Beruntungnya, Bedder, Lance dan Kaya ada di samping Alex.

Menghadapi rasa putus asa Alex, Merlin dengan peran tua kemudian mengingatkan. Kisah Raja Arthur yang kini mereka percayai itu hanyalah cerita dongeng. 

Mungkin saja terjadi zaman dahulu. Cerita disusun berdasarkan pengalaman yang dipoles sedemikian rupa. Hal penting, siapapun punya cerita masing-masing. Cerita kita tidak ditentukan berdasarkan garis keturunan atau jenis darah tetapi diri kita. 

Selain kaya akan moral dan imajinasi, film ini diselipkan dengan banyak aksi komedi. Merlin, penyihir baik mengambil posisi memerankan banyak aksi komedi. 

Sering tertabrak kaca jendela saat berubah menjadi burung, dia pun menggerutu. Kedatangannya dari negeri berabad-abad lamanya diperhadapkan dengan kehidupan modern menambah seru cerita ini.




Baca juga:
"Kencan Buku", Komunitas Leko di Kota Kupang
Mana Lebih Utama, Perbaikan Jembatan Rusak atau Perbarui yang Masih Layak?
Pengajuan Dana Tahunan Komunitas 2019 Telah Dibuka, Submit Sekarang!

[Pro-Kontra] Alasan di Balik Maraknya Golput

$
0
0

Foto: Intisari

Pro dan kontra mengenai golongan putih (golput) kerap mengemuka jelang Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia. Pada tahun 2014, jumlah golput mencapai angka 24,89%.

Demikian pula yang terjadi di bulan Januari jelang Pemilu 2019. Manuver pragmatis pasangan calon dan timses dalam rangka merengkuh jumlah konstituen malah kerap memunculkan golput-golput baru yang kecewa dengan pilihan langkah para calon idaman. Media sosial pun dipenuhi dengan pernyataan golput. Respons netizen pun kian ramai. Tak sedikit pula yang mengecam maupun mengajak pihak lain untuk golput.

Puncaknya, belakangan ini muncul isu bahwa tindakan mengampanyekan golput dapat dikenai sanksi pidana. Mengklarifikasi isu tersebut, beberapa lembaga bantuan hukum seperti Yayasan Langsung Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), LBH Jakarta, dan KontraS menggelar Konferensi Pers pada Rabu (23/01/2019) di Kantor YLBHI, Jakarta.

Dalam konferensi yang bertajuk "Golput Itu Hak dan Bukan Tindak Pidana", Arif Maulana dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta mengatakan bahwa golput adalah ekspresi politik dan aksi protes terhadap aktor serta sistem politik yang mengecewakan. Ekspresi ini khususnya ditujukan kepada partai sebagai lembaga yang bertanggung jawab memberikan pendidikan politik dan melahirkan kader yang kompeten.

"Yang dilarang atau yang dapat dipidanakan justru politik uang/materi atau memaksa agar memilih kandidat tertentu," lanjutnya.

Memang. Jika merujuk pada Pasal 515 UU Pemilu, disebutkan sanksi pidana hanya menjerat orang yang menjanjikan atau memberikan uang/materi kepada orang lain untuk tidak memilih atau justru menggunakan hak pilihnya untuk calon tertentu. Hukuman yang menanti ialah penjara selama 3 tahun dan denda paling banyak Rp 36.000.000.

Nah, Kompasianer, apabila golput adalah pilihan, menurut Anda, apakah alasan masyarakat memilih untuk golput? Sampaikan opini/pendapat Kompasianer pada laman Pro-Kontra: Golput, Tren atau Kebutuhan?




Baca juga:
Setelah Valsartan, Kini Losartan dan Irbesartan Juga Ditarik
"Kencan Buku", Komunitas Leko di Kota Kupang
Mana Lebih Utama, Perbaikan Jembatan Rusak atau Perbarui yang Masih Layak?

Sistem untuk Menilai Teknologi Kesehatan

$
0
0

Sumber ilustrasi: bakersfieldlifestyle.com

Begitu banyak teknologi kesehatan baru yang masuk ke pasar, antara lain obat, vaksin. alat kesehatan, sistem dukungan bahkan sistem manajerial. Tentu saja untuk menilai bervariasi teknologi kesehatan diperlukan sistem yang tepat. Bahkan untuk menilai obat yang jumlahnya saja begitu banyak, diisyaratkan sistem yang baku dalam menilai obat. Lebih rinci lagi, sistem tersebut sudah harus baku dan tepat, sesuai, dan cocok untuk mencapai obyektif dari penilaian teknologi kesehatan.

Sementara, sistem sendiri harus didesain untuk bekerja sebagai entitas yang koheren. Dengan sendirinya, suatu sistem yang terdiri dari beberapa bagian atau dikenal sebagai sub-sistem harus bekerja bagai suatu kesatuan dan bukan terpisah dan jalan sendiri-sendiri.

Suatu sistem yang dibentuk oleh manusia untuk mencapai tujuan tertentu, harus sudah lolos dari uji coba. Selain itu, luaran dari suatu sistem harus konsisten valid, dan stabil jika dilakukan ulang. Ini dengan sendirinya akan dipercaya yang dalam hal ini adalah untuk menilai teknologi kesehatan.

Akan halnya sistem untuk menilai teknologi kesehatan, obyektifnya adalah untuk melindungi pasien sebagai tujuan akhir dari teknologi pelayanan kesehatan. Bahkan lebih jauh lagi, luaran dari sistem yang dipakai untuk menilai teknologi kesehatan adalah untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.

Tentu saja obyektif ini tidak bisa ditawar. Bagaimanapun, hidup berkualitas adalah hak azasi manusia. Ini yang boleh jadi terlupa dalam mendesain teknologi kesehatan baru oleh karena dominannya aspek ekonomi dan komersial.

Kembali kepada sistem untuk menilai teknologi kesehatan utamanya adalah bagi regulator dalam memiliki standar baku dalam menilai teknologi kesehatan yang sangat bervariasi. Tiap teknologi kesehatan boleh jadi spesifik.

Namun aspek-aspek seperti efikasi dan keamanan harus diutamakan. Juga yang harus diutamakan adalah efektifitas-biaya karena ini adalah roh dari penilaian teknologi kesehatan. Sasaran dari sistem untuk menilai teknologi kesehatan adalah untuk menunjang riset kebijakan dengan melihat dampak teknologi kesehatan secara jangka menengah dan jangka panjang.

Sistem penilaian:
Salah satu pendekatan disebut sebagai penilaian prospektif. Dalam pendekatan ini prospektif teknologi diharapkan bisa teknologi yang penting dalam biaya dampak terhadap kesehatan, dan dampak terhadap sistem kesehatan.

Pendekatan ini adalah bahwa teknologi bisa dinilai sebelum dikembangkan. Pendekatan semacam ini pada dasarnya spekulatif karena pertimbangan utamanya adalah dampak sosial dari teknologi. Tujuan utamanya adalah dengan mengidentifikasi teknologi yang akan dikembangkan.

Proyek semacam ini pernah dilakukan di Negeri Belanda. Dalam proyek tersebut secara simultan lima proyek prospektif. Dikerjakan. Kelima teknologi tersebut adalah neurosains, laser, vaksin, skrining genetika, dan teknologi rumah tangga.

Salah satu kesimpulan bahwa dengan memperluas peluang dalam genetika manusia ternyata telah memunculkan kritik terhadap mereka yang yang genetika tertentu boleh jadi akan mendapatkan jaminan terhadap pekerjaan.

Usulnya adalah bahwa pemakaian uji coba genetika untuk menskrining mereka yang berpotensi untuk tidak pelanggaran hukum. Sedangkan teknologi untuk rumah tangga di arah agar lebih efektifitas-biaya.

Sistem penilaian lain bagi teknologi kesehatan adalah dalam hal efikasi dan keamanan. Dalam pendekatan ini, secara tradisional penilaian ini pada awal siklus kehidupan. Saat ini hanya obat dan produk biologi yang diuji dalam hal efikasi dan keamanan. Banyak teknologi yang dipakai secara meluas ternyata tanpa melalui sistem penilaian tersebut. Kebijakan bisa dipakai untuk memperlambat difusi.

Teknologi yang tidak mendapat penilaian efikasi dan keamanan. Selain itu sistem untuk mengidentifikasi dapat mengingatkan para pengambil kebijakan agar bahwa penilaian terhadap efikasi dan keamanan mutlak harus dilakukan.

Efektifitas-biaya:
Pendekatan yang disebut sebagai efektifitas-biaya merupakan sistem penilaian yang muncul terakhir. Pendekatan ini karena meningkatnya biaya pelayanan kesehatan karena komponen utamanya teknologi seperti obat bahkan alat kesehatan yang cenderung semakin tinggi biayanya dari waktu ke waktu.

Dengan penilaian efektifitas-biaya maka semua teknologi kesehatan ditantang oleh regulator untuk membuktikan bahwa prinsip efektifitas-biaya sudah inheren dalam teknologi kesehatan tersebut. Bahkan prinsip dasar ini sudah dilakukan sejak uji coba klinis.

Sistem penilaian disebut sebagai pasca difusi. Pada pendekatan ini sangat kurang mendapat perhatian karena teknologi kesehatan tersebut sudah dikenal luas dan sudah diterima oleh masyarakat penggunanya. Namun, sistem penilaian ini relatif lebih mudah dilakukan karena pihak manufaktur sudah melakukan modifikasi. Pemakaian teknologi di komunitas masyarakat berbeda dengan lingkungan rumah sakit universitas sebagai rumah sakit pendidikan.

Dalam hal ini kelompok orang yang berbeda akan menerima teknologinya. Indikasi bisa lebih luas, teknologi dipakai pada kasus penyakit yang kurang berbahaya atau pasien yang usianya lebih tua atau bahkan usia lebih muda. Dalam hal ini pihak pemberi pelayanan kesehatan bisa lebih terampil atau sebaliknya. Dampaknya pasien cenderung kurang mengikuti advis dokter.

Mengingat penilaian pasca difusi cenderung dinomorduakan, ini merupakan tantang tersendiri bagi regulator. Perlu dipertimbangkan adanya semacam insentif untuk menangani masalah penilaian teknologi pasca difusi.

Identifikasi:
Keputusan untuk melakukan penilaian teknologi harus diteruskan dengan identifikasi teknologi yang merupakan kandidat yang akan dinilai. Dan, merupakan prioritas dari kandidat yang akan dinilai. Beberapa teknologi yang diidentifikasi sudah dilakukan secara rutin. Sebagai contoh, proses untuk meregulasi obat bahwa obat harus sudah terdaftar sebelum bisa dipasarkan.

Jadi daftar yang lengkap dari obat yang ada dan beberapa informasi tentang obat masa depan juga terdapat melalui mekanisme ini. Proses yang sama terdapat pada pengenalan mayoritas alat kesehatan dan alat diagnosa di Amerika Serikat khususnya alat untuk invasif.

Teknologi yang prosedur berbeda dari yang lain tidak diregulasi. Contohnya adalah alat dialisa ginjal, gastrointestinal endoskoppi, dan transplantasi jantung. Beberapa informasi bisa diperoleh melalui mekanisme perencanaan kesehatan. Bagaimanapun, informasi ini hanya mencakup bagian kecil dari ruang lingkup dunia teknologi pelayanan kesehatan yang sekarang dan yang baru.

Sebagai tambahan pemakaian baru atau bertambahnya manfaat obat, alat kesehatan, dan diagnostik teknologi pada umumnya tidak teridentifikasi.

Oleh karena itu, tanpa adanya daftar teknologi yang lengkap, prioritas akan dihambat karena prioritas hanya bisa dilakukan terhadap teknologi yang sudah diketahui. Prioritas harus dikedepankan untuk teknologi yang bermanfaat bagi pasien khususnya dan umat manusia secara umum.

Pada hakekatnya, ini yang merupakan benang merah sistem penilaian teknologi pelayanan khususnya dan dalam kaitannya dalam menetapkan teknologi pelayanan kesehatan yang akan dinilai.




Baca juga:
Kenapa Kita Tak Mensyukuri Kegagalan?
Setelah Valsartan, Kini Losartan dan Irbesartan Juga Ditarik
"Kencan Buku", Komunitas Leko di Kota Kupang

Plus Minus Bagasi Berbayar

$
0
0

Olahan Grafis dari escape.com.auSetelah Air Asia, maskapai Lion dan Wings menerapkan aturan bagasi berbayar bagi penumpangnya, terhitung 22 Januari. Kini penumpang tidak bisa lagi menitipkan barang secara gratis.

Kompetitornya, Citilink juga akan mengekornya pada 8 Februari nanti. Ketentuan ini memang menjadi hak pihak maskapai karena menurut aturan pemerintah, maskapai LCC (Low Cost Carrier) memang tidak wajib menyediakan bagasi gratis.

Tampaknya maskapai LCC melihat adanya peluang bisnis di bidang kargo seiring dengan maraknya belanja daring (online). Pesatnya pengguna handphone di Indonesia melahirkan tata-niaga baru yaitu penjualan melalui dunia maya.

Antara penjual dan pembeli tidak perlu saling ketemu. Mereka bertemu di pasar-maya. Setelah transaksi selesai, maka barang dikirim menggunakan layanan hantaran. Bisnis di bidang kurir ini rupanya menggiurkan pihak maskapai juga.

Dalam kalkulasi maskapai, bisnis kargo ini sangat menguntungkan karena biaya operasional penerbangan sudah dibebankan kepada penumpang saat membayar tiket. Karena itu, uang yang didapatkan dari pembayaran kargo dapat langsung dicatatkan sebagai keuntungan bersih karena praktis maskapai sudah tidak perlu keluar biaya apa-apa lagi.

Keuntungan lain dari bisnis kargo ini adalah risikonya lebih kecil daripada mengangkut penumpang. Barang-barang di kargo tidak akan protes kalau terjadi delay.

Pihak maskapai tidak perlu menyediakan kompensasi kalau penerbangannya terlambat. Jika terjadi kecelakaan maka santunan/ganti rugi untuk kehilangan barang jauh lebih sedikit daripada kehilangan nyawa.

Karena itulah, pengenaan bagasi berbayar ini adalah bagian dari strategi menjalankan bisnis di bidang kargo. Selama ini, bisnis kargo menjadi pemasukan sampingan dari pihak maskapai.

Jika ada sisa ruang di ruang bagasi, barulah diisi dengan muatan kargo. Kini, dengan tingginya lalu-lintas pengiriman barang, maka maskapai memutar otak untuk mengurangi barang-barang bagasi agar ruang untuk kargo ini bisa bertambah. Caranya? Dengan memaksa konsumen untuk membayar bagasi. Kebijaksanaan ini akan menimbulkan dua keuntungan: Pertama, maskapai mendapat pemasukan dari pembayaran bagasi oleh penumpang. Kedua, jika volume bagasi berkurang maka ruang untuk kargo akan lebih banyak.

Nah di sinilah terjadi ketidakadilan pada konsumen. Dengan pengenaan biaya bagasi itu semestinya tarif tiket pesawat untuk penumpang turun karena ada komponen yang dihilangan. Yang terjadi, tiket tidak turun.

Di sini ada potensi kenaikan biaya terselubung. Jika konsumen terpaksa harus membayar bagasi, maka nilai total antara tiket dengan biaya bagasi bisa menyamai harga tiket maskapai kelas premium atau full service. Dengan demikian kategori maskapai LCC tidak berlaku bagi maskapai ini. Ketidakadilan lainnya adalah konsumen dipaksa membayar biaya angkutan untuk kargo, padahal itu bukan barang-barang milik konsumen.

Sisi Baiknya
Meski demikian ada sisi baik dari pengenaan bagasi berbayar ini. Karena konsumen terbiasa dengan bagasi gratis, maka konsumen cenderung untuk membawa barang sebanyak-banyaknya ketika pergi menggunakan pesawat. Mereka seolah-olah ingin memindahkan seluruh isi lemari ke dalam koper. Saat packing, calon penumpang terkadang memasukkan benda yang sebenarnya tidak esensial dan tidak dibutuhkan selama perjalanan. 

"Untuk berjaga-jaga, siapa tahu nanti dibutuhkan. Mumpung bagasinya gratis 10 kg," begitu pikirnya. Kita sering melihat penumpang yang barang bawaannya sangat rempong seperti mau pindahan rumah saja.

Namun yang tidak disadari oleh konsumen bahwa setiap pergerakan barang selalu menimbulkan jejak karbon. Setiap perpindahan barang selalu membutuhkan energi.

Semakin berat barang yang dipindahkan, semakin besar energi yang dibutuhkan. Dan selama ini, kita banyak menggunakan energi fosil sebagai alat transportasi. Padahal energi ini  menghasilkan gas buangan yang mencemari udara. Ini yang disebut dengan jejak karbon. Tidak hanya selama penerbangan, perjalanan di darat saat berangkat dan pulang ke bandara juga meninggalkan jejak karbon.

Dengan adanya pengenaan tarif bagasi berbayar, konsumen mulai berhitung. Mereka hanya membawa barang-barang yang dibutuhkan saja supaya tidak melebihi berat 7 kg dari berat barang yang bisa dibawa ke kabin. Dengan membawa barang yang seperlunya, secara tidak sadar mereka telah mengurangi pontensi jejak karbon.

Siapkan Dulu
Jika maskapai menerapkan kebijaksanaan bagasi berbayar, maka pihak pemerintah harus mengawasinya dengan ketat. Hal ini untuk mencegah munculnya biaya-biaya siluman yang menyebabkan konsumen LCC membayar sama dengan tiket kelas premium atau full service, tapi mendapat layanan LCC. 

Selain itu, maskapai LCC juga harus membuat standar pelayanan minimum yang lebih tinggi dalam pelayanan baggage handling. Karena konsumen telah membayar untuk bagasi, maka mereka harus mendapat layanan yang lebih baik jika kerusakan bagasi, kehilangan bagasi, atau bagasi nyasar. Jadi bagian bagage handling tidak bisa diperlakukan sebagai business as usual. Ingat, dalam UU Perlindungan Konsumen 8/1999, konsumen mendapat hak untuk mendapatkan ganti rugi.




Baca juga:
Sastra, Fiksi, dan Keterampilan Berbahasa
Kenapa Kita Tak Mensyukuri Kegagalan?
Setelah Valsartan, Kini Losartan dan Irbesartan Juga Ditarik

Teliti Kembali Sebelum Membayar Online

$
0
0

Ilustrasi: (Getty Images/iStockphoto) | Kompas.com

Belanja atau memesan tiket/voucher hotel memang sekarang lebih mudah melalui online.

Kita tinggal klik apa yang kita mau, lalu kita bayar dan tunggu kiriman barang atau cetak tiket/voucher. Namun dibalik itu semua ternyata ada beberapa hal yang harus diwaspadai agar kita tidak dirugikan, baik materi maupun waktu.

Saya beberapa kali mengalami kesalahan bayar akibat tidak meneliti kembali karena terburu-buru mengklik bayar tanpa membaca ulang apa yang akan dipesan. Beberapa hal yang perlu dicermati sebelum membayar online antara lain:

1. Cek Ketersediaan Barang
Khusus untuk pembelian barang elektronik atau barang bernilai tinggi, sebaiknya cek ketersediaan stok terlebih dahulu, kecuali memang dicantumkan dalam catatan toko bahwa barang benar-benar ready stock dan tidak perlu bertanya lagi. 

Saya pernah dua kali tersangkut kasus ketiadaan barang padahal sudah terlanjur membayar secara online. Pertama saat membeli kamera di sebuah marketplace, ternyata barangnya sudah discontinued alias tidak terbit lagi. Untungnya si pelapak berbaik hati untuk membatalkan pesanan sehingga dana bisa dikembalikan secara utuh.

Kedua saat membeli laptop di sebuah toko online (bukan marketplace), lagi-lagi barangnya discontinued padahal jelas-jelas di situsnya masih terpampang dan tidak ada tulisan out of stock atau stok habis, karena biasanya kalau barang tidak ada akan tertulis demikian.

Akhirnya, saya mengganti laptop lain yang harganya lebih murah dan uangpun kembali dengan selamat. Namun prosesnya memakan waktu seminggu lebih karena bolak balik mencek ketersediaan barang ke distributor terlebih dahulu.

Memang uang yang telah dibayarkan semuanya kembali, namun cukup merepotkan saya ketika harus berkali-kali konfirmasi dengan petugas yang berbeda-beda di call center-nya sampai saya datangi sendiri ke tokonya, walau sudah dihubungi balik via telepon. Oleh karena itu sebelum membayar, pastikan kalau stok memang benar-benar tersedia. Jangan keburu nafsu membeli barang tanpa dicek terlebih dahulu.

2. Cek Tanggal
Biasanya hal ini terjadi ketika kita memesan tiket atau hotel, karena terburu-buru lupa mengubah default tanggal dan terlanjur sudah dibayar. Biasanya situs pemesanan tiket sering menyimpan tanggal terakhir kita searching sebelum memesan kembali untuk tanggal lain. Saya beberapa kali lupa mengganti tanggal karena terburu-buru.

Pertama ketika baru tiba di Manado, karena sudah lelah saya langsung memesan hotel tanpa melihat tanggal. Begitu hendak check in, petugas hotel mengatakan tak ada pemesanan atas nama saya pada hari itu. Saya tetap ngotot namun petugas juga tetap bertahan bahwa nama saya tak ada dalam daftar.

Akhirnya saya keluar sejenak dan baru sadar kalau data tanggal yang dimasukkan salah. Karena terlanjur malu, saya memesan kembali hotel lain yang tidak jauh dari hotel sebelumnya serta harganya lebih murah. Untungnya pesanan saya bisa dikembalikan penuh uangnya walau harus menelpon call center untuk membatalkan pesanan.

Kedua ketika memesan tiket kereta api dari Malang ke Surabaya, lagi-lagi karena buru-buru saya tidak mencek tanggal dan langsung bayar. Saya baru sadar salah tanggal ketika hendak mencetak boarding pass. Setelah dicek ternyata tanggal pemesanan saya masih dua minggu ke depan sehingga boarding pass tidak bisa dicetak.

Buru-buru saya ke loket untuk membeli tiket lagi, untunglah kebetulan hari itu kereta tidak terlalu penuh sehingga masih memperoleh tempat duduk. Namun saya terpaksa harus mengurus pengembalian dana di stasiun tujuan dan kena potongan 25% dari harga tiket.

Belajar dari pengalaman ini, setiap pesan tiket maupun hotel saya selalu perhatikan tanggal baik-baik sebelum membayar. Lebih baik pesanan dibatalkan sebelum membayar daripada sudah terlanjur dibayarkan karena lumayan ribet proses pengembaliannya.

3. Cek Koneksi Internet
Kejadian ini berlangsung juga saat sedang memesan hotel. Saat proses pembayaran berlangsung layar berputar-putar terus beberapa menit tanpa ada kejelasan atau notifikasi telah terbayar. Karena ingin segera istirahat, akhirnya saya memesan kembali kamar yang sama, dan saat pembayaraan kedua berhasil, baru keluar notifikasi pembayaran pertama.

Terpaksa saya harus menelpon call center karena seharusnya pesanan tidak bisa dibatalkan pada hari pemesanan yang sama. Saya masih beruntung karena petugas memahami kesalahan tersebut, pesanan pertama dapat dibatalkan tanpa harus terkena denda.

Memang saat pemesanan pertama kondisi jaringan sedang kurang bagus akibat cuaca hujan deras dan saya masih berada di dalam gedung bandara. 

Baru ketika pesanan kedua saya sudah berada di tempat lain dan kondisi jaringan relatif baik karena hujan sudah reda dan sinyal bagus. Sebaiknya kondisi jaringan harus stabil saat hendak melakukan pembayaran, atau paling aman memang membayar di atm atau gerai yang sudah bekerja sama dengan penyedia layanan pemesanan.

4. Cek Jumlah yang harus Dibayarkan
Beberapa situs marketplace mengharuskan ada angka unik untuk membedakan pembayaran kita dengan yang lain. Namun karena angkanya unik membuat kita susah menghafal. Oleh karena itu sebaiknya ditulis terlebih dahulu sebelum membayar karena kelebihan bayar dapat berakibat tidak diprosesnya pesanan kita dan uang tidak bisa kembali.

Namun seiring perkembangan zaman, kejadian seperti ini sudah dieliminasi dengan adanya virtual account, jadi bila memasukkan nominal yang salah pembayaran akan gagal dan dana tidak bisa ditransfer. Walau demikian, tetap harus hati-hati memasukkan angka agar tidak salah nominalnya karena harus mengulangi lagi proses pembayarannya.

Sebelum ada virtual account, saya pernah kelebihan bayar akibat salah membaca angka dan ternyata tetap diproses oleh marketplace yang bersangkutan. Beruntung sang penjual mengerti dan bersedia mengembalikan kelebihan uang dalam paket pesanan yang dikirimkan.

* * *
Di satu sisi kemajuan teknologi informasi memang sangat membantu kita yang semakin malas untuk bergerak ini. Namun di sisi lain perlu kehati-hatian terutama saat melakukan pembayaran karena akibatnya bisa fatal apabila ternyata pesanan tidak bisa di-refund atau sebagian dananya dipotong sesuai kebijakan perusahaan.




Baca juga:
Suami Level Berapakah Anda?
Sastra, Fiksi, dan Keterampilan Berbahasa
Kenapa Kita Tak Mensyukuri Kegagalan?

Doel Sumbang dan Panggung Ripuh Tembang Sunda

$
0
0

Doel Sumbang (Foto: Kompas.com)Bisakah bahasa Sunda punah? Pertanyaan itu mengusik pikiran saya selama beberapa hari belakangan ini. Sebagai perempuan Sunda, saya tidak ingin bahasa leluhur saya punah dan hilang dari peredaran. Akan tetapi, saya tiada henti dibuntuti oleh rasa cemas.

Hati saya selalu diselimuti perasaan haru setiap kondangan, entah hajat khitanan entah resepsi pernikahan, karena disambut lantunan lagu-lagu Sunda yang syahdu. Kadang merdu suara Nining Meida, kadang dendang lucu Doel Sumbang. Selebihnya, lagu-lagu Sunda jarang singgah di kuping saya. Kecuali kalau sedang di rumah.

Apa korelasi antara lagu Sunda dan bahasa Sunda? Bagi generasi milenial seperti saya, lagu termasuk jalan pintas untuk memahami suatu bahasa. Itu sebabnya saya mencintai lagu Sunda, lantaran dari sanalah saya memperkaya kosakata.

Hingga kapan lagu-lagu Sunda bisa memanjakan telinga saya? Apakah generasi baru akan lahir di kancah pop Sunda apabila era Doel Sumbang dan Nining Meida berlalu? Apakah ada generasi kiwari yang mau meneruskan kiprah Kang Darso? Adakah pedangdut yang mengikuti Itje Trisnawati menyusupkan bahasa Sunda ke dalam lagu yang didendangkannya?

Hanya empat pertanyaan, tetapi sungguh-sungguh mencemaskan.

Getir Takdir Bahasa Daerah yang Sekarat

Kepala Bidang Perlindungan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Ganjar Harimansyah, sebagaimana dikutip Kompas.com, mengabarkan bahwa ada 13 bahasa daerah yang dinyatakan punah. Walupun bukan sesuatu yang mengejutkan, pernyataan beliau tetaap saja mencemaskan.

Bayangkan. Ada 11 bahasa yang punah di Maluku, yakni bahasa Kajeli/Kayeli, Nila, Palumata, dan Serua (Maluku Tengah), Piru (Seram Barat), Moksela (Kep. Sula), Ternateno (Kota Ternate), Hukumina (Pulau Buru), serta Hoti (Seram Timur). Dua lainnya berasal dari Papua, yaitu Tandia (Teluk Mondama) dan Mawes (Sarmi).

Itu bukan pepesan kosong, bukan juga omong kosong. Kepunahan bahasa berarti kematian budaya, tradisi, dan pernak-pernik satu suku pengguna bahasa. Bayangkan pula suatu ketika orang-orang Sunda, misalnya, harus belajar bahasa, budaya, dan tradisi Sunda kepada pakar dari negeri asing.

Hal ini menimpa bahasa Kaganga, bahasa daerah yang pernah digunakan oleh masyarakat di Sumatera bagian selatan. Padahal, Kaganga punya aksara sendiri. Saat ini, ahli yang mahir menulis, membaca aksara, dan berbahasa Kaganga justru pakar dari Belanda dan Jerman.

Apakah suatu ketika bahasa Sunda akan menyusul saudara-saudaranya yang telah mangkat itu? Tidak perlu cemas. Jumlah penutur bahasa Sunda sangat banyak, yaitu 27.000.000 jiwa. Rasa-rasanya bahasa Sunda akan berumur panjang, setidaknya masih jauh dari sekarat. Itu kalau kita mau meminggirkan kecemasan dan mengabaikan kemungkinan.

Akan tetapi, tunggu dulu. Jumlah penutur yang sedemikian besar ternyata bukan garansi sebuah bahasa dapat awet dan lestari. Sikap penutur terhadap bahasa daerahnya justru sangat berpengaruh terhadap kelestarian bahasa daerah.

Tanpa kita sadari, rasa segan berbahasa daerah karena takut dituding norak, kampungan, atau ketinggalan zaman justru merupakan ancaman bagi keselamatan bahasa daerah. Lambat laun, sikap malu berbahasa daerah dapat menggerus jumlah penutur. Akibatnya, jumlah penutur akan berkurang sedikit-sedikit hingga lama-lama menjadi banyak.

Jika bertumpu pada kriteria Unesco (2003), bahasa dinilai berdasarkan daya hidupnya. Jika penuturnya sudah tiada, berarti suatu bahasa dinyatakan punah. Pada 2009, Unesco mencatat sekitar 2.500 bahasa di dunia terancam punah--termasuk 100 bahasa daerah di Indonesia. Bahkan dalam rentang 30 tahun terakhir sudah 200 bahasa yang tamat riwayatnya, termasuk 13 bahasa daerah di Maluku dan Papua.

Berdasarkan persebaran bahasa daerah per provinsi, Badan Bahasa menyatakan bahwa jumlah bahasa daerah di Indonesia mencapai 733. Hanya saja, hingga Oktober 2017 baru 652 yang telah diidentifikasi dan divalidasi dari 2.452 wilayah pengamatan.

Bagaimana dengan respons penutur bahasa Sunda terhadap bahasa ibunya? Di kota-kota besar, hasrat memakai bahasa Sunda mulai menyusut di kalangan umat milenial. Jangankan bahasa Sunda, bahasa Indonesia saja dicampuradukkan dengan bahasa asing.

Bahkan semangat berbahasa Sunda juga mulai menyusut di kalangan kaum muda di pinggiran kota. Lambat laun akan merembet atau merembes ke perdesaan atau perkampungan. Jika generasi kiwari (terutama yang berusia 27 tahun ke bawah) sudah enggan berbahasa Sunda, isyarat takdir bahasa Sunda mendekati sekarat tinggal menunggu waktu.

Tahapannya jelas. Mula-mula memasuki fase bahasa daerah yang rentan atau tidak aman, kemudian sekarat atau kritis, kemudian meninggal atau punah. Memang sekarang bahasa Sunda masih tergolong aman, tetapi apakah respons umat melineal menjamin rasa aman itu? Saya pikir, tidak.

Doel Sumbang dan Gairah Merawat Bahasa Sunda

Pada 3 Januari 2013, seperti dilansir oleh Viva.co.id, Doel Sumbaang berteriak lantang mengenai upaya pelestarian bahasa Sunda. "Saya akan terus mengarang lagu Sunda, tidak peduli laku atau tidak. Saya berkarya bukan untuk mencari untung belaka. Saya terus berkarya karena saya tidak ingin bahasa Sunda punah," laung penyanyi bernama Abdoel Wahyu Affandi dengan lantang.

Apa pasal sehingga Doel Sumbang bercakap demikian? Pelantun puluhan, bahkan ratusan, lagu Sunda tersebut membaca kemungkinan dan menebalkan kekhawatiran. Jika tidak dirawat, dijaga, atau dilestarikan, bukan hal mustahil bahasa Sunda menyusul kerabatnya yang telah tiada.

Sekarang coba berbesar hati melihat fakta. Peserta gelaran kegiatan pelestarian bahasa daerah, termasuk bahasa Sunda, biasanya barinbun (barisan insan beruban) atau japarsuh (jajaran para sesepuh). Generasi zaman kiwari? Mereka sibuk dengan dunia digitalnya.

Coba tanya pula anak milenial di sekitar kita. Apakah mereka mengenal lagu-lagu Kang Darso? Kenalkah mereka pada sosok Kang Nano sang penggubah Kalangkang? Kalau mau lebih spesifik, tanya pula arti endag---kata yang disematkan Kang Doel dalam lirik Ai.

Namun, bukan hanya generasi kiwari saja yang mesti dicemasi. Dahulu, beberapa petinggi di tatar Sunda terkenal mahir menulis. Bupati Bandung (1893-1918), Raden Adipati Aria Martanagara, menggurat Wawacan Aji Saka dan Piwulang Barata Sunu semasa masih aktif selaku pejabat.

Sebut pula Pangeran Aria Suriaatmaja, Bupati Sumedang (1882-1919), yang menganggit lirik lagu untuk tarian yang diciptakannya sendiri. Jangan lupa Raden Ayu Lasminingrat yang menulis Warnasari dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Belanda. Begitu paparan Jay Setiawan.

Berapa banyak sekarang tokoh publik tersohor di tanah Sunda yang piawai ngagugurit atau ngadangding? Mungkin bisa dihitung jari, sekiranya kita tidak ingin menyebut tidak ada pejabat lagi yang mahir mengarang dengan menggunakan bahasa Sunda.

Padahal, kurang cendekia apa lagi Kang Emil (Gubernur Jabar) atau Kang Bima (Walikota Bogor). Kurang segar apa lagi ide Kang Dede (mantan Wagub Jabar) atau Kang Dedi (mantan Bupati Purwakarta). Kurang nyeni apa lagi Kang Hengky (Wabup Bandung Barat).

Kecuali kita ingin membiarkan kesedihan Kang Doel Sumbang terbukti: generasi milenial kelak hanya berkata "dulu ada hikayat Si Kabayan dan Dayang Sumbi". Sebelum hati kita oleng atau oyag-oyagan, seperti perasaan Asep setiap melihat Ai, mari kita pirsa kembali karya Kang Doel, Ai.

Mencari Penerus Doel Sumbang

Jangan remehkan lagu daerah, termasuk lagu Sunda. Pada masanya, 1980-an, Kalangkang yang dilantunkan oleh Nining Meida sempat meraup angka penjualan yang fantastis hingga angka dua juta keping. Tentu bukan prestasi biasa pada era ketika lagu rok dan pop Indonesia menguasai blantika musik Indonesia.

Lagu Ai yang baru saja kita nikmati seraya manggut-manggut, termasuk lagu yang penjualannya mengentak bisnis musik di tanah air. Karya Kang Doel itu terjual melebihi satu juta keping. Bukan itu saja. Sempat tersiar kabar, dikutip oleh Pikiran Rakyat, Ai dibeli hak oleh perusahaan rekaman ternama dengan harga yang "heboh", Rp300 juta.

Angka itu jelas bukan nilai yang sedikit. Jika kita bandingkan antara kurs dolar pada 1993 dengan 2018, angkanya sangat mencengangkan. Saya coba menguliknya di simulasikredit.com dan menemukan angka sebesar Rp2.887.903.386,31.

Mengingat peluang pasar yang sangat besar, baik dari calon penikmat lagu Sunda maupun taksiran finansial, jelas upaya yang dilakukan oleh Kang Doel dan musisi Sunda lainnya mesti diteruskan. Kang Doel bertanya, "Orang Sunda mau jadi apa kalau bahasanya punah?"

Dengan sendu, pelantun lagu-lagu sarat kritik itu menegaskan tekadnya, "Terserah orang mau bilang apa, yang penting saya akan menjaga bahasa Sunda. Saya yakin banyak seniman dan masyarakat Sunda, termasuk suku lain, yang sepakat dengan saya."

Kritik beliau, terutama ketika bahasa daerah disumpetkan ke dalam muatan lokal, bukanlah sesuatu yang tabu untuk kita simak. Bahkan, penting itu disikapi lebih daripada sekadar disimak. Di sinilah kita butuhkan kehadiran negara.

Negara, berdasarkan Pasal 32 ayat 2 UUD 1945, menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. Siapakah yang termasuk dalam puak "negara" itu? Bukan Presiden saja. Gubernur, Bupati, dan Walikota juga termasuk. Warga negara, semisal Kang Doel, sudah berikhtiar, negara mesti hadir mengobarkan dan menggelorakan ikhtiar itu.

Ikhtiar pengembangan, pembinaan, dan pelindungan itu harus dilakukan secara bertahap, sistematis, dan berkelanjutan. Begitu amanat Pasal 42 dalam UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.

Bagaimana caranya? Bolehlah seminar-seminar, lokakarya-lokarya, atau hal-hal yang serumpun dengan itu terus diselenggarakan, tetapi jangan lupakan selera kaum milenial. Sentuh kawasan gaul generasi kiwari. Lahirkan Kang Doel-Kang Doel baru, sekalipun bukan Doel yang "sumbang".

Audisi band Sunda, misalnya. Boleh juga Sunda Idol---kalau mau agak keminggris. Asalkan dikemas dengan citarasa milenial, gaul, dan kekinian. Siapa saja boleh ikut, selama sesuai dengan batasan usia tertentu.

Kalau ada yang mau bereksperimen menyanyikan lagu Sunda dengan langgam jazz, rap, atau seriosa, biarkan saja. Apabila ada yang menggunakan harfa, gitar, atau kecapi, biarkan saja. Pokoknya, bebaskan anak-anak muda untuk berekspresi.

Masalahnya, negara mesti berani atau bernyali!

Ulah Eundeug-eundeugan, Kang Doel

Tidak. Saya tidak mengatakan bahwa apa yang telah negara lakukan selama ini berakhir sia-sia. Saya hanya menyatakan bahwa perlu ada gebrakan atau terobosan baru. Saya hanya menyodorkan sisi pandang berbeda, bahwa target kegiatan pelestarian bahasa perlu juga diarahkan kepada generasi kiwari.

Festival band atau tarik suara sekadar contoh belaka. Kalau perlu, gelar pula Festival Ngadangding atau Karnaval Ngabodor. Libatkan anak-anak yang ramah dengan dunia digital, yang intim dengan media sosial, yang ingin menunjukkan bahwa mereka juga layak dilirik dan diwawas.

Jika lagu-lagu Sunda merambat dan menjalar di nadi generasi kiwari, saya yakin mereka juga akan tergerak untuk merawat budaya dan tradisi Sunda lainnya. Inilah yang disebut Ajian Ketok Tular. Ajian yang meniscayakan sesuatu diketok dulu baru menular dengan sendirinya.

Ketika itu tercapai, Doel Sumbang tidak akan eundeug-eundeugan atau oyag-oyagan gara-gara mencemaskan kelestarian bahasa Sunda. Begitu pula Teh Nining Meida. Bahkan arwah Kang Darso, Kang Nano, Kang Ibing, atau Kang Ujang akan tersenyum di alam sana.

Pada akhirnya, orang Sunda tidak boleh berleha-leha hanya lantaran bahasanya termasuk dalam 12 bahasa daerah yang berstatus aman bersama bahasa Aceh, Bali, Bugis, Jawa, Makassar, Muna, dan Sentani. Sampai kapan bahasa Sunda berstatus aman?

Amel Widya

Rujukan:

  1. Bahasa Daerah di Indonesia yang Dinyatakan Punah 
  2. Doel Sumbang Memprotes Kurikulum Tanpa Bahasa Daerah 
  3. Jay Setiawan: Perkembangan Kesusastraan Sunda
  4. Ketika Ai Menjadi Tembang Sunda Termahal
  5. Menghitung Perbandingan Inflasi Rupiah
  6. Doel Sumbang: Seniman Nyentrik dari Tanah Pasundan
  7. Nining Meida: Cengkok yang Tak Lekang oleh Waktu
  8. Kang Darso: Raja Pop Sunda



Baca juga:
Pengajuan Dana Tahunan Komunitas 2019 Telah Dibuka, Submit Sekarang!
"Mal Rakyat" Itu Ada di Jebe Mutiara Taman Palem Jakarta Barat
Anak-anak sebagai Manusia dan Bagian dari Bangsa

"Back to Nature", Mengubah Bahan Lokal Menjadi Karya Seni

$
0
0

Foto: Facebook/Pius Payong ApaKompasianer, apa yang terpikirkan di benak mu saat melihat limbah kayu sisa? Pasti langsung membuangnya kan? Sayang sekali, padahal jika diolah dengan sedikit kreatifitas, limbah kayu itu bisa menjadi sumber penghasilan, lho.

Seperti yang dilakukan oleh seorang pria bernama Pius Payong Apa. Ia merupakan pekerja seni yang saat ini tinggal di kampung Kolimasang, Pulau Adonara Kabupaten Flores Timur. Awalnya ia bekerja serabutan. Memiliki keterampilan di segala bidang, ia pernah bekerja sebagai tukang bangunan, tukang kayu, tukang las besi dan saat ini menggeluti kerja seni.Dokpri

Darah seni yang dibawahnya sejak lahir membuat kreatifitasnya mampu menghasilkan berbagai karya seni. Karya seni ini lahir dari pikirannya ketika melihat banyak sekali bahan lokal dikampungnya seperti kayu, buah kelapa, bambu, yang ketika tidak digunakan lalu dibuang. Ia kemudian mendapat ide membuat sisa limbah kayu tersebut menjadi suatu barang yang bernilai jual di pasaran.

Baca Juga : Destinasi Wisata Pulau Adonara Yang Belum Diketahui Orang

Menurut pria yang akrab disapa ama Aron, ia termotivasi dengan Istilah back to nature untuk menciptakan berbagai produk lokal. Menurutnya tanah air Indonesia (Nusantara) khususnya pulau Adonara telah dianugerahi kekayaan keanekaragaman hayati tropika yang unik, kelimpahan ragam jenis pangan lokal (khas daerah) serta budaya masyarakat yang menghormati alam. maka kita memiliki modal dasar yang luar biasa besarnya untuk mengembangkan produk-produk lokal.DokpriAdanya pencemaran alam pada air, tanah dan polusi udara, berdampak pada makanan dan hasil bumi. Penggunaan alat-alat produksi modern mengakibatkan terjadinya pencemaran unsur-unsur radikal yang sangat berbahaya bagi tubuh manusia. Hal inilah yang kemudian mempengaruhi tatanan kehidupan manusia untuk mengubah pola pemahaman kita tentang kesehatan dan sakit.

Baca Juga : Cita Rasa Alami Kuliner Lokal Adonara Yang Wajib Anda Ketahui

Atas dasar inilah, ama Aron lalu mengembangkan produk-produk alat makan berbahan dasar lokal. Seperti sendok dari batok kelapa, piring dari kayu, teko dari bambu/batok kelapa, dan gelas dari bambu. Semuanya berbahan dasar lokal.DokpriSelain bernilai estetika namun juga sangat higienis dan aman digunakan. Belum terkontaminasi dengan bahan kimia. Alat-alat makan seperti inilah yang digunakan nenek moyang kita dahulu sebelum mengenal tembaga, besi, keramik, melamin atau plastik, ujar ama Aron kala itu.DokpriSudah banyak orang yang mengapresiasi dengan membeli hasil karya seninya. Tidak hanya masyarakat seputar pulau Adonara, tapi sudah berkembang sampai ke pulau sekitarnya.

Ada pembeli dari Kota Larantuka, Maumere dan Ende. Biasanya, alasan utama orang-orang memilih peralatan makan kayu adalah karena sisi estetika, yaitu kelihatan Instagramable. Warna dan desainnya memang unik.Dokpri

Ada sebuah Cafe di kota Maumere yang semua aksesoris terbuat dari bahan lokal yang dikerjakannya. Mulai dari bangunan yang terbuat dari bambu, aksesoris seperti lampu dari bambu, hiasan patung kayu sampai alat-alat makan dan minum yang terbuat dari kayu dan bambu. Unik dan estetik.

DokpriSelain membuat alat makan berbahan dasar lokal, ia juga piawai dalam seni memahat. Karya hasil pahatan berupa patung, ukir-ukiran dan pernak-pernik lainnya pun laris terjual. Semuanya dari bahan lokal yang didapatnya dari lingkungan sekitar.Dokpri

Baca Juga : Padang Olais, Perbukitan Yang Diselimuti Kabut

Melalui karya-karya ini sebenarnya ia ingin mengajak orang-orang muda agar mampu berkarya. Menghasilkan sesuatu yang bernilai bagi orang dan diri sendiri. Ini dapat menambah penghasilan dari barang bekas yang banyak berseliweran di lingkungan sekitar, imbuhnya.

Selain menjual produk, ama Pius ternyata memiliki tujuan memperkenalkan ke orang banyak jika peralatan menggunakan kayu lebih baik dibanding menggunakan plastik. Ama Pius berharap semua orang bisa turut menyelamatkan lingkungan tuk generasi masa depan dengan cara 3R yaitu Recycle, Reuse dan Reduce.




Baca juga:
Masih Adakah Privasi Diri dalam Era Internet?
Pengajuan Dana Tahunan Komunitas 2019 Telah Dibuka, Submit Sekarang!
"Mal Rakyat" Itu Ada di Jebe Mutiara Taman Palem Jakarta Barat

Puisi | Kematian yang Lain

$
0
0

gambar diambil dan diolah dari pixabay.com

Jenazahmu tiba, sudah malam
lampu-lampu kota redup menahan haru
air mata mama-mama, gugur bersama pucuk-pucuk sepe

Tiga tahun lalu ia berangkat, kami tak tahu ke mana
ia masih gadis belia, kala itu
perginya adalah tanda tanya yang tak tentu mendapat jawab
hingga hari ini, 
ia kembali tanpa berbagi cerita
tentang lelahnya di tanah orang

Lelaki pemamah sirih pinang itu berkisah
tentang kau yang kini menjadi jenazah
gerimis turun tipis-tipis, samar kulihat bening menetes
di keriput pipi lelaki tua itu

Kematiannya ialah kematian yang lain,
dengan nama yang lain, umur yang lain
alamat yang lain, di negeri lain
tapi aku tetap mengenalinya,
sebab hanya dia, anak gadis semata wayangku

Kisahnya berakhir dengan isak tertahan di ujung lidahnya

Aku hanya bisa bergumam, dalam hati yang terbakar amarah
sebab di negeri ini, orang tak bosan saling memangsa
manusia-manusia ditukar lembar-lembar rupiah
sedang yang berdasi sibuk memoles senyum sambil tak bosan menebar janji, 
meski terus diruwat nyala seribu lilin

Ah, sahabat yang malang
di negeri  yang tak lagi berlimpah cendana ini
aku heran janji-janji manis masih mengalir
bersama datangnya peti-peti mati.

Kupang, 19
Gusty Fahik
(Komunitas Penulis Kompasiana Kupang NTT-KampungNTT)




Baca juga:
Jika Sudah Ada Internet, Mengapa Masih Harus Membaca Buku?
Masih Adakah Privasi Diri dalam Era Internet?
Pengajuan Dana Tahunan Komunitas 2019 Telah Dibuka, Submit Sekarang!

Geledah Kantor PSSI dan "Penyesalan" Ratu Tisha

$
0
0

Satgas Antimafia Bola Polri saat menggeledah Kantor PSSI hari ini I Istimewa/satgas antimafia bola (tribunnews.com)Satgas Antimafia Bola bentukan Polri semakin garang dan berani. Pada hari Rabu (30/1/2019), Satgas menggeledah kantor PSSI. Bukan satu tetapi dua sekaligus.

PSSI memang nampak seperti mempunyai dua kantor. Pertama di kawasan fX Sudirman, Jakarta pusat yang menjadi kantor baru federasi, dan yang kedua di kawasan Kemang, Jakarta Selatan yang dikatakan sebagai kantor lama PSSI. PSSI memang sedang dalam masa transisi untuk memindahkan kantornya yang di Kemang (habis kontrak 31 Januari) ke FX.

Pertanyaan yang pantas diajukan adalah, apa yang sedang dicari Satgas saat menggeledah kantor PSSI?

Ketua Tim Media Satgas Anti Mafia Bola Kombes Argo Yuwono yang ikut melakukan penggeledahan menjelaskan bahwa penggeledahan di kedua tempat ini bertujuan untuk mencari dokumen terkait kegiatan persepakbolaan dan anggaran tahunan.

"Tentang dokumen-dokumen yang berkaitan dengan sepakbola dan anggaran tahun 2017 dan 2018," ujar Argo Yuwono.

Dimulai sejak pukul 11.00 WIB, tim Satgas mulai memasuki setiap ruangan di Kantor PSSI. Karena ada dua kantor yang terpisah, diterjunkan dua tim.

Penggeledahan di fX Sudirman dipimpin oleh Kombes Roycke Harry Langie dan Kombes Argo. Sementara penggeledahan di kantor Kemang dipimpin oleh AKBP Ade Ary Syam Indardi dan Kombes Syahar Diandono.

Tiga jam menggeledah, Satgas mendapatkan hasil. Ada lima boks berisi ratusan dokumen, yang isinya dokumen Liga 1, Liga 2, Liga 3, daftar wasit hingga transaksi keuangan dari Kantor PSSI di Jalan Kemang V No. 5.

"Ada dua boks besar dan tiga boks kecil. Ini dibawa ke posko dan assesement lagi, mana yang terkait dengan penyidikan, nanti akan kami sita, nanti kami dalami dan dari dokumen ini akan ada pengembangan lebih lanjut," ujar Kabagpenum Mabes Polri, Sahar Diantono.

Sampai dengan pukul 18.00 WIB, Satgas masih belum selesai mengerjakan tugasnya dengan masih melaksanakan penggeledahan di Kantor PSSI di kawasan fx Sudirman.

***
Di tengah Satgas melakukan tugasnya, PSSI melalui Sekjennya, Ratu Tisha memberi keterangan pada wartawan. Menariknya Tisha sendiri ketika ditanyakan apa maksud penggeledahan yang terjadi mengatakan tidak paham dengan apa yang dilakukan oleh Satgas.

Saya sendiri lebih memilih frasa "penyesalan" bernada kekecewaan saat membaca komentar demi komentar dari Sekjen PSSI berusia 33 tahun itu terhadap penggeledahan yang dilakukan oleh Satgas.

Menurut saya, paling tidak ada 3 (tiga) "penyesalan" Ratu Tisha terhadap penggeladahan Satgas yang dapat disimak berdasarkan komentar-komentarnya.

Pertama, Tisha menyesali mengapa Satgas tidak meminta dokumen yang dibutuhkan kepada PSSI, tanpa harus melakukan penggeledahan.

"Saya belum tahu, intinya apapun yang dicari, kan, bisa diomongkan ke PSSI, pemeriksaan pun kalau dirasa ada yang kurang data-datanya, ya akan kami carikan dan apapun yang bisa kami dukung untuk kepolisian," kata Tisha di Hotel Sultan.

Ratu Tisha sendiri sempat menemani Satgas beberapa saat sebelum pergi untuk menghadiri acara perkenalan Bima Sakti sebagai pelatih Timnas U-16 di Hotel Sultan.

Dari komentarnya ini, mungkin perspektif yang dipakai oleh Tisha adalah PSSI dan Polri sebagai mitra dalam memberantas mafia bola. Sebagai mitra, mungkin Tisha berharap PSSI dan Polri dapat saling menghormati. Saling respek satu sama lain. Penggeledahan Polri tidak menunjukan hal itu, mungkin begitu yang dipikirkan Tisha.

Akan tetapi, Tisha juga mungkin harus memahami bahwa jika sudah bicara atas nama hukum dan penyelidikan, tidak ada ruang kompromi dalam bentuk apapun, meskipun dalam wadah kemitraan.

Dalam melakukan tugasnya, menguak kebenaran di dalam mewabahnya pengaturan skor atau dalam situasi "darurat" seperti ini, Satgas Polri mungkin berpikir perlu tindakan berani meski harus mengorbankan saling respek antar organisasi.

Kedua, Tisha merasa dokumen yang dicari oleh Satgas tidak berfaedah dalam penyelidikan kasus mafia bola, khususnya dokumen dokumen anggaran 2017 dan 2018.

"Posisinya seluruh yang ada di PSSI sudah dipertanggungjawabkan dengan baik, termasuk laporan keuangan, penyusunan anggaran, hingga penyelenggaraan Asian Games yang menjadi projek khusus, PSSI telah mempertanggungjawabkan di kongres dan kepada Menpora pada tahun lalu," ungkap Tisha.

Sepertinya logika yang dipakai oleh Tisha adalah jika dokumen anggaran itu sudah dipertanggungjawabkan di kongres dan Kemenpora untuk apa lagi diutak atik?

Memang ada benarnya yang dikatakan Tisha, namun tidak dapat dipungkiri bahwa di dalam sistim yang buruk, yang benar bisa jadi salah dan sebaliknya, yang salah bisa jadi benar. Inilah yang ingin diselidiki Satgas.

Ketiga, Tisha menguatirkan ada hal yang kontraproduktif pasca penggeledahan oleh Satgas.

"Jangan sampai menjadi kontraproduktif. Apa itu kontraproduktif yang membuat kami terhenti melakukan pekerjaan kami yang sebenarnya. Intinya itu untuk kejayaan tim nasional." ujar Tisha.

Wajar Tisha berpikir demikian. Salah satu kekuatiran jika insitusi lain mengintervensi kerja lembaga sepak bola adalah membatasi ruang gerak kerja PSSI. Apalagi, jika dokumen yang disita berhubungan dengan program kerja yang harus dilakukan tentu saja dapat menghambat kinerja PSSI ke depannya.

Akan tetapi yang Tisha mungkin harus pahami adalah pecinta sepak bola nasional sekarang sedang menaruh kepercayaan yang tinggi kepada kinerja Satgas untuk memberantas mafia, sebaliknya kepercayaan kepada PSSI sudah mendekati titik terendah, akibat banyak pengurus yang menjadi tersangka pengaturan skor.

Oleh karena itu, meskipun harus sedikit "menghambat" kerja PSSI ke depannya, tindakan Satgas dianggap yang terbaik untuk kebaikan sepak bola nasional. Tisha mungkin harus sedikit lebih pasrah atau sabar.

***
Saya sendiri berpikir, poin-poin di atas ini tidak serta merta membuat kita berkesimpulan bahwa Tisha (baca: PSSI) tidak mendukung kerja Satgas. Komentar yang dilontarkan dalam bentuk atau bernada saran dan masukan bagi Satgas masih  dalam batas kewajaran.

Berbeda dan lain ceritanya jika PSSI memberikan perlawanan atau menolak penggeledahan.

Di akhir komentarnya, Tisha bahkan menyemburkan optimisme bahwa PSSI yang sekarang juga berharap yang terbaik untuk kebaikan sepak bola nasional di masa depan.

"Kami melakukan apapun, bekerja sama PSSI dengan kepolisian, dan masyarakat. Kami mintakan feedback-nya sampai seluruh hal ini, kami lakukan untuk kemajuan sepakbola kami," ujar Tisha.

"Harus ada harapan-harapan yang kami munculkan, biar yang sekarang jadi problem jangan sampai terjadi lagi di kemudian hari, kami selesaikan, kami komitmen all out," tegas Tisha di akhir komentarnya.

Sepakat. Dimulai dengan terus all out mendukung kerja Satgas Antimafia Bola Polri.

Referensi :

  1. Kompas.com (30/01/2019), Satgas Antimafia Bola Geledah Dua Kantor PSSI.
  2. Detik.com (30/01/2019), PSSI Tidak Tahu Apa yang Dicari Satgas Anti Mafia Bola

KampungNTT - Kompasianer Kupang dan NTT




Baca juga:
"Bercermin" dari Kekalahan Manchester City di Pekan 24 Liga Inggris
Jika Sudah Ada Internet, Mengapa Masih Harus Membaca Buku?
Masih Adakah Privasi Diri dalam Era Internet?

Golput Kok Dibuat Gotong Royong?

$
0
0


Election oleh Element5 Digital - Foto: pexels.com

Ada yang mengusik fikiran saya soal golput di Pilpres 2019. Saat Golput adalah preferensi personal. Kini, ada ajakan, gerakan dan pernyataan Golput yang begitu kentara di media maupun medsos.

Ada tokoh yang terang-terangan diwawancara di media soal pilihannya untuk Golput. Ada pula inisiasi tagar Golput di sosmed yang cukup konstan tumbuh. 

Menyoroti Golput saya kira baiknya dibahas efeknya pada demokrasi. Namun saat media mulai menampilkan tokoh penginisiasi bahkan memprovokasi untuk Golput. Ini yang berbahaya.

Golput menjadi berita sensasionalis media. Baik cetak maupun TV, media mungkin lupa akan etika mereka yang galau memilih. Anak-anak SMA berusia 17 tahun, mahasiswa, dan 'swing voters'. Malah akan condong melogika Golput sebagai pilihan. 

Karena saat dinyatakan 'banyak' pemilih yang memilih Golput via media. Maka insting menjadi bagian suatu kelompok muncul. Terbersit premis dalam fikiran mereka. Kalau mereka bisa Golput mengapa saya tidak?

Maka seolah Golput adalah kerja gotong royong. Baik itu oleh tokoh, pengamat, atau publik secara umum. 

Dan amplifikasi gerakan Golput kini tak lepas dari pengaruh sosial media. Menurut pantauan Google Trend, beberapa indikasi nuansa Golput tidak pernah lekang dari linimasa.

Trend Kata 'golput' Sejak 3 Bulan Lalu - Google Trends

Dari kata 'golput' saja, Google memunculkan trend yang fluktuatif. Dan trend tidak cenderung turun malah naik mulai awal tahun 2019. Namun dari trend ini juga berarti konten positif berisi kata 'golput' juga diakumulasi. Yang pasti, kata 'golput' masih memancing banyak percakapan di dunia maya.

Bagaimana jika dibandingkan antara frasa 'saya golput' dengan 'anti golput'. Sebuah hal yang patut kita lihat. Apakah di dunia maya orang masih menyuarakan untuk tidak Golput.

Trend Perbandingan frasa 'aku golput' dengan 'anti golput' - Google Trend

Dari 7 hari ke belakang, trend duel 'saya golput' dengan 'anti golput' cukup signifikan. Garis biru yang menunjukkan 'saya golput' memiliki trend dengan jumlah yang signifikan. Berbeda dengan trend 'anti golput' yang cenderung tidak banyak. Seolah trend 'anti golput' bersifat reaktif mengkounter isu 'saya golput'.

Statistik diatas tentu masih begitu sederhana. Namun hasil pencarian Google Trend bisa merepresentasi posting sosial media. Baik itu posting di Twitter, Facebook, maupun Instagram.

Namun bisa kita anggap bahwa nuansa 'bergolput' sungguh kental. Wawancara di TV dan berita tentang gerakan Golput yang kerap muncul. Perdebatan netizen yang juga tak pernah lelah mengulik 'pro-kontra' Golput. Setidaknya akan menggelorakan rasa jenuh.

Saat di lain sisi, berita bohong juga menginsinuasi Golput. Maka perdebatan dan glorifikasi Golput menjadi gerakan 'kewarasan'. Bisa jadi menggaet pengikut yang lebih banyak. Semakin besar kelompok. Semakin besar keyakin dan rasa percaya diri atas pilihan Golput.

Tentunya monolog dan dialog para 'Golputers' tak lepas dari pilihan ini adalah benar. Karena merasa tidak ada calon dari Pilpres atau Pileg yang dianggap ideal. Atau karena hoaks Pilpres membuat mereka jengah dan muak. Dua hal ini seolah menguatkan keyakinan Golput mereka.

Semakin Golputers disudutkan atas pilihan mereka. Semakin akan ada perlawanan. Dan di dalam lubuk hati mereka tercipta sebuah keyakinan bahwa Golput adalah kebenaran.

Dan sekali lagi, sayangnya isu gerakan Golput ini dibuat bancakan. Baik via media arus utama atau sosial media. Propagandis Golput bebas menyuarakan aspirasi mereka. Publik yang masih awam dan gamang dalam Pemilu bisa saja terjebak premis yang mereka buat.

Salam,

Solo, 30 Januari 2018 | 09:37 pm




Baca juga:
Demi Keadilan, NET TV Harus Undang Prabowo pada "Ini Talkshow"
"Bercermin" dari Kekalahan Manchester City di Pekan 24 Liga Inggris
Jika Sudah Ada Internet, Mengapa Masih Harus Membaca Buku?

Pemahaman BRT di Indonesia yang Salah Kaprah

$
0
0

Sumber foto: news.detik.com

Ketika istilah BRT disebutkan, mungkin yang terbayang bagi kita adalah sebuah bus yang memiliki pintu tinggi dan bisa mengangkut orang banyak dari halte atau terminal. Jika cukup seperti itu, sebenarnya pemahaman tersebut kurang tepat karena konsep BRT tidak sesederhana itu.

BRT (Bus Rapid Transit) atau yang biasa disebut busway sejak awal kemunculannya di Jakarta dengan brand TransJakarta, memang membawa konsep yang baru dalam perilaku bertransportasi umum yang aman, tertib, dan nyaman.

Bus dan halte Transjakarta didesain berpintu tinggi, kebiasaan penumpang yang dulunya menunggu di sembarang tempat berubah, kini bisa tertib naik dan turun di halte.

Antusias penumpang menunggu Transjakarta saat pertama diluncurkan | TEMPO/Dasril Roszandi

Armada dilengkapi pendingin udara dan keunikannya dibanding dengan layanan bus lain adalah memiliki jalur khusus untuk mempercepat mobilitas.

Peluncuran koridor pertamanya 15 tahun lalu dengan rute Blok M-Kota dinilai sukses dan efektif mendorong masyarakat untuk beralih ke transportasi umum.

Pengembangan rutenya pun mengagumkan, TransJakarta kini menyandang predikat sebagai BRT terpanjang di dunia dengan total jangkauan 231 kilometer yang tersebar di 13 koridor.

Jakarta tercatat sebagai kota dengan sistem BRT terpanjang di dunia (Dokumentasi Pribadi)

Fenomena latah BRT di Kota Indonesia

Seiring waktu, Ide membangun jaringan BRT kemudian menular ke kota lain. Suksesnya TransJakarta dijadikan tolok ukur oleh daerah lain untuk mewujudkan jaringan transportasi umum. Namun entah mengapa pemerintah daerah sepertinya kurang mengkaji konsep BRT dengan benar.

Seakan dipaksakan, halte-halte bus dibangun di atas trotoar yang sempit, armada yang disediakan sedikit, tidak ada rencana jangka panjang pengembangan, hingga halte yang dibangun asal jadi atau bahkan terbengkalai.

Sehingga yang bisa saya tangkap dari implementasi BRT di daerah adalah hanya mengubah persoalan kultur bertransportasi umum masyarakat yang biasanya menaikkan dan menurunkan penumpang di sembarang tempat. Sehingga satu-satunya cara adalah meniru desain bus TransJakarta, dan memanggilnya dengan julukan BRT.

Namun tidak cukup sampai di situ

Sebagaimana tercantum dalam website Institute for Transportation & Development Policy (ITDP), sebuah layanan bus perkotaan untuk bisa dikatakan sebagai Bus Rapid Transit harus memiliki 38 kriteria dasar.

screenshot dari itdp.org

Lengkapnya: THE BRT BASICS (38 points) 

Kriteria dasar layanan BRT pada umumnya sama seperti layanan berbasis rel perkotaan/metro. Untuk itu, secara infrastruktur BRT harus memiliki jalur khusus atau terpisah dari kendaraan lain untuk menjaga ketepatan waktu.

Bangunan halte yang besar untuk mengakomodasi pergerakan penumpang dengan jarak ideal antar halte adalah 300-500 meter.

Sebagai angkutan massal dengan penumpang yang sebanyak layanan metro, halte BRT perlu didesain besar untuk kenyamanan pergerakan penumpang | Sumber foto: nasional.kompas.com

Tidak masalah apakah armada bus yang dipakai lantai rendah atau tinggi seperti Transjakarta, Namun lantai bus dan halte harus sejajar untuk mempermudah / mempercepat akses & ramah terhadap penyandang disabilitas.

Jadwal bus terukur dengan frekuensi kedatangan sesering mungkin, menggunakan gerbang pembayaran elektronik sebagai alat pembayaran untuk mempercepat transaksi.

Hal yang terpenting lainnya adalah layanan BRT harus terintegrasi dengan moda transportasi lain untuk melengkapi perjalanan dari titik awal hingga titik akhir tujuan penumpang. Untuk itu, Koridor BRT juga harus dikelilingi oleh jalur pejalan kaki yang berkualitas baik.

BRT di Buenos Aires (sumber foto: itdp.org)

Contohnya seperti yang dilakukan Transjakarta, selain menyediakan koridor utama di 13 koridor, Transjakarta juga membuka rute non-BRT sebagai penghubung (feeder) ke daerah pinggiran. Integrasi dengan kereta komuter, MRT, atau angkutan kecil juga sudah dilakukan.

The BRT corridor should integrate into the rest of the public transport network, saving time and providing a seamless, high-quality experience -- ITDP

Oleh karena itu, layanan BRT merupakan layanan angkutan massal berstandar tinggi. Posisinya pun sejajar dengan kereta metro/MRT/LRT dan tidak heran banyak negara berkembang yang membangun jaringan transportasi BRT karena jumlah penumpangnya bisa menyaingi transportasi berbasis rel yang jauh lebih mahal.

Mari Kita Lihat Kembali BRT di Daerah Kita

Sesuai standar yang telah tercantum di atas. Kondisi koridor BRT di Jakarta saja bahkan ada yang belum memenuhi kriteria. Seperti jalur yang belum steril karena diserobot atau jalur yang bercampur seperti di koridor 9 dan 11.

Jalur Transjakarta yang disesaki kendaraan pribadi | sumber foto: twitter.com/adb_hq

Faktor diskresi oleh petugas kepolisian yang membolehkan kendaraan pribadi masuk ke jalur Transjakarta pada saat terjadi kemacetan panjang justru menggugurkan fungsi Transjakarta sebagai BRT. 

Baca juga: Transjakarta Sudah Punya 122 Rute, Kenapa Jakarta Masih Macet?

Sebab tujuan orang-orang naik BRT adalah karena cepat (Rapid) dan terukur. Kita bisa memprediksi akan sampai jam berapa di tujuan karena sudah terjadwal layaknya kereta. Jika Bus terjebak macet, maka siapa yang menjamin ketepatan waktu? 

Di daerah lain seperti Yogyakarta, Solo, Semarang, Palembang, Tangerang, dan Bogor jalur khusus sebagai standar BRT pun tidak ada. Jarak antar bus tidak terukur dan halte terletak di pinggir jalan atau justru dibangun di atas trotoar yang menghalangi pejalan kaki.

Halte Transjogja yang menghilangkan jalur pejalan kaki (sumber foto: liburanmulu.com)

Maka bisa disebutkan bahwa Transjogja, Transpakuan, Transmusi, Batik Solo Trans bukanlah angkutan massal dengan kategori Bus Rapid Transit. Layanan Transjakarta pun tidak semua bisa dikategorikan sebagai BRT seperti rute antar kota ke Jabodetabek dan rute feeder.

Layanan Transjakarta non BRT di halte Komdak Semanggi (Dokumentasi pribadi)

Layanan bus tersebut tidak ada bedanya seperti bus kota pada umumnya yang berjalan campur dengan kendaraan lain, sama-sama terjebak macet, tidak ada interval kedatangan yang teratur dan kepastian menunggu, dan tidak terintegrasi.

Baca: Kala Bus Trans Jogja Semakin Jarang Didapat

Hingga saat ini, hanya Jakarta yang memiliki sistem BRT yang diakui oleh internasional berdasarkan penilaian ITDP. Pada tahun 2015, Layanan Transjakarta mendapatkan predikat perunggu atau bronze dalam rentang nilai 55-70 di enam koridor.

Predikat emas diterima oleh sistem BRT di Guangzhou, Tiongkok; Lima, Peru; Guadalajara, Meksiko; Bogota dan Medellin, Kolumbia dan Guatemala City di Guatemala. Sedangkan untuk perak adalah sistem BRT di Istanbul, Turki; Seichang, Tiongkok; dan Orlando,AS. -- Detik.com




Baca juga:
Trik Beradaptasi di Kantor Baru untuk Introvert
Investigasi Pribadi: Kelanjutan "Kerja Paksa" Program Kuliah Magang di Taiwan
Tiket Pesawat Mahal? Penuhi Kebutuhan dengan Kreatif!

[Topik Pilihan] BRT dan Wajah Transportasi Kota di Masa Depan

$
0
0

Foto: KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA

Pada tahun 2004, jalur bus Transjakarta mulai beroprasi dari Blok M menuju Kota. Ini merupakan angkutan umum massal berbasis jalan atau bus (Bus Rapid Transit/BRT) yang menjadi cikal-bakal bertumbuhnya BRT di kota-kota besar di Indonesia selama 15 tahun terakhir.

Seperti yang telah diamanatkan dalam UU No. 22/2009 tentang LLAJ pasal 139, bahwa pemerintah (pemerintah pusat dan Daerah) wajib menjamin tersedianya angkutan umum untuk jasa angkutan orang dan /atau barang. Baik itu antarkota, antarProvinsi, wilayah Kabupaten/Kota.

Setidaknya pada 2015 sudah ada lebih dari 10 kota di Indonesia yang mengembangkan transportasi umum Bus Rapid Transit (BRT). Meski dalam perkembangannya belum menunjukkan hasil yang signifikan mengatasi masalah transportasi kota.

Nampaknya gagasan untuk terus menumbuhkembangkan transportasi umum Bus Rapid Transit (BRT) di masa mendatang. Selain dapat mengubah pola warga kota dalam bertransportasi dan menunggu peran serta keterlibatan pemerintah daerah untuk memberi subsidi hingga membuat transportasi massal ini aman, nyaman, dan ramah bagi semua penumpang.

Rasa-rasanya mengembangkan transportasi umum Bus Rapid Transit (BRT) kini bisa diadopsi di banyak kota-kota di Indonesia serta menjadi pembangunan utama infrastruktur angkutan publik kota.

Melihat betapa penting dan bermanfaatnya transportasi umum Bus Rapid Transit (BRT) ini, kami ingin mengajak Kompasianer untuk menilai dan memberi saran baik itu berupa opini yang bertujuan untuk memperbaiki dan meningkatkan pelayanan. Sampaikan pendapat atau reportase terkait topik ini dengan menambahkan label EvolusiBRT (tanpa spasi) pada setiap artikel.





Baca juga:
Mau Sekolah atau Kampus Kalian Didatangi Kompasiana? Begini Caranya!
Trik Beradaptasi di Kantor Baru untuk Introvert
Investigasi Pribadi: Kelanjutan "Kerja Paksa" Program Kuliah Magang di Taiwan

Cara Hitung Rating Powerbank

$
0
0

(dok. pribadi)

Di dunia media sosial dan obrolan sedang beredar foto pengisi daya mandiri (powerbank) dengan logo "Flight Friendly." Disebutkan bahwa jika di powerbank tercantum logo tersebut, maka powerbank itu dapat masuk ke dalam kabin pesawat. Bagaimana nasib powerbank Anda jika tidak ada logonya, terutama powerbank keluaran jaman semonow?

Menurut ketentuan Peraturan Menteri Perhubungan no. PM 80 tahun 2017 tentang Program Keamanan Penerbangan Sipil Nasional (PKPN), semua powerbank dengan rating di bawah 100 Wh dapat dibawa dalam kabin. Tidak ada kewajiban mencantumkan logo tersebut.

Masalahnya tidak semua powerbank sudah mencantumkan rating powerbank ini, terutama powerbank jadul (jaman dulu).
Namun sebenarnya konsumen bisa menghitung sendiri rating powerbanknya asal tahu rumusnya.

Langkah pertama adalah melihat kapasitas powerbank.
Kapasitas powerbank (daya tampung) ini biasanya dinyatakan dalam satuan miliampere-hour (mAh), yakni keluaran arus yang bisa diberikan dalam satu jam. Durasinya tergantung besar arus yang diberikan. Powerbank 10.000 mAh bisa memberikan arus 10.000 mAh selama satu jam, atau 5.000 mAh selama dua jam.

Untuk mendapatkan satuan Wh ini, kalikan angka kapasitas dengan voltase baterai powerbank.

Misalnya, powerbank pada gambar sebelah bawah berkapasitas 16.000 mAh dan memiliki voltase baterai 3,6 Volt (V), maka rating energinya= 16.000 x 3,6 = 57.600 mWh (miliwatt-hour). Karena satuannya masih mili, maka angka itu perlu dibagi 1000 lagi supaya satuannya Watt-hour. Angka yang didapat adalah 57,6 Wh. Ini adalah rating Powerbank. Artinya powerbank pada gambar bawah masih berada di bawah angka rating maksimal 100 Wh.

Pada powerbank terbaru biasanya sudah mencantumkan satuan Wh di kardus atau di badan powerbank. Apabila belum, maka pengguna bisa menghitung sendiri dengan cara di atas.

Untuk itu jangan terkecoh bahwa hanya powerbank dengan logo "Flight Friendly" yang boleh masuk kabin. Itu hanya untuk memudahkan penumpang dan petugas bandara. Bisa jadi itu juga sebagai bagian dari trik pemasaran. 

Kalau petugas di bandara menahan powerbank Anda dengan alasan tidak ada logo "flight friendly", maka ajak dia untuk berhitung menggunakan rumus di atas.

Jangan buru-buru beli powerbank baru hanya untuk mengejar logo tersebut.

Salam konsumen cerdas.




Baca juga:
Ritual PDKT ala Muda-mudi Suku Talang Mamak Provinsi Riau
Mau Sekolah atau Kampus Kalian Didatangi Kompasiana? Begini Caranya!
Trik Beradaptasi di Kantor Baru untuk Introvert

Melihat Proses Pembuatan Tahu Takwa Khas Kediri

$
0
0

Tahu takwa khas Kediri, Jawa Timur (foto: Luana Yunaneva)

Mendengar kuliner yang bernama "tahu", tentu sudah bukan hal baru. Makanan yang menggunakan kedelai sebagai bahan baku utamanya ini seakan memang menjadi menu wajib di meja makan keluarga-keluarga Indonesia.

Tapi kali ini, saya akan mengajak Anda untuk mengenal jenis tahu yang istimewa, yaitu tahu takwa khas Kediri, Jawa Timur. Makanan ini juga kerap disebut dengan tahu kuning, sesuai dengan warnanya yang berbeda dengan tahu kebanyakan.

Warna kuning yang dimiliki tahu takwa berasal dari kunyit. Terkadang ada juga produsen yang menambahkan pewarna makanan alami untuk memperkuat warna kuning yang dihasilkan.

Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya saya berkesempatan juga untuk melihat proses pembuatan tahu takwa. Salah satu sentranya berada di Desa Tinalan, Kecamatan Kota, Kota Kediri. Mariono, salah seorang pemilik usaha tahu takwa pun sangat terbuka untuk menceritakan pengalamannya di bidang kuliner ini.

Untuk membuat tahu takwa, kedelai-kedelai harus dicuci sampai bersih dan direndam selama tiga jam. Setelah cukup lunak, kedelai pun direbus hingga matang.

Proses perebusannya pun masih menggunakan cara tradisional, yaitu menggunakan kayu bakar. Hal ini dilakukan Mariono untuk menghasilkan aroma tahu yang sedap dan tingkat kematangan yang pas. Tahapan selanjutnya, hasil rebusan kedelai ini diberi zat asam untuk memisahkan antara sari kedelai dan kadar airnya.Kondisi kedelai yang sudah dicuci hingga bersih (foto: Luana Yunaneva)Proses perebusan kedelai masih dilakukan dengan cara tradisional, yakni menggunakan kayu bakar (foto: Luana Yunaneva)

Sari kedelai yang tekstur lembut pun dimasukkan ke dalam cetakan yang sudah diberi kain, kemudian dilakukan proses pengepresan. Setelah pencetakan berhasil, tahu dipotong dan direbus lagi menggunakan pewarna alami, garam dan bunga pekak kering.

Nah, bunga pekak kering inilah, kata Mariono, yang menjadi kunci kelezatan dari tahu takwa di mana bunga pekak menghasilkan aroma yang wangi. Lalu, setelah berwarna kuning dan mengapung, tahu pun sudah matang dan bisa diangkat dan didinginkan di suhu ruang sebelum dikemas.Dari proses peliputan ini, saya baru mengetahui bahwa aroma harum pada tahu kuning berasal dari bunga pekak kering ini (foto: Luana Yunaneva)Detail bunga pekak kering (foto: Luana Yunaneva)Proses pendinginan maksimal yang menggunakan suhu ruang membuat tahu takwa produksi bertahan lama, meski tanpa menggunakan bahan pengawet. Tiga hari jika dalam suhu normal dan enam hari jika dimasukkan ke dalam kulkas.

Pria berkulit sawo matang ini sempat menceritakan kepada saya bahwa awalnya dia adalah seorang pekerja serabutan. Usahanya bergelut dalam bidang tahu takwa ini diawali dengan menawarkan tahu produksi tetangganya pada tahun 1987, yang bersamaan dengan masalah ekonomi yang dihadapi keluarganya.Salah seorang karyawan memasukkan tahu yang sudah dipotong ke dalam air rebusan yang kedua, yakni campuran pewarna makanan alami, garam dan bunga pekak kering (foto: Luana Yunaneva)

Pundi-pundi dari hasil menjajakan tahu miliki tetangganya itu terus dikumpulkannya dengan sabar. Hingga akhirnya, bermodalkan dana tersebut ditambah dengan menjual perhiasan sang istri, Mariono pun mencoba terjun langsung memproduksi tahu. Ia merasa sangat bersyukur, berkat kegigihannya, kini ia mampu memproduksi sekitar 8.000 buah tahu dengan 30 kali proses memasak setiap harinya.

Mariono, salah seorang pengusaha tahu takwa khas Kota Kediri (dokumen Kompas TV dan Kompas TV Kediri)Di balik layar proses peliputan produksi tahu takwa khas Kediri (foto: Luana Yunaneva)Kalau Anda berkunjung ke Kota maupun Kabupaten Kediri, jangan lupa sempatkan untuk membeli tahu takwa sebagai oleh-oleh. Selain mudah ditemukan, harganya sangat terjangkau, mulai Rp1.500,00 hingga Rp3.500,00 perbuah. Biasanya para pedagang menjualnya dalam kemasan bamboo atau biasa disebut besek, dengan isi 10 biji.

Di balik harganya yang sangat terjangkau, terkandung banyak manfaat protein kedelai ketika kita mengonsumsi tahu takwa, antara lain menurunkan kadar kolesterol dan risiko penyakit jantung, serta mencegah penyakit kanker.

Jadi kapan Anda mau berkunjung ke Kediri untuk mencicipi tahu takwa?

Kediri, 31 Januari 2018

Luana Yunaneva
Tulisani ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana
Liputan ini sebelumnya pernah ditayangkan untuk Kompas TV dan Kompas TV Biro Kediri




Baca juga:
Cerpen | Langit dan Laut Pacar Siapa?
Ritual PDKT ala Muda-mudi Suku Talang Mamak Provinsi Riau
Mau Sekolah atau Kampus Kalian Didatangi Kompasiana? Begini Caranya!

"The Upside", Kisah Tulus Persahabatan yang Mampu Meruntuhkan Keterbatasan

$
0
0

Variety.com8 tahun lalu, penikmat film di seluruh dunia dibuat kagum akan kisah persahabatan dua orang beda kelas sosial dalam film The Intouchables(2011). Film asal Prancis tersebut mengisahkan seorang penyandang disabilitas super kaya bernama Phillipe(Francois Cluzet) yang menemukan makna dan semangat hidup kembali setelah bertemu dengan pengasuhnya Driss(Omar Sy). 

Film yang tak hanya sukses secara komersil namun juga sukses dalam penilaian kritikus tersebut pada akhirnya dibuat ulang ke dalam berbagai versi film. Film Bollywood berjudul Oopiri(2016) dan film Argentina berjudul Inseparables(2016) merupakan film-film yang diadaptasi dari The Intouchables dan mencatatkan sukses serupa di masing-masing negara.

Kini, versi berbahasa Inggrisnya muncul dengan dua karakter utamanya dipercayakan pada Bryan Cranston dan Kevin Hart. Mengambil elemen yang sama dengan film asalnya, The Upside kemudian menjadi judul film adaptasi terbaru dari The Intouchables.

Sinopsis

Hollywoodreporter.comPhillip Lacasse(Bryan Cranston) seorang milyuner disabilitas penderita quadriplegia, membutuhkan seorang pengasuh baru atau disebut Life Auxiliary. Bersama asistennya Yvonne(Nicole Kidman), mereka kemudian mencari kandidat terbaik dengan mengundang langsung para pelamar ke penthouse mereka. Mereka butuh orang yang bisa mengurus seorang disabilitas secara baik dan profesional.

Di sisi lain, Dell Scott(Kevin Hart) yang seorang pengangguran dengan catatan kriminal di belakangnya, juga datang ke penthouse milik Phillip dengan tujuan mendapatkan tanda tangan demi kelancaran pencairan dana bantuan dari negara. Namun bukannya tanda tangan yang didapat, Dell justru ditawarkan pekerjaan mengurus Phillip dengan gaji dan fasilitas mewah yang luar biasa.

Dell pun langsung menerima pinangan Phillip tanpa tahu akan seberat apa perkerjaannya. Baginya, mengurus seorang penyandang disabilitas tak ubahnya mengurus dirinya sendiri.

Dengan segala keluguan dan tingkah konyolnya, Dell pun kemudian mengisi hari-harinya dengan mengurus Phillip. Dari yang awalnya kesulitan, menjadi lebih terbiasa dari hari ke hari.

Phillip pun merasa mendapatkan semangat hidup kembali setelah bertemu dengan Dell. Apa yang mereka lakukan kemudian menjadi pelajaran berharga bagi masing-masing. Sebuah ketulusan persahabatan yang tak hanya menguatkan, namun juga menguji kesetiaan mereka di beberapa konflik yang harus mereka lewati. Sebuah persahabatan yang kelak meruntuhkan segala keterbatasan.

Tafsir Baru yang SegarHollywoodreporter.comTerlepas dari peran apik dan memorable Francois Cluzet dan Omar Sy di film aslinya, pada dasarnya Bryan Cranston dan Kevin Hart juga mampu memberikan penampilan maksimal terkait perannya kali ini. Bryan dan Kevin berhasil menampilkan tafsir baru pasangan sahabat tersebut dengan lebih segar, lucu dan menyenangkan.

Perkembangan karakter masing-masing pun memiliki porsi yang cukup untuk dapat membangun pondasi kisah yang kokoh. Bryan Cranston juga cukup sukses memerankan sosok penyandang disabilitas sembari menjadi semacam guru moral yang membentuk kepribadian Dell Scott menjadi lebih baik lagi. Kedewasaan dan kharisma tokoh Philip benar-benar mampu dihidupkan Bryan Cranston.

Jika pada film The Intouchables kita disuguhi kisah drama komedi yang tone nya lebih kearah kelam, maka The Upside menawarkan tone yang lebih segar dan cerah. Faktor Kevin Hart jelas membuat film ini sangat kental komedinya. Baik komedi satir, sarkas, bahkan slapstick mampu ditampilkan dalam porsi yang sesuai dengan punchline yang maksimal. Maka tak heran, banyak adegan yang mengundang gelak tawa dahsyat dari para penonton.

Namun begitu berbagai elemen penting dari film asalnya tetap dibawa dalam film ini meskipun beberapa adegan mengalami modifikasi. Pun adegan-adegan memorable pada film asalnya tetap dipertahankan seperti adegan pembuka kebut-kebutan menggunakan mobil sport serta adegan ketika Dell lupa mengikat sabuk kala mendudukkan Phillip di kursi rodanya.Wmagazine.comHadirnya Nicole Kidman di tengah-tengah hubungan Phillip dan Dell juga menjadi semacam antidote atas segala tingkah laku unik keduanya. Nicole Kidman menjadi penyeimbang berkat perannya yang manis serta cenderung serius dan misterius.

Pesan Positif Tentang Persahabatan

Yang membuat The Intouchables pada masa itu begitu terkenal tak lain karena pesan positifnya yang ditampilkan di sepanjang film. Begitupun The Upside, masih membawa pesan yang sama.

Setidaknya ada 3 poin utama yang kemudian dijadikan satu dalam bentuk hubungan persahabatan antara Phillip dan Dell. Persahabatan antar ras, persahabatan beda kelas sosial dan persahabatan tanpa memandang kondisi fisik. Collider.comKetiga poin tersebut kemudian disajikan dalam dialog-dialog dan gestur tubuh yang menampilkan hubungan tanpa batasan. Tentu hal ini menjadi pesan positif nan efektif di tengah-tengah isu perselisihan di seluruh dunia yang kerap terjadi karena adanya batasan yang cukup tebal terhadap ras tertentu, kelas sosial tertentu bahkan keadaan fisik tertentu.

The Upside seakan mengirimkan pesan bahwa segala keterbatasan akan mampu diruntuhkan oleh tulusnya persahabatan.

Musik Latar yang Tetap MenggugahRob Simonsen (aestheticmagazinetoronto.com)Pujian patut disematkan pada Rob Simonsen yang bertanggung jawab di departemen musik pada film ini. Tak hanya scoringnya yang cukup menggugah di beberapa adegan yang cukup emosional, namun juga terkait pemilihan lagu-lagu soundtrack yang juga ditampilkan di sepanjang film.

Jika pada film The Intouchables kita disuguhi musik latar berupa deretan lagu-lagu opera klasik serta lagu-lagu milik band Earth, Wind and Fire, maka pada The Upside musik latarnya menggunakan pendekatan yang sedikit berbeda. Musik opera klasik tetap ada, hanya saja musik mainstream nya kali ini datang dari lagu-lagu milik musisi yang lebih beragam seperti Bruno Mars, Walk the Moon, Aretha Franklin bahkan Nat "King" Cole.

Hal tersebut membuat The Upside juga menjadi salah satu film dengan latar musik yang mengasyikkan untuk didengar.

Poin Negatif

Kekurangan pada film ini muncul dari sisi adegan emosional yang kurang digarap dengan baik. Mungkin karena kita terlanjur disuguhi banyaknya adegan komedi pengocok perut sedari awal film, maka ketika ada adegan serius berlangsung khususnya jelang akhir film, cut off nya jadi terasa tidak maksimal.Vox.comUntung saja, adegan penutup ditampilkan dengan baik sehingga meninggalkan kesan mendalam setelah menyaksikannya. Apalagi ditutup dengan lagu Nessun Dorma yang seakan menjadi semacam clue sejak lagu ini diputar di awal film.

Dari sisi kualitas produksi film ini juga terkesan biasa saja. Baik sinematografi ataupun tone warna yang digunakan, nampak seperti film drama komedi pada umumnya. Tidak buruk, hanya saja tidak ada sesuatu yang spesial.

PenutupSpotern.comDengan berbagai kelebihan dan kekurangannya, The Upside jelas menghadirkan sebuah tontonan drama yang masih layak untuk disaksikan. Unsur komedi yang kental, drama yang menggugah, serta pesan kemanusiaan itu sendiri menjadi poin penting mengapa The Upside layak masuk kedalam daftar tontonan bulan ini, setelah Green Book tentunya.

Meskipun beberapa faktor pendukung cerita berdasarkan kisah nyatanya banyak diubah, namun secara keseluruhan film ini tidak kehilangan makna dan pesan positif yang ingin disampaikan ke penonton. Apalagi didukung oleh musik-musik latar yang mengasyikkan. Maka menyaksikan film ini tentunya semakin menyenangkan dan tak membosankan.

Selamat menonton. Salam Kompasiana.

Skor dari saya pribadi: 7/10





Baca juga:
Kreativitas Manusia dalam Bayang Kapital, Industri, dan Teknologi
Cerpen | Langit dan Laut Pacar Siapa?
Ritual PDKT ala Muda-mudi Suku Talang Mamak Provinsi Riau

Yang Tersisa dari 40 Tahun Revolusi Iran

$
0
0

40 tahun lalu Khomeini menginjakkan kakinya kembali di Iran setelah 14 tahun dalam pengasingan. Photo: Gabriel Duval/AFP

Empat puluh tahun lalu tepatnya tanggal 1 Februari 1979 dunia menyaksikan peristiwa besar yang kelak akan merobah peta perpolitikan dunia yang ditandai dengan kembalinya Ayatollah Ruhollah Khomeini dari pengasingan.

Figur Ayatollah Ruhollah Khomeini memang tidak dapat dipisahkan dari bagian sejarah Iran. Di masa pemerintahan Mohammad Reza Shah Pahlavi, Khomeini dikenal sebagai tokoh yang vokal dan banyak kritikan yang dikeluarkannya terkait dengan pemerintahan Mohammad Reza Shah Pahlavi.

Perbedaan pandangan inilah yang membuat Khomeini berada dalam pengasingan  di Turki, Irak, dan Perancis selama kurun waktu 14 tahun.

Tanggal 1 Februari 40 tahun yang lalu Khomeini menginjakkan kembali kakinya di Iran setelah terbang dengan menggunakan pesawar Air France. Pendaratan peawat ini di Bandara Mehrabad menandai lahirnya revolusi Iran yang berujung pada runtuhnya pemerintahan Mohammad Reza Shah Pahlavi sekaligus mengakhiri 2.500 tahun era kekuasaan kerajaan Persia.

Saat menginjakkan kakinya kembali di Iran Khomeini yang sudah berusia 78 tahun disambut oleh pendukungnya yang diperkirakan mencapai 10 juta orang dan diliput secara luas oleh media.

Kembalinya Khomeini di Iran kelak akan menentukan arah perpolitikan Iran di Dunia internasional dan merobah geopolitik di kawasan Timur Tengah.

Menurut pakar politik, kebangkitan Republik Islam sekembalinya Khomeini berhasil mengguncang dunia karena saat itu hanya ada dua kekuatan besar aliran politik dunia, yaitu kapitalisme dan komunis.  Hanya ada tiga negara yang sangat dominan dalam perpolitikan dunia yaitu Amerika, Rusia dan Inggris.

Lepasnya Iran dari pengaruh kekuatan politik konvensional ini memang sangat menarik karena Iran sebelum era revolusi  memang di bawah pengaruh negara lain selama kurun waktu lebih dari 100 tahun.

Kebangkitan Iran di era Khomeini ternyata membuat Amerika khawatir dan mengambil arah untuk menahan laju revolusi politik Iran dengan cara melakukan apa yang dinamakan "kontra revolusi" dengan memperkuat dukungan terhadap Irak dan Saudi Arabia.

Langkah politik Amerika ini ternyata berakibat munculnya gerakan anti Amerika dan anti barat yang merupakan bagian arus besar dalam  revolusi Iran.

Penyerbuan Kedutaan Amerika yang berujung pada penyanderaan warga Amerika di tahun 1979 membuat dunia heboh. Photo: khamenei.ir

Dalam perkembangan selanjutnya banyak pakar politik berpendapat bahwa Amerika gagal dalam mengantisipasi kekuatan arus revolusi Iran ini. 

Lemahnya intelejen Amerika inilah yang kelak akan menimbulkan pergesekan politik Iran dengan Amerika termasuk di dalamnya peristiwa penyanderaan warga Amerika yang menghebohkan dunia.

Ayatollah Ali Khamenei sebagai penerus Khomeini secara gencar menyerukan gerakan anti Amerika yang sedang "menghukum" Iran dengan sangsinya dengan alasan senjata nuklir yang sedang dikembangkan Iran.

Kebijakan Trump yang anti Iran  dan menggandeng erat Israel dan Saudi Arabia memang membuat ketegangan baru di kawasan Timur Tengah.  Banyak kalangan yang berpendapat tekanan berupa sangsi yang diberlakukan Amerika akan gagal "menundukan" Iran sebagaimana yang terjadi 40 tahun lalu ketika Khomeini menginjakkan kakinya kembali di Iran.

Khomeini meninggal dunia 10 tahun setelah kembali ke Iran tepatnya tahun 1989.  Tidak ada yang dapat membantah bahwa peristiwa kembalinya Khomeini dan pengaruhnya selama 10 tahun sekembalinya dari pengasingan telah melahirkan poros baru perpolitikan dunia, yaitu Republik Islam.

40 tahun peristiwa kembalinya Khomeini dari pengasingan yang menandai rovolusi Iran  memang sudah berlalu.  Kini tampaknya ingatan dan kebesaran peristiwa tersebut mulai redup dengan berjalannya waktu terutama di kalangan generasi baru Iran.

Protes warga Iran beberapa waktu lau terkait dengan masalah ekonomi yang semakin memburuk i. Photo:Business Insider

Generasi baru Iran kini lebih fokus pada realitas politik yang dihadapinya saat ini. Mereka lebih fokus pada perlawanan terhadap hegemoni Amerika dan juga sangsi yang diberlakukan oleh Amerika terhadap negaranya.

Gejolak politik di Tumur Tengah dan dinamisnya perubahan peta politik  di kawasan ini  memang akan menguji Iran kembali.  Apakah Revolusi Iran yang melahirkan Republik Islam ini akan terus bertahan di tengah derasnya arus perubahan perpolitikan dunia? Hanya waktu sajalah yang akan menentukannya.




Baca juga:
Merindukan Juru Bicara Istana Sekelas Julian Aldrin Pasha
Mencoba Kereta Ratangga MRT Jakarta
Bagikan Pendapatmu Seputar Program Keluarga Harapan dan Menangkan Uang Tunai Jutaan Rupiah!

Lelaki Kurus di Perantauan

$
0
0

images-3-5c53ca31ab12ae2457366c38.jpeg

"Anggap saja perlakuan jahat merekalah yang menjadi mantra kita kembali untuk meraih mimpi, walau luka tetap meneteskan darahnya"

Langit tak pernah meminta hal aneh selain senyuman

Begitu dengan Matahari, ia sekali pun tidak mengetuk pintu karena kehausan

Nyaman, walau hujan dan petir bermain di dalam kaca

Unik memang, mengapa (saat) mereka begitu rusuh atas nama makhluk Tuhan

Mengikuti ke mana wajahnya menyapa, lusuh

Seakan inilah yang wajar bagi mereka

Tolong mengerti, ada yang lebih rapuh di dalam sana

Biarkan diam dan perginya yang menjadi jawaban

Meluapkan semua emosi dengan tak lagi bersua, sesaat

Meski lelah, dan legam duka sang sepi diredam

Bukan semata demi uang, melainkan ketenangan; bebas

Namun, jangan lupa

Lelaki kurus itu segera kembali

Dengan sejuta lukisan kota dan air mata desa

Gagah, menggandeng jari-jemari mimpi dengan kaki layu, menang!

Cihaurbeuti, 30 Januari 2019, 19.00 WIB

"Untuk seseorang yang kukenal sangat ceria meski jauh dari orang tua, dan kalian yang tengah berjuang untuk naik kelas sebagai manusia"




Baca juga:
Kala Syarat Monetisasi Akun Youtube Jadi Susah
Merindukan Juru Bicara Istana Sekelas Julian Aldrin Pasha
Mencoba Kereta Ratangga MRT Jakarta
Viewing all 10549 articles
Browse latest View live