Quantcast
Channel: Beyond Blogging - Kompasiana.com
Viewing all 10549 articles
Browse latest View live

Benarkah Ada Klenik di Sepak Bola?

$
0
0

Ilustrasi (Pixabay)

Bagi penggiat hal mistik, praktek ilmu hitam sering disebut dengan istilah 'ngelmu'. Dikutip dari sejumlah literasi, ngelmu memiliki arti ajaran rahasia atau esoteris untuk pegangan hidup seseorang. Dalam Srat Wedatama karya Mangkunegara IV, "Ngelum iku, kalakone kanthi laku". 

Apa artinya? ujung pengetahuan yang bersifat makrifat dan orang yang berusaha mencari ngelmu melalui cara salik atau mistikus.

Publik sepakbola sempat dihebohkan beberapa waktu lalu soal kondisi mantan kiper Timnas Indonesia dan Arema FC, Kurnia Meiga yang diduga mendapat penyakit misterius. Rumor terus berkembang dan membuat publik percaya bahwa Kurnia Meiga mendapat guna-guna. 

Meski kemudian pihak kelurga dan tim medis Arema menyebut Kurnia Meiga menderita penyakit typus, publik sudah terlanjur percaya pada rumor yang berkembang sebelumnya.

Faktanya jika kita bicara budaya masyarakat Indonesia, praktek mistik sudah menjadi identitas yang sulit untuk dipisahkan, termasuk di ranah sepakbola.  

Darmanto Simaepa di blog belakanggawang.blogspot.co.id dengan lugas memaparkan bagaiamana fakta di lapangan bahwa ada klenik di sepabola kita.

Di tulisannya yang berjudul "Dari Gaud Sampai Ayat Suci, Dari Celana Dalam Hingga Tulang Babi", Darmanto menyebut ritus aneh memang biasa di sebuah pertandingan sepabola, utamanya di tingkat tarkam. 

Darmanto misalnya mencontohkan ritus tulang babi yang digunakan oleh salah satu kepala desa di Temanggung demi membuat tim sepabolanya meraih kemenangan.Dukun yang tengah beraksi di sepakbola | gettyimages

Di Lamongan, Jawa Timur, Darmanto juga menceritakan bahwa seorang dukun meminta anak-anak yang bakal bermain di kompetisi tingkat kecamatan untuk memakan telor setengah matang, sayangnya tidak semua pemain mau menuruti permintaan sang dukun, apa akibatnya tim tersebut kalah dan si dukun mencak-mencak.

Atau yang lazim kita dengar membuang air kecil di samping gawang. Padahal jika kita menggunakan nalar, (mungkin saja) bau pesinglah yang sebenarnya membuat kiper lawan terkecoh dan tak konsentrasi menjaga gawang.

Ulasan mengenai klenik di pertandingan sepakbola Indonesia juga sempat dipublihs 12pas.net pada 2017 lalu. Disebutkan dalam laporan tersebut, saat Persegres GU bertanding di Stadion Brawijaya, Kediri, konon tim lawan akan kesulitan untuk membobol gawang di arah selatan stadion. 

Dari cerita yang beredar, terdapat sosok penunggu di selatan Stadion Brawijaya. Sosok tersebut diyakini sangat menyukai warna kuning. Tim dengan kostum warna kuning di stadion Kediri diyakini akan menjadi pemenang.

Ditinjau dari aspek budaya, apa yang terjadi di tingkatan grassroots sepakbola nasional memang sudah menjadi rahasia umum bagi banyak orang. Cerita dari mulut ke mulut soal klenik di tarkam menjadi viral dan kemudian menjadi fakta dan kebenaran hakiki. 

Ritus klenik dari yang paling sulit seperti dikisahkan Darmanto Simaepa dengan kepala babi atau ritus sederhana memasukkan daun kelor ke dalam kaos kaki pemain jadi hal lumrah dilakukan satu tim.

Sebagai permainan yang dilakukan manusia tak aneh sebenarnya jika praktek klenik sampai merasuki, pasalnya menurut Bill Pitzer, dunia tidak akan seru tanpa sepakbola. 

Artinya apa, keseruan sepabola itu dilakukan oleh manusia dan manusia pada hakekatnya akan terus mencitrakan menjadi homo ludens, yakni wujudnya. Wujud seperti apa, wujud masyarakat nusantara yang penuh dengan budaya, termasuk budaya klenik.

Lantas pertanyaannya kemudian, apakah budaya seperti itu merupakan budaya masyarakat 'terbelakang'? Klenik pada sepakbola sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia, di Rwanda misalnya. Pada 2016 lalu terungkap kabar soal penggunaan santet di liga lokal di sana. 

FERWAFA, federasi sepakbola Rwanda bahkan sampai harus menerapkan aturan baru yakni pelarangan untuk semua klub yang main di kasta tertinggi menggunakan santet.

Laporan dari dailymail.com juga menyebutkan sebenarnya sebelum aturan ini berlaku penggunaan santet di liga Rwanda menjadi hal biasa. Beberapa klub menggunakan jasa dukun untuk menyantet pemain lawan yang dianggap bakal membahayakan mereka.

Tidak hanya di Rwanda, saya mencatat ada berbau kejadian berbau klenik yang sempat jadi sorotan publik sepakbola dunia di level internasional, Piala Dunia.

Pada penyelenggaraan Piala Dunia 1990 sempat tersiar kabar yang cukup menghebohkan soal adanya cairan obat penenang yang digunakan untuk mengalahkan negara peserta. Dikutip dari theguardian.com full back Brasil, Branco ialah orang pertama kali mengungkap kisah itu.

Menurut Branco saat laga Argentina vs Brasil di babak 16 besar, ia menenggak air minum dari bangku cadangan Argentina. Setelah menenggak air minum ia merasa mengantuk dan kelelahan. 

Gol tunggal Argentina yang dicetak oleh Claudio Caniggia di babak kedua diklaim oleh Branco akibat efek minuman tersebut. Kasus ini sempat menyita perhatian publik saat itu hingga pada kesimpulan bahwa air misterius tersebut sudah diberi mantra-mantra.

Mundur ke belakang di Piala Dunia 1970. Skuat Timnas Inggris saat itu merasa ada unsur klenik yang membuat kiper mereka, Gordon Bank mendadak panas dingin usai menenggak bir yang ia dapat dari pelayan hotel tempat skuat Inggris menginap. 

Akibat kondisinya, Gordon Banks tak bisa turun di babak perempatfinal melawan Jerman Barat, ia digantikan oleh Peter Bonetti.

Meski akhirnya dari dua kejadian Piala Dunia tersebut tidak pernah dibuktikkan bahwa ada unsur klenik yang mempengaruhi, publik sudah terlanjur percaya bahwa ada kekuatan tak kasat mata yang mempengaruhi.

Dari kasus yang terjadi di Rwanda dan dua Piala Dunia tersebut kita bisa menjawab sebenarnya, apakah penggunaan klenik, santet, atau ilmu hitam di sepakbola ialah cermin masyarakat yang 'terbelakang' atau tidak.




Baca juga:
Beragam Kompetisi yang Bisa Kamu Ikuti Selama Kompasianival 2018
[Serial Orba] Di Mata "daripada" Soeharto, Gus Dur dan Mega Harus Dilumpuhkan
[Webseries] Keluarga Somat Fan Ep.2 "Sopir Baru"

Puisi | Merayu Sang Pemimpi

$
0
0

Sumber: PixabayDalam kerumunan yang kehilangan percakapan, kita larut menjadi malam di secangkir kopi sasetan.

Menyaksikan langit terpejam, sebagai peringatan tentang orang-orang yang lebih dulu pergi untuk menemui dan menjadi filosofi. 

Menangisi bintang-bintang yang bunuh diri, karena aku lebih suka merayakan patah hati daripada hidup kembali.

Perasaan, menjadi perihal yang tidak ingin aku bawa ketika kita memunguti bahasa. Kamu dengan sabar, dan aku yang hambar. Puisi terlalu manis dan menyakiti. Aku ingin mencari kamu yang bebas dari hujan, bunga, senja, dan alang-alang.

Tapi, kamu curang.

Diam-diam memasuki mimpi-mimpiku yang masih kanak-kanak, dan menggandengnya keluar. Menyodorkan secawan realita yang kausebut cinta, dan kuhina sebagai dusta.

Hati yang kutanggalkan dan kutinggalkan di bawah pohon ketapang telah dicuri oleh sekawanan musang.

Sekarang, bagaimana?

Aku tidak punya perasaan,

apa kamu bawa hati cadangan?

***

N. Setia Pertiwi

Cimahi, 06 Desember 2018




Baca juga:
Jangan Buat Elang Jawa Terbang Semusim Saja di Liga 1 2019
Beragam Kompetisi yang Bisa Kamu Ikuti Selama Kompasianival 2018
[Serial Orba] Di Mata "daripada" Soeharto, Gus Dur dan Mega Harus Dilumpuhkan

Jika Pendidikan Hanya Menghasilkan Selembar Ijazah

$
0
0

Ilustrasi (Pixabay)

Saya kutipkan pendapat Cak Nun dalam bukunya "Markesot Bertutur":

"Ada yang bilang negeri ini 'negeri selembar kertas'. Masyarakat kita 'masyarakat selembar ijazah'. Silakan ngomel sistem pendidikan kita tidak bermutu, kesempatan berpendidikan tidak paralel dengan kesempatan memperoleh kerja, atau canangkan proyek deschooling soicety (masyarakat tanpa sekolah), tapi pokoknya kalau ndak punya ijazah, ya nasibnya dijamin ndlaham dibanding dengan yang punya ijazah". 

Kritik Cak Nun mengenai pendidikan di Indonesia ini ditulis pada tahun 1993. Sekarang masuk jaman generasi Phi, kondisi pendidikan kita masih sama sangat memprihatinkan. Pendidikan kita sampai hari ini, jika mengutip kata Cak Nun 'Pendidikan yang menghasilkan selembar ijazah'.

Saya sendiri masih tidak mengerti, apa ilmu pengetahuan yang saya dapatkan dari ijazah S1 sampai S2. Terkadang saya merasa menyesal terlalu lama mengejar pendidikan. Perasaan, saya hanya mendapatkan selembar ijazah.

Jika dikalkulasikan dengan uang, ijazah saya masih kalah dengan tukang bakso. Honor mengajar setiap bulan setipis ATM. Saya  merasa jengkel setiap melihat selembar ijazah master saya. Penjual bakso di samping kampus saya, hanya lulusan SMP. Penghasilan dia berjuala perhari bisa dua kali lipat gaji saya setiap bulan.

Pernah suatu saat saya pulang kampung. Karena telah menggondol gelar Master, saya merasa jumawa. Pendidikan merupakan sebuah harga diri. Suatu siang mampirlah seorang penjul es potong keliling ke rumah. Ternyata dia perantau dari Wonogiri berjualan es keliling di kampung saya.

Bapak mengajak dia mampir ke rumah untuk ikut makan siang. Kami sudah seperti saudara, sangat akrab.

"Wis koyo sedulur. Wong Wonogiri kui wes gae omah neng kono"

Bapak menjelaskan dengan logat Jawa Yogyakarta yang halus. Jika diterjemahkan, maksud bapak malahan menyindir saya. Tidak hanya menyindir tetapi pertanyaan yang membuat saya tidak bisa menjawab.

Bapak mengatakan bahwa si penjual es keliling tersebut berasal dari Wonogiri. Dia sudah membuat rumah di belakang kampung kata bapak. Mendengar penjelasan bapak, saya kok jadi sumeh.

Di Jakarta, gaji seorang dosen yang tipis, mana mungkin bisa membeli rumah. Jangan bermimpi juga bisa membangun rumah. Jika pun bisa membeli rumah, dosen seperti saya ini harus hutang KPR kurang lebih  15 tahun lamanya.

Bayangkan, setiap bulan selama 15 tahun saya harus dikejar-kejar hutang. Hanya untuk mendapatkakan rumah, saya harus dibebani hutang puluhan tahun. Sangat menyedihkan kondisi seorang dosen di ibukota. Apalagi dosen yang masih status honorer seperti saya, ijazah hanyalah kertas tanpa makna.

Mendengar penjelasan bapak kemudian saya bergumam dalam kecil, "Kalau begitu buat apa aku kuliah tinggi-tinggi, jika kalah sama penjual es keliling yang hanya lulusan SMP"

Jelas, etos kerja si penjual es itu lebih hebat dari saya. Dia berani mengambil resiko untuk menjadi wirausahawan. Tanpa ijazah dia malah berani hidup mandiri sebagai pegawai. Karena tidak ada ijazah, dia malah bebas menentukan jalan hidupnya. Tidak peduli apakah dia termasuk golongan kelas sosial paling rendah.

"Apakah ada lulusan S3 yang mau berjualan es. Ada saat ini pendidikan kita yang membuat mahasiswa mau menjadi petani atau nelayan?"

Pertanyaan itu tidak perlu di jawab. Semua orang di Indonesia paham. Pekerjaan pinggiran misalnya penjual es, penjaul somay, petani, penjual warteg, nelayan, tukang keruk sampah itu pekerjaan kelas pinggiran. 

Pekerjaan itu hanyalah untuk orang-orang yang berpendidikan rendah. Pekerjaan yang masuk dalam kategori kelas sosial rendah dan tidak layak dilirik sedikitpun.

Orang yang berpendidikan tinggi hanya mau duduk di kantor. Menjadi pegawai dan mendapatkan gaji bulanan. Berangkat pagi pulang siang hari atau sore hari. Nanti kalau masa tua mendapatkan gaji pensiun. 

Kalau perlu, menjadi anggota DPR agar uangnya berlimpah.

Tulisan di atas, bukan berarti sekolah atau kampus harus dibubarkan. Hanya sebuah renungan, bahwa sudah sejak lama, pendidikan kita tidak banyak berubah. Malahan terasa semakin menurun kualitasnya. 

Tulisan ini hanyalah sebuah keluhan saya pribadi tentang buruknya pendidikan di Indonesia.

Pendidikan yang hanya dijadikan industri, hasilnya adalah selembar ijazah yang tak bermakna apapun. Kenapa saya sebut pendidikan hanya dijadikan industri, sebab pendidikan kita masih sangat mahal. 

Berapa banyak rakyat Indonesia yang akhirnya tidak bisa sekolah. Untuk masuk perguruan tinggi negeri saja harus membayar uang puluhan juta.

Harapan kemajuan bangsa ini ada pada pendidikan. Kita tentu berharap, ada pembenahan secara radikal terhadap pendidikan di Indonesia. Paling tidak, hal yang paling mendasar, semua anak Indonesi harus sekolah.

Jangan lagi ada anak Indonesia yang tidak sekolah. Kemudian, lulusan sekolah itu ditampung pada universitas yang menjadikan mereka mahasiswa yang mau mencari ilmu pengetahuan. Bukan pada model universitas yang menurut kata Cak Nun menghasilkan 'masyakarat selembar ijazah".

Sebagai penutup tulisan ini, saya kutipkan lagi kegerahan Cak Nun terhadap pendidikan Indonesia:

"Jadi, memang ini soal 'selambar kertas', baik kertas ijazah maupun kertas nuqud atau fulus. Nilai-nilai sudah diperas menjadi lembaran-lembaran, kehidupan sudah dipaket menjadi bubuhan surat-surat resmi. Untuk kelakuan baik, caranya ialah mendaftar ke RT, RK, kelurahan, kecamatan, dan kepolisian. Gampang sekali"

Salam Indonesia




Baca juga:
Jangan Percaya Begitu Saja dengan Barang "Endorse" Artis
Jangan Buat Elang Jawa Terbang Semusim Saja di Liga 1 2019
Beragam Kompetisi yang Bisa Kamu Ikuti Selama Kompasianival 2018

Mungkinkah Trans Papua Menjadi Jalan Damai Menuju "Indonesia-Papua" Merdeka?

$
0
0

Jalan Trans Papua(Biro Komunikasi Publik Kementerian PUPR)

Papua berduka lagi. Peristiwa penembakan puluhan pekerja proyek pembangunan jembatan di Kabupaten Nduga, Papua, yang terjadi pada 1 Desember 2018 dan baru terungkap pada hari Selasa (4/12/2018). 

Peristiwa tragis ini terjadi ditengah upaya Pemerintah Indonesia dibawah kepemimpinan Presiden Jokowi membangun infrastruktur dasar (jalan/jembatan) untuk membuka akses transportasi di pulau Papua.

Spontan berita tersebut menghiasi berbagai platform berita tanah air dan luar negeri. Aparat keamanan menyebut pelaku serangan tersebut dari kelompok pejuang papua merdeka (Organisasi Papua Merdeka) atau biasa disebut OPM. 

Pernyataan tersebut dikeluarkan oleh Juru Bicara Kodam XVII Cenderawasih yang mengatakan pelaku penembakan sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang terkait dengan OPM.

Dari sejumlah korban yang meninggal dunia, terdapat seorang aparat keamanan yaitu prajurit TNI yang ikut mengalami nahas brutalnya eksekusi yang dilakukan oleh kelompok sipil bersenjata. Sedangkan motif penembakan tersebut masih dalam penyelidikan pihak aparat keamanan (Polri) yang dibantu oleh TNI.

Tanggal 1 Desember merupakan hari kemerdekaan Papua menurut OPM. Di hari itu tentunya mereka ingin merayakan dan menunjukkan eksistensinya kepada Indonesia dan dunia. Bahwa mereka masih konsisten dengan kemerdekaan penuh bagi Papua dan terlepas dari NKRI.

Dalam rangka menunjukkaan eksistensi itulah diduga (sementara) oleh beberapa pihak memang ada kaitannya antara penembakan para pekerja proyek di hari tersebut dengan momen "Hari Ulang Tahun" Papua Merdeka. 

Dugaan (sementara) ini berdasarkan publikasi media online yang menuliskan, serangan bermula dari sebuah acara 1 Desember (perayaan HUT), sejumlah pekerja melakukan pemotretan, dan sejumlah personil OPM marah karena merasa dimata-matai dan kemudian melakukan serangan.

Sebagai masyarakat Aceh yang pernah hidup dan mengalami situasi seperti di Papua, 14 tahun yang lalu, meskipun pada posisi sebagai korban, saya bisa sedikit merasakan dari jauh (karena tidak berada dilokasi langsung di Papua) apa kira-kira yang terjadi dan juga dirasakan oleh masyarakat Papua dengan konflik terus terjadi secara berulang-ulang, dan bagaimana pandangan "orang" pusat terhadap peristiwa tersebut.Presiden Jokowi Pantau Jalur Trans Papua Pakai Trail (Foto: Biro Humas Setneg)

Untuk itu mari kita lihat dan belajar dari sejarah konflik Aceh yang hampir 35 tahun lamanya, sebagai acuan atau salah satu cara pandang kita terhadap Papua. 

Karena bagaimanapun, sikap menuntut Papua Merdeka juga pernah dilakukan oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sejak tahun 1976, tepatnya 4 Desember 1976 (proklamir kemerdekaan Aceh).

Sedikit berbeda dengan Papua, sejarah lahirnya GAM yang dipimpin oleh Tgk Hasan Ditiro merupakan lanjutan dari perjuangan Darul Islam (DI) Aceh yang meletus pada tahun 1950-an. DI/TII Aceh yang digerakkan oleh Tgk Daud Bereueh bertujuan ingin mendirikan negara Islam atau berideologi Islam sebagai dasar perjuangannya.

Meskipun pakar sejarah Aceh Universitas Syiah Kuala, Isa Sulaiman kemudian menilai bahwa ternyata GAM dalam perjuangannya tidak mengusung ideologi Islam, artinya tidak bisa dikatakan sebagai kelanjutan perjuangan DI/TII oleh GAM. 

Namun kedua peristiwa ini Isa Sulaiman menyimpulkan ada keterkaitan. Menurutnya keterkaitan tersebut dibuktikan dengan dukungan para tokoh DI/TII terhadap perjuangan GAM.

Alasan kedua, lahirnya kelompok GAM yang awalnya bermula dengan gerakan bawah tanah atau bergerilya secara diam-diam, lalu kemudian membesar dan mendapatkan dukungan luas dari masyarakat Aceh, karena faktor ekonomi. 

Kekayaan Aceh yang berlimpah dari sektor minyak dan gas justru disedot habis-habisan oleh pemerintah pusat (masa orde baru) tanpa peduli pada kesejahteraan rakyat Aceh.

Ketimpangan ekonomi yang sangat kontras antara pulau Jawa dan Aceh mulai dirasakan sebagai bentuk ketidakadilan ekonomi. Aceh yang merasa tidak dipedulikan oleh penguasa masa itu menjadi daerah paling miskin di Indonesia, padahal Jakarta menikmati kekayaan Aceh dengan serakahnya.

Pemerintahan sentralistik orde baru menimbulkan kekecewaan berat di kalangan elit Aceh. Aceh hanya menerima 1 persen dari anggaran pendapatan nasional, padahal kontribusi Aceh bagi GDP pada masa itu mencapai 14 persen. 

Belum lagi jasa Aceh yang menyumbangkan pesawat bagi pemerintah orde lama (Soekarno) untuk mendukung kelancaran roda pemerintahan nasional.

Produksi minyak dan gas yang terus meningkat diladang-ladang minyak seperti di Aceh Utara tidak membuat daerah tersebut menjadi makmur. Bahkan rakyat Aceh Utara dan Kota Lhokseumawe yang tinggal disekitar perusahaan menjadi rakyat miskin dan menjadi penonton betapa kekayaan daerah disedot secara serakah oleh pemerintah pusat.

Perlakuan tidak adil itulah kemudian menjadi pemicu pergerakan yang dilakukan oleh GAM dan seluruh masyarakat Aceh. Hingga peperangan dan konflik bersenjata pun tidak dapat dihindari. 

Pemerintah pusat mengirimkan prajurit-prajurit terbaiknya ke Aceh dengan berbagai macam sandi operasi militer yang dilancarkan. Tujuannya hanya satu yaitu menumpas GAM dan pendukungnya dengan operasi militer.

Sebagai gerakan militer yang dilandasi dengan semangat jihad dan membela kesejahteraan rakyat Aceh, GAM tentu tidak mau mundur selangkahpun, apalagi dengan nostalgia perang Belanda melawan penjajah, GAM justru semakin bersemangat melakukan perlawanan senjata dengan aparat TNI/Polri.

Singkat cerita ratusan ribu rakyat Aceh menjadi korban keganasan peperangan antara GAM dan TNI/Polri. Begitu pula pihak kombatan, tidak sedikit yang tewas. Banyak perempuan menjadi janda, anak-anak kehilangan orang tuanya, kehilangan harta benda, rumah-rumah penduduk dibakar, orang-orang yang tak berdosa diculik dan terbunuh menjadi korban perang. 

Sementara pemerintah pusat pun tidak mau mundur sedikitpun. Penerapan status Daerah Operasi Militer (DOM) selama 32 tahun telah membuat Aceh semakin runyam.

Berbagai sektor kehidupan masyarakat saat itu hancur, pengangguran, kemiskinan, pendidikan, dan sosial hidup tergadaikan oleh kepentingan kekuasaan dan dorongan nafsu ekonomi kapitalis yang tidak mengedepankan keadilan. 

Berbagai proyek vital yang ada di Aceh, seluruh (hampir 90%) pekerjanya dibawa dari pulau Jawa. Sedangkan anak-anak muda Aceh dibiarkan menganggur bahkan diberi stigma sebagai orang bodoh dan tidak bisa dipekerjakan.

Bagi rakyat Aceh waktu itu telah siap menghadapi apapun resikonya. Hingga bersatu patu, memberikan dukungan moril kepada GAM untuk memenangkan perjuangannya bagi keadilan Aceh. 

Meskipun nyawa rakyat Aceh kala itu sama dengan harga nyawa seekor nyamuk, ditepuk langsung mati. (Begitulah Saudaraku).

Maka ketika paska kejadian penembakan 1 Desember 2018 Papua, lalu dalam hitungan menit, Presiden Republik Indonesia sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di negara ini mengeluarkan pernyataan dan titahnya kepada TNI/Polri "kejar dan tangkap seluruh pelaku tindakan biadab dan tidak berperikemanusiaan tersebut, tumpas hingga ke akarnya". Bisakah Anda membayangkan apa yang ada dibenak Presiden?

Barangkali kita kesulitan untuk memastikan apa yang ada dalam pikiran Presiden. Sebab soal isi otak tidak ada siapapun yang tahu. Namun secara bahasa yang terwujud dalam perintah nan tegas tersebut sedikit terlihat dan terbaca bahwa Presiden sangat berani dan tidak ada kompromi tentang hal ini. 

Jika mungkin bila disandingkan dengan kalimat yang lain kira-kira "habisi mereka" sampai tidak tersisa.

Inilah yang kata teman saya dalam tulisannya yang ia sebut sebagai "orang pusat sering melihat daerah dari puncak monas". Apa maksudnya? Pemerintah pusat hanya melihat persoalan daerah dari jauh dan berdasarkan sudut pandang sendiri dengan pola pikir kekuasaan sentralistik ala orde lama dan orde baru. 

Mestinya pusat bertanya pada dirinya sendiri, mengapa Papua minta merdeka? Kenapa tidak dilakukan penyelidikan lebih dulu.

Pemerintah pusat tidak bisa menganggap masalah Papua ini sebagai persoalan sepele dan sederhana. Papua memerlukan sebuah pendekatan yang khas dalam penyelesaiannya. Mengedepankan pendekatan militer dan kekerasan, maka akibatnya akan seperti terjadi di Aceh selama 46 tahun lalu. Jangan dikira bahwa TNI/Polri dapat dengan mudah menyelesaikan OPM di Papua.

Merujuk pada pendapat Koordinator Kontras, Yati Andriani yang menyebut, peristiwa 1 Desember 2018 Papua, menunjukkan bahwa persoalan di Papua tidak hanya sebatas persoalan ekonomi dan pembangunan. 

Mungkin saja peristiwa penembakan tersebut ada kaitannya dengan ideologi dan politik. Jika demikian, maka masalah kekerasan dengan senjata atau gangguan keamanan hanyalah satu cara untuk mewujudkan cita-cita ideologi dan politik mereka.

Coba perhatikan bagaimana lantangnya Mantan komisioner Komisi Nasional untuk Hak Azasi Manusia (Komnas HAM), Natalius Pigai, putra asli Papua mengkritik pemerintah dengan mengatakan bahwa banyak janji Presiden Joko Widodo yang belum terealisasi hingga tahun keempat ini, misalnya di Papua, dari 39 janji presiden hanya dua janji yang terealisasi. 

Janji Jokowi terkait pengurangan kemiskinan dan jaminan hidup belum terealisasi. Bahkan tingkat kematian ibu dan anak khususnya di Papua masih sangat tinggi.

Perlu diingat oleh pemerintah siapapun yang berkuasa bahwa, diantara banyak dorongan GAM melakukan "teguran" keras kepada pemerintah Indonesia adalah karena ada janji Soekarno dimasanya yang tidak direalisasikan bagi rakyat Aceh, bahkan rakyat Aceh mengganggap hal itu sebagai pengkhianatan pemerintah orde lama terhadap Aceh yang sebelumnya dengan sangat tulus Aceh membantu Indonesia mencapai kemerdekaan.

Ditambah lagi dengan kebijakan pembekuan status pelabuhan bebas Sabang oleh Soeharto. Aceh yang saat itu begitu maju dan makmur secara ekonomi melalui kemajuan perdagangan di kawasan bebas Sabang tiba-tiba seperti kota mati karena akibat pencabutan status tersebut. 

Lalu pemerintah mengalihkan pelabuhan besar ke Batam dan Sumatera Utara. Maka semakin terlukalah hati masyarakat Aceh karena kebijakan tidak adil pemerintah orde baru.

Saya rasa Presiden Republik Indonesia bisa memandang soal Papua ini dengan pikiran yang jernih dan terbuka. Bahkan bukan hanya melibatkan logika dan hitung-hitungan angka namun ikutkan pula perasaan bapak untuk merasakan dan berempati dengan nasib masyarakat disana.

Adapun otonomi khusus dan diiringi dengan sejumlah anggaran yang dikucurkan ke tanah Papua tentu sangat bagus. Akan tetapi itu hanya strategi jangka pendek. 

Lalu bagaimana setelah dana otsus berakhir? Terlalu banyak janji yang tidak ditepati akan menjadi 'api dalam sekam' yang dapat membakar kekuasaan pemerintah pusat dan menciptakan embrio pemberontakan rakyat.

Meskipun tidak kaya namun hidup damai

Jujur saja, saya sangat menginginkan setiap pemerintah yang berganti dan berkuasa, belajar tentang perasaan rakyat. Memahami psikologi sosial rakyat Indonesia terutama masyarakat kecil di daerah-daerah. Mereka tidak meminta hal-hal yang muluk-muluk. Sederhana saja, jika sudah berjanji maka tunaikanlah janji itu.

Ambillah hikmah dari konflik Aceh yang berkepanjangan yang seakan-akan waktu itu tidak akan ada masa damai. Hampir tidak ada orang yang terpikir bahwa 'perang' saudara bisa berakhir dengan penuh damai seperti yang dirasakan oleh jutaan rakyat Aceh saat ini.

Dengan penandatanganan MOU damai Aceh oleh pemimpin GAM dan perwakilan Pemerintah RI, di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005 silam, telah merubah secara total kondisi situasi dan kondisi Aceh. 

Dulu untuk berusaha saja sangat susah, beribadah pun sulit dan penuh ketakutan, letusan senjata bisa terjadi kapan saja tanpa bisa diprediksi. Benar-benar suasana begitu mencekam dan tidak aman.

Namun kini setelah 15 tahun berlalu, Aceh telah bersemi kembali, wajah-wajah bahagia terpancar jelas pada setiap raut rakyat Aceh. 

Tidak ada lagi rasa takut dan kuatir saat beribadah, berusaha dan bekerja, menuntut ilmu pun jadi lebih bersemangat, pokoknya benih-benih kebahagiaan bertebaran dimana-mana.

Rakyat Aceh telah melepaskan diri dengan suasana kelam masa lalu. Mereka juga telah memaafkan semua pihak yang dulu berlaku tidak adil pada mereka. Bahkan bagi penguasa yang dhalim sekalipun. 

Dorongan untuk menetap masa depan yang lebih cerah dan semangat mengejar ketertinggalan dengan daerah lain lebih kuat daripada memikirkan masa lalu.

Sekarang ini siapapun sudah dengan bebas dapat berkunjung ke Aceh bahkan mau menikmati kopi sampai tengah malam pun bisa, karena warung bisa buka 24 jam, tanpa perlu takut dan kuatir. 

Situasi damai yang telah dirajut oleh GAM dan pemerintah Indonesia telah memberikan dampak positif bagi kehidupan rakyat Aceh, sehingga rasa aman, damai, dan sejahtera pun kembali menjadi milik setiap warga.

Begitulah harusnya pemerintah saat ini, mari bangun komunikasi dan kesepahaman dengan OPM, dekati dan ajak berdialog. Saya yakin OPM akan lebih mementingkan rakyatnya daripada kehilangan masa depan keturunan seluruh warga (suku) yang ada di Papua. 

Tentu saja pemerintah dan OPM harus berbesar hati menerima segala kekurangan yang ada pada masing-masing pihak. Lihatlah para pemberontak OPM pada posisi yang setara, sampai kesepakatan perdamaian pun tercapai.

Jangan sedikit-sedikit gejolak yang ada di Papua, pemerintah pusat langsung merespon dengan senjata, operasi militer, kirim bala tentara dengan kekuatan penuh. Ubahlah strategi, jika pemerintah pusat benar-benar masih menganggap rakyat Papua sebagai bangsa Indonesia. Belum juga diselidiki, pemerintah langsung keluarkan titah 'kejar, tangkap, tumpas' sampai akar-akarnya.

Sikap pemerintah yang seperti itu agak berlebihan menurut hemat saya, karena yang dilawan adalah rakyatnya sendiri juga. Lagi pula tak akan menang OPM melawan serdadu Indonesia yang jumlahnya jutaan personil dengan senjata canggih dan lengkap. 

Artinya OPM bukanlah lawan ideal TNI/Polri. Siapapun saya rasa sepakat dengan pemikiran diatas, kecuali ia orang yang sombong dan angkuh.

Dan kabar baiknya pemerintah tidak melakukan langkah-langkah represif melalui pengiriman militer dalam jumlah besar ke Papua untuk menumpas OPM penembak para pekerja yang juga dikomplain oleh warga Papua karena mereka didatangkan dari luar Papua, sementara pemuda setempat menganggur dan jadi penonton saja.

Semoga Pak JK yang pernah punya pengalaman menyelesaikan konflik Aceh dapat mengadopsi untuk menyelesaikan Papua, jika pun tidak mampu, minta bantuan SBY mungkin ada gagasan cemerlang darinya. 

Namun yang terpenting adalah pembangunan infrastruktur di Papua haruslah sebagai alat untuk pemberdayaan masyarakat Papua dan melibatkan mereka dalam proses pembangunan.

Letakkan rakyat Papua sebagai subjek pembangunan bagi daerahnya sendiri bukan sebagai objek. Pengalaman rakyat Aceh, jika pemerintah pusat melakukan pembangunan dan tidak melibatkan warga setempat dalam prosesnya, maka ujungnya adalah pekerja yang dibawa dari luar tersebut akan sulit melakukan pekerjaannya. Bukan karena Aceh iri, namun justru lebih karena tidak dihargai.

Udahlah cukup dulu ya. Lain kali kita sambung lagi.... Pernyataan saya, "jika pemerintah pusat tidak mengubah cara pandangnya terhadap Papua, maka Trans Papua tak akan menjadi jalan damai bagi (Indonesia-Papua) merdeka."(*)




Baca juga:
Hamparan Warna-warni Momiji di Kuil Kuhonbutsu Tokyo
Jangan Percaya Begitu Saja dengan Barang "Endorse" Artis
Jangan Buat Elang Jawa Terbang Semusim Saja di Liga 1 2019

[Topik Pilihan] Siap Menyambut Kompasianival 2018?

$
0
0

Kompasianival 2018

Kompasianival 2018 tinggal menunggu hari. Ajang kopi darat blogger dan warganet se-Indonesia kembali digelar pada Sabtu (08/12/2018) di Lippo Mall Kemang, Jakarta.

Kumpul-kumpul antara penulis dengan pembaca Kompasiana, juga tokoh-tokoh inspiratif lainnya akan membuat pertemuan di Kompasianival 2018 ini tidak hanya hangat, tetapi bermanfaat.

Untuk menyambut Kompasianival 2018, kami mengajak Kompasianer untuk membagikan kisahnya tentang keseruan-keseruan seperti apa selama mengikuti Kompasianival. Atau, tentu saja, barangkali ada yang ingin kamu "bocorkan" sedikit keseruan sudah dipersiapkan jauh-jauh hari untuk Kompasianival 2018?

Yuk, ceritakan keseruan atau kemeriahan Kompasianival 2018 dengan menambahkan label AkuDiKompasianival2018 (tanpa spasi) pada setiap artikel. Dan ... sampai bertemu di Kompasianival 2018!




Baca juga:
Cerita "Shadow", Monokrom Kekuasaan-Moral dan Perempuan
Hamparan Warna-warni Momiji di Kuil Kuhonbutsu Tokyo
Jangan Percaya Begitu Saja dengan Barang "Endorse" Artis

[Pro-Kontra] Gaji Kepala Daerah akan Dinaikkan untuk Cegah Korupsi?

$
0
0

Sumber Foto: kompas.com

Pemerintah, melalui Kementerian Keuangan sedang mengkaji penyesuaian nominal remunerasi kepala daerah di Indonesia. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan alasan di balik kajian tersebut, "Masih banyaknya pejabat selevel kepala daerah yang tersandung kasus korupsi dan harus berhubungan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)."

Ia juga mengharapkan ada masukan serta saran yang solutif untuk menentukan kebijakan terkait remunerasi kepala daerah.

Tetapi, tentu ada keraguan dari publik mengenai seberapa efektif kebijakan kenaikan remunerasi dalam menekan angka praktik korupsi para kepala daerah. Selain itu, apakah banyaknya kepala daerah yang berurusan dengan KPK dapat menjadi motif yang tepat bagi pemerintah untuk mengevaluasi nominal remunerasi?

Atas kajian dan rencana yang akan dilakukan oleh Kementerian Keuangan ini, bagaimana tanggapan Kompasianer terhadap penyesuaian remunerasi kepala daerah di Indonesia? Sampaikan opini/pendapat Kompasianer pada laman Pro-Kontra: Demi Tekan Korupsi, Perlukah Gaji Kepala Daerah Dinaikkan?




Baca juga:
Lion Air, Trauma, dan Terserah Takdir
Serbuan Budaya Asing dan Takutnya Orangtua
Menengok Kembali Pesona Posong dalam Perspektif Berkelanjutan

Final Liga 2 2018 Juga Menghasilkan Wasit Gaib

$
0
0

Foto: AntaraLiga 2 2018 yang sudah berakhir, tak hanya menghasilkan PSS SLeman, Semen Padang dan Kalteng Putra sebagai tim promosi ke Liga 1 2019 tapi juga keajaiban. Ya, hanya di Indonesia itu bisa terjadi dan sepertinya dibenarkan, baik dengan pernyataan atau sikap diam PSSI.

Laga final itu terjadi di Stadion Pakansari, Cibinong, 4 Desember 2018 yang dimenangkan oleh Kalteng Putra 2-0 atas Persita Tangerang. Kalteng Putra pun merebut peringkat ketiga,  menemani PSS Sleman dan Semen Padang naik kasta ke Liga 1 musim mendatang.

Namun bukan kerusuhan yang jadi "keajaiban" saat supporter Persita, memasuki lapangan, mengejar para pemain dan wasit yang mengakibatkan pertandingan terhenti .

Wasitlah yang menjadi "keajaiban" sore itu. Dalam Daftar Susunan Pemain (DSP) tertulis wasit yang memimpin laga tersebut adalah Yudi Nurcahya dari Jawa Barat. DSP ini dikeluarkan satu jam sebelum kick-off babak pertama dimulai.

DSP yang ditandatangani oleh kedua pelatih dan manajer tim serta Match Commisioner itu  sudah menjadi nama final dan tak bisa diubah lagi.

Seperti dalam perebutan juara ketiga Liga 2 2017 di Stadion Gelora Bandung Lautan Api, Bandung, 28 November 2017. PT Liga Indonesia Baru (LIB) sebagai operator kompetisi memastikan penunjukan wasit yang akan memimpin ditetapkan pada satu jam sebelum pertandingan. Keputusan itu dibuat untuk mencegah dari hal non teknis

Mekanisme penunjukan wasit, kata Chief Operation Officer PT LIB, Tigor Shalom Boboy, dilakukan melalui beberapa tahap. Ada sekitar 28 wasit yang ditetapkan PSSI untuk bertugas di babak 8 besar hingga final, kemudian mengerucut ke 6 nama dan akhirnya diputuskan.

Dalam final memperebutkan tempat ketiga Liga 2 2018, kejanggalan yang terjadi diunggah oleh seorang netizen dengan akun @randytanaya di akun Twitternya. Ternyata wasit yang memimpin pertandingan awalnya tidak diketahui asal usulnya.

dari @randytanayaNamun, dari tangkapan layar kaca akhirnya diketahui wasit itu adalah Novari Ikhsan Arilaha. Lebih aneh lagi, nama Ikhsan yang asal Jakarta itu bahkan tak masuk sebagai wasit cadangan yang tertulis dalam DSP.

Ikhsan bukan wajah baru bagi klub-klub, yang sayangnya kariernya banyak memiliki catatan kontroversial. Beberapa klub dan pelatih sudah lama mengeluhkan kepemimpinannya.

Semen Padang misalnya pernah meradang dalam laga terakhir babak delapan besar Grup K ISL 2014. Kinerja Ikhsan dalam pertandingan yang berakhir imbang 2-2 itu dianggap di bawah standar. Hasil tersebut membuat 'Kabau Sirah' gagal lolos ke semifinal, sementara 'Singo Edan' ke empat besar dengan status runner up.

Di Liga 1 2018 juga meruak kekecewaan dari pelatih Persela Lamongan, Aji Santoso atas kepemimpinan Ikhsan saat memimpin laga di di Stadion Kapten I Wayan Dipta, Gianyar, 11 September 2018. Laga berakhir 3-2 untuk kemenangan tuan rumah, Bali United. Aji Santoso menilai sang wasit tidak fair, merusak kerja keras timnya.

tangkapan layar Liga 2Ikhsan sendiri pernah dicoret dalam Piala Jenderal Sudirman yang berlangsung Desember 2015. Saat itu, bersama empat wasit lainnya Ikhsan dicoret karena dianggap bermasalah dan merusak citra turnamen.

PSSI sendiri di awal Agustus 2018 lalu pernah menyatakan akan melakukan perombakan Komite Wasit, Komite Disiplin dan Komite Banding.  Komite Wasit sendiri diketuai oleh Condro Kirono dengan Wakil Ketua  Juni Ardianto Rachman dan Anggota Purwanto, Nasrul Koto  dan Yesayas Leihitu. Perombakan itu hingga kini belum terjadi, begitu juga di Komdis dan Komding.

Menguap?

Ajaibnya lagi, hingga kini PSSI lewat organnya yakni Komite Wasit belum memberikan penjelasan, dua minggu setelah usainya final Liga 2 2018. Apakah terjadi miskomunikasi dengan Match Commisioner saat itu? Jika itu alasannya, bukankah ada perangkat komunikasi yang memudahkan melakukan koordinasi?.

PT Liga Indonesia Baru pun belum bersuara atas kejadian, meski gawean kompetisi jadi tanggung jawabnya.

Menjadi pertanyaan besar, apakah pergantian mendadak seperti itu akan dibiarkan begitu saja?. Lalu apa makna taat aturan setelah DSP ditandatangani, apakah begitu saja seenak udelnya dilanggar oleh PSSI yang punya kuasa menugaskan wasit?.

Bukankah PSSI sendiri sering menyatakan tekadnya meningkatkan kualitas perwasitan. Seperti mengadakan berbagai kurus bagi wasit yang diadakan pada 9 hingga 12 November 2018 di Cikarang, Bekasi.

Kasus keterlibatan Hidayat, Exco PSSI yang berbuntut sanksi dari Komdis dan pengunduran dirinya seharusnya memberi pelajaran bagi PSSI untuk tidak bersikap defensif. Menaifkan segala reaksi berseliweran,  akan dilupakan, berlalu dihembus angin sepoi-poi.

PSSI semestinya lebih aktif melakukan perbaikan citranya yang terus merosot, sebagian karena sikap dan pernyataan Ketua Umum-nya yang rangkap jabatan dan sering kontroversial. 

Tak bisa lagi bereaksi atas kejadian yang diributkan netizen dan penggemar sepakbola nasional. Harus ada langkah-langkah strategis, serta cepat di rentang sisa waktu kepengurusannya yang akan berakhir pada 2020 mendatang.

Masyarakat akan mendukung jika PSSI mau bersikap terbuka akan langkah-langkahnya memajukan sepakbola nasional. Wartawan pun akan "baik" tanpa disuruh jika diberikan latar belakang segala langkah itu.

Tinggal bagaimana PSSI sendiri menjadi lebih baik, tidak ikut-ikutan pusing karena banyak yang dipikirkan seperti Ketua Umum-nya. Jika Ketua Umum berani menampar suporter PSMS Medang yang dianggap mengganggu pertandingan, masa PSSI-nya sendiri tak berani menampar organnya sendiri yang mendatangkan wasit gaib?. ***




Baca juga:
Keluar Rumah Tanpa Dompet, Kenapa Enggak?
Lion Air, Trauma, dan Terserah Takdir
Serbuan Budaya Asing dan Takutnya Orangtua

Berbagai Mitos yang Berkaitan dengan Kolesterol

$
0
0

ilustrasi: pixabay.com

Seperti  biasa saya akan mengingatkan bahwa saya bukan dokter maupun ahli gizi,  tapi artikel yang saya buat didasarkan kepada informasi yang berasal  dari penelitian yang dilakukan oleh para ahli. Sebisa mungkin link  kepada sumbernya saya sertakan dibawah artikel ini. Silahkan lakukan  konfirmasi kepada dokter yang anda percaya.

Selama puluhan  tahun kolesterol tinggi menjadi momok karena dikatakan sebagai pertanda  bahwa berbagai penyakit kardiovaskuler akan menyerang. Yang termasuk  dalam penyakit kardiovaskuler antara lain: Penyakit gagal jantung,  hipertensi, stroke.

Kolesterol kena tuduh sebagai biang kerok  penyebab penyakit kardiovaskuler karena adanya pengendapan LDL --yang  sering disebut sebagai kolesterol jahat- yang menyumbat dan mengeraskan  pembuluh darah sehingga aliran darah ke jantung menjadi tersumbat.

Saat  hasil tes lab menyatakan bahwa kadar kolesterol kita tinggi, dokter  akan segera memerintahkan kita untuk segera berdiet, berolah raga bahkan  memberikan obat-obatan untuk menekan produksi kolesterol dalam tubuh.  Diet dan olah raganya tidak buruk tentunya. Dengan atau tanpa kolesterol  tinggi pun sebaiknya memang dilakukan.

Padahal sekarang sudah  banyak penelitian yang membuktikan bahwa kadar kolesterol yang tinggi  tidak selalu berarti buruk jika tidak disertai dengan penemuan-penemuan  lain yang membuktikan bahwa ada sesuatu yang salah dalam tubuh kita  terutama dalam kardiovaskuler kita.

Kemarin saya baru saja  melakukan check up rutin, termasuk kolesterol. Ternyata kolesterol total  saya naik, padahal berat badan saya dan ukuran baju saya malah turun  dibandingkan setahun yang lalu berkat diet rendah karbohidrat. Sayapun  merasa jauh lebih segar ketimbang setahun yang lalu. Tahun lalu pun  kolesterol saya memang tinggi.

Sebetulnya sejak 15 tahun lalu pun kolesterol saya tinggi, tapi trigliserida saya justru turun dibandingkan 15 tahun yang lalu!

Saya tahu, kalau hanya kedokter maka saya akan mendapatkan saran yang sama,  ubah gaya hidup, pola makan dan berolah raga. Jadi akhirnya saya  mengobrak abrik internet untuk mengetahui kenapa ini terjadi pada saya.  

Dari sana saya tahu, meski kolesterol saya tinggi, sebetulnya saya masih  bisa dikatakan sehat. Dan saya pun menemukan banyak mitos yang dipercaya masyarakat bahkan oleh dokter mengenai kolesterol ini. Berikut beberapa mitos yang berkaitan dengan kolesterol:

Mitos: Kolesterol itu Jahat
Kenyataan: Kolesterol sebetulnya tidak jahat. Tubuh kita justru memerlukan  kolesterol dalam jumlah yang cukup untuk membangun sel-sel tubuh,  memproduksi asam empedu, membentuk berbagai hormon penting, melarutkan  vitamin tertentu dan lain-lain.

Jika kita kekurangan kolesterol, kita malah beresiko terkena penyakit seperti kanker, parkinson, dan depresi.

Mitos: LDL kolesterol jahat dan HDL kolesterol baik
Kenyataan: LDL dan HDL bukanlah kolesterol, melainkan protein pembungkus  kolesterol dan berbagai lemak lainnya agar bisa larut dalam darah dan  bisa diserap oleh tubuh. LDL membawa kolesterol kedalam seluruh tubuh  kita dan HDL mengembalikan kolesterol kembali ke hati untuk di  metabolisma lebih lanjut.

Setiap kali kita terluka, terkena  infeksi, membentuk jaringan baru, LDL akan membawa kolesterol kedalam  sel-sel tubuh kita yang membutuhkannya. Tidak hanya kolesterol, LDL pun  membawakan trigriserida (salah satu sumber energi sel), vitamin A,D,E,K,  dan antioksidan. Jadi LDL pun sangat baik sekali.

Mitos: LDL tinggi meningkatkan resiko kematian
Kenyataan: Sebuah riset yang diterbitkan oleh British Medical Journal yang  dilakukan terhadap sekitar 68 ribu orang yang diambil dari 19 studi di  tujuh negara, menyatakan bahwa LDL tinggi tidak langsung berkaitan  dengan kematian pasien. Bahkan ditemukan, jumlah terbanyak orang yang  meninggal karena penyakit kardiovaskular memiliki kadar LDL-C yang cukup  rendah.

Mitos: Semua LDL berbahaya
Kenyataan: LDL ternyata berbentuk berbagai ukuran, ada yang besar, sedang, kecil  dengan tingkat kepadatan yang berbeda-beda.  Berbagai ahli punya cara  berbeda untuk penggolongan tipe LDL ini. Misalnya ada yang menggunakan  LDL Tipe A dan B. Dimana tipe A adalah LDL yang aman dan B adalah sel  LDL yang kecil dan padat dan berkaitan dengan banyak penyakit.

Tes laboratorium biasanya hanya mengukur jumlah LDL total tanpa memisahkan jenis LDL baik atau buruk.

Sel  LDL yang kecil dan padat adalah yang paling berbahaya karena dialah  yang akan membentuk plak karena berbagai sebab. Misalnya ada kerusakan  pada pembuluh darah atau ada inflamasi, lalu LDL berusaha  menyembuhkannya dengan mengantarkan kolesterol, LDL yang kecil ini yang  kemudian membentuk plak ditempat-tempat yang tadinya membutuhkan  perbaikan. 

LDL juga bisa diikat oleh endotoxin yang dihasilkan  saluran pencernaan kita lalu ikut menyebar keseluruh tubuh dalam  pembuluh darah. Sel darah putih yang mengenali endotoxin sebagai musuh  akan menyerang dan kemudian membuat LDL ikut mengendap kedinding  pembuluh darah. Dan inilah yang lama kelamaan menumpuk menjadi plak yang  menyumbat pembuluh darah lalu menyebabkan arterosklerosis.

Jika memang jumlahnya sudah terlalu banyak, statin akan membantu mengurangi jumlah LDL kecil padat ini.

Mitos: Kita harus menghindari semua makanan berlemak

Kenyataan: Begitu kolesterol kita tinggi, biasanya dokter akan menyuruh kita  mengurangi makan-makanan yang berlemak dengan harapan agar kadar  kolesterol kita dalam darah menurun. 

Tapi kenyataannya, tubuh kita  sendiri memproduksi kolesterol sesuai dengan kebutuhan tubuh kita.  Setiap hari tubuh kita memproduksi sekitar 2000 mg (sebagai perbandingan  satu telur sama dengan 300 mg kolesterol) kolesterol untuk memenuhi  kebutuhan kita. Jumlah ini bisa meningkat saat ada bagian tubuh kita  yang sakit atau infeksi dan memerlukan perbaikan dari kolesterol.

Jadi  kita harus mengkonsumsi lemak dalam jumlah cukup agar terpenuhi  kebutuhan tubuh kita. Selama bukan berupa minyak trans fat yang  menyebabkan inflamasi.

Kalau kita tidak cukup mengkonsumsi  kolesterol, maka bisa jadi tubuh kita akan meningkatkan produksi  kolesterolnya. Sebaliknya produksi kolesterol tubuh bisa menurun jika  kita meningkatkan konsumsi kolesterol. Hal ini juga bisa mengganggu hasil pemeriksaan Laboratorium, karenanya bisa terjadi perubahan drastis pada hasil tes kolesterol terutama LDL jika kita makan-makanan tertentu mulai dari tiga hari sebelum tes darah.

Tapi ingat saat kita makan  makanan berkolesterol, kita pun memakannya beserta makanan lainnya,  bukan murni kolesterol. Dan ini akan menyebabkan perubahan kimiawi yang  berbeda dengan kolesterol murni, dan reaksi ini justru bisa menyebabkan  endapan dipembuluh darah. 

Jadi jangan karena mengira kolesterol  bermanfaat, lalu kita makan sebanyak-banyaknya. Kita harus memakan  makanan yang berkolesterol, yang tidak menyebabkan inflamasi dan jangan  makanan berlemak disertai makanan yang menyebabkan inflamasi seperti  gula dan alkohol

Mitos: LDL hanya terkait dengan diet kita
Kenyataan: LDL ternyata juga dikendalikan oleh faktor genetis. Ternyata itu  sebabnya saya sejak 15 tahun lalu selalu punya kadar LDL yang tinggi.  Dan inilah kenapa banyak orang dikatakan punya 'keturunan penyakit  jantung'. LDL tinggi ini ternyata bisa jadi berbahaya jika disertai  dengan diet yang salah, yang ditandai dengan marker-marker lain dari  hasil test lab, seperti HDL, Trigliserida, HbA1c, Adipoknetin, dll. Juga  berat badan dan ukuran pinggang kita.

Dan ini lah yang terjadi pada saya. Saya memang berbakat punya kolesterol terutama LDL tinggi. Dan untunglah saya selalu mengendalikan pola makan saya sebisa mungkin dan hidup jauh dari stress. 

Karena saya melihat kepada bapak dan famili saya yang lebih tua yang kemungkinan memiliki kecenderungan genetis yang sama dengan saya sekarang banyak yang terkena penyakit kardiovaskuler dan diabetes.

Mitos: Pemeriksaan di Laboratorium menunjukkan secara pasti kadar kolesterol kita
Kenyataan:  Saat memeriksakan kadar kolesterol dan lemak, kita mendapatkan hasil  berupa kolesterol total, HDL dan LDL serta kadar trigliserida kita. Dan  sayangnya hasil pemeriksaan laboratorium ini sangat terkait dengan kondisi badan kita saat itu. 

Ingat, kolesterol itu dihasilkan tubuh  sebagai respon atas kebutuhan tubuh kita saat itu, juga makanan apa yang  kita konsumsi hari itu. Juga bergantung pada situasi psikologis kita  saat itu. Jadi berbeda dengan pemeriksaan golongan darah yang pasti,  maka hasil pemeriksaan kadar kolesterol bersifat relatif.

Selain  itu, pemeriksaan laboratorium di Indonesia umumnya tidak memisahkan LDL  kita berdasarkan ukuran dan kepadatannya, semua dianggap sama. Sehingga  keakuratannya dalam kaitannya dengan penyakit kardiovaskuler bisa jadi  tidak tepat. Tidak ada pemisahan antara LDL A dan B misalnya. Kita hanya  mengkonfirmasikannya kepada kadar HDL dan Trigliserida. Tapi ini pun  belum tentu benar

Dalam kasus saya bisa diduga bahwa meski LDL  saya tinggi, tetapi lebih cenderung kepada LDL tipe A yang dikonfirmasi  oleh kenaikan HDL dan penurunan Trigliserida yang cukup drastis  dibandingkan setahun yang lalu. 

Sayangnya saya belum menemukan lab  disekitar saya tinggal yang bisa memeriksakan ini. Tetapi saya merasa  sangat sehat, dan semua hasil lab saya cukup cemerlang. Jadi saya tidak  terburu-buru. Jadi jangan langsung buru-buru panik saat  kolesterol kita tinggi. Atau menyalahkan semua keluhan yang ada pada  tubuh kita hanya pada kadar kolesterol kita lantas buru-buru  mengkonsumsi obat-obatan penurun kolesterol yang memiliki efek samping  yang berbahaya. Sehingga bukannya sembuh, kita malah bertambah parah.

References : 

Cardiovascular medicine Research: Lack of an association or an inverse association between low-density-lipoprotein cholesterol and mortality in the  elderly: a systematic review

Small Dense Low-Density Lipoprotein as Biomarker for Atherosclerotic Diseases

Fat food does not cause heart disease

Dietary Cholesterol and the Lack of Evidence in Cardiovascular Disease




Baca juga:
Meluruskan Cara Pandang BPJS Kesehatan
Keluar Rumah Tanpa Dompet, Kenapa Enggak?
Lion Air, Trauma, dan Terserah Takdir

Apa Makna "Lifetime Achievement" Kompasiana Buat Saya?

$
0
0

sumber foto : dokpri

Suatu pagi di awal tahun 2012, saya duduk berjejer di sebuah ruangan bersama dua rekan lainnya, Taufik H. Mihardja dan Edi Taslim. Di seberang meja duduk berjejer lima petinggi Harian Kompas. Di tangan mereka inilah kendali redaksional koran terbesar di Tanah Air ini berada. 

Mereka kolega saya juga, tetapi saat itu berbeda peran, juga berbeda nasib. Mereka menjadi hakim tanpa senyum dan tanpa palu di tangan, sementara saya dan dua rekan saya menjadi pesakitan.

"Keputusan apakah Kompasiana ditutup atau diteruskan akan ditentukan siang ini," kata seorang petinggi memecah keheningan ruangan yang sesekali ditingkahi desis Commuter Line yang berangkat dari Stasiun Palmerah ke arah Serpong. "Pemimpin perusahaan sekarang sedang berbicara dengan CEO, kamu tunggu saja!"

Kata "kamu" itu jelas ditujukan buat saya sebagai orang yang menggawangi Kompasiana, sekaligus menunjukkan sayalah strata paling rendah di ruangan itu. 

Sebelumnya kami bertiga, saya, Taufik dan Mas Edi sudah sepakat; jangan bicara apapun, membantah, apalagi menjelaskan. "Terserah mereka sajalah," pesan Taufik sebelum masuk "ruang sidang". Saya tersenyum kecut, kata "kita" dan "mereka" mendadak jadi tembok pembatas.

Taufik adalah atasan langsung saya saat itu di Kompas.com, juga Mas Edi Taslim yang pegang bisnis. Tetapi jiwa saya aslinya memang pemberontak, berbeda dengan Taufik yang "cool" dalam segala situasi. Kalaupun ada rasa kesal, itulah kekesalan saya pada almarhum yang melarang saya bicara. Padahal, saya ingin menghamburkan kata-kata juga sebelum Kompasiana benar-benar ditutup selamanya!

Demikian kilasan peristiwa yang melintas dalam pikiran saat saya menerima penghargaan "Lifetime Achievement" Kompasiana yang diserahkan Bos Bisnis KG Andy Budiman di acara Kompasianival ke-8, Sabtu 8 Desember 2018 di Jakarta. 

Suasana "sidang" di sebuah ruangan "angker" di Kantor Redaksi Harian Kompas mengisi salah satu sudut ruang pikiran saya. Terbayang almarhum yang berambut putih dan "cool" dalam bersikap, terbayang juga Mas Edi yang pendiam di depan "para dewa" Redaksi. Sementara saya mendongkol karena dilarang bicara apapun.

Jadi kami bertiga dipanggil sekadar dikabari bahwa keputusan Kompasiana ditutup selamanya atau masih diperbolehkan hidup akan diambil siang ini. Setelah itu bubar, tanpa salaman. 

Saya bayangkan CEO Kompas Gramedia Agung Adiprasetyo dan Pemimpin Perusahaan Harian Kompas sedang bercakap-cakap di Lantai 6, lantainya "para dewa" KG, mengenai jalan terbaik bagaimana menutup Kompasiana agar tidak menimbulkan kegaduhan.

Tetapi saya punya keyakinan -karenanya tenang-tenang saja- Kompasiana tidak akan ditutup. Kenapa? Sebab beberapa pekan sebelumnya saya dalam satu kesempatan ada bersama dua anak biologis pendiri Harian Kompas Jakob Oetama, yaitu Mas Irwan dan Mas Liliek. Dengan berbinar-binar Mas Irwan mengabarkan bahwa ada investor Amerika yang berminat membeli Kompasiana dengan harga "Ratusan M" (Mas Irwan menyebut angka). 

Artinya, Kompasiana sudah sedemikian berharganya, sudah bernilai. Di mata yang punya induk perusahaan KG.

Mestinya ketika Kompasiana mau ditutup itu, Mas Irwan atau Mas Liliek berdiskusi dengan CEO Agung Adiprasetyo. Bagaimana Kompasiana yang sudah bernilai "Ratusan M" saat itu mau diberangus begitu saja? Kalau itu terjadi, bena-benar sebuah kesalahan yang lucu!

Maka saat tiba makan siang. Saat datang rehat ngopi petang. Juga saat waktu berganti malam, saya tetap duduk di kantor Kompasiana di Palmerah Barat, mengerjakan apa saja yang bisa saya kerjakan. Saya tidak akan pulang sebelum vonis itu dijatuhkan. Dengan satu keyakinan, "Gila aja kalau sampai Kompasiana ditutup!"

Kemudian saya putuskan pulang ke rumah sebelum tanggal berganti. Benar, Kompasiana terhindar dari vonis mati....

Sekarang, saudara-saudara semua, para Kompasianer, tinggal enak-enaknya menikmati Kompasiana dengan segala keunikannya! 

Mau menulis okay, mau sekadar ngasih komen dan rating gampang, mau menanggapi komen bisa, mau menanggapi artikel dengan artikel juga tidak dilarang. Padahal, saat saya mengelola Kompasiana dari mulai lahir sampai saya meninggalkannya dua tahun lalu, Kompasiana kerap berada di "ujung tanduk". 

Tanduknya siapa? Ya tanduknya para petinggi Harian Kompas itulah!

Apa yang membuat saya sering menjadi pesakitan dalam berbagai kesempatan? Kerap menjadi bulan-bulanan rapat redaksi yang digelar tiap hari Rabu? Karena Kompasiana yang saya asuh itu men-"disrupt" Harian Kompas dalam makna yang sebenarnya; merusak! 

Merusak reputasi Harian Kompas, merusak "kesucian koran". Juga kerap "menempeleng" para petingginya di forum-forum tertentu saat sebagian orang mempertanyakan Kompasiana yang melenceng dari kaidah dan pakem jurnalistik. Ya jelas melenceng wong Kompasiana bukan produk jurnalistik hehehe...

Apanya yang merusak dari Kompasiana? Tidak lain opini, artikel atau berita yang ditulis warga biasa!

Dalam sebuah rapat "Reboan", seorang redaktur muda, junior saya jauh, bahkan langsung imperatif "Kompasiana tutup saja!" saat sebuah artikel yang ditayangkannya mengguncang publik, menjadi pembicaraan hangat. Bayangkan, sebuah artikel yang mengguncang seisi Palmerah juga.

"Drama" Kompasiana yang mau ditutup Si Redaktur Muda itu sempat saya ungkapkan dalam mukadimah buku "Kompasiana; Etalase Warga Biasa" yang juga menyisakan cerita tersendiri. 

Draft buku saya serahkan kepada Penerbit Buku Kompas (PBK). Karena saya jurnalis Harian Kompas maka secara etis menawarkan naskah buku ke PBK. Naskah buku tentu saja diperiksa tiga orang selevel Redaktur Pelaksana. Tidak lama kemudian penerbit memberi tahu kalau buku itu tidak bisa diterbitkan PBK karena dalam "preambule"-nya terindikasi membocorkan rahasia dapur Kompas.

Itulah satu-satunya naskah buku yang ditolak PBK. Naskah buku kemudian saya tawarkan ke penerbit lain di lingkungan KG, yaitu Gramedia Pustaka Utama dan... lolos sensor. "Drama" itu tetap ada hahaha... 

Kata-kata "Disrupt" muncul lagi tadi malam saat Andy Budiman berpidato mengenai visi misi bisnis KG ke depan, khususnya mengenai keberadaan Kompasiana. Katanya, Harian Kompas juga sekarang sudah menyediakan diri untuk rela "dirusak" oleh keberadaan Kompasiana yang memang sangat "disruptive". Tentu saja "disruptive" di sini harus diterjemahkan sebagai "keniscayaan".

Saya yakin, seiring waktu berjalan dan di usianya yang sudah jalan ke-10, Kompasiana sudah semakin bisa diterima di lingkungan KG sendiri, khususnya di mata Redaksi Harian Kompas yang "kesuciannya" sering tercemari oleh tulisan-tulisan warga yang kerap menyedot perhatian publik secara nasional.

Bagi saya, ketika satu artikel Kompasiana -meski bukan produk jurnalistik- mengguncang kesadaran massa di mana publik sama-sama bereaksi dengan berbagai argumentasi dan ekspresi, sebenarnya itulah "lonceng kematian" bagi berita-berita media mainstream yang ditulis jurnalis profesional. 

Maknanya, Kompasiana diperbincangkan banyak orang. Kompasiana berdampak. Dampak atau "Impact" seharusnya menjadi kekayaan tak ternilai sebuah institusi media arus utama.

Adalah kematian yang sesungguhnya ketika berita-berita media arus utama tidak berdampak sama sekali di mata publik!

Saya meyakini, rekan-rekan saya di Redaksi Harian Kompas juga sudah mau berubah menghadapi tantangan media ke depan di mana muncul tantangan baru dengan hadirnya media sosial yang "nggemesin", blog-blog pribadi yang bereputasi, dan berbagai gaya penyampaian pesan lainnya yan benar-benar "disruptive" di banyak "homeless" media.

Slogan "berubah" yang dicanangkan KG ini sudah tepat, karena bisa jadi masih ada orang-orang redaksi dengan semangat masa lalu yang masih tersisa, dengan pikiran yang tidak berubah bahwa Harian Kompas adalah segala-galanya!

Prinsip "Harian Kompas adalah segala-galanya" memang tidak salah dan itu perlu dipegang awak KG, khususnya wartawan Kompas. Tetapi itu harus diletakkan dalam konteks bagaimana Harian Kompas tetap memelihara khalayak pembacanya, menerapkan prinsip jurnalisme yang baku, berimbang, dan selalu memegang etika dalam bekerja. 

Tetapi jangan sekali-kali diartikan "Harian Kompas adalah segala-galanya" sebagai yang paling top, yang paling hebat, yang lain minggir, keciiillll.... 

Bukan, bukan itu, Kawan! 

Kalian cukup "merendahkan hati" agar lebih adaptif menerima keniscayaan zaman yang berubah dengan cepat ini.

Salam....

***

Bintaro, 9 Desember 2018




Baca juga:
Mau Cari Jodoh? Makan Rujak di Simpang Jodoh Medan Yuk
Meluruskan Cara Pandang BPJS Kesehatan
Keluar Rumah Tanpa Dompet, Kenapa Enggak?

Cerpen | Maling Itu Bernama Jun

$
0
0

sumber foto : pixabay.comRambut Lori berkibar-kibar tertiup angin membuat ketombe berguguran bagai salju di musim dingin.

Sudah seminggu ini Lori dinas di luar kota. Mawar-mawarnya pasti sudah mekar sempurna. Dia sudah membayangkan mau mandi susu plus kelopak mawar tujuh warna biar makin harum hingga mas Andris bakal makin klepek-klepek pingsan ketika dia melintas. Pingsan karena dikira ada hantu lewat karena terlalu wangi menyengat hidung sensitif mas Andris.

Betapa pilu hatinya saat melihat mawar-mawar botak tak bersisa. Meninggalkan batang serta duri yang menantang matahari. Apa ini? Siapa yang sudah tega menghabisi mawar kesayangan Lori? Cewek itu berjanji akan membuat pelakunya menjadi pepes.

"Jun! Jun!" Lori berteriak kalap memanggil adik kesayangan yang sudah diberi mandat untuk menjaga mawar-mawar selama dia pergi.

"Jun belum pulang." Emak segera memberitahu sebelum teriakan Lori semakin menggelegar hingga membuat kaca-kaca di rumah pecah untuk kesekian kalinya. Abah sampai punya toko kaca langganan yang bisa pesan antar secara online.

"Mak, Emak tahu nggak siapa yang sudah menjarah mawar-mawarku?" Wajah Lori berangsur-angsur menjadi serupa api yang berkobar karena menahan marah.

"Minum dulu biar adem. Emak takut kalau kamu buka mulut terus nyembur api kan berabe. Gorden kesayangan Emak kan bisa hangus terbakar. Cicilannya saja belum lunas masa cari cicilan lagi," protes Emak. Emak menyerahkan kenci yang langsung direbut dengan cepat. Belum lima menit sudah tandas, ternyata Lori sudah sangat kehausan.

"Lebih baik kamu ganti baju terus mandi. Bau kambing nih. Abis bantuin kambing beranak?" Emak mengendus-endus baju lori yang lusuh.

"Nggak lah, Mak. Emang aku tukang jagal kambing? Tadi aku nempang mobil yang bawa kambing. Boleh nebeng asal bantu menenangkan kambing yang mabuk kendaraan. Jadinya itu kambing kupeluk sambil dinyanyiin nina bobo sama seperti kalau Jun mabuk kendaraan itu lho, Mak." Lori segera melesat masuk kamar karena melihat Andris membuka pintu rumahnya. Jangan sampai dia melihat kondisi Lori yang mengenaskan.

Suara siulan riang terasa menusuk telinga. Ini tandanya Jun sudah pulang. Siapa lagi yang menimbulkan potensi polusi suara kalau bukan dia.

"Jun," panggil Lori dengan lembut. Gimana-gimana si Jun kan adik kesayangan yang harus disayang-sayang biar semakin cakep.

"Eh, Mbak Lori sudah pulang. Omong-omong aku sudah melaksanakan tugas menjaga mawar dengan sebaik-baiknya dan dengan seseksama mungkin." Jun tersenyum lebar sambil membusungkan dada.

"Bagus! Terus mawarnya mana?" Lori membalikkan badan Jun hingga menghadap taman yang tinggal pohon mawar tanpa bunga.

"Lha itu. Sudah kuamankan di tempat yang aman." Cengiran Jun semakin melebar.

"Diamankan di mana?" Lori menekankan suara pada tiap kata.

"Di rumah mbak guru Daya."

"Apa kamu bilang?" Lori menjewer Jun hingga adiknya itu berteriak-teriak minta ampun.

"Mbak sudah janji mepes maling mawarnya mbak. Sini ikut mbak ke dapur, tak buntel godong gedang terus tak bakar biar jadi pepes." Sekuat tenaga menarik Jun.

Jun berkelit membebaskan diri. Lari meliuk-liuk di antara tanaman mawar agar lolos dari kejaran Lori. Jun tahu betapa sayangnya Lori pada tanaman mawar jadi kakaknya itu tidak akan mau mengejar dengan resiko menabrak mawar-mawarnya.

"Jun! Awas kamu!" Teriakan Lori membuat kaca-kaca yang ada di penjuru rumah hancur berkeping-keping.

NB:

Tak buntel godong gedang: kubungkus daun pisang.




Baca juga:
Suatu Sore bersama Menteri "Zaman Now", Hanif Dhakiri
Mau Cari Jodoh? Makan Rujak di Simpang Jodoh Medan Yuk
Meluruskan Cara Pandang BPJS Kesehatan

[Topik Pilihan] Bagaimana Caramu Menyikapi Pelecehan Seksual di Ruang Publik?

$
0
0

ilustrasi: ABC News

Yang menyedihkan dari kabar atau berita tentang pelecahan seksual yang sering terjadi adalah justru ketika korban yang (kerap) disalahkan atas kejadian tersebut.

Mungkin kasusnya beragam, tapi tuduhan terhadap korban pelecahan seksual biasa sama: "Makanya lain kali kalau keluar malam jangan sendirian," atau "Kamu pakai pakaian seperti apa?"

Biar bagaimanapun kasus pelecahan seksual merupakan tindak pidana dan pelakunya bisa dihukum ketika terbukti bersalah di persidangan.

Sayangnya, kesadaran atas pelecahan seksual, baik itu di ranah privat atau ruang publik, masih menjadi diskursus yang masih jauh untuk kita indahkan. Sebagai contoh, pernahkah kamu mengintervensi pelecahan seksual yang terjadi di ruang publik? Lalu, apa yang kamu lakukan?

Atau ada yang Kompasianer ceritakan terkait kejadian pelecahan seksual yang terjadi di ruang publik? Baik itu pengalaman atau ketika mendampingi korbannya secara langsung, tentu saja. 

Sampaikan opini/pendapat Kompasianer terkait topik berikut dengan menambahkan label PelecehanSeksual (tanpa spasi) pada setiap artikel.




Baca juga:
"Isle of Dogs", Cerita Anjing dan Dunia Manusia yang Suram
Beternak Ayam Kampung
Ketika (Salah) Membaca Teror di Nduga

Puisi | Maka Mintalah

$
0
0

ilustrasi: Claudia Clara/Kompas

Kalau cinta sudah diturukan 
Tidurmu akan dijaga 
Makanmu akan dipelihara 
Langkahmu tuju jalan utama 
Salahmu ditutup sampai bila-bila, 
Maka mintalah 

Maka mintalah, 
Sungguh akan diberikan semua pinta 
Segera tak perlu jeda 
Kamu butuh, 
Takkan sempat mengeluh 
Ibarat hujan jatuh luruh 

Maka mintalah, 
Sebagian besar enggan 
Dikira ilalang jadikan hutan gersang 
Akar tuba jadi racun bekukan insang 
Itu yang kamu bilang 
Ternyata nikmat selalu menghadang 

Maka mintalah,
Sampaikan keluh kesah adanya
Lirih pelan penuh penghayatan
Lilitan apapun menghimpit kuat
Segera sirna sebelum menyadarinya




Baca juga:
Kompasianer Medan, Yuk #BicaraBaik untuk Masa Depan Bangsa!
"Isle of Dogs", Cerita Anjing dan Dunia Manusia yang Suram
Beternak Ayam Kampung

Sadar atau Tidak, Anda Memilih Hal untuk Diperhatikan

$
0
0

ilustrasi: pixabay

Otak kita di rancang sedemikian rupa oleh tuhan dengan berbagai keterbatasan yang ada. Secara biologis, otak manusia selalu berfokus pada hal-hal yang mengancam keselamatan saja, namun juga berfokus pada hal-hal baru yang sekiranya bersifat menarik. 'Kebenaran yang di terka dan  di rancang oleh otak tidak bersifat sepenuhnya mutlak bahwa itu benar. Oleh karena itu, hal-hal yang menurut otak kita sepenuhnya benar, belum tentu juga di benarkan oleh khalayak umum.

Entah sadar atau tidak, sesungguhnya otak anda memilih hal-hal untuk di perhatikan. Contoh sederhana: waktu kita kecil (baca: belia, pen.) fokus utama otak kita adalah mainan apa yang paling trend saat ini. Oleh karena itu, sewaktu kita kecil, kita merengek-rengek pada orang tua kita untuk membelikan mainan paling trend pada masa itu.

Lanjut saat kita remaja. otak Kita memilih hal-hal untuk selalu di perhatikan, tentunya hal-hal yang kita perhatikan tidak lagi seperti masa saat kita kanak-kanak. Sebab otak kita telah berkembang dewasa, ditambah lagi dengan norma-norma sosial dan pengalaman. 

Contoh kecilnya adalah: kita merancang angan-angan saat dewasa nanti saya mau jadi apa, saat dewasa nanti saya mau bekerja di mana, dan seperti apa pasangan hidup saya nantinya.

Lanjut lagi saat dewasa awal. Di usia yang katakanlah sudah cukup matang ini, otak kita sudah tidak lagi menerka-nerka atau berangan-angan perihal masa depan. Rata-rata mereka yang beranjak di usia ini sudah mulai melakukan apa yang semestinya mereka lakukan, mereka sudah melakukan hal-hal yang sekiranya bisa membuat apa yang di inginkannya di masa lalu bisa segera tercapai. 

Entah itu kesuksesan yang mereka inginkan, cinta sejati yang mereka dambakan ataupun hal-hal lain yang ingin dan bisa mereka kerjakan. Yang pasti pada fase ini mereka mengerjakan hal-hal yang sudah di rancang sedemikian rupa di fase kehidupan mereka sebelumnya.

Di usia dewasa, rata-rata kita sudah tidak mengusahakan lagi hal-hal yang kita rancang di masa lalu ke masa kita yang sekarang. Tapi di usia yang sekarang ini, otak kita menganalisis apakah usaha yang kita lakukan di fase sebelumnya berhasil atau tidak.

Jika berhasil tentunya itu menjadi sebuah prestasi dalam ke hadapan seseorang, jika belum, tentu seseorang akan menganalisis secara mendalam' tentang apa yang kurang dan apa yang belum dilakukan sehingga akan menciptakan analisis secara mendalam perihal kehadapan yang anda jalani.

Poin penting dari hal yang anda jadikan perhatian atau hal yang anda jadikan fokus perhatian adalah usahakan hal yang menjadi fokus perhatian di otak anda adalah hal yang sekiranya penting dalam kehadapan anda contoh kecilnya adalah kebahagiaan anda, kebahagiaan orangtua anda, kebahagiaan orang-orang yang mensuport kehidupan anda dan kebahagaian-kebahagiaan yang lainnya.

Anda berkewajiban memfokuskan hal yang penting dalam kehidupan sebab itu adalah tanggung jawab kehidupan yang harus anda jalani. Hipotesisnya sederhana saja, apakah selama ini anda sudah berfokus pada kewajiban anda. 

Jika belum, anda harus segera  melakukannya. Sebab apa' hidup yang kita jalani ini berbatas" berbatas waktu, berbatas umur, berbatas dengan kebebasan orang lain, lain waktu maka lain tanggung jawab, dan tanggung jawab yang tidak terselesaikan tentu menjadi hutang tanggung jawab di fase kehidupan yang selanjutnya. terkecuali anda adalah seorang pecundang dalam kehidupan anda sendiri.

Gagal dalam tanggung jawab adalah hal biasa dalam sebuah kehidupan, tapi masalahnya adalah ketika anda gagal dalam tanggung jawab anda mengklaim diri anda juga untuk gagal dalam sebuah kehidupan. 

Inilah kekeliruan berpikir, ketidakmampuan logika untuk memecahkan suatu masalah sehingga berlogika pun salah. Lantas, jika sudah seperti itu apa yang semestinya harus di lakukan, yang harus di lakukan adalah mengurai logika salah itu kembali, memastikan jalan berpikir kita benar sehingga bisa menyelesaikan sebuah permasalahan dalam kehidupan secara kompleks.

Semestinya, dialektika-dialektika yang semacam ini perlu dihidupkan kembali dalam rangka menghidupkan kembali kehidupan yang semestinya menyenangkan. Bukan justru menghabiskan kehidupan anda untuk hal-hal yang receh dan tidak bermanfaat. 

Contoh sederhananya adalah anda menghabiskan waktu lebih dari 4 jam setiap hari untuk melihat media sosial yang itu tidak berpengaruh apa-apa dalam kehadapan anda, justru malah semakin sering anda berkaca pada layar gadged anda, anda justru merasa kehidupan ini tidak adil dan sebagainya.

 Intinya, fokuskan otak anda untuk memilih fokus pada hal yang bermanfaat untuk kehidupan anda. Fokuskan otak anda pada tujuan hidup yang sudah anda rancang di kehidupan anda pada fase sebelumnya, fokuskan otak anda pada hal-hal baik untuk kemuliaan anda dan kebahagiaan orang lain.

Sebab, saat otak kita berfokus pada hal-hal yang besar dan penting dalam kehidupan ini. Hidup anda akan semakin mudah, kehidupan yang anda jalani jelas arahnya, keinginan terbesar anda akan semakin mudah dalam menggapainya. Dan dengan berpikir seperti itu anda akan merasa anda memang layak menjadi seorang pemenang bukan pecundang.




Baca juga:
Elang Menoreh dan "Musketeer" Jawa
Kompasianer Medan, Yuk #BicaraBaik untuk Masa Depan Bangsa!
"Isle of Dogs", Cerita Anjing dan Dunia Manusia yang Suram

Mereka yang Turun "Panggung" dari Liga 1

$
0
0

Para pemain PSMS Medan tertunduk lesu setelah kalah 1-5 dari PSM Makassar pada laga terakhir Liga 1 (kompas.com)

Sepak bola itu bukan sekadar permainan 11 orang melawan 11 orang yang berebut bola demi menciptakan gol. Bukan hanya itu. Dalam tataran lebih luas, sepak bola itu bak bahasa universal yang bisa membuat siapapun yang perhatian kepadanya, ikut merasakan kegembiraan dan kepedihan.

Tak peduli seperti apa wajah kompetisinya, sepak bola tetap mampu memainkan kondisi emosional orang-orang yang merasa ikut terlibat di dalamnya. Karena bola, tawa dan air mata bisa dengan mudah tercipta. Tak percaya, tengok apa yang terjadi pada Minggu (9/12/2018) sore kemarin ketika kompetisi Liga 1 2018 memainkan pertandingan terakhir.

Drama di lima kota

Lima kota di Indonesia, yakni Jakarta, Makassar, Malang, Borneo dan Jayapura, menjadi panggung yang menyedot emosi jutaan orang. Ketika 10 tim tampil di waktu bersamaan, tujuh tim diantaranya menjemput nasib mereka: juara atau turun kasta.

Di Jakarta dan Makassar, Persija dan PSM berlomba jadi juara. Kita tahu, Persija pada akhirnya tampil sebagai yang terbaik di kompetisi sepak bola tertinggi negeri ini setelah mengalahkan Mitra Kukar 2-1 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, kemarin. Selebrasi pun terjadi di ibukota hingga tengah malam, merayakan gelar yang ditunggu-tunggu setelah 17 tahun.

Sementara di saat bersamaan, PSM yang meski menang 5-1 atas PSMS Medan, dipaksa puas sebagai runner-up dengan hanya selisih 1 poin dari Persija. Tentu saja, suporter PSM amat bangga dengan penampilan hebat timnya. Sayangnya, trofi juara belum bisa mereka raih.

Saya yakin, suporter baik yang di Jakarta maupun di Makassar, selama pertandingan kemarin pastinya kepo alias ingin tahu kabar pertadingan dari tim rival. Karenanya, tak perlu mempertanyakan bagaimana keharuan di Makassar ketika timnya menang besar tapi akhirnya gagal juara.

Foto-foto ekspresi haru suporter PSM di beberapa akun Instagram ketika timnya bermain 0-0 dengan Bhayangkara FC di pekan ke-33 pada beberapa hari sebelumnya--yang membuat PSM kehilangan puncak klasemen ketika liga tinggal menyisakan satu pertandingan--seperti menjadi pertanda. Suporter PSM paham, hasil melawan Bhayangkara (dan sehari sebelumnya Persija menang 2-1 atas Bali United), membuat peluang juara tidak lagi berada di tangan mereka.

Namun, pertandingan terakhir Gojek Liga 1 2018 sore kemarin bukan hanya tentang cerita bahagia Persija juara ataupun keharuan di Makassar. Laga terakhir kemarin juga jadi kisah sedih bagi tiga tim, PSMS Medan, Sriwijaya FCdan Mitra Kukar yang akhirnya turun panggung dari Liga 1 setelah mendapat vonis degradasi ke Liga 2.

Berjuang hingga pekan terakhir dengan keharusan menang bila ingin selamat, apa mau dikata, lawan yang dihadapi tidak mudah dikalahkan. Yang terjadi, mereka mengakhiri kompetisi di peringkat tiga terbawah, 18, 17 dan 16. 

Ekspresi pemain-pemain Sriwijaya FC usai kalah dari Arema yang membuat mereka terdegradasi ke Liga 2/Foto: Bola.com

Sementara PS Tira dan Perseru Serui yang sebelumnya juga terancam, akhirnya selamat setelah meraih kemenangan di laga terakhir. PS Tira menang 3-1 atas tuan rumah Borneo FC. Sementara Perseru memenangi "derby Papua", 2-0 atas Persipura di Jayapura.

Sudah maksimal berjuang untuk selamat

Ya, apa mau dikata, PSMS Medan yang baru musim ini promosi ke Liga 1, harus kembali turun panggung ke Liga 2. Kekalahan telak 1-5 dari PSM Makassar di Makassar, membuat Tim Ayam Kinantan mengakhiri kompetisi Liga 1 berada di posisi terbawah (posisi 18) dengan meraih 37 poin. Padahal, dua pekan lalu, PSMS sempat seperti mendapat 'angin segar' ketika meraih kemenangan 4-0 atas Persebaya di Medan.

"Pasti kami kecewa karena harus turun lagi, tapi kami sudah berjuang semaksimal mungkin" ujar Legimin Raharjo seperti dikutip dari website resmi Liga 1.

Pulau Sumatera malah harus kehilangan dua wakilnya dari Liga 1. Selain PSMS Medan, Sriwijaya FC juga akhirnya terdegradasi ke Liga 2 di musim depan. Tim yang pernah dua kali juara Liga Indonesia ini gagal bertahan di Liga 1 setelah takluk 1-2 dari Arema FC di Malang pada pertandingan terakhir.  

Datang ke Malang dengan beban harus menang bila ingin selamat, Sriwijaya sempat bersuka cita ketika heading Esteban Vizcarra membawa mereka unggul di menit ke-25. Namun, Arema menyamakan skor lewat penalti Makan Konate di menit ke-63. Sriwijaya akhirnya kalah 1-2 lewat gol Dedik Setiawan di menit ke-82. Kekalahan ini membuat Sriwijaya finish di peringkat 17 dan menjadi salah satu dari tiga tim yang terdegradasi ke Liga 2.

Dan, tim ketiga yang harus terdegradasi ke Liga 2 adalah Mitra Kukar. Dihadapkan pada pertandingan sulit, melawan Persija Jakarta yang butuh menang untuk menggelar pesta juara, Mitra Kukar sempat bermain rapi dan rapat di awal-awal pertandingan. Namun, tim asal pulau Kalimantan ini akhirnya takluk 2-1. Kekalahan ini membuat Tim berjuluk Naga Mekes ini finish di peringkat 16 dengan 39 poin dan turun ke Liga 2.

Tentu saja, terdegradasi menjadi kenyataan pahit. Dalam wawancara seusai pertandingan, pelatih Mitra Kukar, Rahmad Darmawan menyebut semua pemain Mitra Kukar bersedih.

Coach RD yang baru masuk di tengah kompetisi, mengaku bertanggung jawab penuh atas kegagalan tim di musim ini. Rahmad Darmawan menyebut semua upaya sudah dilakukan, termasuk strategi untuk meredam Persija. Sayangnya, kabar bagus enggan singgah ke Mitra Kukar. "Di ruang ganti saya katakan kepada pemain kalau tidak boleh saling menyalahkan. Saya yang bertanggung jawab atas kegagalan ini. Suasana ruang ganti sangat sedih," kata RD.

Sudah ada penggantinya 

Ada yang pergi dan ada yang datang. Begitu juga di Liga 1. Posisi tiga tim yang dipastikan terdegradasi ke Liga 2, sudah ada penggantinya. Tiga tim penggantinya yakni PSS Sleman yang merupakan juara Liga 2, Semen Padang yang merupakan runner-up Liga 2, serta Kalteng Putra sebagai tim peringkat III Liga 2.   

Dengan komposisi tersebut, di Liga 1 tahun depan, meski kehilangan dua tim, Pulau Sumatera masih memiliki wakil, yakni Semen Padang. Sementara Pulau Kalimantan masih memiliki tiga wakil. Selain Kalteng Putra, masih ada Borneo FC dan Barito Putra yang sudah berkiprah di musim ini. Dan yang paling menarik, Jawa Tengah akan menyajikan laga "derby Jateng" antara PSS Sleman dan PSIS Semarang.

Turun panggung ke Liga 2 tentunya menjadi kabar pahit bagi suporter Mitra Kukar, Sriwijaya FC, dan PSMS Medan. Mereka akan berlaga di Liga 2 di musim depan. Meski begitu, turun ke Liga 2 tentunya bukanlah akhir. Mereka tetap berkompetisi, sekadar pindah ke "panggung yang lebih kecil". Dan tentunya, tiga tim ini tetap butuh dukungan suporter mereka untuk secepatnya bisa kembali ke Liga 1.

Seperti bunyi permohonan maaf yang disampaikan tim SAR Sriwijaya FC melalui Hendri Zainuddin di akun twitter Sriwijaya FC @SFCPalembang. Dalam permohonan maaf kepada suporter karena telah gagal bertahan di Liga 1, Hendri menulis kalimat begini: 

"Kami dari Tim SAR, memohon maaf bila hasil ini mengecewakan, kita sudah semaksimal mungkin membantu manajemen SFC dalam mengarungi sisa laga. Keadaan tim yang memang sudah pincang, membuat keadaan semakin sulit. Kita semua berharap, semoga SFC hanya 1 tahun saja di Liga 2. Kita akan bahu-membahu berjuang meloloskan SFC kembali ke jalur sebenarnya, yaitu jalur juara".

Menarik ditunggu, apakah Sriwijaya FC, Mitra Kukar dan PSMS Medan hanya sesaat tampil di Liga 2 dan bisa segera kembali ke Liga 1. Namun, sebelum itu, menarik ditunggu apakah ketiganya masih bisa mempertahankan beberapa pemain bintangnya. Sebut sata Septian David Maulana di Mitra Kukar, Beto Goncalves dan Ezteban Vizcarra di Sriwijaya FC. Atau malah, satu demi satu pemain top akan berpindah klub yang tampil di panggung lebih besar. Salam.




Baca juga:
Mengenal 7 Jenis Misinformasi, Satir atau Parodi
Elang Menoreh dan "Musketeer" Jawa
Kompasianer Medan, Yuk #BicaraBaik untuk Masa Depan Bangsa!

Mempertanyakan (Kembali) Hak Pemilih

$
0
0

Ilustrasi: KOMPAS/HANDINING

Selamat hari Hak Asasi Manusia sedunia. Semoga pemenuhan HAM dalam lingkup Rights to Vote menjadi prioritas pada pemilu 2019.

Pemilihan Umum menjadi kesepakatan bersama rakyat Indonesia. Ketika kita memilih untuk hidup dalam payung demokrasi. Memahami bahwa dalam kehidupan yang demokratis. Rakyat memiliki hak dalam pemilihan para wakil rakyat dan pemimpin bangsa (Pasal 22E UUD 1945).

Oleh sebab itu, pemilu menjadi ruang kuasa rakyat. Tujuannya adalah memberikan daulat rakyat (Pasal 1 ayat 2 UUD 1945) dalam menentukan siapa yang menjadi wakil-wakilnya (Pasal 19 ayat 1 UUD 1945). Sehingga, suara rakyat (baca: pemilih) harus terpenuhi dengan sebaik-baiknya.

Kalaupun ada rakyat yang tidak terpenuhi hak untuk memilih (rights for vote). Itu hanya berlaku dengan ketentuan pembatasan Hak Asasi. Semua rakyat berdaulat. Namun, demi menjaga kualitas demokrasi. Maka Negara (baca: Undang-Undang) memberikan pembatasan untuk menjamin kesetaraan yang objektif dan profesional.

Dalam hal ini, pembatasan tidak berarti mengurangi hak pemilih. Pembatasan HAM hanya berlaku pada syarat tertentu yang disepakati bersama. Sehingga, jika kita membaca beberapa Undang-Undang Pemilu. 

Pembatasan hak untuk memilih (rights to vote) adalah rakyat Indonesia, sepanjang dapat dibuktikan dengan syarar administratif telah berusia 17 tahun atau telah (pernah) menikah (Pasal 1 ayat 34 UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum).

Kepada merekalah seluruh rakyat pada umumnya memberikan kuasa untuk memilih saat pemilu. Sehingga, sepanjang dia memenuhi syarat yang sudah dibatasi tersebut. Maka dia berhak untuk mendapatkan perlakukan yang mencitrakan pemilih memiliki "kedaulatan di tangan rakyat".

Salah satunya dan ini merupakan hak pertama dari pemilu yang demokratis. Adalah hak untuk dapat di data sebagai pemilih. Karena pembatasan sudah dilalui dengan ketentuan usia dan status pernikahan. Selain dari pada itu, maka, penyelenggara pemilu dan pemerintah berkewajiban penuh memenuhi hak untuk terdaftar sebagai pemilih.

Akan tetapi, sudah bosan kita mendengar. Bahwa daftar pemilih setiap pemilihan, baik pemilu dan pilkada, jauh dari kata pemenuhan hak daulat rakyat. Masih saja, ada pemilih yang tidak terdaftar. Atau pemilih yang kehilangan "kedaulatannya" akibat permasalahan administratif (Pasal 348 UU No.7 Tahun 2017).

Padahal, administratif adalah syarat formalitas. Sekaligus bukti otentik suatu kejadian dan peristiwa. Akan tetapi, administratif yang menghilang hak pilih adalah pelanggaran HAM dan Konstitusi. Sehingga, bukan masalah sepele, jika stakeholder DPT belum menemui solusi pendataan terbaik untuk rights to vote.

Masalah lain adalah pemenuhan rights to vote kalangan yang terbatasi haknya. Seperti kalangan militer dan kepolisian. Mereka memenuhi syarat administratif formal secara usia atau pernikahan. Namun, pembatasan berlaku sepanjang pemilih ini masih mengenakan baju militer dan kepolisiannya tersebut.

Ini juga pembatasan HAM yang disepakati dan tidak melanggar Kovenan Internasion Hak-Hak Sipil dan Politik. Akan tetapi, saat dia telah pensiun. Serta merta hak politiknya untuk memilih dan dipilih kembali. Apabila, ada kesalahan yang membuat haknya hilang tanpa ada dasar yang logis dan yuridis. Hal itu termasuk pelanggaran HAM.

Belum lagi rakyat yang sedang berduka. Mereka yang terkena dampak bencana. Ujian Tuhan Yang Maha Esa mengharuskan mereka untuk mengungsi atau berpindah tempat. Atau akibat suatu persoalan hukum dan legalitas kepemilikan lahan. Sehingga terjadi mutasi kependudukan. Yang pada intinya tidak diikuti dengan perpindahan administrasi formal.

Tentu menjadi masalah, apakah dia terdata dengan baik? Juga apakah nantinya dia menggunakan hak pilih dengan nyaman. Ada sebuah istilah, jangan pernah menyakiti perasaan orang-orang yang sedang kesusahan. Karena Doanya langsung didengar oleh Tuhan Yang Maha Esa.

Dengan demikian, para penduduk yang mutasi, dengan alasan apapun, adalah pemegang daulat rakyat sebagai pemilih. Yang pada pokoknya memiliki hak untuk didata sebagai pemilih dan menggunakan hak pilihnya. Kecuali atas kesepakatan bersama, daerah bencana kehilangan hak untuk menyelenggarakan pemilihan atas kajian legal dan kebijakan publik serta izin dari mereka yang mengalami musibah bencana.

Di lain sisi, pemenuhan HAM dalam ruang disabilitas pun berlaku sama. Tidak ada hak kita melarang warga negara untuk tidak didata, apalagi tidak menggunakan hak pilihnya. Dengan alasan apapun dan karena kepentingan apapun. Sepanjang, warga negara (penyandang disabilitas) memenuhi syarat administratif formal. Dengan pembatasan, jika ada suatu administratif dari ahli (disabilitas) yang mengharuskannya merelakan rights to vote hilang.

Apalagi jika diskriminasi bagi penyandang disabilitas terus berlangsung. Tanpa mendengarkan para ahli. Maka, penghilangan hak memilih, mulai dari hak untuk dapat di data adalah pelanggaran HAM. Juga termasuk kejadian yang tidak memiliki rasa kemanusiaan. Juga sensitifitas persaudaraan sebangsa dan setanah air.

Penegasan ini berasal dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003 yang dibacakan pada tanggal 24 Februari 2004. MK menyatakan bahwa "Hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih adalah hak yang dijamin konstitusi, undang-undang dan konvensi internasional".

Inilah perihal masalah pemilih. Masih banyak lagi ruang yang kosong. Akan tetapi, semua terkikis oleh praktek yang kita tidak tahu. Sebenarnya salah siapa? Sampai-sampai DPT tidak pernah selesai. Kalau salah, apa hukumannya, agar sanksi yang bicara. Untuk memenuhi hak untuk terdaftar sebagai pemilih. 

Sudah waktunya, permasalahan DPT berujung ke proses peradilan. Agar semua tidak membusungkan dada dan menjaga ego masing-masing.

Email: andrianhabibi@gmail.com




Baca juga:
Memberikan Kebahagiaan dengan Kemenangan
Mengenal 7 Jenis Misinformasi, Satir atau Parodi
Elang Menoreh dan "Musketeer" Jawa

"Afraid of Getting Old?"

$
0
0

Sumber: hiveminer.com

"Eh Mbak Gina ulang tahun ke berapa sih?"

"Aku mau kirim ucapan nih," aku bertanya kepada teman di sampingku, yang sedang asik dengan Gadget-nya.

"Kalau enggak salah 29. Eh tapi ucapin selamat ulang tahun saja, enggak usah nyebutin umur," ujarnya.

"Lah kenapa emang?"

"Sensitif, nanti dia tersinggung."

*****

Berapa umur kalian sekarang? Baru lahir, tujuh tahun, sweet seventeen, kepala dua, sudah tiga puluh atau sudah setengah abad? Dulu pernah saya tidak sengaja mendengar mamang angkot ngobrol dengan penumpang yang duduk di sebelahnya, katanya yang paling ditakuti oleh perempuan adalah bertambahnya umur. 

Benarkah begitu batinku, bukankah hal itu adalah suatu hal yang mutlak, tidak dapat ditawar-tawar seperti beli sayur di pasar? Kalaupun seandainya saya menuruti saran untuk tidak menyebutkan umur ketika mengucapkan selamat ulang tahun, akankah umur teman saya itu bertambah muda satu tahun? Jelas tidak!

Ada juga ibu-ibu, kira-kira berumur 40 tahun berbicara dengan perempuan di sebelahnya, perempuan itu lebih muda darinya. Entah anaknya atau kerabatnya, yang jelas muka mereka berdua mirip. Kata ibu itu dunia semakin canggih sementara dia semakin tua. 

Ketika mobil yang kami tumpangi berhenti karena macet, mobil berhenti tepat di depan toko pakaian. Kata ibu itu andai masih muda, dia akan membeli baju-baju yang dipakai manekin yang dijejerkan di dalam etalase kaca itu, sayang umurnya tidak mengizinkan lagi.

*****

Belum lama ini saya tidak sengaja ngobrol dengan bapak-bapak yang sudah berumur karena suatu hal. Bapak itu berprofesi sebagai dosen ekonomi di salah satu universitas negeri, katanya ia mengidap penyakit gula kering, badannya juga ikut kering. Dahulu katanya dia gendut, sekarang kurus dan layu. 

Harus jaga pola makan sebab tidak bisa sebebas sewaktu muda. Bapak itu tinggi jangkung, mukanya lonjong, hidung mancung, alis tebal walaupun sudah putih, yang tidak layu hanya giginya yang lancip seperti biji mentimun dan masih putih bersih. Rambut sudah malas tumbuh di atas kepalanya, pigmen hitam dalam rambtunya sudah hilang, kulitnya tentu saja mengkerut. 

Bapak itu bercerita tentang Resesi Ekonomi yang sedang dialami negara kaya Brunei Darussalam. Katanya yang paling berharga dalam suatu negara bukan intan berlian yang tersimpan dalam tanahnya, tapi manusia yang mendiaminya punya kepribadian seperti intan berlian. 

Setelah bapak itu pergi, tinggal saya sendiri merenung, bukan merenungkan betapa pintarnya bapak itu menjelaskan tentang teori Resesi Ekonomi. Bukan juga bingung karena tidak ngeh maksud dari manusia yang punya kepribadian intan berlian itu seperti apa. Saya merenungkan, membayangkan bapak itu 20 atau 30 tahun lalu ketika dia sekolah, ketika dia kuliah pasti setampan artis FTV, sehat, bugar, pintar dan punya mimpi yang tinggi. Kini waktu memaksanya berhenti.

Ketika naik bus saya selalu duduk di dekat jendela, alasanya ya klasik, biar bisa lihat pemandangan. Kala itu bus yang saya tumpangi melewati desa-desa. Di sepanjang desa itu kalau tidak salah lima atau sampai enam kali saya melihat dan memperhatikan manula (manusia lanjut usia) dan memperhatikan manula itu duduk di beranda-beranda rumah kayu khas pedesan Sumatera Selatan atau duduk di bawah pohon. Ciri khas dari para manula itu adalah melamun, entah apa yang dilamunkan dan sepertinya lamunan kesepian.

*****

Seketika saya teringat film barat yang menceritakan tentang manusia yang ingin mengelak dari masa tua. Untuk mengelak dari masa tua, mereka melakukan percobaan dengan tanaman langka yang bisa membuat awet muda dan hidup abadi. Demi tanaman itu, mereka melakukan ekspedisi habis-habisan, menerobos hutan-hutan gelap hingga mengeluarkan dana selangit.

Lain barat lain Korea, meski film tersebut memiliki tema yang sama, yaitu tentang manusia yang ingin kembali ke masa muda. Tapi menurut saya entah mengapa film-film Korea lebih menguras emosi, ataukah saya saja yang mudah baper? 

Film berjudul "Miss Granny" menceritakan tentang seorang nenek yang kecewa ketika mendengar keluarganya ingin mengirimnya ke panti jompo karena dianggap selalu merepotkan dan menggangu keharmonisan keluarga anaknya. Ketika dia diberi kesempatan kembali ke masa muda, dia melakukan segala hal yang tidak bisa dilakukannya sewaktu dia muda dulu. 

Di akhir cerita bagaimanapun dia menyukai dunia muda yang penuh gairah itu dan membenci dunia nenek-nenek yang mengerikan, keriput dan juga sakit-sakitan. Hal tersebut merupakan pilihan bijak dan terbaik, karena bagaiman pun nenek itu harus menjalani fitrahnya sebagaimana manusia yang sudah pasti akan menua.

Ngomong-ngomong sebegitu mengerikannya masa tua?




Baca juga:
Jembatan Bailey Gelaran Gunung Kidul, Keindahan Alami Belum Tersentuh Teknologi
Pele, Messi, dan Seloroh Ballon d'Or
Menghidupkan Tradisi Pesantren di Dunia Pendidikan Modern, Mungkinkah?

Sekarang, Anda Bisa Merekomendasikan Kompasianer untuk Diverifikasi!

$
0
0

Arsip KompasianaSelama ini, sistem atau alur pemberian centang biru (yang sekarang dikenal dengan istilah "Verifikasi") direkomendasikan, dipilih dan diputuskan sepenuhnya oleh Kompasiana.

Kini, Anda juga bisa berpartisipasi dalam proses pencalonannya!

Mengapa kami melibatkan Anda? 

Keterbukaan ini dimaksudkan agar terjalin interaksi antarkompasianer dan sebagai bentuk apresiasi Kompasiana kepada Kompasianer potensial.

Tentunya, kita semua ingin mendukung Kompasianer yang selama ini telah berbagi hal positif melalui konten di Kompasiana. Salah satunya adalah dengan mengajukan nama Kompasianer tersebut untuk dikaji kelayakannya mendapatkan tanda centang biru atau verifikasi.

Jadi, bagi Anda yang mempunyai Kompasianer favorit di Kompasiana atau bila Anda sendiri merasa pede mencalonkan diri, silakan rekomendasikan nama tersebut kepada kami.

Perlu diingat, tidak sembarang Kompasianer bisa mendapatkan verifikasi ini. Ada syarat yang harus dipenuhi. Berikut rincian kriteria dan mekanisme pencalonannya:

Kriteria dan Mekanisme Rekomendasi Akun Verifikasi

  • Akun yang direkomnedasikan harus sudah Tervalidasi alias centang hijau (Jika belum, Validasi akun terlebih dahulu)
  • Akun yang direkomendasikan harus; aktif, konsisten, fokus pada satu kategori konten dan tidak memiliki riwayat interaksi yang buruk
  • Utamakan pertimbangan kualitas konten dan interaksi selama berjejaring di Kompasiana.

Selanjutnya, isi formulir pengajuan rekomendasi di --> Formulir Rekomendasi Verifikasi.

Hasil rekomendasi akan kami himpun untuk kemudian dikaji ulang. Hasil dari pencalonan Verifikasi diputuskan melalui rapat mingguan yang melibatkan seluruh Tim Kompasiana. (KML)




Baca juga:
Jelang BWF World Tour Finals, Kevin/Marcus Raih Pemain Putra Terbaik 2018
Jembatan Bailey Gelaran Gunung Kidul, Keindahan Alami Belum Tersentuh Teknologi
Pele, Messi, dan Seloroh Ballon d'Or

Mengenal 7 Jenis Misinformasi, Konten Menyesatkan (Clickbait)

$
0
0

Misleading - Ilustrasi: adstandards.com.au

"Inordinate magazine reading has, in some degree, generated, and will be apt to further generate, a false taste and a feverish desire for the rapid acquisition of superficial information." Pengamat tahun 1836 dalam Gershon 2016.

Sejarah Jurnalisme Tabloidisasi

Penerbitan majalah di abad ke-19 dimulai pertama kali oleh para elit British. Menurut Brian Maidment (2010), kemunculan majalah menjadi sebuah ledakan konsumsi informasi publik. Majalah menawarkan format kecil dan mudah masuk kantong. Ditambah konten yang dan cover yang menitikberatkan gambar/ilustrasi.

Di salah satu majalah abad ke-19, Miniature Magazine berseloroh di tagline mereka. Membaca majalah ini 5 atau 1 jam, Anda tetap mendapat informasi yang sama-sama bermanfaat. Maidment melihat redaksi dan penerbit majalah ini yang menawarkan hal yang singkat dan menarik pembaca. Walau pada satu sisi, publik mendapat informasi yang cenderung sepele.

Majalah Spirit of The Times malah menggantungkan konten dari koran/majalah lain.  Awalnya, tiap isu majalah ini membahas kabar terkini. Dengan gambar besar dan menarik. Namun berselang 1 tahun, majalah ini tidak lagi menggunakan konten asli. Tekanan waktu penerbitan dan opini yang rendah untuk para pembaca jadi alasan. Dan yang lebih penting, pengalihan isu lebih bisa menjual daripada fakta.

Dengan menganut prinsip informasi padat, aktual, dan sensasional. Jurnalisme tabloidisasi diadaptasi di beragam negara. Jonathan Pulitzer menerbitkan The World bersama Alfred Hamsworth, penggagas tabloid Daily Mirror di UK. Di tahun 70-an, American Media Inc. membuat banyak jenis tabloid. Salah satunya Sun yang berisi artikel konspirasi, berita hoaks alien, kejadian supranatural, dll.

Jurnalisme tabloid dianggap menjadi cikal bakal informasi clickbait yang kita kenal saat ini (Chen, Conroy dan Rubin 2015). Banyak yang melabeli tabloidisasi sebagai antithesis objektifitas dan akuntabilitas jurnalisme. Fokus jurnalisme tabloid yang banyak berfokus pada mencari perhatian dapat mengaburkan garis batas antara fakta dan fiksi para pembaca. Darkside of Clickbait - Ilustrasi: franchisehelp.comClickbait dan Curiosity Gap

Sejak internet menjadi medium diseminasi informasi masif dan real-time. Banyak informasi baik via portal berita maupun sosial media mencoba meraih perhatian dan klik users. Gabielkov dkk (2016) melihat budaya sharing information signifikan pengaruhnya pada persebaran berita, penggiringan opini dan difusi komunikasi langsung (word-of-mouth). 

Namun dari total 2,8 juta share berita, 59% link tidak pernah diklik menurut riset Gabielkov, dkk diatas. Link share ini disebut silent click, dimana users cenderung hanya membaca dan berbagi headline berita tanpa mengamati konten. Berita dari situs non-populer yang mengandalkan headline pun lebih banyak diklik (60%-90% probabilitas) daripada portal berita mainstream.

Co-founder situs Upworthy Peter Koechly, membeberkan rahasia mengapa situsnya mendapat banyak share via Facebook. Sejak tahun 2013, situs Upworthy semakin populer karena headline yang dianggap clickbait. Koelchy membeberkan, bahwa headline berita yang memprovokasi dapat membuat users terikat secara emosional. Dengan kata lain, Koechly mengerti konsep curiosity gap yang dicetuskan oleh Golman dan Lowenstein (2014).

Curiosity gap adalah insting manusia untuk menjembatani jurang informasi pada sebuah informasi. Kita akan memiliki motivasi intrinsik dan ekstrinsik untuk mencari jawaban. Walau akan ada resiko, ambiguitas, bahkan kekecewaan pada jawaban yang didapat dari keputusan kita. Dan hal inilah yang dieksploitasi jurnalisme tabloid atau clickbait di era digital saat ini.

Clickbait Sebagai Misinformasi

Apa jadinya jika clickbait menjadikan kita kesulitan menemukan fakta. Kita sebagai users pun terjebak mendiseminasi hoaks alias berita bohong. Apalagi motivasi menyebarkan hanya headline informasi ini didorong sikap partisan, sentimen agama, maupun politis. Yang untung secara finansial adalah portal berita yang merekayasa atau memframe berita sesuai prinsip clickbait.

Salah satu contoh berita clickbait ditemui pada fans page Facebook yaitu FAFHH dari Mafindo. Judul berita diatas, yang dilansir dari portal-islam.id memampang headline provokatif "Astagfirullah, Musibah Gunung Agung Presiden Malah Bilang Sebagai 'Tontonan Tambahan'". Headline yang bermuatan politis dan sentimen agama ini memframe negatif Presiden. Sedang situs korpri.id sebagai referensi berita ini saat ini mengarah pada toko baju online.

Berita Clickbait dari Forum Anti Fitnah Hasut dan Hoaks di Facebook - Screenshot Facebook FAFHH

Selain headline clickbait yang bermuatan politis setidaknya ada 9 jenis headline lainnya. Contoh headline seperti "A Man Tries to Hug a Lion, You Won't Believe What Happens Next!" Memeluk singa saja sudah mengundang penasaran. Headline ini semakin memprovokasi logika kita untuk melihat apa yang terjadi berikutnya. Share atau klik pun kita lakukan.

Judul headline diatas benar berisi seorang pria memeluk singa, yaitu Kevin Richardson. Namun frasa headline tentang 'What Happens Next' cukup menipu. Karena yang terjadi selanjutnya adalah Kevin yang merupakan seorang Zoologis berkata bahwa habitat singa mulai terancam. Jadi secara logika, kita terperangkap mencari tahu informasi judul dengan konten yang kadang tidak sesuai ekspektasi.

Kita Buntung, Mereka Untung

Terjebak men-share dan membaca berita clickbait yang kini masif dan real-time via sosmed mengelabui naluri curiosity gap. Judul berita beraliran jurnalisme tabloid yang mengundang sensasi bukan esensi dapat mengaburkan pola berfikir kritis. Apalagi saat sosmed dan mesin peramban mempersonalisasi hasil pencarian. Users yang sering mengklik berita clickbait tentu akan semakin terpenjara dalam misinformasi.

Yang diuntungkan tentu para pemilik situs atau link yang dituju. Meraih banyak visit via klik di sosmed kini menjadi pola umum yang diterapkan. Visit mungkin tidak seberbahaya phising atau scamming dari link/situs yang dikunjungi. Ancaman malware yang mengintip rekening, menutup akses file komputer, sampai menguasai kontrol komputer kita bukan lagi kasus yang jarang ditemui.

Apalagi saat kampanye politis untuk kepentingan kampanye berlangsung. Hanya dengan headline saja, fanatisme partisan bisa saja tersulut. Silent click yang terjadi membuat gaduh sosmed. Walau judul berita dengan konten berita jauh panggang dari api. Saring Sebelum Sharing (3S) sebelum berbagi informasi di dunia digital menjadi langkah praktikal yang bisa kita lakukan.

Jenis misinformasi sebelumnya Satir atau Parodi

Salam,

Solo, 11 Desember 2018

07:31 pm




Baca juga:
Perempuan Mampu Berjaya di Darat, Laut, dan Udara
Jelang BWF World Tour Finals, Kevin/Marcus Raih Pemain Putra Terbaik 2018
Jembatan Bailey Gelaran Gunung Kidul, Keindahan Alami Belum Tersentuh Teknologi

Belajar Kembali tentang HAM di Kupang

$
0
0

Dokpri


Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia pada 10 Desember 2018 ini merupakan hari yang istimewa bagi saya. Meski tanpa telur, istimewanya ialah saya sedang berada di Kupang, NTT, setelah 5-8 Desember mudik dalam rangka memperingati 1.000 hari meninggalnya bapak saya yang mantan pejuang Perang Kemerdekaan di Malang dan Surabaya pada 1948-1949.

Lho, apa hubungannya?

Sebentar. Sabar. Saya mau berkisah tentang peringatan hari sedunia ini di Kupang pada 2018. Tahun lalu saya tidak ikut acara yang berlangsung di Tugu HAM, Kupang karena sibuk. Padahal Peter A. Rohi datang jauh-jauh dari Jakarta untuk menghadiri peringatan itu.

Saya sempat berbincang-bincang dengan beliau di IRGSC, yang kemudian saya tulis dalam artikel "Secangkir Cerita dari Pertemuan dengan Peter A. Rohi di Kupang" (13/12/2017). Saya juga membaca artikel beliau, "Mengapa di Kupang Ada Tugu HAM?" (10/12/2014).

Baru 2018 saya bisa hadir dalam acara yang dimulai pkl. 19.00 WITA dan dihadiri oleh sekitar 20 orang dari beberapa organisasi, misalnya Wahana Lingkungan Hidup (Wahli), Organisasi Pekerja Sosial Indonesia (OPSI), Komunitas Film Kupang (KFK), dan lain-lain. Senyampang saya diminta oleh panitia acara untuk membacakan puisi saya sendiri. Dan, ya, itulah istimewanya lagi.

Nah, terkait dengan "apa hubungannya" tadi, begini sedikit sejarahnya. Deklarasi HAM Internasional (Universal Declaration of Human Rights) disahkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada 10 Desember 1948. Meski sudah jelas begitu, Belanda masih saja hendak menjajah Indonesia yang merdeka pada 17 Agustus 1945.

Dengan menunggangi tentara sekutu (AFNEI/Allied Forces Netherlands East Indies), sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W. V. Ch Ploegman melakukan tindakan tidak senonoh dengan cara mengibarkan bendera Merah-Putih-Biru di sebatang tiang yang berada di puncak Hotel Yamato, Jalan Tujungan 65, pada 19 September 1945, pkl. 21.00. Tindakan tidak senonoh tersebut, tentu saja, mengangkangi kedaulatan Indonesia yang pada saat itu juga sedang gencar mengibarkan Merah-Putih di Surabaya.

Insiden di Hotel Yamato itu mencetus pertempuran pertama antara Indonesia melawan tentara AFNEI pada 27 Oktober 1945. Ternyata banyak korban di pihak AFNEI berasal dari Inggris. Jenderal D. C. Hawtorn mengajak Presiden Soekarno untuk mengadakan gencatan senjata tetapi gagal, bahkan Brigadir Jenderal Mallaby (Inggris) dibunuh oleh orang Indonesia. Inggris marah besar hingga terjadilah pertempuran 10 November.

Di kemudian hari Belanda mengambil kesempatan melalui a Aksi Polisionil, Agresi Militer atau Operasi Militer. Pihak Belanda yang diwakili oleh Letnan Gubernur Jenderal Johannes van Mook menyebutnya "Operatie Product" (Operasi Produk) pada 1947. Agresi pun berlangsung dua kali, yaitu I pada 21 Juli sampai 5 Agustus 1947, dan II pada 19 Desember 1948 sampai 5 Januari 1949.

Lho, apa hubungannya (lagi) dengan Kupang?

Hubungannya begini (lagi). Perang kemerdekaan di Surabaya pada 10 November 1945 telah menelan banyak nyawa pemuda Timor. Sebagian di antaranya dimakamkan sebagai pahlawan tak dikenal.

Para pemuda Timor yang selamat akhirnya pulang ke daerah mereka. Setibanya di Kupang mereka mendapati kota ini dikuasai tentara sekutu asal Australia. Tak pelak mereka marah.

Max Rihi yang menjadi pemimpin mereka mengadakan pertemuan untuk mengobarkan revolusi mengusir sekutu dari Kupang. Usulan ini ditolak para pemuda Kupang. Menurut para pemuda Kupang, kehadiran pasukan sekutu di Timor itu justru membebaskan mereka dari penderitaan bertahun-tahun selama pendudukan Jepang.

Kupang satu-satunya ibu kota karisidenan di Indonesia yang porak-poranda akibat Perang Dunia II karena menjadi benteng pertahanan sekutu (Australia) melawan Jepang setelah Panglima Sekutu Mc Arthur mengungsi dari Filipina lantaran terusir oleh pasukan Jepang. Pemuda Timor dan Kupang pun berunding, dan menemukan jalan keluar yang paling tepat sekaligus menyindir dan memperingatkan sekutu agar tidak bertindak macam-macam seperti yang dilakukan sekutu di Surabaya.

Atas pimpinan Max Rihi, pada akhir Desember 1945 mereka mendirikan sebuah tugu kecil. Letaknya hanya beberapa ratus meter dari Benteng, tempat konsentrasi pasukan sekutu saat itu. Pada badan tugu terdapat plakat yang tertulis "DEKLARASI FOUR FREEDOMS" (Deklarasi Empat Kemerdekaan/Kebebasan).

Lho, lho, lho, apa hubungannya dengan peringatan Hari HAM Sedunia?

Ya itu tadi. Deklarasi Universal HAM Internasional disahkan oleh Majelis Umum PBB pada 10 Desember 1948 kemudian sejak 1950 diperingati ketika majelis umum mengundang semua negara dan organisasi yang peduli untuk merayakannya.

Dalam deklarasi universal versi PBB itu berisi 30 hak asasi setiap orang. Dari 30 itu, 18 hak asasi ialah :

1. Hidup
2. Kemerdekaan dan keamanan badan
3. Diakui kepribadiannya
4. Memperoleh pengakuan yang sama dengan orang lain menurut hukum untuk mendapat jaminan hukum dalam perkara pidana, seperti diperiksa di muka umum, dianggap tidak bersalah kecuali ada bukti yang sah
5. Masuk dan keluar wilayah suatu Negara
6. Mendapatkan asylum
7. Mendapatkan suatu kebangsaan
8. Mendapatkan hak milik atas benda
9. Bebas mengutarakan pikiran dan perasaan
10. Bebas memeluk agama
11. Mengeluarkan pendapat
12. Berapat dan berkumpul
13. Mendapat jaminan sosial
14. Mendapatkan pekerjaan
15. Berdagang
16. Mendapatkan pendidikan
17. Turut serta dalam gerakan kebudayaan dalam masyarakat
18. Menikmati kesenian dan turut serta dalam kemajuan keilmuan

Padahal, 3 tahun sebelumnya atau akhir Desember 1945 di Kupang sudah berdiri Tugu HAM (Deklarasi Four Freedoms), meski baru 4 hak asasi (kebebasan). Tugu tersebut terletak di pertigaan Jalan Pahlawan dan Jalan Ikan Paus, Lahilai Bissi Kopan, Kec. Kota Lama, Kota Kupang atau persis di ujung jembatan Selam ke arah Jalan Pahlawan.

Letak Tugu HAM di Kupang

Dokpri

Keempat hak yang tertera di bagian timur tugu atau menghadap ke jembatan Selam atau Jalan Ikan Paus tersebut ialah Kemerdekaan dari Rasa Takut (Freedom From Fear), Kemerdekaan dari Kekurangan (Freedom From Want), Kemerdekaan Beribadah (Freedom of Worship), dan Kemerdekaan Berbicara (Freedom of Speech).

Dokpri

Keempat pernyataan kemerdekan (kebebasan) itu sempat dicat hitam (ditutup) pada 1965. Baru pada 1985 dibuka kembali.

Tugu yang ini pun sering disebut sebagai Tugu Pancasila, Tugu Kemerdekaan, atau Monumen Titik Nol Kota Kupang. Disebut sebagai Tugu Pancasila karena juga terdapat lima lingkaran yang berisi lima butir Pancasila dengan ejaan lama, yaitu Ke-Tuhanan Jang Maha Esa, Peri-Kemanusiaan, Kebangsaan, Kerakjatan, dan Keadilan Sosial.

Dokpri

Dokpri

Sedangkan pada bagian baratnya atau menghadap ke Jalan Pahlawan tertera Sumpah Pemuda 1928, yaitu 1. Satu Bangsa; 2. Satu Bahasa; 3. Satu Bendera; 4. Satu Tanah Air; 5. Satu Lagu Kebangsaan.

Nah (lagi), begitulah hal mengenai Tugu HAM. Pada 10 Desember 2018 malam saya mengikuti kegiatan peringatan Hari HAM Sedunia di kota yang baru saja mendapat peringkat ke-7 dalam Indeks Kota Toleran versi Setara Institute (7/12) itu hingga tuntas tanpa bekas pada pkl. 21.30 WITA. Ada lilin menyala, umbar uneg-uneg mengenai realitas terkait HAM, baca puisi, mengheningkan cipta, dan kontempelasi.

Dokpri

dokpri

dokpri

Dokpri

Suasana di sekitar Tugu HAM sedang ramai karena merupakan jalur lalu lintas dalam kota, bahkan memang di sekitar situlah awal Kota Kupang. Suara kami harus "bertempur" dengan gempuran suara kendaraan yang melintas karena kami tidak menggunakan pengeras suara buatan-elektronik.

Terus terang, saya pun justru belajar kembali tentang sejarah HAM di tempat yang tepat. Ini yang paling istimewa bagi saya!

Kota dan para pejuang HAM di Kupang memang "wajib" diapresiasi, selain diketahui oleh orang-orang Indonesia. Hal-hal terkait dengan HAM tentu saja "wajib" dipahami dan disadari sekaligus dipraktikkan dalam tata pergaulan warga negara Indonesia karena masih saja terjadi pelanggaran HAM itu, semisal penembakan terhadap 31 pekerja pembangunan jembatan di Kali Yigi dan Kali Aurak, Kab. Nduga, Papua di pada Senin, 3/12, yang seorang korbannya bernama Emanuel Beli Bano Naektias berasal dari Kota Kefa, Kab. Timor Tengah Utara (TTU), NTT.

Meski tidak setragis Emanuel, saya sendiri pernah mengalami ancaman (intimidasi-persekusi) dari seorang "tokoh budaya" suatu daerah tanpa persoalan genting-krusial yang patut dipungkasi sebagai  sebuah pelanggaran HAM bahkan berat. "Hebat"-nya, ancaman itu tidak pernah dianggap luar biasa oleh sebagian tokoh budaya lainnya, malah si pengancam mendapat dukungan. Mungkin "melanggar" HAM juga bagian dari budaya mereka, walaupun berstempel "budayawan". 

Saya kira itu saja yang bisa saya sampaikan melalui artikel ini. Semoga hal-hal terkait dengan HAM tidak melulu basa-basi yang diperingati selama 1 hari dalam 365 hari lalu senyap tanpa bekas.

*******

 Kupang, 10 Desember 2018




Baca juga:
Hati-hati dengan Bujuk Manis di Balik Kata "Mencoba"
Perempuan Mampu Berjaya di Darat, Laut, dan Udara
Jelang BWF World Tour Finals, Kevin/Marcus Raih Pemain Putra Terbaik 2018

Lelaki Tua yang Lebih Mencintai Rokok

$
0
0

https://rumahdesainminimalis.comAda berbagai kisah menyentuh hati dalam setiap perjalanan. Di sana ada sebuah pelajaran penting tentang kehidupan. Agar tidak hilang begitu saja, maka saya menuliskannya. Selalu saja di luar sana ada kisah-kisah hikmah yang bisa diambail sebagai pelajaran.

Malam tadi saya mencari makan makan malam. Pilihan menu malam ini adalah ayam bakar. Kaki saya melangkah ke persimpangangan Jalan Bangka Raya Jakarta Selatan. Jalanan sudah sangat macet. Riuh kendaraan kesana kemari. Di Kemang sedang diadakan Festival Pantun Pela Mampang.

"Mas, ayam bakar satu tambah tahu tempe..."

Saya memesan pada lelaki yang sedang sibuk berjibaku dengan asap. Membakar paha ayam yang dipesan oleh pembeli.

"Paha atau dada, minumnya apa?"

Lelaki muda itu sedikit senyum. Barangkali dia belum pernah belajar ilmu marketing. Senyum pada pembeli merupakan pendekatan psikologis. Berjualan tanpa senyum, jangan berharap pembeli akan datang lagi.

"Dada, minumnya air putih hangat..."

Kebiasan saya adalah setelah makan minum dengan air putih agak panas. Saya menghindari minum air es setelah makan. Saya juga menghindari minum teh apalagi minuman berkarbonasi. Dalam sebuah artikel yang pernah saya baca, minum es setelah makan berbahaya untuk tubuh. Tentu itu jika dilakukan terlalu sering.

Maka, saya memilih air putih hangat untuk menetralisir gula darah. Kebiasaan ini sudah lama saya lakukan. Ikhtiar untuk menjaga kesehatan tubuh, sangat perlu. Kebiasan makan yang tidak benar itulah yang terkadang menimbulkan banyak penyakit.

Sambil menunggu makan jadi, saya duduk sembari mengamati lalu lalang motor. Juga melihat orang-orang yang berjalan untuk menghabiskan malam minggu.

"Jakarta ramai sekali. Kalau di kampung malam minggu ditemani suara jangkrik"

Malam ini entah kenapa saya merindukan kampung halaman. Ingin rasanya bergegas dari keramaian Jakarta yang terkadang tidak bersahabat. Kampung merupakan tempat paling indah untuk merenung. Menjauh dari hingar bingar kehidupan Jakarta yang glamour.

Mata saya kemudian menatap pada sosok lelai tua. Tubuhnya sudah agak membungkuk. Pakaian yang digunakan agak kumal dan kusam. Tubuh tua dan kurusnya memikul buah-buahan dalam keranjang. Pak tua dengan tubuh kurus itu penjuala buah keliling.

Saya amati sejenak tirus wajahnya. Di masa tua itu, dia masih harus memikul beban berat. Membawa buah-buahan di keranjang untuk di jual. "Alangkah berat beban hidup pak tua ini.." Hati kecil saya berbicara.

Saya membayangkan diri saya sendiri. Jika saya tidak mau belajar dan bekerja kerjas di masa muda. Barangkali nasib saya akan sama seperti bapak tua ini. Pepatah mengatakan, "jika kau lalai belajar di masa muda, maka di masa tua kau akan miskin ilmu dan miskin harta."

Pak tua itu menaruh keranjang di samping saya. Nafasnya terdengar kembang kempis. Tubuhnya yang seharusnya tidak mampu lagi berkeliling memikul keranjang, masih saja ia paksakan. Hanya itu mungkin, pekerjaan yang pak tua dapat kerjakan di masa tuanya.

"Pak sudah makan belum. Saya pesankan ayam bakar buat bapak...?" Karena merasa iba, saya berniat memesan makan buat dia.

"Terima kasih mas, saya sudah makan tadi. Rumah dekat kok di situ. Tinggal jalan sedikit habiskan buah-buahan ini..." Pak tua itu menolak tawaran saya.

Setelah itu saya abaikan dia. Saya makan dengan memunggungi pak tua ini. Beberapa menit kemudian saya lihat pak tua tadi.

"Pak, sudah tua kok belum sadar juga..."

Saya membatin dengan perasaan agak kecewa. Pak tua tadi duduk sambil menghisap rokok. Saya tidak tau rokok apa yang dihisapnya. Dia sangat menikmati setiap hembusan asap dari rokok itu. Tidak merasa bersalah, dia masih saja menghisap rokoknya.

Pak tua, tidak sangat menikmati parunya dibakar. Dia lebih mecintai rokok dibandingkan dengan kesehatan tubuhnya. Setip hisapan rokok, jutaan racun di masukkan dalam tubuhnya. Saya tidak tahu berapa lama pak tua ini merokok. Jika sudah 40 tahun, hitung saja berapa trilyun racun yang dimasukkan dalam tubuhnya.

Kemiskinan di masa tua, tidak juga membuat dirinya sadar. Rokok itulah yang membuatnya malas belajar. Rokok itulah yang membuatnya waktu muda, lalai dari belajar. Ia masih terus lalai, padahal sebentar lagi usianya habis.

Saya terus memandangi pak tua. Ia menikmati setiap hisapan racun dari rokoknya. Sesekali nafasanya terdengar mencekik. Hanya tinggal menunggu waktu, paru-parunya akan mati. Mungkin kalau tidak malam ini, esok pagi, atau lusa, hanya tinggal menunggu waktu saja. Rokok telah merenggut seluruh kisah hidupnya, hingga saat ia menua hingga mati.

Semoga kisah di atas menjadi pelajaran. Merokok atau tidak adalah pilihan hidup masing-masing. Tetapi dengan merokok anda telah membunuh masa depan anak-anak anda. Dengan merokok, anda telah membunuh diri anda sendiri secara cepat dan pasti.

Pinggir Jalan Bangka Raya Jakarta Selatan, 08-12-2018




Baca juga:
"Lema Mo Tu Alo Ko Mantar"
Hati-hati dengan Bujuk Manis di Balik Kata "Mencoba"
Perempuan Mampu Berjaya di Darat, Laut, dan Udara
Viewing all 10549 articles
Browse latest View live