Quantcast
Channel: Beyond Blogging - Kompasiana.com
Viewing all 10549 articles
Browse latest View live

Sosok Absurd dan Makhluk Simulakra

$
0
0

Sumber ilustrasi: illustratedprogress.com | Keiichi Matsuda, HYPER-REALITYMalam itu kira-kira tersisa tinggal sepertiga. Saya benar-benar merasa sangat lapar, hingga memutuskan menyusuri jalan-jalan di sekitar Kalibata, mencari sesuatu sekadar buat pengganjal perut, sembari menunggu pagi tiba. Di pinggir trotoar, saya memungut sepotong kertas koran bekas pembungkus kacang yang tergeletak. Saya membacanya sambil lalu, dan berhenti ketika menemukan sebuah kata: "Madyan".

Ingatanku seketika terlontar ke masa lebih 30 tahun silam. Terkenang pada masa SMA kelas tiga dengan seorang guru, oleh kami para siswa memanggilnya, Ibu Madyan. Beliau mengajarkan ilmu biologi. Kalau beliau masih hidup (semoga) berarti usianya sudah mendekati 80 tahun. Seingat saya, beliaulah satu-satunya guru yang memberi perhatian lebih pada saya. Mungkin menurutnya, saya termasuk siswa yang memiliki minat pada ilmu biologi yang paling menonjol. Tetapi meski saya sangat respek dan sayang kepadanya, namun saya tetap saja suka membantahnya. Ah, itu hanya cara untuk mendapatkan perhatiannya.

Suatu hari di dalam kelas, berlangsung diskusi seru tentang asal-usul kehidupan. Tepatnya, dari mana kehidupan berasal. Lazarro Spanlanzani, Charles Darwin, hingga Stanley Miller, bolak-balik di sebut tiada henti. Tetapi Darwin lah yang paling banyak menguras waktu, energi, dan emosi yang bahkan terasa mendidih hingga di ubun-ubun.

"Kafir!" Teriakku dengan sangat keras.

Saya tak tahan melihat guruku itu tampak begitu nyaman dengan gagasan Darwin tentang Evolusi. Sedangkan untuk membantahnya, saya sendiri tidak memiliki cukup argumentasi. Rupanya teriakan kafir itu membuatnya sangat marah sampai matanya berkaca-kaca, lalu pergi meninggalkan kelas.

Cukup lama saya tak digubris, sekali pun sedang berdiri di depan kelas menjalankan tugasnya. Sedang di sisi lain, karena merasa tidak bersalah, saya pun enggan meminta maaf, kendati sangat menyesal. Kupikir nilai biologi di buku raporku hancur. Eh, ternyata baik-baik saja.

"Maafkan saya, ibu," gumamku yang tiba-tiba merindukannya.

Darwin, seperti kita ketahui, membangun teori evolusinya di atas premis tentang seleksi alam, adaptasi, survivalitas, dan kepunahan. Dalam "On the origin of species", Darwin begitu sangat yakin bahwa perbedaan spesies terjadi karena seleksi alam (evolusi). Hanyalah yang mampu beradaptasi yang dapat bertahan hidup. Kalau tidak, punah.

Premis Darwin tentang seleksi alam, adaptasi, dan survivalitas, bagi saya bukan masalah. Apalagi, saya memang tidak cukup memiliki pengetahuan yang memadai untuk menegasinya. Padahal, meskipun sebenarnya sains modern juga sudah tak terlalu menggubrisnya. Kalau pun saya menolak, itu lebih karena doktrin "Adam manusia pertama", terlanjur tertanam kuat di benak saya, sehingga tidak bisa melihat kemungkinan lain.

Sebaliknya, kalau Teori Evolusi itu saya terima, maka saya pun harus menerima konsekuensi logis dari penerimaan itu, yaitu, bahwa kita dengan bangsa primata berasal dari moyang (asal) yang sama. Ini yang sulit bagi saya. Akan tetapi, tidak berarti bahwa saya setuju premis tersebut, sudah tidak berlaku. Karena menurut hemat saya, premis tentang adaptasi dan survivalitas itu, justeru sangat relevan untuk melihat realitas manusia modern.

Sudah bukan rahasia lagi bahwa untuk mencapai status sosial, ekonomi, dan politik tertentu yang lebih tinggi, manusia modern harus pandai berpura-pura, pintar menjilat, bahkan sampai harus melacur. Manusia modern berlomba membangun citra diri melampau dirinya sendiri. Padahal yang dicitrakan bukan lagi dirinya yang sebenarnya. Itulah realitas manusia modern yang sudah dianggap jamak. Oleh Baudrillard, realitas ini disebut sebagai hyperrealitas. Tetapi sejatinya adalah wujud adaptasi demi survivalitas itu sendiri.

Hanya saja, adaptasi itu berlangsung pada proses seleksi yang manipulatif, penuh rekayasa. Bukan seleksi alam. Akibatnya, manusia modern dipenuhi makhluk-makhluk simulakra, bergentayangan di pentas politik, sosial, dan ekonomi, bagaikan sosok tanpa dosa. Sementara mereka yang gagal beradaptasi dengan realitas, kemudian tidak juga berevolusi menjadi makhluk simulakra, itulah yang dicap sebagai sosok absurd yang malang. Atau sosok pandir yang gagal berdamai dengan realitas.

Sosok absurd dan makhluk simulakra, bisa siapa saja. Mungkin termasuk kita. Sosok absurd sarat dengan keterbatasan. Mereka rata-rata tak memiliki kemampuan ekonomi dan politik. Juga tak memiliki status sosial yang terpandang. Padahal mereka sebenarnya memiliki human capital yang memadai dan sedikit modal sosial. Itu sebabnya, mereka lebih banyak ditemukan di warung kopi.

Di pentas politik, sosial, dan ekonomi, mereka dihegemoni oleh makhluk simulakra. Sosok absurd ini lalu terpinggirkan. Karena tidak mampu bergentayangan, maka mereka pun luntang-lantung sembari memaki dengan nafas yang tersenggal.Sumber ilustrasi: ips1-smansapal.blogspot.co.id

Makhluk simulakra, lain lagi. Karena kemampuannya berdamai dengan realitas manusia modern, membuat mereka pada umumnya memiliki kehidupan yang mapan secara ekonomi, dan terpandang secara sosial. Mereka memiliki akses yang bagus di dunia politik. Sehingga tidak heran kalau mereka dapat ditemukan gentayangan di sekitar lingkaran kekuasaan.

Citra diri bagi mereka adalah nilai yang sangat penting, sehingga harus dijaga sedemikian cara. Gaya busana dan lingkungan pergaulan harus terjaga dan terawat dengan baik. Itu sebabnya mereka dapat ditemukan di kafe dan restoran hotel berbintang. Apa boleh buat, demi citra diri itu, harus membayar mahal. Harap maklum kalau pencapaian materi menjadi ukuran sukses, karena mereka sejatinya adalah pecandu kenikmatan duniawi.

Sosok absurd dan makhluk simulakra, boleh jadi dua orang sahabat yang saling merindukan. Persahabatan yang terjalin oleh cita-cita yang sama, saat dulu ketika mereka masih menjadi aktifis mahasiswa yang dipenuhi gelora idealisme. Kini, keduanya terpisah oleh jarak yang cukup jauh. Dan, hanyalah warung kopi yang dapat mempertemukan mereka kembali.

Kumandang suara azan subuh mulai bersahutan. Tidak terasa sudah dua jam lebih saya duduk di kios bubur kacang di pinggiran Stasiun Duren Kalibata. Sembari berdiri, kopi yang masih tersisa, saya habiskan dengan sekali hirup, lalu buru-buru beranjak pergi.

Oleh: Yarifai Mappeaty




Baca juga:
Mana Lebih Penting, Mengajukan Pertanyaan yang Lebih Banyak atau yang Lebih Benar?
Angkutan Ternak yang Mendukung Aspek Kesejahteraan Satwa Perlu Dilanjutkan
Dilema Investasi dan Bau Busuk Pabrik Tapioka di Sungailiat, Bangka

Yuk, Terbang Selamanya bersama Sobat Aviasi!

$
0
0


Kompasiana Akademi dan Blog Trip Sobat Aviasi

Bepergian dari satu tempat ke tempat lain menjadi semakin mudah dan nyaman dengan transportasi udara. Banyak yang menjadikan pesawat sebagai pilihan utama karena rute perjalanan yang semakin jauh dan beragam  hingga ke pelosok daerah. Selain itu transportasi udara terbukti keselamatannya, aman dan nyaman karena  selalu melalui proses pengecekan ketaat sebelum take off dan landing.

Namun, sudahkah Kamu datang tiga jam sebelum jam keberangkatan, tidak membawa barang terlarang ke dalam penerbangan, melepas barang yang mengandung metal ketika melewati metal detector, atau meematikan telepon genggam dalam pesawat? Hal-hal kecil tersebut sering disepelekan. Padahal itu penting agar selalu selamat, aman, dan nyaman dalam penerbangan ("Selamanya").

Nah, hal apalagi yang penting untuk diketahui agar penerbangan kita menjadi selamat, aman dan nyaman? Cari tahu yuk bersama Direktorat Jenderal Perhubungan Udara (DJPU) Kementerian Perhubungan melalui Komunitas Sobat Aviasi dan media sosial DJPU 151 yang menyediakan berbagai informasi penerbangan interaktif. Tidak hanya itu, DJPU juga akan mengadakan rangkaian kegiatan Kompasiana Akademi dan Blogtrip Sobat Aviasi. Program ini bertujuan agar para Kompasianer dapat menuliskan informasi seputar transportasi udara, bandar udara, serta prosedur keselamatan dan keamanan dengan akurat.

Kompasianer yang terpilih akan mengikuti pelatihan menulis blog tematik, foto, dan video blogging seputar aspek keselamatan dalam transportasi udara langsung dari ahlinya. Selain itu, peserta juga akan mengunjungi industri penerbangan untuk memperkaya pengetahuan seputar dunia penerbangan, simulasi penerbangan, serta hal-hal penunjang keselamatan dalam penerbangan.

Apakah Anda 25 Kompasianer yang kami cari? Yuk gabung dengan Kompasiana Akademi Sobat Aviasi! Simak rincian rangkaian kegiatan di bawah ini:

Kompasiana Akademi

  • Hari/Tanggal: Sabtu-Minggu, 24-25 Maret 2018
  • Waktu: 09.00 -- 15.00 WIB (peserta diharapkan datang 30 menit lebih awal untuk proses registrasi)
  • Tempat: Hotel Santika Teraskota BSD City, Jalan Pahlawan Seribu, Serpong, Tangerang [Peta Lokasi]
  • Kuota: 25 Kompasianer
    • Pendaftar harus sudah follow akun media sosial DJPU 151: Facebook, Twitter, Instagram, Youtube
    • Peserta bersedia mengikuti seluruh rangkaian Kompasiana Akademi dan Blogtrip Sahabat Aviasi karena pendaftar yang terpilih wajib hadir di kedua kegiatan tersebut.
  • Mentor:
    • Iskandar Zulkarnaen, COO Kompasiana
    • Arbain Rambey, Fotografer senior
    • Fikri Hidayat, Sinematografer Kompas.com
    • Alvin Lie, Pemerhati Penerbangan Sipil, Anggota Ombudsman RI
  • Key Note Speech: Dirjen Perhubungan Udara ya, DR. Ir. Agus Santoso, M.Sc
  • Aktivitas:
    • Edukasi aspek keselamatan dan keamanan dalam bertransportasi udara
    • Kelas menulis
    • Kelas foto & video

 

Kompasiana Blogtrip

  • Waktu dan Tempat:  (to be confirmed)
  • Aktivitas:
    • Simulasi dalam pesawat
    • Simulai penyelamatan diri ketika pesawat jatuh
    • Instagram competition (berhadiah voucher)
  • Kuota: 25 Kompasianer (peserta blogtrip merupakan peserta Akademi, dan diharapkan membawa baju ganti)

Selain itu, seluruh peserta Akademi Sobat Aviasi berkesempatan mengikuti Kompasiana Blog Competition dengan hadiah utama Kamera Digital Canon! Tunggu pengumuman selanjutnya di Kompasiana.

Jangan lewatkan kesempatan ini untuk mendapatkan pengetahuan dan pengalaman seputar dunia penerbangan! Untuk mengetahui kegiatan Kompasiana lainnya silakan klik di halaman event Kompasiana.




Baca juga:
Habiskan Milyaran untuk Tinggal di Hotel, Pemberitaan tentang CW Timbulkan Banyak Tanya
Mana Lebih Penting, Mengajukan Pertanyaan yang Lebih Banyak atau yang Lebih Benar?
Angkutan Ternak yang Mendukung Aspek Kesejahteraan Satwa Perlu Dilanjutkan

Ketika Penduduk Desa di Sumba Makan Ughi, Pertanda Apakah Itu?

$
0
0

Sumber: johntaena.blogspot.co.id

SEKITAR lima tahun belakangan ini, sudah tidak terdengar lagi atau mungkin tidak ada yang mengeksposnya, isu tentang penduduk atau warga masyarakat pedesaan di Pulau Sumba, yang mengonsumsi ughi (sebutan orang Kodi) atau uwi (lafal orang Wewewa), atau Iwi (istilah orang Sumba Timur). Isu ini paling sering terjadi di wilayah Kabupaten Sumba Timur.

Ubi gadung, demikianlah masyarakat Indonesia mengenalnya, hidup dan berkembang di areal semak dan hutan karena belum dibudidayakan di kebun dan pekarangan rumah. Secara morfologis, ughi merupakan tumbuhan yang menjalar dan merambat di batang-batang tegakan pohon. Batangnya berwarna hijau dan beruas. Setiap ruas ditumbuhi daun dan duri. Pada akarnya terdapat umbi, bisa tunggal dan juga majemuk. Umbinya bisa sebesar umbi petatas atau keladi, namun bergetah dan menyebabkan rasa gatal jika mengenai tubuh kita.

Ubi gadung tersebut memang memiliki kandungan karbohidrat dan rasanya enak jika dikonsumsi. Namun tentu setelah melalui proses (pengolahan tradisional) yang cukup lama, paling tidak sekitar satu bulan. Terburu-buru untuk mengonsumsinya akan menyebabkan rasa mabuk. Ubi gadung yang sudah diolah dan layak dikonsumsi, konon, bermanfaat untuk menyembuhkan penyakit maag.

Lalu apa masalahnya jika ada orang yang tahu mengolahnya dan suka mengonsumsinya? Ubi gadung juga sesungguhnya sebagai bahan penting campuran pewarna (wantek tradisional) untuk kain-kain tenun asli Sumba dari benang kapas.

Parameter krisis pangan
Empiritas kehidupan masyarakat Pulau Sumba (baik wilayah timur maupun barat), ughi memang bukan merupakan bahan makanan pokok. Ughi juga bukan merupakan tumbuhan berumbi satu-satunya yang ada di hutan dan dapat dimakan. Masih ada ubi hutan lain yang rasanya enak dan manis, seperti laghuta atau kandeyo, yang umum dikenal dengan nama gembili.

Jika ada penduduk di Sumba mengambil ughi di hutan untuk dijadikan bahan konsumsi atau makanan, itu pertanda apa? Sejujurnya, orang Sumba umumnya, sepaham atau tidak, sangat "sombong dan bahkan feodal" dalam hal urusan menu untuk perut. Mereka atau kami, lebih senang makan nasi beras padi dan lauk daging atau ikan. Nasi jagung menjadi pilihan ketika stok beras menipis atau tidak ada lagi. Ubi kayu, keladi, dan petatas, dikonsumsi secara sembunyi setelah tidak punya padi dan jagung lagi. Ughi diambil setelah ubi hutan lain sudah habis. Jadi, ughi baru akan diambil oleh penduduk apabila terpaksa, ketika terjadi krisis atau kekurangan bahan makanan. Kondisi ini biasanya terjadi pada musim kemarau yang sangat panjang.

Jika terjadi kondisi seperti itu, memang tidak serta merta dapat dikatakan sebagai pertanda sedang terjadi krisis pangan. Karena untuk mengambil konklusi tentang kondisi pangan harus dicermati tingkat ketersediaan unsur-unsur penting penopang ketahanan pangan. Bukan dari subsektor tanaman pangan dan hortikultura saja, akan tetapi juga berkaitan dengan subsektor-subsektor perkebunan, peternakan, perikanan dan kelautan serta ketersediaan sumber bahan pangan di pasaran.

Masalah yang memrihatinkan
Ada satu dua orang penduduk Sumba makan ughi, kiranya tidak menjadi masalah karena bisa saja dikatakan (mungkin) sebagai makanan kesukaan mereka. Makan Ughi tentu bukan dosa, karena makanan itu ciptaan Tuhan juga. Makan Ughi sebagai hasil budidaya petani, patut diapresiasi dengan penghargaan setimpal karena merupakan prestasi yang membanggakan.

Tetapi bagaimana kalau makan Ughi karena krisis stok bahan makanan dan frekuensinya sering terjadi? Ini tentu masalah yang sangat memprihatinkan.

Mengapa? Karena kekurangan bahan makanan adalah gambaran kemelaratan. Kemiskinan berlabel ketidakberdayaan ekonomi. Materai keringkihan sumber daya manusia yang ada. Potret visi kebijakan politik para pemangku kepentingan yang absurd. Manajemen tata kelola modal (daerah) yang tak ada alfa dan omeganya.

Tiga raksasa tidur
Fenotipe Pulau Sumba, menurut pengamatan sekilas Adi Sasono, Mantan Menteri Koperasi dan UKM, ketika bertandang di Sumba Barat Daya beberapa waktu lalu, adalah daerah yang sangat potensial, tanahnya subur dan bisa ditumbuhi tanaman apa saja, kawasan pantainya indah, dan lautnya berisi aneka ikan/cumi, serta ternaknya berkembang baik selaras alamnya yang memanjakan. Dia bahkan membandingkan daerahnya di Bandung yang tidak sesubur tanah Sumba. Aneh, katanya, kalau negerinya kaya tapi rakyatnya miskin.

Konklusi sementara Adi Sasono, rakyat Sumba miskin, disebabkan oleh tiga raksasa tidur yakni Lahan Tidur, Manusia Tidur, dan Modal Tidur. Adi Sasono tidak menguraikannya lebih lanjut, mungkin karena khawatir ada yang tersinggung.

Sinyalemen Adi Sasono tersebut barangkali ada benarnya. Pertama, menyangkut lahan tidur. Lahan terbuka dan subur yang belum diolah masih jutaan hektar. Kemampuan olah petani (KK tani) rata-rata hanya sekitar seperempat hektar. Kemampuan olah lahan yang demikian itu, menghasilkan produksi pertanian yang kurang memadai dan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga yang jumlahnya lebih dari 5 orang jiwa.

Kedua, menyangkut manusia tidur. Apakah betul orang-orang Sumba pemalas? Orang awam akan mengatakan ya. Tapi banyak peneliti dan Lembaga Swadaya Masyarakat yang berpendapat lain, yaitu orang Sumba kurang bekerja keras dan belum bekerja cerdas. Maklum, karena orang Sumba umumnya kurang berpendidikan. Celakanya, cukup banyak juga orang Sumba yang berpendidikan dan bahkan mempunyai posisi yang mentereng, tapi tidak memancarkan cahaya sebagai suritauladan dan tempat belajar bagi orang Sumba kebanyakan yang tidak berpendidikan untuk bekerja keras dan cerdas. Oleh karenanya jangan heran kalau jarang kita melihat petani NTT yang sukses, pegawai yang membanggakan dan pejabat (apa saja) yang dapat diteladani.

Dan ketiga, berkaitan dengan modal tidur. Hampir belum terdengar, ada pengusaha sukses mendorong petani miskin. Demikian juga, jarang kita menyaksikan ada pejabat besar bertani bersama rakyat kecil. Modal-modal mereka tidak bermakna apa-apa untuk orang-orang di sekeliling mereka. Lebih sadis lagi, jika modal yang ada di pemerintah tidak berorientasi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat banyak yang miskin.

Seberapa besarkah APBD diarahkan untuk mendorong orang-orang miskin yang umumnya adalah petani? Jangan sampai kita belum bergeming dengan tradisi --(mohon maaf ya!)-- mengaburkan dan mengubur anggaran atas nama kepentingan rakyat melalui program atau kegiatan yang absurd.

Jika kita menyadari bahwa benar ada tiga raksasa yang tidur, maka marilah kita membangunkannya menjadi tiga raksasa yang terjaga. Jangan ditunda. Harus dimulai saat ini. Mumpung masih musim hujan. Lahan-lahan yang tidur segera diolah. Supaya petani memiliki kebun luas. Untuk menanam aneka komoditi tanaman pangan atau tanam secara berlapis.

Tentu untuk mewujudkan hal tersebut sangat diharapkan adanya political will pemerintah dan DPRD melalui kebijakan alokasi anggaran yang memadai. Dukungan dan bantuan LSM dan Swasta. Itu pun tidak cukup karena kemauan keras petani juga menjadi kunci utama menuju sukses, "rakyat yang berkecukupan pangan dan sandang".

 

Rofinus D Kaleka *)

12 Maret 2018




Baca juga:
Stephen Hawking, Lionel Messi, dan Sepak Bola
Maumere, Dari Wisata Alam, Religi hingga Kuliner
[KIK] Mencari Potensi Energi Baru Terbarukan yang Ada di Pelosok Indonesia

Menyoal Utang Negara

$
0
0

Sumber ilustrasi: www.udu.co.zaAkhir-akhir ini sedang ramai dibicarakan soal utang negara.

Sebelum ke mana-mana, mari kita samakan dulu persepsi paling mendasar yang terkait dengan suatu utang-piutang.

Pertama dan terpenting di atas segala-galanya: permohonan berutang tak mungkin disetujui pihak yang mengutangkan ---selanjutnya kita sebut kreditur--- jika kemampuan melunasi yang bersangkutan diragukan.

Soal jaminan adalah hal lain dan bukan pertimbangan pertama, meskipun nilai yang diberikan jauh di atas jumlah pinjaman. Apalagi jika yang dijaminkan tak liquid alias mudah dicairkan. Misalnya seperti logam mulia, sertifikat deposito, atau kepemilikan saham pada perusahaan yang sudah terdaftar di pasar modal.

Jadi, jika Anda bisa memperoleh pinjaman, artinya kreditur percaya Anda mampu mengembalikan dan memberi manfaat yang lebih besar, atau keuntungan, kepada mereka. Tak ada pihak yang sesungguhnya meragukan kemampuan Anda, tapi tetap bersedia memberi pinjaman.

Siapa sih yang mau rugi di dunia ini?

+++

Sesungguhnya, para pemberi pinjaman juga rajin memantau perilaku Anda. Jika gaya hidup Anda sehari-hari tak tertib, konsumtif, dan sering berfoya-foya maka akan mempengaruhi persetujuan permohonan pinjaman yang diajukan. Sebagai sejawat yang senasib dan sepenanggungan, para kreditur satu dengan yang lain saling bertukar informasi. Jadi Anda semakin sulit berbohong atau menyembunyikan fakta kemampuan yang sebenarnya.

Singkat kata, itulah peran yang dimainkan lembaga-lembaga yang kerjanya memberi peringkat itu. Mereka meletakkan "label" soal kapasitas, kapabilitas, dan bonafiditas kita.

Jadi, agar bisa dan dipercaya menerima pinjaman itu, sesungguhnya bukan hal yang mudah. Bersyukurlah jika masih ada yang bersedia. Ingatlah selalu hal pertama dan terpenting sehingga pinjam-meminjam dapat berlangsung, sebagaimana dijelaskan pada bagian paling awal di atas.(sumber gambar: pre-kon.net)

+++

Sekarang kita kupas soal peruntukan pinjaman.

Karena setiap pinjaman yang diberikan akan sangat memperhatikan soal kemampuan mengembalikan, maka prioritas utama peruntukannya adalah untuk membiayai kegiatan "produksi" yang Anda miliki dan menghasilkan nilai tambah alias keuntungan.

Nilai tambah kegiatan produksi terbesar, cenderung stabil, dan bersifat jangka panjang, tentunya lebih dijanjikan oleh kegiatan yang berada pada sektor manufaktur. Sayangnya, sejak merdeka dan ketika sumber daya kita masih berlimpah ruah, penguasa waktu itu lebih suka berpesta pora dibanding bekerja membangunnya.

Saat itu, kelebihan '"produksi" eksploitasi kekayaan alam yang tidak terpakai jauh lebih besar dibanding yang kita butuhkan. Meski dijual "murah" sekali pun, hasilnya memang sangat berlebihan sehingga para penguasanya masih leluasa berpesta pora.

Tapi pemberi pinjaman tentu tak bodoh. Meski prihatin dan capek menasihati, mereka tetap mengukur sampai kapan Indonesia masih memiliki kelebihan produksi hingga leluasa mencicil pengembalian pinjamannya. Ketika tiba waktunya, mereka pun tak sudi lagi memberikan pinjaman kepada bangsa yang lengah mengembangkan nilai tambah ini.

Sebab pinjaman yang diberikan memang tak lagi untuk hal-hal produktif. Tapi telah digunakan sekadar untuk "gali lobang dan tutup lobang" utang, serta hanya membiayai hal-hal konsumtif yang tak bersangkut paut dengan nilai tambah.

Itulah yang terjadi pada tahun 1998 lalu.

Bagaimana pun, para pemburu rente pinjaman tetap membutuhkan "pasar" bagi produk keuangan mereka. Maka ketika mereka mengulurkan 'bantuan penyelamatan' kepada kita yang waktu itu sedang sekarat, syarat tak lagi 'memanjakan' rakyat lewat bermacam subsidi harus dipenuhi.

Mengapa demikian?

Sebab, masa pesta pora gratis telah usai. Sudah tiba saatnya segala sesuatu dilihat secara kelaikan ekonomis sehingga pinjaman yang diberikan tak lagi disia-siakan, dan harus menjadi tanggung jawab 'seluruh bangsa' untuk mengembalikannya.

Di sanalah rezim sadar pajak bermula. Hal yang sesungguhnya mulai disadari Suharto menjelang akhir 1980-an. Ketika harga minyak yang menjadi primadona kita mulai terjun bebas. Ingat kan soal OPEC ---organisasi yang menaungi negara-negara pemilik sekaligus exportir minyak dunia--- yang saban tahun sibuk bersidang agar masing-masing negara membatasi produksi supaya pasar tak kebanjiran?

Sayangnya kesadaran Suharto tentang pentingnya pajak nonmigas itu terlambat. Yakni ketika "spoiled kids" yang dibesarkan sebelumnya telanjur menjadi malas dan manja.

+++

Tapi bukankah Indonesia hari ini tak memiliki keistimewaan di bidang manufaktur?

Ya, walau sangat terlambat, di bawah kepemimpinan Joko Widodo, bangsa ini terlihat nyata ingin membenahi diri. Di sisi lain, kebiadaban budaya korupsi-kolusi-nepotisme memang sedang mencapai puncaknya. Terlepas dari muda dan tertatihnya demokratisasi yang sedang dilalui, bangsa yang besar dan memggiurkan dunia ini sedang melalui berbagai 'sunatullah' untuk membangun dan mencari jati dirinya.

Semula Joko Widodo sudah mengumandangkan sebuah gerakan yang disebut Revolusi Mental. Hal yang sesungguhnya harus dilakoni secara bergotong-royong. Tapi membangunkan kesadaran pentingnya hal itu memang tak mudah. Apalagi di tengah bangsa yang sebagian besar dalam seumur hidupnya telah meyakini kekeliruan korupsi-kolusi-nepotisme sebagai hal yang "wajar" bahkan semestinya.

Sejatinya, Joko Widodo juga tak memiliki waktu lebih lama dari 5 tahun. Soal terpilih lagi untuk periode 5 tahun berikutnya dan terakhir kali, adalah misteri yang penuh teka-teki dan tanpa kepastian. Maka kepastian 5 tahun berkuasa yang dimilikinya sejak 2014 lalu hingga 2019 mendatang, harus dimanfaatkannya secara optimal.

Adalah pembangunan fisik ---utamanya infrastruktur--- yang paling memungkinkan dan leluasa dipastikan keberhasilannya. Dalam hal tersebut, Joko Widodo memiliki keleluasaan untuk menegaskan dan memastikannya, tanpa harus banyak terlibat dengan berbagai kompromi politik yang sering menjebak dan menyesatkan langkah siapa pun.

Presiden Indonesia ke-7 tersebut memberi isyarat kuat tentang tekadnya membangun infrastruktur itu, sejak hari pertama menduduki singgasana. Diputuskannya mengalihkan anggaran subsidi energi yang sangat membebani Negara pada pemerintahan sebelumnya, untuk membiayai pembangunan itu. Alam semesta seakan menanggapinya dengan suka cita karena saat yang sama, harga minyak dunia terperosok sangat dalam.

Bukan hanya mampu meringankan beban rakyat yang tak lagi boleh bermewah-mewah menikmati energi bersubsidi, jatuhnya harga minyak itu juga berkorelasi dengan kelesuan ekonomi dunia. Pada akhirnya tentu juga berimplikasi pada Indonesia. Belum lagi implikasi bermacam disrupsi yang melanda berbagai sendi kehidupan kita akibat terjangan Revolusi Industri 4.0 .

Ikhtiar mulia Joko Widodo itu, tentu tak lepas dari pencermatan para kreditur. Sebab, prioritas pemberian pinjaman berikutnya setelah hal yang berkait langsung dengan produksi (manufaktur) adalah pada segala sesuatu yang berkait dengan kualitas dan kemudahan untuk "kelak" melakukan produksi.

Menggunakan (sebagian besar) pinjaman untuk infrastruktur, artinya menghasilkan modal (asset). Bukan sekadar biaya yang hanya berujung pada laba-rugi (profit and loss). Bagi yang paham membaca neraca, tambahan liability di sisi kanan akan diimbangi oleh peningkatan asset di sisi kiri.

Sementara jika utang-utang itu semata digunakan untuk berbagai biaya (expenses) maka penambahan liability di kanan itu hanya diimbangi dengan peningkatan kerugian di bagian bawah neracanya. Sebab biaya-biaya itu tak berkorelasi dengan pendapatan. Baik karena belum tersedianya sektor manufaktur yang produktif, maupun pengaruh anjloknya harga komoditas yg masih bisa diandalkan di pasar global.

+++

Bagaimana jika Joko Widodo tak terpilih lagi? Tidakkah pembangunan itu sia-sia?

Jawabnya, tidak!

Sebab Indonesia tetap harus hadir di pentas dunia meskipun Joko Widodo tak lagi ada di puncak kekuasaan.

Indonesia hari ini bukan seperti yang tempo hari. Negara kaya raya sumber daya alam yang sangat berlebih untuk difoya-foyakan tanpa tanggung jawab. Siapa pun yang kelak memimpin Indonesia harus bekerja keras meningkatkan produktivitas. Sebab, hanya melalui industrialisasi yang menghasilkan nilai tambah, pundi-pundi keuangan negara yang bersumber dari pajak bisa dipenuhi untuk membiayai keberlanjutan hidup bangsa ini.

Bagi kreditur, semua itu jelas menjanjikan kepastian bagi pengembalian pinjaman yang diberikan.

Ada satu hal lagi, yakni tentang peningkatan kapasitas dan kapabilitas sumber daya manusia. Aset tak berwujud (intangible) yang tak tercantum dalam neraca, tapi mahapenting bagi pertumbuhan neraca itu sendiri.

Jadi, seperti kata Sri Mulyani, demi meningkatkan kapasitas dan kapabilitas generasi muda Indonesia untuk mengisi dinamika persaingan global di masa depan, menggunakan utang untuk pendidikan adalah perlu dan harus.

Para kreditur pun menyambutnya dengan baik, bukan?

Sebab, di dalam tatanan ekonomi, kemajuan dan pertumbuhan adalah segalanya. Tak satu pun pelaku yang mengharapkan pasar menjadi hilang dan terhapus dari petanya.

Jadi, sudah jelas kan kenapa perlu dan harus kita berutang hari ini?

Daripada usil membicarakan yang tak paham, lebih baik berupaya melakukan sesuatu yang bermanfaat. Terutama agar bangsa ini mampu meningkatkan produktivitasnya sesuai dengan keahlian yang dimiliki.

Jilal Mardhani, 16-3-2018




Baca juga:
"Sport Science" yang Kurang Tersentuh dalam Sepak Bola Indonesia
Stephen Hawking, Lionel Messi, dan Sepak Bola
Maumere, Dari Wisata Alam, Religi hingga Kuliner

Ucapan "Terima Kasih" yang Membekas

$
0
0

Sesederhana apapun caranya, penting sekali bagi kita untuk mengucapkan “terima kasih”. Sumber: https://www.tomeggebrecht.com

Adalah Genoveva (bukan nama sebenarnya) yang memicu refleksi ini. Perempuan muda ini bekerja di perpustakaan kampusku. Bagiku Genoveva sangat berjasa, tidak hanya dalam pelayanan pinjam-meminjam buku, tetapi juga dalam pengadaan buku dan jurnal baru. Saya yakin para dosen dan mahasiswa senang bukan hanya ketika dilayani dengan baik dan ramah, tetapi juga ketika bahan/materi yang mereka cari dapat dengan mudah ditemukan di perpustakaan ini. Hampir sepuluh ribu mahasiswa menggunakan perpustakaan ini, baik online maupun offline. Belum terhitung hampir 500 dosen tetap dan ratusan dosen tidak tetap.

Salah satu "tugas" Genoveva adalah mengumumkan kepada seluruh dosen soal buku baru apa saja yang baru tiba di perpustakaan. Dia mengumumkannya di email para dosen (allstaff). Kadang dua kali dalam sebulan, kadang hanya satu kali. Saya tidak tahu dosen-dosen lain, tetapi yang saya lakukan adalah segera mengecek buku-buku apa saja yang baru masuk ke perpustakaan, di mana buku-buku tersebut diletakkan --apakah di perpustakaan induk atau di fakultas-- lalu apa saja judul buku-buku tersebut dan jika ada yang menarik, saya bisa memesannya atau datang langsung dan meminjamnya. Beruntung bagi dosen bahwa masa peminjaman buku bisa sampai satu semester.

Dan seperti biasa, siang itu saya membaca pengumuman buku baru itu. Entah mengapa, saya lalu mengirimkan sebuah pesan singkat ke Genoveva via inbox (email japri). Di situ saya mengucapkan "terima kasih" karena sudah memesankan buku-buku tersebut. Termasuk di dalamnya adalah buku-buku yang saya pesan. Tidak lama berselang, Genoveva membalas email saya, katanya, "Ya pak, sama-sama. Baru bapa yang ucapin terima kasih!"

Genoveva tidak mempersoalkan mengapa para dosen lain tidak mengucapkan terima kasih, dan mungkin itu jauh dari pikirannya. Dia pasti berpikir bahwa itu tidak perlu juga, karena tugasnya memang seperti itu. Tetapi mengapa kata-kata Genoveva itu begitu membekas di hati saya? Mengapa saya justru terhantui dan memikirkan lebih jauh lagi soal itu? Bahkan ketika dalam perjalanan pulang di Busway pun kata-kata Genoveva masih terngiang di telinga saya: "Baru bapa yang ucapin terima kasih!"

Perpustakaan utama di tempat saya bekerja. Sumber: https://twitter.com/atmalib

Perkataan Genoveva ini, bagi saya, menegaskan dua hal sekaligus.

Pertama, relasi antarmanusia dalam institusi seperti Universitas dengan ribuan mahasiswa memang sangat dibantu oleh teknologi. Pelayanan di perpustakaan sangat baik berkat aplikasi tekonologi tertentu. Tetapi teknologi itu sendiri sangat mudah mengalienasikan orang alias membuat orang semakin jauh satu sama lain. Tidak ada lagi basa-basi dan canda tawa. Teknologi telah menggantikan hubungan keramahan dan ekspresi senyuman manusiawi dengan logika kecepatan dan efisiensi.

Dengan "alienasi" saya maksudkan sebagai pengalaman subjek merasa aneh dan terasing dengan diri sendiri. Ini konsep Marxis untuk menggambarkan orang yang terasing dari lingkungan sosialnya karena hidup dalam masyarakat yang terstratifikasi secara sosial, dan ketika orang itu hanya menjalankan perannya secara mekanistik dalam masyarakat semacam itu.

Kedua, ucapan "terima kasih" tampaknya dapat mengambil jarak terhadap relasi yang terlalu mengandalkan teknologi komunikasi. Dengan mengatakan terima kasih, orang yang semula merasa melakukan pekerjaan karena tugas dan tanggung jawab, tiba-tiba merasa dihargai. Dia merasa disapa dan diposisikan sebagai manusia. Dengan begitu, dia sebetulnya sedang disadarkan bahwa yang sedang dilayaninya bukanlah kumpulan benda-benda, tetapi manusia yang sama seperti dirinya, yang tahu menghargai dan tahu memberi hormat.

Tiga alasan
Sudah lama sekali saya menulis hal yang sama, dan waktu itu saya mengalami hal yang mirip. Bahwa ternyata semakin sedikit mahasiswa yang mengucapkan kata "terima kasih" kepada dosennya, entah setelah kuliah, entah setelah dosen mengembalikan kertas ulangan, paper, atau setelah ujian semester. Saya tidak mengulang apa yang sudah saya katakan enam tahun lalu itu. Ketika saya merefleksikan kata-kata Genoveva, tiga hal berikut muncul dalam pikiran saya tentang pentingnya mengucapkan "terima kasih".

Pertama, mengucapkan terima kasih ternyata mampu memperbaiki dan memperat persahabatan. Ada nasihat lama mengatakan bahwa kita harus selalu mengucapkan terima kasih dalam segala hal karena itulah yang dikehendaki Tuhan. Orang psikologi pun mengajarkan hal yang kurang lebih sama. Dikatakan bahwa kata "terima kasih" yang tampaknya begitu sederhana ternyata mampu memperbaiki dan mempererat persahabatan. 

Dia menambahkan nilai kedekatan pada orang yang dengannya kita berelasi. Ucapan terima kasih membuat orang yang menerimanya merasa dihargai, dan itu memanusiakan dia. Dia merasa seperti diposisikan sejajar dengan kita, dan karena itu dapat menumbuhkan rasa percaya dan penyerahan diri. Kata terima kasih rupanya mampu menembus sampai ke kedalaman hati dan jiwa manusia. Dia membuka selubung pemisah antarmanusia.

Mengucapkan terima kasih itu ternyata mampu mempererat persahabatan. Sumber: https://www.thoughtco.com

Kedua, kata terima kasih ternyata mampu menumbuhkan rasa sukacita dan kegembiraan. Kegembiraan, menurut saya, bermakna lebih sempit. Orang yang menerima hadiah baru bisa saja bergembira. Tetapi orang yang sedang dalam kesusahan sudah hampir pasti tidak merasa gembira. Tetapi tidak demikian dengan sukacita. 

Orang yang menerima hadiah atau mendapat kenaikan gaji pasti bergembira tetapi belum tentu bersukacita. Sebaliknya, orang yang sedang dalam kesusahan, bisa saja bersukacita. Jika kegembiraan menyentuh aspek eksternal manusia, sukacita lebih merupakan rasa gembira dalam hati. Ada energi positif yang mengalir dari dalam hati, yang mendorong seseorang untuk bersukacita.

Mengucapkan "terima kasih" tidak hanya membuat orang bergembira, tetapi sekaligus menjadikannya bersukacita. Dia mengalami kegembiraan dalam batin. Dalam pengalaman religius, sukacita itu dialami karena perjumpaannya dengan suatu kebaikan, dan Tuhan menggunakan kita yang mengucapkan terima kasih itu sebagai sarana untuk menyampaikan kebaikan tersebut. Dengan begitu, ucapan terima kasih kita menyentuh jiwa, mengubahnya menjadi sukacita dan memungkinkan seseorang mengalami kehadiran Tuhan, atau sekurang-kurangnya mengalami kehadiran suatu kebaikan yang lebih besar.

Ketiga, dengan begitu, mengucapkan terima kasih sekaligus berarti membuka hati dan kebaikan Tuhan kepada orang lain. Agama mengajarkan supaya kita mencintai diri, sesama, dan Tuhan dengan sepenuhhati dan bukan setengah hati. Sapaan terima kasih yang membekas dan menyentuh hati mendorong seseorang membuka dirinya kepada Tuhan. Orang itu dimampukan untuk mengalami kebaikan Tuhan melalui kita (yang mengucapkan terima kasih).

Genoveva tidak menyadari bahwa apa yang dikatakannya telah memicu refleksi sejauh ini. Meskipun sederhana, ini sebuah perkara serius. Kita membangun komunikasi dan relasi dengan sesama, menurut saya, harus bisa menyentuh aspek emosional. Mengapresiasi orang lain dalam hal yang kecil sekalipun, termasuk di dalamnya adalah mengucapkan terima kasih selepas office boy mengantarkan teh hangat di ruang kerja, seusai cleaning service mengepel ruang kerja, setelah petugas mengantarkan surat, dan seterusnya, itu akan menjadi praktik yang membekas.

Dia akan menyentuh hati, membukanya kepada penghargaan dan kasih. Dan lebih tinggi lagi adalah menyingkapkan kasih dan kebaikan Tuhan kepada manusia.

Jadi, jangan pernah abai mengucapkan "terima kasih".




Baca juga:
Kondisi Terkini H-1 Jelang Nyepi Penyebrangan Gilimanuk Bali
"Sport Science" yang Kurang Tersentuh dalam Sepak Bola Indonesia
Stephen Hawking, Lionel Messi, dan Sepak Bola

Label SNI untuk Buku, Memangnya Ada?

$
0
0

Sumber ilustrasi: maskaRadApa yang terpikir oleh Anda jika ada produk dilabeli SNI? Apakah Anda merasa bahwa produk SNI itu terkait dengan kualitas baik? Demikian salah satu hasil penelitian yang sekilas saya baca dari jurnal Standardisasi milik BSN (Badan Standardisasi Nasional) tentang persepsi masyarakat terhadap produk ber-SNI.

Boleh jadi begitu membaca atau mendengar tentang SNI, kali pertama yang tersirat adalah kasus yang mencuat baru-baru ini. Seseorang curhat di media sosial tentang barang mainan pesanannya yang ditahan oleh pihak Bea dan Cukai. Pasalnya, mainan itu tidak ber-SNI.

Untuk mengurus SNI, orang tersebut harus mengurusnya di dua kementerian di Jakarta. Ia merasa dipingpong karena bolak-balik tanpa kejelasan. Bahkan, antiklimaks akhirnya mainan itu dimusnahkan di kantor Bea dan Cukai. Menanggapi hal ini sampai-sampai Menkeu Sri Mulyani angkat bicara.

Tampaknya antara regulasi dan petugas di lapangan sering tidak sinkron dalam penerapannya. SNI yang dimaksudkan untuk melindungi konsumen di Indonesia malah menjadi ribet. Publikasi tentang SNI sendiri kepada masyarakat awam boleh dibilang masih minim. Walaupun demikian, jika kita berkunjung ke situs BSN, sejatinya tersedia cukup banyak kanal informasi tentang SNI.

Kiprah BSN dalam standarisasi
SNI telah ditetapkan sebagai satu-satunya standar nasional yang berlaku di Indonesia. Lembaga yang berwenang mengeluarkan SNI adalah Badan Nasional Standardisasi yang terbentuk pada tahun 1997. Waktu itu yang mendorong berdirinya BSN (memisahkan diri dari LIPI) adalah B.J. Habibie sehingga lahirlah Keputusan Presiden No. 13 Tahun 1997 . Selanjutnya, Presiden Abdurrahman Wahid menandatangani Keputusan Presiden No. 166 Tahun 2000 sebagai penyempurnaan BSN.

BSN memiliki kepanjangan tangan dalam penetapan sistem akreditasi dan sertifikasi (produk) yaitu Komite Akreditasi Nasional (KAN) dan Komite Standar Nasional untuk Satuan Ukuran (KSNSU) untuk penetapan satuan dan ukuran.

SNI dimaksudkan untuk melindungi masyarakat pengguna dari aspek keamanan, keselamatan, kesehatan, serta pelestarian fungsi lingkungan. Selain itu, dari sisi industri, SNI dimaksudkan untuk meningkatkan daya saing produk nasional dan memperlancar arus perdagangan. Penerapan SNI memang selayaknya berbasis standar internasional.

Karena itu, BSN juga tergabung di dalam International Organization of Standardization (ISO) sehingga penerapan SNI umumnya berbasis ISO. Kini ada lebih dari 7.000 SNI yang telah dihasilkan oleh BSN, termasuk di antaranya SNI Perbukuan.

Memang ada, SNI perbukuan?

Beberapa tahun lewat saya diinformasikan oleh kolega saya dari LIPI Press bahwa sudah ada SNI Perbukuan berbasis ISO. Dengan penasaran, saya pun berkunjung ke situs BSN dan memang menemukan adanya SNI Perbukuan. Bahkan, BSN menerbitkan buku berjudul Manual Gaya Penulisan Buku Berdasarkan SNI dan ISO karya Tisyo Haryono.

Namun, saya mengkritik penerbitan buku ini karena justru tidak menerapkan standar dan konvensi internasional terkait penerbitan buku. Contohnya, di dalam halaman pendahulu (preliminaries) yang semestinya tidak ada judul lelari/pelari (running title) justru malah ada. Contoh lain adalah deskripsi yang ditulis oleh penulis sendiri tentang buku disebut kata pengantar (foreword) yang seharusnya prakata (preface).

Di sisi lain, buku tersebut membahas penerapan SNI berbasis ISO untuk penulisan buku, seperti standar kelengkapan informasi pada halaman judul buku, punggung buku (spine), penyusunan indeks, dan tentang standar penomoran buku secara internasional (ISBN). Namun, sekali lagi, SNI ini belum komprehensif mencakup keseluruhan anatomi buku dan juga tata tulis lainnya.

Jadi, kalaupun mau diacu oleh para penulis dan penerbit, tampaknya masih menggantung. Seperti juga yang terjadi pada penerbitan buku Manual Gaya Penulisan Berdasarkan SNI dan ISO yang justru masih mengandung beberapa kelemahan.

SNI Perbukuan ini faktanya ternyata tidak "berbunyi" di kalangan pelaku perbukuan sendiri. Saya yakin 99% penerbit atau penulis buku tidak ada yang tahu bahwa ada SNI Perbukuan berbasis ISO yang sudah ditetapkan. Masalahnya, saat penyusunan tidak ada wakil asosiasi seperti Ikapi atau APPTI diundang oleh Komite Teknis yang menyusunnya di BSN.

Saya kira penyusunan SNI ini sama dengan penyusunan SKKNI yang diinisiasi oleh BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi). Penyusunan suatu standar, baik itu sertifikasi maupun akreditasi, hendaknya melibatkan para pemangku kepentingan. Apalagi, saat ini di dalam UU No. 3/2017 tentang Sistem Perbukuan telah disebutkan dengan jelas siapa saja pelaku perbukuan.

SNI Perbukuan

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Tanggal 13-15 Maret 2018, saya justru diundang sebagai narasumber/instruktur Pelatihan Konversi KTI Nonbuku Menjadi Buku untuk fungsional peneliti, pustakawan, dan widyaiswara di BSN. Jadilah selama tiga hari itu saya juga membahas tentang standar dalam dunia penulisan sekaligus penerbitan buku.

Berbagi di BSN tentang Penulisan Buku (Dok. Pribadi)

Apa yang saya paparkan malah banyak yang baru diketahui oleh para wakil dari BSN yang berjumlah 20 orang itu. Selain itu, saya informasikan juga bahwa saat ini saya sendiri bersama tim perumus Peraturan Pemerintah tentang Sistem Perbukuan tengah menggodok standar penulisan, penerjemahan/penyaduran, penyuntingan, pengilustrasian, dan pendesainan buku sebagai penjabaran dari UU Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan.

Saya juga terlibat dalam penyusunan standar Perjenjangan Buku di Puskurbuk yang telah menghasilkan daftar perjenjangan buku berdasarkan kemampuan membaca dan usia pembaca sasaran. Dengan demikian, penulis dan penerbit akan memiliki acuan standar dalam menulis dan menerbitkan buku, terutama buku anak-anak.

Gayung bersambut tampaknya BSN merespons upaya untuk menyusun SNI Perbukuan berbasis ISO secara komprehensif. Apalagi, dasar hukumnya juga sangat kuat yaitu Undang-Undang dan penerapan standar dimaksudkan sebagai salah satu langkah penjaminan mutu buku, terutama buku pendidikan.

Semesta mendukung, Tuhan memberkati. Ini sebentuk perjuangan untuk dunia perbukuan Indonesia agar semakin maju dengan standar kualitas kelas dunia. Senyampang telah terbitnya UU Sistem Perbukuan dan disusunnya PP tentang Sistem Perbukuan maka tersusun pula SKKNI bidang perbukuan sekaligus SNI Perbukuan.

Bukankah kita Indonesia telah pernah menjadi tamu kehormatan di ajang bergengsi perbukuan dunia, Frankfurt Book Fair tahun 2015? Bukankah tahun depan kita juga akan menjadi Market Focusdi pameran perbukuan prestisius, London Book Fair? Jadi, tidak ada alasan untuk bermalas-malasan menyusun standar, sertifikasi, dan akreditasi.[]




Baca juga:
Menanti Kelanjutan Kisah Doel Lewat "Si Doel The Movie"
Kondisi Terkini H-1 Jelang Nyepi Penyebrangan Gilimanuk Bali
"Sport Science" yang Kurang Tersentuh dalam Sepak Bola Indonesia

Mendag Enggar, Dulu Hobi Demo sekarang Jadi Menteri

$
0
0

COO Kompasiana Iskandar Zulkarnaen (kiri) bersama Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita (kiri) dalam acara Perspektif Kompasiana

Kompasiana menggelar sebuah diskusi rutin bertajuk "Perpektif" bersama Menteri Perdagangan Indonesia Enggartiasto Lukita, di Kementerian Perdagangan, Jakarta (13/3/2018). Di sana, Mendag Enggar berkisah tentang dirinya saat masih menjadi mahasiswa hingga menjadi menteri.

Mendag Enggar mengatakan, selama tujuh tahun mengenyam bangku perguruan tinggi dirinya banyak disibukkan dengan kegiatan demonstrasi. Itu tak lain karena hidupnya lebih sering di jalan.

"Itu khas lah sebagai mahasiswa dulu," katanya.

Bersama rekan seperjuangannya kala itu, Mendag Enggar kerap mendemo partai Golongan Karya (Golkar), yang notabene penguasa di zamannya. Uniknya, Partai Golkar justru punya andil besar dalam perjalanan politik Mendag Enggar.

Bermula dari ucapan mantan bosnya sewaktu masih bekerja di PT Bangun Tjipta Pratama yang menyarankannya masuk Partai Golkar, jika Mendag Enggar ingin mengubah sistem pemerintahan.

"Pak Siswono menyadarkan saya kalau mau mengubah (pemerintahan) harus masuk ke dalam sistem. Dan sistem pada zaman itu hanya satu, Golkar. Dua partai lain adalah bagian dari itu," katanya.

Menariknya, Siswono sendiri adalah salah satu tokoh utama peristiwa rasial pada 10 Mei 1963 di ITB. Bentrokan pada peristiwa terebut terjadi antara mahasiswa non-Tionghoa dengan mahasiswa Tionghoa.

Meski demikian, dikatakan Mendag Enggar, Siswono sangat profesional dan tidak sekali pun pernah bertindak rasis. "Tetapi dia seorang nasionalis tulen dan tidak ada sedikit pun sikap rasisnya. Dia tokoh pengusaha nasional idola saya," ujarnya.

Karenanya, atas saran idolanya itu, menteri yang memfavoritkan nasi jamblang dan empal gentong ini bergabung bersama Partai Golkar sebagai Wakil Bendahara Umum. Semenjak itu, karier politiknya terbilang moncer dengan terpilih sebagai anggota DPR RI tiga periode, 1999-2000 dan 2000-2004 (Partai Golkar), dan pada periode 2014 (Partai Nasdem). Sampai pada Juli 2016 dia diminta untuk menjabat Menteri Perdagangan oleh Presiden Joko Widodo dalam Reshuffle Kabinet Jilid II.

Perspektif Kompasiana

Pasar Tradisional vs Modern

Menerima jabatan sebagai menteri, Mendag Enggar sadar bahwa ada pekerjaan berat yang menantinya. Dugaannya benar, Jokowi langsung memberikan tiga poin utama untuk Kementerian Perdagangan.

"Pada waktu Juli 2016 dipanggil presiden untuk ditugaskan menjadi Menteri Perdagangan dan beliau menekankan tiga hal: Sediakan bahan pokok, jaga bahan pokok, serta turun dan stabilkan harga," katanya di acara yang dihadiri puluhan Kompasianer itu.

Dalam menjalankan perannya sebagai menteri dirinya mempunyai beberapa pekerjaan rumah antara lain adalah menyehatkan persaingan antara pasar tradisional dan modern, yang menurutnya, sudah terlalu timpang.

"Di sini (pasar tradisional) tempatnya kumuh, becek, bau, dan harga mahal dibanding pasar ritel modern yang nyaman, bersih, ber-AC, dan harga relatif murah," terangnya. "Di tengah-tengah atau kiri-kanannya pasar dibangun lah Alfamart atau Indomaret, terutama menjelang atau setelah Pilkada sebagai kompensasi dari kepala daerah."

Meski begitu, dikatakannya, bukan berarti pasar modern harus ditutup. Sebab dia menilai ritel modern adalah sebuah keniscayaan tersendiri dalam menyerap tenaga kerja.

Mendag Enggar pun memilih pembenahan fisik dan kemitraan sebagai solusinya. Dan pemerintah ikut andil di sana. Dia pun mengancam apabila para pasar modern menolak dengan gagasan ini, "Kami akan tutup!" ucapnya.




Baca juga:
Membuat Kopi Enak dengan Metode Seduh V60
Menanti Kelanjutan Kisah Doel Lewat "Si Doel The Movie"
Kondisi Terkini H-1 Jelang Nyepi Penyebrangan Gilimanuk Bali

Dari Pabbarasanji sampai Politik Kue

$
0
0

Sumber ilustrasi: sajiansedap.grid.idTahun 1990-an jumlah jamaah haji di kampung kami meningkat. Setiap jamaah haji itu memiliki tradisi ritual barsanji setiap malam jumat. Jadi hari Kamis para keluarganya sibuk menyiapkan kue-kue untuk acara sebentar malam. Tujuannya untuk mendoakan keselamatan para jamaah yang melaksanakan ritual haji di Tanah Cuci Makkah. Itu berlangsung sampai jamaah tadi kembali ke toddang angin, atau tanah air.

Dengan maraknya acara barasanji itu membuat para orang tua pintar barasanji harus dengan rela mengunjungi panggilan para keluarga jamaah tadi. Diurut mulai terdekat sampai terjauh. Rata-rata mereka yang fasih baca barsanji sudah sepuh. Karna sudah capek naik tangga maka hanya sebagian yang meneruskan sampai rumah terakhir.

Maka oleh salah satu guru mengaji saat itu berinisiatif mengajarkan anak-anak laki-laki untuk belajar barasanji. Anak-anak ini juga yang sudah khatam Al-quran. 

Setelah anak-anak dianggap mampu, mereka pun diikutkan dalam acara yang menggelar barasanji. Anak-anak ini pun senang, mereka dapat menikmati aneka jenis kue setiap malam Jumat. Terkadang mereka membawa pulang kue-kue dan songkolo sebagai oleh-oleh.

Mereka pun mulai dikenal sebagai kelompok barasanji yang akan menggantikan para tetua itu kelak. Tak ada yang mencela bahkan mendapat apresiasi dari masyarakat kampung. Mereka saling membutuhkan.

Hingga persaingan itu mulai muncul. Menimbulkan rasa cemburu antar golongan tua dan golongan muda. Ha.ha.ha .... seperti kronologi peristiwa Proklamasi dan Rengasdengklok saja.

Pemicunya pun sepele saja. Berawal dari anak-anak yang iseng menyantap kue yang lembek-lembek semisal barongko, dan agar-agar saat itu.

Mereka kompak menghabiskan makanan lembek duluan dan menyisakan yang keras. Untuk kue keras itu disantap kemudian. Dan para orang tua yang giginya mulai kalah hanya dapat pasrah mendapati kenyataan ini. Dasar anak-anak, sepertinya mereka ingin mengakhiri dominasi generasi tua dalam acara barsanji. Secara halus lewat politik kue.

Golongan tua semakin gerah dengan invasi politik kue golongan muda. Muncullah keluhan dari mereka yang intinya bahwa kehadiran mereka hanyalah sekadar menghabiskan kue-kue yang empuk dan menyisakan kue keras bagi gigi para sesepuh itu.

Kue kemudian menjadi komoditi politik pertentangan. Bagai api dalam sekam itu terus berlanjut. Pada puncaknya akan ada selalu pemenang. Berbekalkan pengalaman dan kharisma para tetua meredupkan semangat golongan muda. Satu per satu anggota kelompok golongan muda mulai menghilang satu per satu seiring selintingan berita bahwa mereka hanyalah kelompok penikmat kue saja.

Kemudian harapan untuk menumbuhkan generasi barasanji di kampung pun pupus. Mereka membubarkan diri. Tinggallah para sesepuh itu kembali menikmati kue-kue lembek pada momen barasanji. Tak heran kalau sekarang yang kelihatan dalam acara barasanji hanya beberapa orang dan rata-rata mereka sudah beruban.

Mereka pun sudah tak doyan kue keras lagi. Sukanya hanya pada barongko, agar-agar, nutri jelly, serta aneka kue lembek lainnya. Dan ke mana generasi muda barasanji itu sekarang? Mereka bahkan tak pernah menyentuh apatah lagi membaca kitab itu. Kemungkinan larut dalam gadget dan media sosial. Golongan tuanya? Satu per satu telah menghadap Tuhan-Nya.




Baca juga:
Arisan, Jimpitan, dan Ronda Malam, Bisakah Terus Bertahan?
Indahnya Wisata Makam di Ereveld Menteng Pulo
Tips dan Trik Menulis di Kompasiana via Mobile

Yuk, Terbang Selamanya bersama Sobat Aviasi!

$
0
0


Kompasiana Akademi dan Blog Trip Sobat Aviasi

Bepergian dari satu tempat ke tempat lain menjadi semakin mudah dan nyaman dengan transportasi udara. Banyak yang menjadikan pesawat sebagai pilihan utama karena rute perjalanan yang semakin jauh dan beragam  hingga ke pelosok daerah. Selain itu transportasi udara terbukti keselamatannya, aman dan nyaman karena  selalu melalui proses pengecekan ketaat sebelum take off dan landing.

Namun, sudahkah Kamu datang tiga jam sebelum jam keberangkatan, tidak membawa barang terlarang ke dalam penerbangan, melepas barang yang mengandung metal ketika melewati metal detector, atau meematikan telepon genggam dalam pesawat? Hal-hal kecil tersebut sering disepelekan. Padahal itu penting agar selalu selamat, aman, dan nyaman dalam penerbangan ("Selamanya").

Nah, hal apalagi yang penting untuk diketahui agar penerbangan kita menjadi selamat, aman dan nyaman? Cari tahu yuk bersama Direktorat Jenderal Perhubungan Udara (DJPU) Kementerian Perhubungan melalui Komunitas Sobat Aviasi dan media sosial DJPU 151 yang menyediakan berbagai informasi penerbangan interaktif. Tidak hanya itu, DJPU juga akan mengadakan rangkaian kegiatan Kompasiana Akademi dan Blogtrip Sobat Aviasi. Program ini bertujuan agar para Kompasianer dapat menuliskan informasi seputar transportasi udara, bandar udara, serta prosedur keselamatan dan keamanan dengan akurat.

Kompasianer yang terpilih akan mengikuti pelatihan menulis blog tematik, foto, dan video blogging seputar aspek keselamatan dalam transportasi udara langsung dari ahlinya. Selain itu, peserta juga akan mengunjungi industri penerbangan untuk memperkaya pengetahuan seputar dunia penerbangan, simulasi penerbangan, serta hal-hal penunjang keselamatan dalam penerbangan.

Apakah Anda 25 Kompasianer yang kami cari? Yuk gabung dengan Kompasiana Akademi Sobat Aviasi! Simak rincian rangkaian kegiatan di bawah ini:

Kompasiana Akademi

  • Hari/Tanggal: Sabtu-Minggu, 24-25 Maret 2018
  • Waktu: 09.00 -- 15.00 WIB (peserta diharapkan datang 30 menit lebih awal untuk proses registrasi)
  • Tempat: Hotel Santika Teraskota BSD City, Jalan Pahlawan Seribu, Serpong, Tangerang [Peta Lokasi]
  • Kuota: 25 Kompasianer
    • Pendaftar harus sudah follow akun media sosial DJPU 151: Facebook, Twitter, Instagram, Youtube
    • Peserta bersedia mengikuti seluruh rangkaian Kompasiana Akademi dan Blogtrip Sahabat Aviasi karena pendaftar yang terpilih wajib hadir di kedua kegiatan tersebut.
  • Mentor:
    • Iskandar Zulkarnaen, COO Kompasiana
    • Arbain Rambey, Fotografer senior
    • Fikri Hidayat, Sinematografer Kompas.com
    • Alvin Lie, Pemerhati Penerbangan Sipil, Anggota Ombudsman RI
  • Key Note Speech: Dirjen Perhubungan Udara ya, DR. Ir. Agus Santoso, M.Sc
  • Aktivitas:
    • Edukasi aspek keselamatan dan keamanan dalam bertransportasi udara
    • Kelas menulis
    • Kelas foto & video

 

Kompasiana Blogtrip

  • Waktu dan Tempat:  (to be confirmed)
  • Aktivitas:
    • Simulasi dalam pesawat
    • Simulai penyelamatan diri ketika pesawat jatuh
    • Instagram competition (berhadiah voucher)
  • Kuota: 25 Kompasianer (peserta blogtrip merupakan peserta Akademi, dan diharapkan membawa baju ganti)

Selain itu, seluruh peserta Akademi Sobat Aviasi berkesempatan mengikuti Kompasiana Blog Competition dengan hadiah utama Kamera Digital Canon! Tunggu pengumuman selanjutnya di Kompasiana.

Jangan lewatkan kesempatan ini untuk mendapatkan pengetahuan dan pengalaman seputar dunia penerbangan! Untuk mengetahui kegiatan Kompasiana lainnya silakan klik di halaman event Kompasiana.




Baca juga:
10 Cara Amankan Gawai Anak dari Konten Dewasa
Arisan, Jimpitan, dan Ronda Malam, Bisakah Terus Bertahan?
Indahnya Wisata Makam di Ereveld Menteng Pulo

PR Prakarya Anak Kok Dikerjakan oleh Orang Tua?

$
0
0

Sumber ilustrasi: pikiran-rakyat.com | ADE BAYU INDRA/PRLMAnak saya yang kelas 1 SD, hampir setiap minggu punya PR prakarya. PR prakarya ini beragam, ada yang dari bahan baku kertas bekas, dari kulit telur, dari bulu ayam, dan lain sebagainya. Biasanya yang repot bukan hanya dia, tetapi juga orang tua, terutama ibunya. Ibunya sangat perhatian sekali pada pendidikan anaknya, bahkan terkadang dia membantu membuatkan PR. Waduh, ko begitu? Harusnya kan dibuat sendiri oleh anaknya.

Sebentar, beri waktu saya menjelaskannya. Mudah-mudahan setelah saya menjelaskan, ada pengertian. Berikut penjelasannya.

PR prakarya menurut saya bagus. Pertama, jika dilihat dari bahan baku barang bekas, anak jadi tahu cara memanfaatkan barang bekas. Kedua, anak juga belajar keterampilan, terutama bagaimana membiasakan tangannya bekerja dalam berkarya sehingga menghasilkan karya yang bagus. Dan yang ketiga, prakarya ini bisa menambah perhatian orang tua pada anaknya dalan hal pendidikan. Nah, tulisan saya, berfokus pada yang terakhir ini.

Saya mencoba memperhatian PR prakarya anak yang telah hadir sejak semester 1 tahun kemarin. Setiap ada PR, anak saya selalu datang ke ibunya, curhat diberi PR membuat berbagai macam barang, yang sepertinya berada di atas awang-awang mereka. Bingung, itu katanya. Melukis dengan gedebong pisang, membuat bingkai dari kertas bekas, membuat mahkota dari bulu ayam. Menurut saya, itu jauh dari pemahaman dia.Mahkota bulu ayam, dokpri

Ketika anak datang ke ibunya meminta bantuan perihal PR-nya menurut saya itu hal bagus. Ibu jadi tahu anak punya PR yang sulit. Ibu mencoba membantu. Mereka pun bekerja sama. Ibu dan anak selanjutnya akan sama-sama mencari bahan baku yang diperlukan, termasuk alat-alat keterampilan seperti gunting, lem, isolasi, kertas, dan lain sebagainya.

Selanjutnya mereka akan duduk bersama. Terkadang saya juga ikut membantu. Jadilah kami bertiga bekerja di rumah. Kondisi inilah yang menurut saya mempunyai nilai positif. Mungkin kalau tidak ada PR prakarya, mereka tidak akan duduk bersama. Orang tua akan sibuk dengan pekerjaannya, anak akan sibuk dengan mainannya. Ketika ada PR prakarya yang membuat anak bingung, orang tua siap membantu mereka. Itu sinyal positif.

Selanjutnya, bagaimana ini ko PR dibuatkan orang tua? Menurut saya, walaupun hasil prakarya itu ada kontribusi orang tua, namun mungkin itu yang ingin dicapai. Namanya juga pekerjaan rumah, pasti ada orang rumah yang datang membantu, apalagi orang tua. Apalagi jika yang datang adalah orang tua sendiri, yang setelah seharian bekerja, masih sempat memberikan waktu untuk anaknya. Itu menurut saya sangat positif. Mereka akan merasakan kebersamaan.

Bagaimana dengan hasilnya? Kalau melihat hasil prakarya anak saya dan teman-temannya, jarang ada yang jelek, semuanya bagus. Itu bisa dilihat dari grup medsos ortu. Banyak yang memperlihatkan hasil prakarya rumah di medsos. Hasil yang bagus bisa membuat orang tua lain "panas" jadi harus bagus juga. Kemudian mereka berlomba-lomba mengerjakan sebagus-bagusnya.

Bagaimana dengan penilaiannya? Menurut saya nilai saja yang bagus dengan nilai bagus. Saya pikir ketika semua anak dibantu orang tua, itu cukup adil. Selanjutnya beri penilaian dengan nilai yang bagus atau sangat bagus, artinya tidak ada nilai jelek.

Sampai sejauh itu menurut saya orang tua membantu anak ga masalah, yang jadi masalah adalah ketika mereka pergi keluar rumah dan meminta bantuan orang lain, ahlinya, dibayar untuk mengerjakan PR anaknya. Nah yang seperti ini saya tidak setuju. Apa yang ingin dicapai ketika anak mengerjakan PR di rumah dan dibantu oleh orang tua, tidak akan tercapai. Bahkan anak pun mungkin tidak akan pernah tahu bagaimana prakaryanya dibuat.

Oleh karena itu, hindarilah yang seperti itu, PR dibantu oleh orang lain. Cukup dibuat bersama orang tua. Selain kebersamaan yang anak peroleh saat berada di rumah, anak juga tahu bagaimana membuat sebuah prakarya, bagaimana memanfaatkan bahan baku terutama yang bekas, dan bagaimana bekerja sama dengan orang lain, serta bagaimana bekerja dalam sebuah tim. Itu manfaatnya.

Jadi kalau ada prakarya anak dibuat bersama ibunya, mungkin itulah tujuan yang ingin dicapai, ada kebersamaan dan komunikasi. Orang tua terlibat dalam proses belajar dan pendidikan anaknya. Namun tentunya, seiring tingkat dan keterampilan serta pengetahuan anak bertambah, kontribusi orang tua sedikit-sedikit dikurangi. Itu juga untuk memberikan ruang bagi mereka dalam berekspresi. Dari yang tidak mandiri, menjadi mandiri. 

Sekian.




Baca juga:
Berkarir di Eropa, Egy Maulana Vikri Harus Belajar kepada Pemain Ini
10 Cara Amankan Gawai Anak dari Konten Dewasa
Arisan, Jimpitan, dan Ronda Malam, Bisakah Terus Bertahan?

Naik Garuda dengan Logo "Vintage" Serasa Bertualang dengan Tintin

$
0
0

Penerbangan Garuda Indonesia GA411 dari Denpasar ke Jakarta, menggunakan pesawat dengan nomor registrasi PK-GFM yang menggunakan logo vintage pertama. (Foto: BDHS)Walaupun sudah cukup sering berpergian ke Bali menggunakan pesawat udara, namun perjalanan ke Bali 12-14 Maret 2018 ini mencatat kenangan tersendiri. Selain berhasil mengunjungi sejumlah museum yang untuk pertama kali dikunjungi --dan ini merupakan museum-museum yang jarang menjadi destinasi wisata di Bali-- perjalanan kembali dari Bali ke Jakarta juga membuat bahagia.

Bukan soal makanan enak atau layanan pramugrari Garuda Indonesia yang memang selalu memenuhi standar, melainkan karena kesempatan menumpang pesawat dengan nomor penerbangan GA 411 dari Bandara I Ngurah Rai Denpasar (DPS) ke Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng (CGK). Saya untuk pertama kalinya, naik Garuda Indonesia yang dicat dengan logo vintage alias logo lama Garuda Indonesia.

Maskapai penerbangan kebanggaan Indonesia itu memang sudah beberapa kali mengganti logo. Setidaknya sudah ada empat logo Garuda Indonesia digunakan, dan kini yang digunakan adalah logo terbaru. Pemakaian logo-logo vintage itu dimulai sejak beberapa tahun lalu. Logo pertama dengan didominasi warna merah ada gambar burung Garuda yang di badannya ada bendera Merah Putih digunakan antara 1949 sampai 1969, logo kedua dengan tulisan "garuda" dengan huruf kecil dan berwarna merah-oranye dipakai antara 1970 sampai 1985.Pesawat Garuda Indonesia lainnya yang menggunakan logo vintage kedua. (Foto: Taufik Umar Prayoga)Setelah itu, logo berganti warna menjadi dominan biru. Logo ketiga gambar burung garuda dengan tulisan Garuda Indonesia dan dipasang di sayap vertikal yang berwarna biru. Logo ketiga ini dipakai dari awal 1985 sampai 2009. Sedangkan logo keempat yang terbaru adalah logo yang mirip dengan logo ketiga tetapi ada perubahan sedikit, warna sayap vertikal yaitu biru terdegradasi menjadi biru muda membentuk ujung-ujung sayap burung.

Mungkin bagi orang kebanyakan, naik pesawat dengan logo apa pun biasa saja. Tetapi sebagai penggemar kisah Petualangan Tintin (The Adventures of Tintin), naik pesawat dengan logo serupa dengan logo pesawat Garuda Indonesia di salah satu kisah petualangan reporter muda dan teman-temannya itu, sungguh membahagiakan. Seolah merasakan kembali sensasi kisah Tintin, Snowy, Kapten Haddock, Calculus, dan tokoh-tokoh lain dari cerita bergambar karya komikus asal Belgia, Herge.

Salah satu kisah dari serial petualangan itu berjudul "Penerbangan 714 ke Sydney" (Flight 714to Sydney), yang dipublikasikan pertama kali pada 1968 dan merupakan seri ke-22 dari hanya 24 seri kisah Petualangan Tintin karya Herge. Di situ diceritakan Tintin dan kawan-kawan yang hendak berpergian ke Australia. 

Mereka menumpang pesawat dari maskapai penerbangan Qantas dari Brussels, Belgia, dengan tujuan Sydney, Australia. Namun pesawat itu sempat transit di Bandar Udara Kemayoran, bandar udara internasional di Jakarta saat itu. Kemayoran tercatat sebagai bandar udara internasional pertama untuk penerbangan komersial di Indonesia dan telah ada sejak 1940-an sampai terakhir kali digunakan pada 1985.Kisah Petualangan Tintin serial

Ketika Tintin dan kawan-kawan mendarat di Kemayoran itulah, Herge menggambarkan pesawat Qantas dengan latar suasana Bandar Udara Kemayoran lengkap dengan menara pengatur lalu lintas udara (air traffic control tower). Tidak hanya itu, Herge juga menggambarkan sebuah pesawat Garuda Indonesia yang sedang parkir di landasan sebelahnya. Pesawat itu menggunakan logo Garuda Indonesia pertama, serupa dengan pesawat GA 411 yang saya tumpangi dari Denpasar.

Memang jenis pesawatnya tidak sama. Pesawat yang saya tumpangi ini adalah Boeing 737-800NG, yang tentu belum diproduksi pada masa kisah "Penerbangan 714" karya Herge. Menurut informasi dari sahabat yang berprofesi di bidang penerbangan, pesawat dalam kisah Herge jenisnya adalah Convair 990 Coronado yang memang digunakan Garuda Indonesia antara 1962 sampai 1975. Tadinya dikira Lockheed Electra, tapi yang Lockheed merupakan turboprop, sedangkan ini turbojet yang digunakan Convair. Walaupun pesawatnya berbeda dengan yang saya tumpangi namun adanya kesamaan logo, sudah membuat senang. Merasakan kembali suasana masa lalu di masa kini.Berkostum Kapten Haddock, penulis bersama teman-teman penggemar kisah Petualangan Tintin melakukan

Pesawat Garuda Indonesia dengan logo awal itu mempunyai nomor registrasi PK-GFM. Masih ada lagi pesawat dengan logo kedua yang dipakai antara 1961-1969 dengan nomor registrasi PK-GFN. Meskipun logo kedua Garuda Indonesia yang digunakan dari 1970 sampai 1985 tidak ada dalam kisah Petualangan Tintin, namun siapa tahu suatu waktu berkesempatan juga naik pesawat PK-GFN itu.

(Terima kasih untuk tambahan informasi dari sahabat B. Adi Nugroho dan foto tambahan dari Taufik Umar Prayoga).




Baca juga:
Minion Harapan Terakhir Indonesia di All England
Berkarir di Eropa, Egy Maulana Vikri Harus Belajar kepada Pemain Ini
10 Cara Amankan Gawai Anak dari Konten Dewasa

[PUISI] Sosok yang Memintal Pagi dan Senja

$
0
0

Sumber ilustrasi: walldevil.com | DUNCOYPagi bersurai embun. Bergelantungan seperti korban perang yang memutuskan bunuh diri. Berjatuhan di rumput yang hijaunya sedikit berpura-pura. Untuk memikat lebah dan kupu-kupu agar dikira bunga.

Sesosok tubuh mengurai kedinginan dengan memeluk sinar matahari yang menerobos di sela tajuk pepohonan. Gigilnya sangat kentara. Berbarengan dengan suara air sungai meluncuri batu-batu.

Sosok itu menatap dalam-dalam apa yang disajikan nampan alam. Tersembunyi di sana sebuah cerita yang sedang ditulisnya. Anak-anak senja yang ditelantarkan karena pagi terlalu dianggap sebagai simfoni pelipur hati. Sementara senja adalah batas pemikiran tentang akan berakhirnya usia.

Dalam benak sosok yang sekarang menggerakkan tubuh searah dengan laluan angin. Pagi memang orkestra yang dimainkan begitu drama akan dimulai. Sedangkan senja adalah usainya kisah yang terkadang meneteskan darah sesuai dengan warnanya yang memerah. Siang tak perlu dihitung karena hanya permainan waktu tentang tergulung atau beruntung.

Pagi dan senja bukan pertaruhan bagi sebuah drama. Masing-masing punya skenario sederhana bagaimana hari menyelesaikan tatanannya. Ini hanya semata awalan dan akhiran seperti layaknya angka yang disentuh oleh jarum jam.


Bogor, 16 Maret 2018




Baca juga:
Cerdas Literasi Menghadapi Disrupsi Teknologi
Minion Harapan Terakhir Indonesia di All England
Berkarir di Eropa, Egy Maulana Vikri Harus Belajar kepada Pemain Ini

"Tourist Behaviour" Saat Berkunjung ke Indonesia, Sudahkah Kita Mempelajarinya?

$
0
0

Sumber: kompas.com/Raditya Helabumi

Dalam suasana santai selepas kuliah, sambil minum kopi salah seorang teman fellow researcher, dia seorang dosen Pariwisata di salah satu universitas di Arab Saudi mengatakan kepada saya abhwa dia ingin sekali datang ke Indonesia terutama ke Puncak (Mountain) karena menurut teman saya pemandangannya indah sekali dan cuacanya juga bagus. 

Wah kebetulan ini saya ingin berbincang dengannya tentang pilihannya itu. dan saya menantangnya untuk menjawab beberapa pertanyaan sederhana tentang rencana kunjungannya ke Indonesia tersebut. Kemudian kami sepakat bertemu lagi minggu depannya dan dia berjanji untuk mengajukan pertanyaan yang sama ke beberapa temannya di Saudi yang sudah pernah datang berkunjung  ke Indonesia.

Beberapa bulan yang lalu saat pelaksanaan World Travel Market ( WTM) di London yang merupakan event tahunan pameran dan promosi pariwisata dunia di mana hampir seluruh negara di dunia datang dan mempromosikan berbagai destinasi wisata dan kebudayaan mereka yang beraneka ragam. Indonesia menjadi negara yang juga turut berpartisipasi. 

Saya juga berkesempatan hadir dan mengajak salah seorang teman warga negara Inggris untuk melihat-lihat ke sana. Kami kemudian berpisah sesampainya di sana karena venue pameran yang luas sekali dan kami hanya memiliki waktu hari itu untuk datang jadi kami memutuskan untuk berpisah selama didalam venue dan berjanji ketemu di sore hari untuk bersama-sama kembali ke Oxford.

Menarik untuk tahu apa sih yang diminati oleh orang Inggris untuk tempat berwisatanya? Beberapa media Inggris setiap tahun sering melakukan survei destinasi untuk summer holiday mereka dan rata-rata pilihan yang terbanyak di kunjungi oleh orang-orang Inggris ini adalah Spanyol, Yunani dan Turki yang memiliki keindahan dan cuaca mediterania dan rata-rata mereka menghabiskan waktu di pulau-pulau kecil yang berada di wilayah negara-negara tersebut. Setelah itu baru destinasi-destinasi lainnya di Eropa dan wilayah benua lainnya.

Saya kemudian menanyakan kepada teman saya tersebut ke mana dia akan menghabiskan musim panas mereka nanti. Sebelum dia menjawab saya memberikan dia pilihan tiga tempat tadi plus ke Bali, Indonesia. Dia kemudian menjawab “Saya rasa saya memilih ke Turki tahun ini karena tahun lalu kami sudah ke Yunani dan Tenerife (Spanyol) juga sudah sering kami datangi “. 

"Kenapa tidak memilih Bali, Indonesia?” Mohon maaf saya tahu Bali itu sangat indah dan budayanya juga luar biasa menarik tapi saya tidak kuat jika harus terbang lebih dari 15 belas jam dari Heathrow ke sana, Turki hanya sekitar 3 jam saja dari Heathrow dan juga memiliki budaya yang menarik untuk dikunjungi. Hm… baiklah… jadi memang kendala jarak yaaa.

Nah balik lagi ke fellow researcher yang orang Saudi tadi, kami bertemu lagi seminggu kemudian dan kali ini dia membawa laptopnya dan bersemangat sekali untuk membahas rencana liburannya. Sebenarnya ini dari beberapa keingintahuan saya minggu lalu tentang perilaku turis Saudi, maka teman saya ini kemudian membuatnya menjadi sekitar dua puluh pertanyaann yang dia tanyakan kepada teman-temannya tersebut. Total ada 25 orang yang berpartisipasi dalam questinaire singkat yang dia buat dalam Bahasa arab.

Pertanyaan-pertanyaan itu memang tidak mewakili semua keingintahuan saya tetapi paling tidak ada beberapa hal yang ingin saya ketahui dan juga membandingkan dengan kondisi di lapangan yang terjadi dan dialami oleh teman-teman travel agen yang sering menghandle tamu-tamu dari Saudi seperti misalnya turis Saudi yang sering memesan fasilitas liburannya dalam waktu yang mepet dengan kedatangannya, turis Saudi sering datang dengan keluarga dan menghabiskan waktu yang lama dalam sekali kunjungannya sampai dengan isu miring tentang turis Saudi yang “nakal” dan memesan perkawinan sementara di daerah Puncak.

Menarik sekali untuk di simak bahwa sebenarnya mereka sangat menyukai alam pegunungan dengan pemandangan yang hijau, cuaca yang dingin dan sering hujan seperti yang ada di Puncak karena mereka tidak dapatkan itu di negara mereka. Ini adalah salah satu alasan mereka memilih kawasan wisata seperti Puncak. Mengapa saya sebut seperti Puncak? Dan mengapa hanya Puncak yang mereka tahu? 

Dari hasil survei tersebut mereka mengetahui Puncak di Indonesia dari mulut ke mulut, dari teman-teman mereka yang sudah datang dan juga dari orang Indonesia yang pernah bekerja dengan mereka di sana. Jadi ini tantangan buat kita mempromosikan daerah lain yang memiliki karakteristik seperti kawasan di Puncak ini termasuk Bandung yang kalah popular dari Puncak.

Selain Puncak mereka juga menyebut Bandung, Bogor dan Jakarta yang mereka kerap kunjungi. Ada satu dua orang yang menyebut Sukabumi dan Bali. Menarik untuk di simak kenapa mereka tidak memilih Bali? Ternyata mereka tidak suka dengan suasana Bali yang terlalu terbuka dengan banyak turis asing yang berlalu lalang dengan pakaian terbuka, mereka menganggap ini tidak baik buat mereka dan anak-anak mereka. Jadi yang memilih datang ke Bali adalah turis Saudi yang melakukan perjalanan dengan sesama teman-teman bukan dengan keluarganya. Lombok juga di sebut oleh satu orang dari 25 responden tadi.

Ternyata dari 25 responden itu mereka semuanya pernah datang minimal sekali ke Indonesia bahkan ada yang datang berkali-kali, malah ada yang setahun datang 2 kali ke Indonesia (Puncak) dan menarik lagi bahwa mereka memang tidak mau berhubungan dengan operator tur dan berjalan dengan rombongan besar seperti turis Eropa karena mereka ingin privasi buat keluarganya saja. 

Betul… kebiasaan mereka itu untuk booking last minute bahkan mereka memesan vila atau hotel di Puncak, Bandung atau Bali ketika mereka sudah sampai di Jakarta bukan jauh hari atau sejak mereka masih di negara mereka. Mereka memesan lewat fasilitas online booking, atau via teman yang membantu memesankan dengan pemilik Vila di Puncak dan membayarnya tunai.

Turis Saudi sangat benci polisi, suap, hadiah dan juga orang-orang Indonesia yang suka berpura-pura baik dengan mereka dan kemudian memanfaatkan mereka. Dan ini sering terjadi, oleh karenanya mereka memilih untuk berjalan dengan seseorang yang bisa berbahasa arab. Hampir 85% mengatakan mereka memilih menyewa mobil dengan supir yang bisa berbahasa Arab untuk memudahkan komunikasi mereka selama di sana.

Menarik sekali untuk betul-betul memahami kebiasaan mereka tersebut sehingga kita bisa menyiapkan apa yang mereka inginkan dan membuat mereka lebih lama dan betah berada di obyek wisata tersebut. Lama tinggal turis-turis Saudi itu rata-rata sekitar 10 hari di Puncak, 3 hari di Bandung dan 2 hari di Jakarta. Jika mereka pergi ke Bali, mereka rata-rata menghabiskan 3-5 hari disana. Waktu yang cukup lama untuk menjaring mereka dan menghabiskan waktu-waktu mereka mengunjungi objek-objek wisata yang menarik yang berada di sekitar wilayah yang mereka datangi serta mengeluarkan uang mereka untuk dihabiskan di destinasi tersebut.

Ada beberapa pertanyaan survei dan jawabannya yang juga menarik untuk kita bahas lagi tetapi saya akan membahasnya di kesempatan yang berbeda. Intinya penting sekali bagi kita untuk mengadakan survei kepada market-market yang kita tuju untuk mengerti bagaimana cara kita menjaring mereka dan berapa banyak peluru yang akan kita habiskan. Jadi tidak perlu menyiapkan bazooka jika hanya untuk membunuh sekumpulan semut semut kecil. 

Survei ini dilakukan oleh teman saya di komunitas teman-temannya di wilayah Jazan, salah satu provinsi terkecil di Saudi Arabia yang berpenduduk sekitar 1,3 Juta orang. Sementara Saudi Arabia sendiri berpenduduk 32 juta jiwa dan jika ditambah negara–negara timur tengah lainnya merupakan pasar yang cukup besar bagi market pariwisata Indonesia.




Baca juga:
Catatan Perjalanan (4), Melihat Kehebohan Anak-anak Palestina di Masjid Ibrahim
Yang Menarik di Balik Megahnya Trailer Terbaru "Avengers: Infinity War"
Perempat Final yang Mengantar Bayern Juara Liga Champions?

Pornografi Anak dan Paranoid

$
0
0

Kintakun Collection

Pornografi anak dan paranoid, sangat miris dan mengagetkan ketika ada anak di bawah umur asyik menonton bokep. Tentu hal ini koleksi orang tuanya. Apakah perlu heboh, menuding sana-sini, apalagi sampai berbicara soal penilain moral tanpa tahu sebab akibatnya? Usai beberapa waktu lalu ada "industri" pornoaksi dengan pemain anak-anak dan perempuan dewasa.

Ada kisah dalam sebuah buku inspirasi. Seorang bruder, biarawan dalam Gereja Katolik jelas ia tidak menikah. Suatu hari mengantar murid-muridnya melakukan lintas alam. Namanya anak-anak, mereka cepat mendahului langkah gurunya, si biarawan. Si guru bersama murid lain jauh tertinggal. Di sebuah tempat sepi, beberapa anak terdepa, biasanya juga rombongan anak bengal. Mereka berjumpa dengan pelacur, kata orang dewasa.

Mereka hanya tahu bahwa perempuan ini bisa dan mau melakukan apa saja asal dibayar. Maka  mereka urunan dan membayar perempuan itu untuk menari, mereka bertepuk tangan dan si perempuan menari. Tidak ada apapun. Bayar dan melakukan. Tiba-tiba dengan ngos-ngosan biarawan itu sampai ke sana dan menghardik mereka.

Menyambuki diri merasa gagal mendidik dan mengawasi murid-muridnya biarawan itu juga melakukan ceramah panjang lebar mengenai pelacur dan perilaku mereka. Anak-anak hanya gowoh,termasuk yang membayar perempuan tadi.

Kisah yang mirip, menjadi alur utama novl Ronggeng Dukuh Paruk,karya Ahmad Tohari. Di Dukuh Paruk orang mengatakan, asu buntung, bajingan,hal yang lumrah, karena padukuhan itu didirikan oleh bromocorah yang bernama Ki Secamenggala. Pun Srintil si ronggeng, ketika usai belasan tahun demi teman-temannya mau nabuhidia menari. Ciuman hal yang sangat lumrah, bahkan anak kecil sekalipun. Jika ada suami ketahuan meniduri istri tetangga, tidak akan ada parang melayang, gampang saja datangi rumah laki-laki itu dan tiduri istrinya. Sesederhana itu.

Rasus, yang biasa berciuman dengan Srintl itu merasa kecewa dan pergi ke lain dukuh. Ia gemas dengan seorang gadis dan ia cubit pipinya. Ia dilempar ketela dan ditertawakan orang se pasar. "Ini bukan Dukuh Paruk, tidak semua  bisa kamu sentuh pipinya...."

Dua kisah yang mau mengatakan bahwa ada masing-masing tempat dengan kondisi dan kepercayaan etis dan ranah susila yang berbeda. Kisah pertama tadi, si bruder yang memiliki pengetahuan dan pemahaman yang jauh lebih luas mengenakan takarannya pada siswanya. Para siswa hanya "menyewa" si pelacur untuk menari, tidak lebih. Padahal biarawan itu sudah merasa berdosa bahwa ia gagal mendidik muridnya. Tentu apa yang biarawan itu pikirkan bukan yang terjadi.

Rasus dalam kasus yang sama juga merasakan gagap budaya yang sama. Ia merasa apa yang menjadi kebiasaan dan budaya di dukuhnya akan sama dengan daerah lain. ternyata berbeda. Hal yang jamak terjadi.

Mengenai pornografi dan pornoaksi, apa yang dilakukan untuk memeranginya sangat susah. Mengapa? Itu adalah masalah manusia yang paling primitif. Sejak manusia ada, bahkan alat kemain atau (sex),itu pada minggu pertama janin sudah mengalami pertumbuhan, jauh lebih dulu daripada pancaindra. Memang sangat vital. Bijaksana dan paling ampuh adalah membentengi diri dan anak dengan iman.

Iman untuk bisa memilih baik dna buruk, apapun agamanya. Jika iman kuat, sebesar apapun pengaruh dunia luar tidak akan mempengaryhi diri sendiri. Apakah orang yang memiliki film porno pasti moralnya jelek dan sebaliknya? Tidak sesederhana itu. Jika demikian, memangnya manusia hanya satu aspek saja?

Toh ada orang yang berwenang dalam hal itu (urusan porno-pornoan), bahkan gencar mengatakan atas nama agama, eh ketahuan menyukai laman yang berkaitan dengan apa yang ia dengungkan sebagai penyebab kebobrokan moral. Memang semudah itu moral bisa bobrok? Biasa ngeelsnya kalau tidak tahu mana bisa menilai. Basi.

Saya sering dikirimi hal pornoaksi atau gambar porno oleh teman, hanya saya yang dikirim, privat, namun untuk lucua-lucuan, bukan yang lain. Hanya akan  ada jawaban smile ngakak dan sejenisnya, tidak ada kemarahan. Mengapa? Tahu bukan masalah pelecehan atas kemanusiaan, atau masalah mempengaruhi iman dan sejenisnya. Toh iman saya, dia juga mungkin tidak terpengaruh.

Seksualitas termasuk di dalamnya masuk pada ranah pornografi sejatinya adalah keberadaan diri. Bagaimana coba jika orang itu tidak terangsang melihat lawan jenisnya. Melihat lawan jenis seperti melihat patung atau ya sudah begitu saja demikian? Tidak akan ada kehidupan baru yang terjadi. Nafsu yang terlembaga dalam pernikahan, bisa saja membutuhkan bantuan film biru.

Pendampingan bagi anak dan remaja seturut perkembangan usia. Hal ini menjadi penting dan mendesak sehingga tidak malah menjadi gagap akan kediriannya sendiri. Seksualitas bukan barang yang jauh dari jati diri manusia.  Melekat dan utuh, hanya karena adanya norma yang sering tidak dipahami dengan baik malah menjadi kacau balau.

Keberanian untuk mempelajarinya, sehingga bukan soal tabu, saru, atau norma yang abu-bau, bahkan tidak jelas. Identik dengan orang buta menuntun orang buta. Sesuatu yang vital, wajar, menjadi heboh karena kebiasaan saja. Bisa diakses di sini

Tentu hal ini bukan membela orang tua yang lalai, namun menghakimi apalagi menghukum tidak bermanfaat, mendampingi dan membuat seksualitas sebagai hal yang alamiah jauh lebih penting.

Salam




Baca juga:
Tips dan Trik Menulis di Kompasiana via Mobile
Catatan Perjalanan (4), Melihat Kehebohan Anak-anak Palestina di Masjid Ibrahim
Yang Menarik di Balik Megahnya Trailer Terbaru "Avengers: Infinity War"

Teman di Kantor (Bukanlah) Tempat Curhat yang Baik

$
0
0

(sumber gambar: intisari.grid.id)

Dalam dunia pergaulan, pertemanan menjadi komponen terpenting untuk menjalin relasi antar makhluk hidup bernama manusia. Berteman merupakan fitrah manusia untuk berbagi cerita, menemani perjalanan, hingga sebagai tempat curahan hati. Banyak tempat untuk memperoleh teman baru, seperti di lingkungan rumah, sekolah, kantor, bahkan dalam perjalanan sekalipun.

Namun tidak semua teman bisa menjadi tempat untuk mencurahkan isi hati. Lalu mengapa teman kantor tidak bisa menjadi tempat curhat yang baik? Ada beberapa alasan berdasarkan pengalaman penulis dan teman-teman selama menjalin relasi dengan rekan sekerja hampir belasan tahun lamanya.

1. Teman sekaligus "Musuh"

Pernah dengar frasa "sleeping with the enemy" yang juga menjadi judul novel sekaligus film terkenal di era 90-an? Kira-kira seperti itulah kondisi berteman di kantor. Saat masih muda, masih sama-sama pegawai baru, kita bisa bersahabat untuk memecahkan berbagai persoalan kerja bersama. Seiring berjalannya waktu, tanpa terasa, tumbuh persaingan antar sesama teman kantor untuk menarik perhatian pimpinan kantor agar memperoleh komisi lebih atau promosi jabatan. 

Persaingan bisa berbuah positif untuk meningkatkan kinerja perusahaan, namun bisa jadi justru menimbulkan persaingan negatif antar sesama teman. Kalau kemampuan relatif sama, maka cara paling efektif adalah saling menjatuhkan antar teman satu dengan lainnya. Curhatan kita pada teman yang lain bisa jadi senjata makan tuan sebagai upaya untuk menjatuhkan kita sendiri. Persis seperti kejadian pasca pilpres, hobi saling menjelekkan sepertinya tidak pernah hilang dari karakter bangsa kita.

Seperti kata pepatah, tidak ada teman abadi, tapi hanya kepentingan abadi, itulah politik yang juga kadang diterapkan di kantor walaupun terkadang merusak profesionalitas seseorang dalam bekerja.

2. Rawan Perselingkuhan

Perselingkuhan memang bisa terjadi di mana saja, kapan saja, tidak kenal waktu dan tempat. Tapi bibit perselingkuhan timbul bila pertemanan antar lawan jenis di kantor semakin intens, karena waktu bersamanya lebih banyak ketimbang dengan pasangannya di rumah.

Sudah sering kita dengar kasus perselingkuhan, bahkan berakhir dengan perceraian, karena bermula dari curhatan dengan lawan jenis di kantor. Oleh karena itu hindarilah curhat dengan lawan jenis di kantor karena lebih banyak mudharatnya daripada manfaat.

3. Mengganggu Profesionalitas Pekerjaan

Curhat dengan teman di kantor, apalagi mempersoalkan teman lain di lingkungan sama dapat mempengaruhi kerja sama tim dalam mengatasi masalah pekerjaan di kantor. Misal si A curhat tentang kelakuan si B pada si C, padahal mereka satu tim kerja, pasti akan menimbulkan prasangka buruk C pada B, sehingga C agak sensitif untuk membicarakan persoalan kantor pada B, padahal bisa jadi justru si B lah yang dapat memberikan problem solving daripada si A yang hanya bisa bergosip saja.

Kita jadi tidak profesional dalam bekerja di kantor karena sudah memasukkan unsur perasaan yang lebih dominan daripada unsur teknis yang seharusnya dipedomani dalam menyelesaikan persoalan bisnis perusahaan.

4. Kurangnya Objektivitas/netralitas

Permasalahan di kantor terutama antar sesama teman sekantor dan diceritakan dengan teman lain di kantor yang sama tentu mengandung subjektivitas tinggi dibanding dengan orang luar dalam menilai sesuatu hal. Teman sekantor sudah punya penilaian sendiri terhadap si A atau si B yang diperbincangkan ketimbang orang luar yang tak pernah mengenal si A atau si B, sehingga ketika kita curhat dengan si C (teman sekantor) dia sudah ada jalan keluar yang belum tentu objektif bahkan cenderung menjerumuskan kita untuk kepentingan si C.

* * * *

Lalu sebaiknya bagaimana? Curhat memang sudah menjadi fitrah manusia, namun lebih baik selektif dalam memilih teman curhat. Sebaiknya teman curhat memang tidak ada kaitan langsung dengan yang dicurhati sehingga bisa memberikan jalan keluar yang lebih obyektif, tanpa ada kepentingan lain di balik problem solving-nya tersebut. Memang sekilas orang luar ini tidak tahu persis kondisi kantor, tapi paling tidak kita bakal menemukan jawaban yang lebih out of the box daripada dengan teman di kantor.




Baca juga:
Kiat Cerdas Menulis Esai Sastra dan Memublikasikannya
Tips dan Trik Menulis di Kompasiana via Mobile
Catatan Perjalanan (4), Melihat Kehebohan Anak-anak Palestina di Masjid Ibrahim

Menikmati Sajian "Thriller" Klasik dalam "The Strangers: Prey at Night"

$
0
0

Saat ini sudah jarang kita temui film horror thriller produksi Hollywood layaknya pada periode 90-an. Berbeda dengan periode 80 s/d 90-an bahkan hingga medio 2000-an di mana film thriller seperti Friday the 13th, Halloween, Scream dan I Know What You did Last Summer sempat menguasai jagat horor Hollywood, beberapa tahun belakangan ini justru tampaknya Hollywood sengaja "menyimpan" genre film ini dan lebih memilih untuk menaikkkan genre horor supranatural. 

Kesuksesan franchise film The Conjuring, Insidious, Paranormal Activity bahkan yang terbaru yaitu remake film IT, yang notabene merupakan film bergenre horror supranatural, saat ini keberadaannya sangat diterima oleh penonton. Praktis saat ini sudah jarang kita temui kembali film thriller seperti disebutkan diatas, seiring dengan terus meroketnya pamor horor supranatural. 

Namun di tahun ini, kita disajikan kembali sebuah film thriller yang membangkitkan kembali atmosfer film thriller klasik khas 80 dan 90-an. The Strangers: Prey at Night merupakan judul film tersebut yang merupakan sekuel dari film The Strangers yang dirilis satu dekade lalu.

The Strangers merupakan film thriller yang keberadaannya tidak bisa dipandang sebelah mata oleh para pecinta horor dan thriller saat itu. Rilis di tahun 2008, The Strangers yang dibintangi Liv Tyler dan Scott Speedman menyajikan cerita thriller dengan pace yang cepat, menegangkan dan membangun tensi yang semakin meninggi seiring berjalannya film. Film yang menghadirkan karakter 3 psikopat bertopeng yang "bermain-main" dengan sang tokoh protagonis ini berhasil mendapatkan worldwide gross di angka $82,391,145, padahal biaya produksinya saat itu hanya sebesar $10,000,000 seperti dilansir dari laman imdb.com

Dan di tahun ini atau tepatnya 10 tahun setelah film pertamanya dirilis, kita disuguhkan kembali dengan 3 psikopat ikonik yang menghadirkan kengerian yang sama dengan film pertamanya dan tentunya dengan jalan cerita yang lebih segar dan baru.

Sinopsis

bloody-disgusting.comThe Strangers: Prey at Nightber cerita tentang Cindy (Christina Hendricks) dan suaminya, Mike (Martin Henderson) beserta anak laki-lakinya, Luke (Lewis Pullman) dalam perjalanannya mengantarkan Kinsey (Bailee Madison), anak perempuan mereka yang beranjak remaja dan memiliki sifat pemberontak untuk belajar di sekolah berasrama. Namun sebelum mengantarkan Kinsey ke sekolah tersebut, terlebih dahulu keluarga tersebut ingin menghabiskan liburan akhir pekan di sebuah trailer park yang dikelola paman mereka.

Namun bukanlah kegembiraan yang menaungi acara liburan akhir pekan mereka, justru hal-hal aneh mulai bermunculan satu per satu di taman tersebut. Dimulai dari sepinya trailer park tersebut, ketukan keras di pintu trailer mereka pada tengah malam sampai dengan hadirnya seorang gadis remaja yang selalu menanyakan keberadaan Tamara, semakin membuat suasana malam itu menjadi mencekam. 

Tak butuh waktu lama bagi mereka untuk menyadari bahwa ternyata mereka tidak sendirian di taman tersebut. Menyadari bahwa mereka diteror oleh sesuatu yang mengerikan, sekelompok orang bersenjata tajam dan bertopeng. Sadar bahwa tak bisa mengandalkan bantuan dari siapapun, bertahan hidup dengan menghindar dari orang-orang bertopeng tersebut menjadi satu-satunya tujuan mereka kemudian.

Jalan Cerita dan Sinematografi

bloody-disgusting.comPada dasarnya, jalan cerita yang ditampilkan oleh film ini tergolong sederhana khas film-film thriller pada umumnya. Bagaimana sekelompok karakter protagonis diteror oleh para psikopat yang alasan mereka membunuh pun tidak diketahui secara jelas, yang kemudian bermain "kucing-kucingan" untuk menghindari kejaran sang psikopat berdarah dingin. Elemen yang digunakan pun masih seperti pada film pertama, di mana ketukan keras di pintu dan pertanyaan tentang Tamara menandai awal kehadiran sang penjahat utama.

Bisa dikatakan tidak ada sesuatu yang spesial mengenai jalan cerita film ini. Bagi para penggemar film horor dan thriller pasti sudah tidak akan asing dengan alur cerita yang disajikan di film ini karena cenderung mudah ditebak. Praktis, kita hanya dibuat penasaran dengan hal apa yang akan dilakukan si penjahat terhadap si tokoh utama di akhir cerita, begitu juga sebaliknya. Namun begitu, deretan jump scare yang dihadirkan pada film ini sangatlah baik dan efektif dalam memacu adrenalin penonton.

Namun yang menarik bagi saya disini adalah sinematografinya. Film ini berhasil menyajikan suasana film thriller khas 80-an. Dengan mayoritas proses pengambilan gambar jarak dekat, juga pengambilan gambar dengan teknik zoom in yang lambat menjadikan suasana mencekam semakin terasa. Film ini juga tidak terlalu banyak menghadirkan adegan pembunuhan brutal yang menjijikkan. Justru sebaliknya, film ini berhasil menampilkan adegan pembunuhan yang menurut saya lebih "berkelas". Penonton tidak disajikan adegan pembunuhan brutal layaknya film slasher seperti Texas Chainsaw Massacre, namun justru disuguhkan adegan pembunuhan yang memberikan efek psikologis bagi penonton.  

Mimik wajah sang korban ketika menerima sayatan serta tusukan benda tajam secara perlahan yang kemudian disandingkan dengan gestur tubuh tak bersalah oleh sang psikopat, justru menghadirkan suasana horor dan mencekam yang sangat efektif.

Soundtrack dan Scoring

Dari semua elemen dalam film ini, soundtrack merupakan hal yang paling menarik di film ini. Berbeda dengan soundtrack film pertamanya yang lebih banyak menggunakan lagu country, sutradara film ini yaitu Johannes Roberts berhasil menciptakan suasana film thriller khas 80-an dengan deretan soundtrack dari dekade yang sama. Lagu-lagu seperti Kids in America milik Kim Wilde, Total Eclipse of the Heart milik Bonnie Tyler, bahkan Making Love Out of Nothing at All milik Air Supply berhasil disandingkan dengan baik pada setiap adegan mencekam sepanjang film. Semakin mencekam karena diputar pada radio didalam mobil bak klasik yang menandakan kehadiran sang psikopat.

Scoring atau musik latar juga digarap sama baiknya dan berhasil menambah kelam dan mencekamnya sebuah adegan pembunuhan, juga menaikkan adrenalin ketika adegan kejar-kejaran berlangsung. Sang sutradara pun berhasil menghadirkan start film yang cukup baik melalui scoring ini. Di mana lagu Kids in America dimainkan sejak logo rumah produksi muncul di awal film kemudian secara tiba-tiba muncul black screen dan hening.

 Tak lama, dari kejauhan lagu yang sama pun samar-samar terdengar kembali yang ternyata berasal dari sebuah mobil bak klasik yang muncul dari kegelapan dan berjalan dengan sangat lambat mendekati kamera. Bisa dibayangkan bagaimana mencekamnya adegan setelah itu bukan?

Kesimpulan

Secara garis besar, film ini menghadirkan cerita yang menarik bahkan bisa dikatakan lebih bagus dari film pertamanya. Berbeda dari karakter utama pada film pertama yang cenderung "pasrah", disini kita bisa melihat para tokoh utama lebih memiliki semangat dan mampu untuk melawan para pembunuh berdarah dingin tersebut. Ceritanya pun bukanlah cerita sambungan dari film pertama alias stand alone movie.

Jadi untuk para penonton baru franchise The Strangers ini tidak perlu khawatir bakal tidak mengerti jalan ceritanya, karena film ini hanya mengambil elemen-elemen yang sama dengan film pertamanya sedangkan jalan ceritanya merupakan jalan cerita baru.

Tidak seperti film Get Out yang berhasil menyajikan cerita horror yang segar, pada dasarnya tidak ada sesuatu yang sangat spesial pada film ini. Jalan cerita yang biasa-biasa saja, juga "hal-hal bodoh" yang biasa dilakukan tokoh utama pada film horor atau thriller juga masih mewarnai film ini.

Namun begitu, film ini sejatinya sukses menghadirkan "hiburan" yang memacu adrenalin. Film ini juga berhasil membangkitkan suasana layaknya film thriller klasik khas 80 dan 90-an. So, jika kita tumbuh besar dengan film-film semacam Friday the 13th, Screamdan Halloween, sudah pasti film ini akan mengobati kerinduan kita akan film thriller semacam itu yang saat ini kehadirannya sudah sangat langka.

 Bagi teman-teman kompasianer yang ingin menyaksikan para psikopat bertopeng ini, film ini sudah tayang hari ini, tanggal 16 Maret 2018. Tentunya, akhir pekan ini bisa digunakan untuk menyaksikan hiburan yang memacu adrenalin ini. So, selamat menonton!

*berikut video trailer nya buat yang ingin menonton film ini





Baca juga:
Sebuah Epilog Perjuangan AC Milan atas Arsenal dari Dalam Goa
Mampukah Seseorang Cepat Pulih dari Serangan Depresi?
Kiat Cerdas Menulis Esai Sastra dan Memublikasikannya

Pentingnya Realitas Rasa dalam Sebuah Cerita

$
0
0

Sumber: www.theodysseyonline.com

Seorang gadis sedang duduk gelisah dalam angkutan umum yang sedang melaju. Sebentar-sebentar, ia mengeluarkan ponsel dari saku celananya, melihat layar, lalu memasukkan kembali benda itu ke dalam saku. Parasnya berubah mendung. Sepasang matanya berkaca-kaca. Sejurus kemudian, ia mendekatkan ponselnya ke telinga untuk mendengarkan lagu. Ia tampak larut dalam kesedihan. Sambil bersenandung lirih, kedua bahunya berguncang hebat. Tangisnya semakin kencang. Sekonyong-konyong, gadis itu melemparkan ponselnya ke jalanan...

Adegan di atas bukanlah adegan dalam sebuah film atau sinetron. Saya menyaksikan adegan itu beberapa tahun yang lalu, ketika harus keluar kota untuk sebuah urusan. Saya sangat terkejut kala itu. Bayangkan saja, gadis remaja di depan saya tiba-tiba melemparkan ponselnya keluar dari angkutan umum yang sedang melaju kencang. Gadis itu lalu bersenandung sambil terus menangis sepanjang perjalanan, seakan-akan tidak mempedulikan kehadiran orang lain di dalam angkutan. Sejujurnya, saya kehilangan kata-kata waktu itu, bahkan saya sampai lupa untuk menenangkan gadis itu.

Saya tak pernah melupakan sorot mata gadis itu. Kesedihannya, tangisannya, dan ekspresi kegeramannya saat melemparkan ponsel begitu membekas dalam ingatan. Setiap kali saya mengenangnya, ada kepiluan yang turut menggerogoti hati saya. Kenangan itu menjadi salah satu "harta karun" berharga (maaf) yang sangat berguna ketika saya harus menyajikan kesedihan dalam sebuah cerita. Sebuah adegan kehidupan ternyata dapat menjadi hal yang sangat membekas dalam ingatan seseorang.

Ketika kita menikmati makanan, ada berbagai rasa yang dapat dicecap oleh lidah kita. Entah itu rasa manis, asin, asam, bahkan pahit. Demikian juga halnya dengan sebuah cerita. Kita bisa merasakan kesedihan, kekecewaan, kegembiraan, kebencian, keharuan, bahkan kemarahan saat membaca sebuah cerita. Aneka rasa itulah yang membuat sebuah cerita menjadi "bernyawa" dan membuat pembaca larut bahkan turut merasakan apa yang dirasakan oleh tokoh-tokoh dalam sebuah cerita. 

Penyajian rasa itu sendiri sangat bergantung pada pengalaman empiris, yaitu berdasarkan pengalaman langsung yang dialami seseorang, atau pengalaman intelektual, yaitu pengalaman yang diperoleh dari pendidikan (formal, non formal, atau informal).

Selain menjadi pembaca yang baik untuk memperkaya pengetahuan, ada baiknya seorang penulis cerita juga menjadi seorang pengamat yang baik pula. Cerita yang lahir dari dunia subjektif seorang penulis, akan menjadi karya yang miskin rasa jika penulis tidak peka menggunakan sentuhan perasaan (emotional touch) dalam sebuah cerita. 

Hal ini sangat dipengaruhi oleh seberapa giat seorang penulis cerita mengamati dan merenungkan rangkaian kejadian, karakter (perwatakan), interaksi sesama manusia, interaksi manusia dengan alam, serta hal-hal lain dalam kehidupannya. Pengamatan dan perenungan yang dilakukan secara terus-menerus pada akhirnya akan membantu seorang penulis untuk menyajikan realitas rasa yang mampu memberikan nyawa dalam sebuah cerita.

Lantas, apakah realitas rasa tidak berlaku untuk cerita absurd? Menurut saya, tidak demikian. Absurditas bukan berarti lepas kendali atau kehilangan tujuan. Sebuah cerita sebaiknya tetap berjalan pada sebuah rel yang akhirnya berujung kepada pembacanya. Jika cerita hanya mengutamakan jejalan diksi unik, rumit, sehingga pembacanya harus mengerutkan kening dan gagal menemukan esensi, mungkin penulis harus bertanya kepada diri sendiri: apakah bijak menyajikan sebuah cerita dengan embel-embel milik "kalangan sendiri"? 

Sudah bukan rahasia lagi, sebuah cerita seringkali sulit berkompetisi dengan artikel atau tips sebagai bacaan yang bersifat lebih umum. Maka, sebaiknya jangan bebani sebuah cerita dengan stempel eksklusif. Sebagai seorang kurir, seorang penulis harus bijak menggunakan kendaraannya agar surat atau paket yang dibawanya sampai kepada penerimanya. Kendaraan milik penulis itu tak lain adalah cerita.

Seorang penulis cerita memang harus giat memperkaya teknik bercerita, tetapi hendaknya tidak mengabaikan pentingnya realitas rasa dalam sebuah cerita. Sesuatu yang ada di sekitarnya bahkan mungkin berasal dari dirinya sendiri. Mungkin itu pula sebabnya, mengapa J.K Rowling berkata: "Mulailah dengan menuliskan hal-hal yang kau ketahui. Tulislah tentang pengalaman dan perasaanmu sendiri."

***

Tepian DanauMu, 18 Maret 2018




Baca juga:
Sebuah Tanggung Jawab Besar Perempuan pada Kehidupan
Mengapa Tidak Ada Pencantuman IQ Calon Presiden?
Ada Hak Cipta Turunan di Balik Buku

Yuk, Bagikan Opinimu Terkait Bagaimana Menjaga Stabilitas Harga Barang Kebutuhan Pokok!

$
0
0

berita-admin-blog-comp-kemendag-5aaba313bde575741b06aeb4.png

Hampir selalu terjadi, menjelang hari besar keagamaan nasional, barang kebutuhan pokok menjadi langka dan kemudian mengalami kenaikan harga. Menjaga stabilitas harga dan ketersediaan barang kebutuhan pokok merupakan salah satu mandat Presiden Jokowi untuk Kementerian Perdagangan.

Di tahun 2017 lalu, Kementerian Perdagangan berhasil mengendalikan stabilitas harga barang kebutuhan pokok dengan menetapkan regulasi Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk beras, gula pasir, minyak goreng, dan daging sapi yang ditentukan berdasarkan wilayah.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tercatat bahwa tingkat inflasi bahan pokok di tahun 2017 selama bulan puasa sebesar 0,86% dan saat lebaran 0,69%. Ini merupakan nilai terendah dalam enam tahun terakhir. 

Kompasianer punya opini terkait bagaimana upaya dalam menjaga stabilitas harga barang kebutuhan pokok? Nah, saatnya untuk menceritakan opinimu dalam kompetisi blog "Menjaga Stabilitas Harga Barang Kebutuhan Pokok demi Kesejahteraan Masyarakat" yang diadakan Kompasiana bersama Kementerian Perdagangan. Sebelum ikutan, simak syarat dan mekanismenya dulu, ya.

Syarat dan Ketentuan Lomba

  • Peserta telah terdaftar sebagai anggota Kompasiana. Jika belum terdaftar, silakan registrasi terlebih dahulu di sini
  • Tulisan bersifat baru, orisinal (bukan karya orang lain atau hasil plagiat, dan tidak sedang dilombakan di tempat lain)
  • Konten tulisan tidak melanggar Tata Tertib Kompasiana

Mekanisme Lomba

  • Tema: Menjaga Stabilitas Harga Barang Kebutuhan Pokok Demi Kesejahteraan Masyarakat
  • Tulisan berupa opini terkait upaya untuk menjaga kestabilan dan pasokan barang kebutuhan pokok agar dapat dijangkau seluruh masyarakat
  • Periode Lomba: 19 Maret--13 April 2018
  • Tulisan tidak lebih dari 1.500 kata
  • Peserta wajib mencantumkan label harga barang pokok stabil (tanpa spasi) dalam setiap tulisan yang dilombakan
  • Tulisan yang tidak sesuai dengan ketentuan dan tema lomba, tidak bisa diikutkan lomba
  • Keputusan juri tidak dapat diganggu gugat
  • Pemenang akan diumumkan setelah 14 hari kerja periode lomba selesai

Hadiah

  • Sebanyak 5 artikel terbaik akan mendapatkan uang tunai masing-masing senilai Rp1.000.000,00

Untuk mengetahui kegiatan dan kompetisi Kompasiana lainnya yang sedang berlangsung, silakan klik di halaman Event Kompasiana. (GIL)

**) Begini Cara Kami Menilai Karya Lomba di Kompasiana




Baca juga:
Mengintip Jalan Kanjeng yang Jadi Kampung Seniman di Bali
Sebuah Tanggung Jawab Besar Perempuan pada Kehidupan
Mengapa Tidak Ada Pencantuman IQ Calon Presiden?

PK dan Masa Depan Politik Ahok

$
0
0

Foto: Tribunnews.com

Memutuskan tidak naik banding-setelah sembilan bulan menjalani masa tahanan-penasihat hukum Basuki Tjahaja Purnama, Ahok, yang juga adiknya Fify Lety Indra bersama dengan pengacara Ahok yang lain, Josefina Agatha Syukur, resmi mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA) pada 2 Februari 2018 lalu. 

Kabar yang kembali mengejutkan, setelah sebelumnya mantan Gubernur DKI Jakarta ini, dilanda isu perceraian dengan istrinya.

Gonjang-ganjing Pasca pengajuan PK Ahok

Gonjang-ganjing pun mulai terjadi. Diantaranya adalah Sekjen Forum Umat Islam (FUI) Gatot Saptono alias Muhammad Al Khaththath, yang mencurigai adanya motif politik di balik pengajuan PK Ahok, saat ini. 

Ahok dikatakan punya kesempatan jika PK memutusnya bebas, untuk mengikuti konstestasi Pilpres, entah sebagai Capres ataupun Cawapres. Kalau dilihat dari timeline Komisi Pemilihan Umum (KPU), pendaftaran kandidat Presiden dan Wakil Presiden adalah pada tanggal 4-10 Agustus 2018. 

Maka jika proses Peninjauan Kembali (PK) memakan waktu maksimal 3 bulan, sesuai peraturan Mahkamah Agung, maka sangat mungkin prosesnya pas dengan masa pendaftaran itu. Artinya alasan Sekjen FUI masuk akal dari sisi timeline. Benarkah ada keinginan untuk kembali ke kancah dunia Politik bagi Ahok jika PK-nya dikabulkan Mahkamah Agung? 

Ketika bicara PK Ahok, maka setidaknya ada dua implikasi dari kasus ini. Pertama adalah proses hukum PK yang saat ini tengah berjalan, dan kedua adalah implikasi pasca keputusan PK yang (misalnya) mengabulkan PK dari terpidana.

Tanpa Banding dan Ajukan PK

Pada tanggal 9 Mei 2017 lalu, Ahok resmi dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara, terkait pelanggaran pasal 156a KUHP, tentang Penodaan Agama. Hakim memutuskan Ahok terbukti melakukan tindak pidana dalam Pasal 156a KUHP, yakni secara sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama. Vonis 2 tahun penjara, langsung diputus hakim dan langsung ditahan. 

Proses hukum banding dicabut Ahok setelah sebelumnya berencana naik banding. Ada 3 alasan yang disampaikan pengacara Ahok kala itu, Wayan Sudirta, "Alasan pertama, Pak Ahok ini tidak ingin ada kemacetan. Bayangkan yang dia pikirkan itu soal kecil-kecil," ujar Wayan pada bulan Juli 2017 lalu. Alasan kedua, Ahok tidak ingin pendukungnya terus menerus melakukan demo sampai meninggalkan pekerjaan. 

Ahok tidak mau nantinya ada demo tandingan dari pihak lawan sehingga bentrok. Alasan ketiga berkaitan dengan adanya tudingan bahwa pemerintah pusat di bawah kepemimpinan Presiden RI Joko Widodo melindungi Ahok. "Ahok ingin meniadakan kesan itu. Alasan ketiganya adalah bagaimana Ahok tidak membebani pemerintahan Jokowi yang sudah berat. Caranya ya mencabut banding," kembali Wayan berujar. (baca)

Dasar PK dari Putusan Buni Yani

Namun kali ini, PK Ahok diajukan. Dasar dari pengajuan PK ini adalah dugaan adanya kondisi baru terkait kekhilafan hakim dalam memutus perkara, dengan mendasari pada Putusan Buni Yani yang telah vonis 1,5 tahun penjara. 

Tim penasihat hukum Ahok menilai, bahwa kasus Ahok ini, muncuk akibat potongan video Buni Yani yang viral, dan kemudian menjadi pemicu adanya unjuk rasa beberapa kali yang dikenali dengan istilah aksi 411, 212 dan seterusnya. Program AIMAN yang mewawancarai penasihat hukum Buni Yani, Aldwin Rahadian, menolak alasan ini. 

Sebabnya adalah, dalam memutus kasus Ahok, sidang tidak pernah memanggil Buni Yani dan menggunakan alat bukti potongan video Buni Yani. Terkait dengan perdebatan materi hukum ini, biarlah Hakim Agung di MA yang memutus, paling lama 3 bulan ke depan sesuai aturan MA. 

Lalu bagaimana pertanyaan soal implikasi Politik dari putusan PK yang katakanya mengabulkan PK Ahok, bisakah serta merta ia maju dalam bursa Pemilihan Presiden (Pilpres)? Jawabannya tidak semudah itu!

Dua Faktor Masa Depan Politik Ahok 2019

Faktor pertama, adalah faktor legal formal. Dalam UU Pilkada yang pernah diputus Mahkamah Konstitusi maupun UU Pemilu yang baru saja di sahkan (Undang Undang nomor 7 Tahun 2017), dalam Pasal 169 huruf "p" disebutkan bahwa "Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden, tidak bisa diajukan bila pernah dipidana dan sudah memperoleh keputusan hukum tetap dengan ancaman hukuman penjara 5 (lima) tahun atau lebih".   

Isi pasalnya sebagai berikut: "Syarat sebagai Calon Presiden & Calon Wakil Presiden adalah  tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih."

Sementara pada pasal 156a KUHP di mana pada kasus Ahok, sudah memiliki kekuatan hukum tetap, disebut ancaman pidana penjaranya selama-lamanya 5 (lima) tahun.

Hal ini pernah terjadi perdebatan saat membahas Ahok perlu mundur dari kursi Gubernur atau tidak, saat jadi terdakwa pasal 156a KUHP, yang memiliki ancaman pidana paling lama 5 tahun penjara, Februari 2017 lalu. 

Sementara Pasal 83 Undang Undang Pemerintah Daerah, menyebutkan, Kepala Daerah yang berstatus terdakwa harus mundur sementara jika diancam dengan hukuman paling singkat 5 (lima) tahun penjara.

Kala itu terjadi perbedaan tajam diantara para Pakar Hukum Tata Negara. Ada yang berangggapan bahwa frasa paling lama 5 tahun, dan paling singkat 5 tahun memiliki irisan, yakni pada angka 5 tahun. Sehingga Ahok harus mundur sebagai Gubernur yang berstatus terdakwa, kala itu.

Lalu ada pula pakar hukum Tata Negara yang berpendapat, bahwa tidak seharusnya Ahok mundur, karena frasa paling lambat dan paling singkat, adalah dua hal yang berbeda.

Nah, bagaimana dengan frasa, Pasal 169 UU Pemilu?

Jika memang terjadi, pasti akan terjadi perbedaan tajam memaknai pasal ini!

Faktor Kedua Masa Depan Politik Ahok 2019

Faktor kedua adalah hal yang bersifat Pragmatis, alias elektabilitas atau tingkat keterpilihan. Baru-baru ini, Lembaga Survei Populi Center, menjadi satu-satunya yang menempatkan nama Ahok pada hasil survei paling akhir. 

Hasilnya? Jauh berbeda dengan saat ia menjadi Gubernur DKI Jakarta. Kala Ahok duduk menjadi Gubernur DKI Jakarta, elektabilitasnya bahkan berada di 3 besar di lingkup nasional, bersanding dengan nama Joko Widodo serta Prabowo Subianto. Survei CSIS, pernah memotretnya pada akhir 2015.

Kini dalam hasil survei Populi Center, Ahok berada pada angka 0,4 persen. Jauh tertinggal dari elektabilitas Joko Widodo 52,8 persen dan Prabowo Subianto 15,4 persen. Elektabilitas Ahok bahkan berada di bawah Jenderal Gatot Nurmantyo, Agus Harimurti Yudhoyono, dan Jusuf Kalla.

Pertanyaannya, bisakah angka- angka ini naik pasca PK Ahok dikabulkan? Peneliti Populi Center, Rafif Imawan, mengatakan kepada saya, bisa!

Namun untuk naik drastis sangat sulit. Apalagi Ahok hanya memiliki kekuatan di wilayah kota terutama Jakarta dan sekitarnya, belum dalam lingkup Indonesia secara umum. Satu hal lagi, apapun hasil hukumnya, pernah melekat pada dirinya kasus penodaan agama, adalah hal yang tersulit dalam hitung-hitungan politik normal.

Terlepas dari dua faktor di atas, tentu kita semua sepakat, bahwa adalah kewajiban bagi setiap warga negara untuk menjalani hukuman yang telah diputuskan oleh pihak berwenang. Termasuk juga hak bagi setiap Warga Negara, untuk mengambil apapun upaya legal formal yang bisa ditempuh, termasuk PK.  

Saya Aiman Witjaksono, Salam.




Baca juga:
Yuk, Terbang "Selamanya" bersama Sobat Aviasi!
Mengintip Jalan Kanjeng yang Jadi Kampung Seniman di Bali
Sebuah Tanggung Jawab Besar Perempuan pada Kehidupan

Ketika Masyarakat Awam Belajar Aksara Kuno pada Prasasti

$
0
0

Belajar aksara kuno pada prasasti di Museum Nasional (Dokpri)

Setelah beberapa kali melakukan kegiatan diskusi, lokakarya, blusukan, dan publikasi, Minggu, 18 Maret 2018, Kelompok Pemerhati Budaya dan Museum Indonesia (KPBMI) mengadakan kegiatan baru "Sinau Aksara dan Bedah Prasasti". Kegiatan berlangsung di Museum Nasional pukul 09.00 hingga pukul 14.00 WIB.

Ternyata peminat kegiatan ini cukup banyak. Begitu dibuka lewat pendaftaran daring, dalam beberapa jam kuota 40 orang terpenuhi. Mereka berasal dari kalangan masyarakat awam, yakni pelajar, mahasiswa, guru, karyawan swasta, dan umum sebagaimana yang tertera pada daftar hadir.

Karena itu pendaftaran segera ditutup. Para calon peserta tetap dicatat sebagai daftar tunggu. Total pada hari pelaksanaan, ada 63 orang mengikuti sinau ini. Sinau merupakan nama keren dari belajar.

Pengenalan prasasti di ruang auditorium Museum Nasional (Dokpri)

Dua pemateri

Memang kegiatan KPBMI ini bukanlah kegiatan perintis. Sebelumnya kegiatan serupa pernah dan masih diselenggarakan oleh beberapa komunitas di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pemateri kegiatan ini adalah Sri Ambarwati atau biasa disapa Ami dan Fifia Wardhani. Ami pernah menjadi jurnalis, dan kemudian mengambil S-2 Epigrafi di UI. Sementara Fifia dengan panggilan akrab Fifi, sampai saat ini masih bekerja di Museum Nasional. KPBMI memilih Museum Nasional karena museum ini memiliki banyak koleksi prasasti.

Dalam uraian pengenalan, Fifi mengatakan manusia mengenal dua sistem komunikasi, yakni komunikasi langsung (bahasa lisan) dan komunikasi tidak langsung (bahasa tulisan).  Bahasa lisan lebih tua daripada bahasa tulisan karena digunakan sejak masa prasejarah. Sementara bahasa tulisan memiliki keunggulan dapat menghilangkan batasan jarak dan waktu. "Tulisan mempercepat perkembangan kebudayaan dan peradaban," kata Fifi.

Mengenai aksara atau tulisan, menurut Fifi mengutip pernyataan Trigangga, adalah simbol bunyi yang diucapkan manusia, membentuk rangkaian kata yang bermakna dan dapat dipahami manusia.

Selanjutnya menurut Ami, kata "prasasti" berasal dari bahasa Sanskertaprasasti yang secara harfiah berarti 'puji-pujian', dan arti secara luas adalah "piagam, maklumat, surat keputusan, undang-undang."

Saat ini prasasti dipahami sebagai artefak bertulis, yaitu huruf-huruf, kata-kata atau tanda-tanda konvensional yang dipahatkan pada bahan-bahan yang tidak mudah rusak dimakan usia, contohnya batu, logam, tanah liat bakar dan bahan keras lainnya.

Pengenalan aksara kuno di ruangan koleksi prasasti Museum Nasional (Dokpri)

Epigrafi

Perlu diketahui, tidak mudah untuk membaca tulisan dalam prasasti. Ini mengingat tulisan-tulisan tersebut sudah berusia ratusan tahun, bahkan lebih, yang sekarang tidak digunakan lagi oleh masyarakat. Jadi sudah menjadi bahasa mati. Untuk itu  dibutuhkan keahlian khusus yaitu epigrafi, ilmu yang mempelajari tulisan-tulisan kuno. Orang yang ahli membaca prasasti disebut epigraf. Para epigraf inilah yang bisa membaca, mengartikan dan menguak takbir sejarah yang dituliskan dalam sebuah prasasti. Hasil pembacaan dan terjemahan isi prasasti kemudian disusun oleh para sejarawan untuk menjadi cerita sejarah yang komplet dan akurat.

Epigrafi berasal dari bahasa Yunani, epi = atas; graphein = tulisan, secara harfiah berarti "tulisan di atas", atau ilmu yang mempelajari tulisan-tulisan di atas bahan yang keras seperti batu dan logam. Sejajar dengan epigrafi adalah paleografi, berasal dari bahasa Yunani, palaeo = kuno, tua; graphein = tulisan. Diartikan sebagai ilmu yang berusaha menentukan bentuk dan evolusi huruf-huruf  melalui tulisan pada zaman atau abad mana prasasti dikeluarkan.

Temuan prasasti tertua menunjukkan dimulainya masa sejarah di Indonesia, yakni  batu bertulis di Muarakaman, Kutai, Kalimantan Timur. Prasasti tersebut bertarikh abad ke-4 Masehi. Batu bertulis yang biasa disebut prasasti ini berbentuk tugu atau yupa dibuat atas perintah Raja Mulawarman.

Selain prasasti asli, ada juga dikenal prasasti tinulad. Dalam bahasa Jawa Kuno tulad = tiru. "Ada kalanya jika tulisan dalam prasasti itu dianggap penting, oleh penguasa pada masa itu, tulisan tersebut ditulis ulang (tinulad) pada bahan lain yang biasanya cepat rusak. Misalnya daun lontar, kertas dahluang, kulit kayu atau kulit hewan," kata Fifi.

Bahasa awal yang digunakan dalam prasasti berasal dari India, yaitu Sanskerta. Setelah abad ke-5 Masehi, aksara dan bahasa yang digunakan mengalami perubahan. Misal aksara Jawa Kuno dan Bali Kuno. Bahasa yang digunakan pun beragam, antara lain Jawa Kuno, Sunda Kuno, Melayu Kuno dan Bali Kuno. 

Belajar aksara Pallawa (Dokpri)

Melihat prasasti

Setelah pemaparan, peserta sinau diajak melihat prasasti di lantai 2 dan lantai 3. Di situ terjadi interaksi antara peserta dan pemateri. Mereka ingin mengetahui lebih jauh aksara Pallawa. Ami dan Fifi tekun menjawab keingintahuan peserta.

Sesuai jadwal, mereka harus kembali ke auditorium untuk latihan menulis nama masing-masing menggunakan aksara Pallawa. Sebelumnya panitia sudah membagikan tabel aksara Pallawa tersebut.

Memang belajar aksara dan bahasa kuno tidak cukup sehari. Perlu latihan berulang-ulang. Direncanakan Mei mendatang KPBMI akan menyelenggarakan sinau ke-2. Semoga para peserta masih antusias.***




Baca juga:
Kalau Merasa Difitnah, Rizieq Harus Berani Buktikan
Yuk, Terbang "Selamanya" bersama Sobat Aviasi!
Mengintip Jalan Kanjeng yang Jadi Kampung Seniman di Bali
Viewing all 10549 articles
Browse latest View live